MasukMobil sedan Adrian berhenti di depan Restoran Solaire, kebanggaannya sendiri. Tempat bergaya modern-industrial dengan sentuhan tropikal itu terletak di jantung Jakarta Selatan. Dindingnya didominasi kaca, dihiasi tanaman gantung yang menjuntai di sepanjang jendela, menciptakan suasana segar sekaligus minimalis.
Restoran itu adalah hasil perjuangannya melewati jatuh bangun kehidupan pasca perceraian dengan sang istri. "Aku tunggu kabar dari Olivia di sini saja," bisik Adrian sambil melepaskan seatbelt dan melirik jam tangan. "Baru jam setengah sembilan pagi. Semoga wawancaramu berjalan lancar, Via." Senyum manis Olivia yang tadi di dalam mobil tiba-tiba terlintas kembali di pikirannya. Sebelum pikirannya melayang terlalu jauh, Adrian mematikan mesin dan turun dari mobil. "Pagi, Pak Adri!" sapa Suryadi, petugas keamanan yang berdiri di depan pos satpam. Pria berbadan tegap itu melambaikan tangannya. "Pagi juga, Pak Suryadi." Adrian membalas dengan senyum kecil dan anggukan kepala, merasa sedikit terhibur oleh sapaan hangat itu. "Tumben sudah datang jam segini?" "Iya, Pak. Kebetulan tadi ada urusan di dekat sini. Saya masuk dulu, Pak." "Siap 86, Pak Adri." Adrian hanya membalas dengan senyum tipis sambil mendorong pintu utama restoran miliknya. Kakinya melangkah pelan di atas lantai beton halus yang dingin. Meja-meja kayu beraksen logam hitam masih kosong, menunggu tamu yang nanti akan datang. Dari langit-langit, lampu gantung kekuningan menggantung rendah, memancarkan cahaya hangat yang memeluk ruangan dengan elegan. Begitu dia melangkah masuk, Renata, manajer restoran dengan seragam hitam yang elegan, tiba-tiba berhenti di depan meja, mata membesar sedikit. "Loh?! Pak Adri? Bukannya Bapak hari ini kerja dari rumah? Kenapa datang ke sini, Pak?" sapanya sambil melangkah mendekat, heran namun tetap sopan. Adrian mengangkat bahu ringan, masih tersenyum hangat. "Saya ada urusan, Ren." Renata menatapnya sejenak lalu menawarkan, "Oh, begitu. Atau Bapak mau pimpin briefing pagi ini? Semua staf sudah berkumpul di ruang meeting." Dia menggeleng halus, "Ehm, nggak usah. Kamu saja yang pimpin. Mungkin saya tidak akan lama di sini. Hanya menunggu kabar dari seseorang." "Oh, baik Pak. Saya tinggal dulu kalau begitu." Renata membungkuk sedikit lalu memutar badan, langkahnya ringan menuju ruang meeting yang dekat dapur. "Silakan, Ren." Adrian menarik napas dalam, matanya menatap taman kecil dengan air mancur yang berkilauan di kejauhan. Dengan langkah tenang, dia melewati koridor, membiarkan suasana pagi itu menyapu pikirannya hingga sampai di ujung bangunan, di mana dia akhirnya berhenti. Adrian mendorong pintu bercat hitam bertuliskan “owner” dengan plakat emas yang mengilap. Begitu masuk, dia segera menyalakan lampu dan pendingin udara, lalu menyibak tirai jendela yang menghadap ke taman vertikal di luar—sebuah oasis kecil yang jauh dari hiruk-pikuk restoran. Napasnya pelan-pelan terhela. "Hmm, aku butuh kopi," gumam Adrian lirih. Dia berjalan ke sudut ruangan, menghidupkan mesin kopi dengan cepat. Tak lama, aroma kopi hitam segar menguar memenuhi ruangan. Secangkir kopi terisi penuh di gelas favoritnya, dan Adrian mengangkatnya pelan sambil tersenyum kecil, "Pagi yang sempurna." Dia membawa cangkir itu ke meja kerja, menyalakan laptop, lalu duduk. Setengah jam berlalu. Adrian duduk termenung, tangannya tak henti mengaduk pelan kopi hitam yang kini sudah mulai dingin. Ponsel di samping cangkir berkali-kali menyala, tapi pesan dari Olivia tak kunjung datang. Ia menyandarkan punggung ke kursi, menatap kosong ke langit-langit. "Apa dia gugup? Atau malah... kenapa belum ada kabar sama sekali?" bisiknya, rasa cemas merayapi dada. Pikirannya dipenuhi kemungkinan. Hari ini hari penting bagi Olivia—interview kerja pertamanya setelah kepergian Sheila. Dan entah mengapa, Adrian merasa jauh lebih tegang dibanding hari-hari ketika ia sendiri dulu menjalani wawancara bisnis atau pitching investor. Adrian meraih ponsel lagi, membuka layar pesan. Masih kosong. Tak ada kabar apapun dari Olivia. Namun sebelum ia sempat kembali tenggelam dalam pekerjaan, dering telepon mendadak memecah keheningan. Adrian menoleh ke layar yang menampilkan nama itu, dan bahunya menegang tanpa sadar: Gista Ayuningtyas. Dengan pelan, Adrian mengangkat telepon. Suara di ujung sana menggema, bergetar oleh cemas. "Mas Adri, bisa ke rumah sebentar nggak? Nevan panas tinggi dari tadi