Pernikahan digelar.
Apakah pernikahan itu membuat ia merasa bahagia juga bangga? tentu saja ia merasa banyak tanda tanya. Salah satunya, dari menyewa kebaya pengantin padahal mereka keluarga terpandang namun kembali lagi Gina harus menelan rasa pahit itu.
Ia tidak membangkang, ia terima dengan lapang hati.
Impiannya sejak dulu bersama Aston kini terkabulkan, dalam kenyataan menyakitkan juga keadaan yang penuh luka. Ketika ia berharap Aston akan melindungi atau sekadar memberikan ia kebahagiaan malah tangisan dan rasa perih ia dapatkan.
Pernikahan tanpa resepsi, hanya pernikahan sekadar berlangsung dirmahu namun membuat ia setidaknya mendapat status.
Alya memilih tidak menghadiri, ia sejak awal sudah mengatakan tidak akan pernah setuju atas pernikahan mereka. Menolak keras Aston juga menentang pernikahan mereka namun Gina tetap kekeh mempertahankannya.
Hati Gina?
Ia sudah memantapkan hatinya untuk tetap bersama Aston, berjanji akan tetap mencintai hingga akhir hayat. Ia tidak perduli, ketika suatu saat mereka akan berakhir juga. Meski tentangan terus berdatangan.
Aston Nugraha, adalah pria yang begitu ia cintai.
Pernikahan sederhana terdengar di area tempat tinggalnya, area rumah Aston dan seperti biasa yang dilakukan para biang gosip mencibir dengan bibir besar mereka. Gina tentu tahu, mengingat kondisinya yang telah berbadan dua.
Hamil tanpa ikatan pernikahan sebelumnya, memilih merelakan mahkota hanya demi pria yang ia cintai. Cinta berlebihan telah membutakan hati juga pikirannya. Padahal banyak pihak melarang tapi tetap saja ia kekeh mempertahankan hingga ia mengandung anak Aston.
Seusai pernikahan 'dadakan' mereka digelar, Gina telah tinggal bersama Aston juga Fitri-ibu Aston.
Pagi sekali Gina telah bangun dan ia segera berkutat di dapur lumayan besar milik suaminya. Ia mahir memasak, jadi tidak heran meski tempat baru ia tidak akan mogok memasak. Ia bersemangat jika itu memasak, disaat kebanyakan para wanita malas memasak justru Gina begitu menyukai masak memasak.
Apalagi sejak kondisi berbadan dua membuat ia merasa lapar dan menghidangkan untuknya sendiri.
Aroma masakan menaungi isi kamar fitri, ia segera keluar dan ia duduk santai menunggu Gina benar-benar selesai. Hingga akhirnya, masakan tersebut selesai dan Gina telah menghidangkan masakannya.
Tersenyum menatap Fitri.
"Ma, sarapan. Aku sudah siapkan sarapan," ucap Gina.
"Hentikan bibirmu mengatakan aku mamamu! aku tidak memintamu," jawab Fitri ketus.
Gina diam, ia tidak menyangka seorang ibu mertua anti dipanggil sebutan mama. Sebenci itukah ia pada Gina sehingga ia tidak memerdulikan perhatian Gina?
Fitri mulai menyendoki nasi.
"Kau tidak memberiku racun 'kan?" tanya Fitri lagi.
"Ti- tidak Ma- eh- maksudku, Tante," ucap Gina terbata.
"Bagus! jangan memanggilku dengan sebutan Mama! panggil tante Fitri, kau paham?!" bentak Fitri.
Tidak cukupkah penderitaan sejak ia kecil? mengharapkan kasih sayang yang ia dambakan entah siapapun memberikannya. Dengan susah payah, Gina menelan salivanya. Oh, Tuhan kenapa harus ia orangnya?
Sakit sekali rasanya, ia bagai orang lain. Penderitaan tiada henti terus mengungkungnya. Ia pikir air mata kepedihan itu akan segera berakhir namun sayangnya tidak .
"Ya, Tante," ucap Gina mengiyakan.
Fitri mulai menikmati makanan tersebut, ia rapikan serbet diantara paha agar tetap bersih ketika sedang menikmati makan. Merasakan mual, lalu Fitri menatap Gina kasar. Menuju Gina, langkah yang kasar membuat Gina semakin takut dan gemetar.
