Share

Bab 6. Setelah Menikah

Pernikahan digelar.

Apakah pernikahan itu membuat ia merasa bahagia juga bangga? tentu saja ia merasa banyak tanda tanya. Salah satunya, dari menyewa kebaya pengantin padahal mereka keluarga terpandang namun kembali lagi Gina harus menelan rasa pahit itu.

Ia tidak membangkang, ia terima dengan lapang hati.

Impiannya sejak dulu bersama Aston kini terkabulkan, dalam kenyataan menyakitkan juga keadaan yang penuh luka. Ketika ia berharap Aston akan melindungi atau sekadar memberikan ia kebahagiaan malah tangisan dan rasa perih ia dapatkan.

Pernikahan tanpa resepsi, hanya pernikahan sekadar berlangsung dirmahu namun membuat ia setidaknya mendapat status.

Alya memilih tidak menghadiri, ia sejak awal sudah mengatakan tidak akan pernah setuju atas pernikahan mereka. Menolak keras Aston juga menentang pernikahan mereka namun Gina tetap kekeh mempertahankannya.

Hati Gina?

Ia sudah memantapkan hatinya untuk tetap bersama Aston, berjanji akan tetap mencintai hingga akhir hayat. Ia tidak perduli, ketika suatu saat mereka akan berakhir juga. Meski tentangan terus berdatangan.

Aston Nugraha, adalah pria yang begitu ia cintai.

Pernikahan sederhana terdengar di area tempat tinggalnya, area rumah Aston dan seperti biasa yang dilakukan para biang gosip mencibir dengan bibir besar mereka. Gina tentu tahu, mengingat kondisinya yang telah berbadan dua.

Hamil tanpa ikatan pernikahan sebelumnya, memilih merelakan mahkota hanya demi pria yang ia cintai. Cinta berlebihan telah membutakan hati juga pikirannya. Padahal banyak pihak melarang tapi tetap saja ia kekeh mempertahankan hingga ia mengandung anak Aston.

Seusai pernikahan 'dadakan' mereka digelar, Gina telah tinggal bersama Aston juga Fitri-ibu Aston.

Pagi sekali Gina telah bangun dan ia segera berkutat di dapur lumayan besar milik suaminya. Ia mahir memasak, jadi tidak heran meski tempat baru ia tidak akan mogok memasak. Ia bersemangat jika itu memasak, disaat kebanyakan para wanita malas memasak justru Gina begitu menyukai masak memasak.

Apalagi sejak kondisi berbadan dua membuat ia merasa lapar dan menghidangkan untuknya sendiri.

Aroma masakan menaungi isi kamar fitri, ia segera keluar dan ia duduk santai menunggu Gina benar-benar selesai. Hingga akhirnya, masakan tersebut selesai dan Gina telah menghidangkan masakannya.

Tersenyum menatap Fitri.

"Ma, sarapan. Aku sudah siapkan sarapan," ucap Gina.

"Hentikan bibirmu mengatakan aku mamamu! aku tidak memintamu," jawab Fitri ketus.

Gina diam, ia tidak menyangka seorang ibu mertua anti dipanggil sebutan mama. Sebenci itukah ia pada Gina sehingga ia tidak memerdulikan perhatian Gina?

Fitri mulai menyendoki nasi.

"Kau tidak memberiku racun 'kan?" tanya Fitri lagi.

"Ti- tidak Ma- eh- maksudku, Tante," ucap Gina terbata.

"Bagus! jangan memanggilku dengan sebutan Mama! panggil tante Fitri, kau paham?!" bentak Fitri.

Tidak cukupkah penderitaan sejak ia kecil? mengharapkan kasih sayang yang ia dambakan entah siapapun memberikannya. Dengan susah payah, Gina menelan salivanya. Oh, Tuhan kenapa harus ia orangnya?

Sakit sekali rasanya, ia bagai orang lain. Penderitaan tiada henti terus mengungkungnya. Ia pikir air mata kepedihan itu akan segera berakhir namun sayangnya tidak .

"Ya, Tante," ucap Gina mengiyakan.

Fitri mulai menikmati makanan tersebut, ia rapikan serbet diantara paha agar tetap bersih ketika sedang menikmati makan. Merasakan mual, lalu Fitri menatap Gina kasar. Menuju Gina, langkah yang kasar membuat Gina semakin takut dan gemetar.

Kesalahan apalagi yang ia hadapi?

Plak!!