Kesalahan apalagi yang ia hadapi?
Plak!!
Fitri menampar keras, membuat pipi Gina memerah berbentuk tangan. Ia spontan memegang pipinya sambil menatap syok.
"Tan-Tante, ada apa?" tanya Gina takut.
"Kau itu bisa memasak apa bukan? makanan yang kau buat itu tak lain adalah makanan kampung. Kau paham? apa kau sengaja memasaknya agar aku mati, hah?!" bentak Fitri tersulut emosi.
"Tante, aku masak yang seadanya. Tidak pernah aku berniat ingin menaruh apapun di makanan itu."
"Kau!! melawan?!!" bentak Fitri lagi.
Fitri ingin mendaratkantamparan keras ke pipi Gina lagi.
"Ma, sudah! masih pagi, sudah membuat keributan!" tegas Aston.
Entah sudah berapa lama pria itu berdiri disana, ia melihat Gina dihina bahkan dibentak seperti itu. Mata pria itu terlihat datar, tidak ada merasa kasihan. Gina menatap Aston-suaminya yang ia tahu tidak bisa bertindak terlalu banyak.
"Apa kau baru saja membela wanita miskin ini?" tanya Fitri semakin keras.
"Ma, sudah! cukup!" sekali lagi Aston menegaskan.
Gina merasa tenang sesaat.
"Gina, pergilah bersiap bekerja. Nanti kau terlambat,"
Mengingat pernikahan mereka yang sudah terjalan hampir satu minggu, namun Fitri terlalu sibuk dengan dunia perkumpulan dengan ibu kaya sekelasnya. Ia baru kali ini bertatap muka dengan Gina setelah sejak menikah.
"Tap-tapi?"
"Gina! kau mendengarku? aku tidak mau, jika aku berubah pikiran!" ketus Aston sarkas.
Gina bersiap, berjalan takut menuju kamar sehingga membuat Fitri kian berang bahkan berkoar seperginya Gina. Hingga Gina menangis sesunggukan sepanjang bersiap. Namun, ungkapan pria tadi apakah ia memang mulai memcintai Gina?
Berubahkan ia?
Setelah bersiap, ia pergi dengan cepat. Sambil terburu, Gina pun terus melangkahkan kaki menuju Toko Roti.
"Al, apa aku terlambat?" tanyanya dengan napas pendek.
Alya bukan menjawab, malah fokus menatap bekas gamparan dipipi Gina.
"Gin, kau mendapat kekerasan lagi?" tanya Alya pelan.
Ia langsung menyentuh pipinya yang masih sakit, ia menggeleng meski matanya mulai nanar. Ingin menutupi pun tidak mungkin. Jelas kekerasan itu tampak dilihat Alya.
"Eh, ini tidak apa. Hanya sedikit, karena kesalahanku."
Tidak tahu apalagi yang akan diungkapkan Alya, ia juga tidak ingin menyudutkan Gina saat ini. Tidak ingin membuatnya kian sedih juga lara hati.
"Kau ingin memelukku? aku tahu, kau butuh sandaran untuk meluapkan kesedihanmu."
Gina menahan diri sejenak, namun matanya mulai nanar menahan perasaan luka. Hingga akhrinya air mata itu terjatuh tanpa ia inginkan dan mempercepat langkah menuju Alya. Ia peluk erat Alya, sehingga tangisannya pecah, menyakiti hati kecil.
"Alya, rasanya aku ingin mati saja."
"Stt! Tidak perlu menyalahkan keadaan jika kamu pun tetap mempertahankan apa yang sudah menjadi keputusanmu. Aku juga tidak tahu harus mengungkapkan apa, tapi aku hanya ingin kau tetap tegar menjalani. Ini adalah langkah yang sudah kau ambil."
"Maafkan aku, Alya, sudah melibatkanmu terusan."
"Sudah tidak apa, yang penting kamu plong perasaannya dan tidak perlu menangis terlarut lagi."
"Makasih, Alya. Terimakasih karena telah mau menemaniku dari kisah sulit hingga aku tidak tahu kapan aku bahagia."
"Yasudah, kembali bersemangat. Kita akan segera buka toko, jelek kalau kau terlihat menyedihkan seperti itu," akui Alya sambil tertawa kecil.
"Alya, kau memang sahabatku yang paling berharga."
Alya mengangguk ketika Gina mengakui ia memang begitu bahagia atas kehadiran ALya didalam hidupnya.
Bersambung...
Bandara Soekarno-Hatta, pesawat kelas bisnis telah mendarat dengan sempurna.Sosok tangan kekar, guratan halus di area tangan terlihat jelas. Ia menundukan kepalanya dengan elegan menatap jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan. Bibir memerah tanda tidak mengisap rokok terlihat jelas.Penampilan begitu memesona dan yang lebih tepat, ia sangat tampan maksimal sehingga seisi pesawat tidak menghentikan pandangan dari pria tinggi, rahang tegas menunjukan kekuasaan sebagai pria terhormat dan mapan.Tatapan begitu memukau, siapa yang tidak langsung terpesona? apalagi jika sudah melihat manik matanya yang mencolok berwarna biru.Ya, pria tampan itu ialah Revan Alexander Djayaningrat, memiliki tinggi 180 cm, rambut sedikit keemasan membuat ia semakin terlihat sexy.Revan berusia 30 tahun, meski idak lagi dikatakan muda namun wajahnya awet bak formalin dan digilai semua wanita termasuk nega
Revan tak henti menatap kecantikan Vero sepanjang mereka berjalan menuju Toko Roti, Vero bercerita panjang lebar pada Revan."Konsep apa untuk pertunangan kita nanti?" tanya Vero sumringah."Sederhana saja," jawab Revan."Baiklah, aku memiliki langganan tempat kue. Kita akan kesana, lalu ke butik untuk pakaian yang akan aku kenakan.""Baiklah, sesuai yang kamu mau saja sayang ...," balas Revan.Vero tersenyum dan bersikap manja, Revan pun menyetir dengan kecepatan standartd.Akhirnya mereka sampai tepat di depan Toko Roti tersebut. Vero menatap dengan mata binar, bangga ia akan memesan kue ditempat langganannya apalagi sudah cukup lama tidak kemari sehingga ia merindukan kedua wanita yang sudah menjadi temannya."Nah, itu dia."Revan mengangguk, "Baiklah, kamu lebih dulu masuk. Aku akan memarkirkan mobil," perintah Revan lembut.
Malam pun menyambut, malam gelap itu membuat Gina semakin menggelap. Ia menunggu sang suami dengan perasaan hitam. Ia sudah tahu jika Aston tidak akan pernah mau datang menemuinya, ia saja yang terlalu percaya diri besar untuk berharap Aston-mencintainya.Aston pria keras, sampai kapanpun ia tidak akan mau meluluhkan hatinya termasuk menjemout atau sekadar memberikan perhatian lebih pada Gina."Menunggu Aston?" tanya Alya tidak berselera, sambil memasang jacketnya bergegas pulang."Iya, Al ... aku menunggu Aston menjemputku.""Dia bilang mau jemput kamu?"Tumben."Nggak, aku hanya berharap dia datang menjemputku. Itu saja," jawab Gina sekenanya."Gina?!" panggil seorang pria dibelakang mereka.Gina dan Alya kompak melirik, setelah melihat sosok siapa yang datang Alya membuang wajahnya. Sampai kapanpun, ia tidak akan menyukai semua sifat Aston, ia me
Bisakah ia sejenak dengan pria bermata biru ini?"Mari kubantu," tawar Revan.Revan membantunya berdiri, ia dapat merasakan wewangian tubuh Revan menguar di hidungnya. Sentuhan itu terasa membuat Gina semu juga merasakan sesuatu hal berbeda sedang tersentuh disekujur tubuhnya."M-maaf Pak!? Maaf jika aku membuat Bapak merasa terancam.""Nggak apa, kamu baik saja?" Revan masih membantu Gina.Revan membantunya duduk di kursi luar Toko roti, Gina mengelus perutnya smabil meringis menahan sakit."Dia suamimu?" tanya Revan pelan.Gina terdiam sejenak lalu mengangguk mengiyakan, "Ya, dia suamiku."Revan mengangguk paham, tanpa sengaja ia memperhatikan ada darah dari sudut bibir Gina. Ia terlihat sangat tenang menanggapi namun terlihat meremang karena ingin mengobati luka itu."Ada darah di sudut bibirmu, apa kau ti