Fitri menampar keras, membuat pipi Gina memerah berbentuk tangan. Ia spontan memegang pipinya sambil menatap syok.

"Tan-Tante, ada apa?" tanya Gina takut.

"Kau itu bisa memasak apa bukan? makanan yang kau buat itu tak lain adalah makanan kampung. Kau paham? apa kau sengaja memasaknya agar aku mati, hah?!" bentak Fitri tersulut emosi.

"Tante, aku masak yang seadanya. Tidak pernah aku berniat ingin menaruh apapun di makanan itu."

"Kau!! melawan?!!" bentak Fitri lagi.

Fitri ingin mendaratkantamparan keras ke pipi Gina lagi.

"Ma, sudah! masih pagi, sudah membuat keributan!" tegas Aston.

Entah sudah berapa lama pria itu berdiri disana, ia melihat Gina dihina bahkan dibentak seperti itu. Mata pria itu terlihat datar, tidak ada merasa kasihan. Gina menatap Aston-suaminya yang ia tahu tidak bisa bertindak terlalu banyak.

"Apa kau baru saja membela wanita miskin ini?" tanya Fitri semakin keras.

"Ma, sudah! cukup!" sekali lagi Aston menegaskan.

Gina merasa tenang sesaat.

"Gina, pergilah bersiap bekerja. Nanti kau terlambat,"

Mengingat pernikahan mereka yang sudah terjalan hampir satu minggu, namun Fitri terlalu sibuk dengan dunia perkumpulan dengan ibu kaya sekelasnya. Ia baru kali ini bertatap muka dengan Gina setelah sejak menikah.

"Tap-tapi?"

"Gina! kau mendengarku? aku tidak mau, jika aku berubah pikiran!" ketus Aston sarkas.

Gina bersiap, berjalan takut menuju kamar sehingga membuat Fitri kian berang bahkan berkoar seperginya Gina. Hingga Gina menangis sesunggukan sepanjang bersiap. Namun, ungkapan pria tadi apakah ia memang mulai memcintai Gina?

Berubahkan ia?

Setelah bersiap, ia pergi dengan cepat. Sambil terburu, Gina pun terus melangkahkan kaki menuju Toko Roti.

"Al, apa aku terlambat?" tanyanya dengan napas pendek.

Alya bukan menjawab, malah fokus menatap bekas gamparan dipipi Gina.

"Gin, kau mendapat kekerasan lagi?" tanya Alya pelan.

Ia langsung menyentuh pipinya yang masih sakit, ia menggeleng meski matanya mulai nanar. Ingin menutupi pun tidak mungkin. Jelas kekerasan itu tampak dilihat Alya.

"Eh, ini tidak apa. Hanya sedikit, karena kesalahanku."

Tidak tahu apalagi yang akan diungkapkan Alya, ia juga tidak ingin menyudutkan Gina saat ini. Tidak ingin membuatnya kian sedih juga lara hati.

"Kau ingin memelukku? aku tahu, kau butuh sandaran untuk meluapkan kesedihanmu."

Gina menahan diri sejenak, namun matanya mulai nanar menahan perasaan luka. Hingga akhrinya air mata itu terjatuh tanpa ia inginkan dan mempercepat langkah menuju Alya. Ia peluk erat Alya, sehingga tangisannya pecah, menyakiti hati kecil.

"Alya, rasanya aku ingin mati saja."

"Stt! Tidak perlu menyalahkan keadaan jika kamu pun tetap mempertahankan apa yang sudah menjadi keputusanmu. Aku juga tidak tahu harus mengungkapkan apa, tapi aku hanya ingin kau tetap tegar menjalani. Ini adalah langkah yang sudah kau ambil."

"Maafkan aku, Alya, sudah melibatkanmu terusan."

"Sudah tidak apa, yang penting kamu plong perasaannya dan tidak perlu menangis terlarut lagi."

"Makasih, Alya. Terimakasih karena telah mau menemaniku dari kisah sulit hingga aku tidak tahu kapan aku bahagia."

"Yasudah, kembali bersemangat. Kita akan segera buka toko, jelek kalau kau terlihat menyedihkan seperti itu," akui Alya sambil tertawa kecil.

"Alya, kau memang sahabatku yang paling berharga."

Alya mengangguk ketika Gina mengakui ia memang begitu bahagia atas kehadiran ALya didalam hidupnya.

Bersambung...

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Muhson Son
kuncinya menyebalkan
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status