Pertunangan Revan dan Vero.Sesuai yang mereka rencanakan, Revan dan Vero melangsungkan pertunangan mereka hari ini. Malam yang dipenuhi terang bulan bahkan terlihat bintang gemerlap begitu indah. Para tamu undangan dari berbagai pengusaha telah berdatangan untuk menyaksikan langsung pertunangan Revan dan Vero yang tergolong dari keluarga sama-sama mapan.Pertunangan mereka memang terkesan sederhana, betapa bahagia menyelimuti Vero hingga ia selalu menebarkan senyum kepada setia tamu menyalamnya.Pertunangan mereka pun terlaksana, tawa bahagia dari berbagai kalangan begitu menyemarakan mereka. Revan mencium kilat bibir Vero tanda mereka resmi bertunangan setelah bertukar cincin emas putih. Tak hentinya Vero memandangi cincin berlapis swarovki yang kini melekat di jemari tangannya.Bangga dan terharu pada akhirnya Revan meminangnya untuk menjadi teman hidup.Di kejauhan tapi tetap
(Noah - Kala Cinta Menggoda)Memulai aktivitas kembali, Alya berketepatan pemegang kunci Toko. Ia mendekat ke arah pintu kaca, tanpa sengaja ia melirik sebuah bucket bunga terletak di bangku luar Toko. Alya mendekap bucket bunga tersebut sambil mengernyit bingung.Buket bunga?Dari siapa ini?Alya memendarkan pandangannya sesekali menghirup wewangian bunga segar tersebut. Tidak ada seorang pun di sekitar Toko, ia hanya melihat orang yang sedang lalu lalang berjalan tanpa ada yang terlihat mencurigakan.Ia mencari tahu siapa pengirim buket bunga ini, ada kart ucapan di dalamnya. Alya membuka ragu-ragu sambil membaca ditujukan pada siapa."For Gina, selamat pagi Gina?! Semoga harimu tetap berbahagia dan tetap tangguh. Aku hanya berharap ketika kau mencium aroma wewangian bunga ini, maka kau harus tersenyum. Dari pria yang mengagumimu. -R-."
Dengan sigap Revan memboyong tubuh Gina keluar dari supermarket. Ia membaringkan tubuh Gina di kursi tengah mobil hitam garangnya. Untuk pertama kali, Revan merasa khawatir berlebihan pada Gina. Ia berusaha cepat menuju rumah sakit, memasuki mobilnya secara cepat dan sigap. Selama perjalanan menuju rumah sakit siapapun yang mencoba menghalangi perjalanannya ia maki bahkan tak segan membentak tidak perduli siapapun itu. Ia hanya ingin Gina sampai di rumah sakit secepatnya. Berusaha melakukan semua secara cepat, seolah saat ini ia mulai membiasakan diri dengan kehadiran Gina. Seolah wanita itu adalah napas kehidupannya. Sesampai di rumah sakit, para suster dengan sigap menolong ketika Revan berkoar teriak meminta agar segera membawa Gina untuk diperiksa. Ia memasang wajah bingung, khawatir apalagi dengan kondisi Gina yang tengah berbadan dua. Setelah pemeriksaan, dokter k
Matahari cerah mulai menyinari seisi bumi, sang cahaya menerobos masuk ke segala penjuru ruangan yang memudahkan cahaya terpantul. Begitupun ruangan kamar VIP milik Gina, bunyi riuhan burung serta cuaca yang sejuk membuat keadaan kian tenang.Sangat kantuk, bahkan manik matanya sulit untuk terbuka. Sambil memaksa akhirnya Gina membuka matanya sambil menatap langit kamar sejuk bercat putih tersebut.Dimana dia?Rasa pusing yang masih bergelanyut dikepalanya masih terasa berat namun ia memaksa segera menyadarkan dirinya dan memendarkan pandangan. Berusaha sekali lagi dan ia memposisikan tubuh segera duduk.Ia menatap sekitar kembali, dimana dia?Sosok tampan yang ia ketahui telah mengganggu hari-harinya tampak duduk di sofa empuk sambil menatapnya tanpa kedip. Sekali lagi, Gina memperjelas pandangannya menatap sepasang manik mata berwarna biru."R-Revan?" Gina