malam. Aku udah kasih obat, tapi belum turun juga. Aku takut … bisa antar ke dokter? Papi sama Mami sedang di luar kota. Aku sendirian di rumah, Mas." Adrian terdiam sejenak, menarik napas dalam dalam mencoba menguasai dirinya. "Sekarang kondisi Nevan gimana?" tanyanya perlahan. "Barusan tidur, tapi dia rewel terus. Mas Adri, aku takut banget. Tolong ya." Kalimat yang terucap membuat lutut Adrian terasa lemas. "Aku ke sana sekarang." "Makasih, Mas. Aku tunggu." "Hmm, kabari kalau ada sesuatu." "Iya, Mas." Setelah menutup telepon, ia meraih kunci mobil dengan tangan yang sedikit lebih mantap. Sambil mengirim pesan instruksi singkat ke manajer restoran, langkahnya sudah terburu keluar dari ruangannya. Di dalam dadanya, dua rasa bertubrukan: khawatir pada Nevan dan rasa tak enak hati karena belum bisa tahu kabar Olivia. "Via, semoga interview-mu lancar. Aku harus lihat kondisi anakku dulu," bisiknya lirih, sebelum mendorong pintu keluar restoran, menuju mobil yang terparkir di depan restoran. *** Mobil Adrian melaju kencang menuju rumah wanita yang pernah mengisi masa lalunya. Belum genap satu jam, sedan itu berhenti di depan rumah yang sama seperti dulu—minimalis modern, dengan cat abu-abu dan putih yang tak berubah. Adrian menekan tombol lepas seatbelt, lalu mematikan mesin. Ia keluar dengan langkah cepat, tangannya segera mengayun membuka pintu pagar. Dadanya terasa berat, selalu seperti ini saat kakinya melangkah di halaman rumah milik orang tua Gista. Ayunan besi yang sering ia pakai bermain bersama Nevan, berdiri kokoh, seakan selalu menunggu kehadirannya. Burung peliharaan mantan bapak mertuanya berkicau lirih, suaranya lembut, tapi malah menambah ketegangan yang menyelimutinya. "Assalamualaikum," ucap Adrian. Pintu rumah terbuka tiba-tiba, memperlihatkan Gista dengan rambut diikat seadanya, wajahnya yang lelah tetap memancarkan kecantikan yang tak pudar. Matanya tajam, penuh kecemasan, seolah menyimpan beban sejak semalam. "Dia di kamar. Tidur, tapi gelisah banget," ucap Gista pelan, tubuhnya segera berbalik dan berjalan masuk tanpa menunggu balasan. Adrian mengikutinya, langkahnya mantap namun bibirnya terkatup rapat. Matanya menelusuri setiap sudut rumah yang dulu pernah menjadi saksi bisu cerita mereka. Penuh kenangan, tapi juga menyimpan luka yang enggan dibuka kembali. Mereka sampai di kamar kecil di ujung lorong. Nevan terbaring meringkuk, hanya selimut tipis yang menyelimuti tubuhnya. pipinya kemerahan, dan hela napas berat terdengar di antara keheningan ruangan. Keringat membasahi rambutnya yang tipis, sementara tangan kecilnya bergerak-gerak cemas, seperti menolak mimpi buruk yang terus menghantui. Adrian duduk perlahan di tepi ranjang, merunduk supaya tak mengagetkan. "Nevan, ini Ayah, Nak..." bisiknya penuh hati-hati. Anak kecil berusia empat tahun itu mengerang pelan, matanya tetap tertutup rapat. Adrian mengusap dahinya, alisnya berkerut merasakan suhu badan putranya. "Masih panas," gumamnya seraya berdiri, lalu menatap Gista dengan pandangan serius namun tenang. "Iya, Mas. Suhunya belum turun." "Kamu berikan obat apa?" "Paracetamol." "Apa dia makan sembarangan sebelum ini?" "Maaf, Mas. Aku kemarin habis dari Bogor dua hari, Mami sama Papi yang jaga dan waktu kemarin sore aku pulang, badannya belum hangat. Aku belum sempat tanya orang tuaku soalnya mereka keburu berangkat ke Bandung dan mungkin sekarang sedang dalam perjalanan pulang." "Apa?! Kamu pergi dua hari dan nggak bawa Nevan?" "Aku ada urusan mendadak di Bogor." "Ya tapi kenapa kamu nggak bawa Nevan? Dia masih empat tahun, Ta. Masih butuh ibunya," kesal Adrian. Gista ragu. "Eum... itu karena aku a—" "Ayo ke klinik langganan. Biar Nevan dicek darahnya sekalian," potong Adrian datar, hampir seperti bicara ke rekan kerja. Gista mengangguk pelan, menundukkan kepala seolah mengumpulkan keberanian. "Mas Adri…" suaranya hampir berbisik, nyaris tak terdengar, "Aku dengar soal … Sheila. Aku turut berduka. Aku nggak tahu harus bilang apa, tapi semoga Mas tabah." Adrian terpaku sesaat, tatapannya dingin, tidak menatap balik atau menunjukkan emosi. Ia hanya mengangguk singkat. "Terima kasih," katanya pendek. Gista menatap punggung pria itu, ada rasa bersalah yang tak pernah benar-benar hilang di matanya. Tapi ia tahu, bukan saatnya bicara soal masa lalu. Adrian sekarang bukan lagi suaminya—ia hanya ayah dari anak mereka. Tak lama kemudian, Adrian membawa Nevan yang digendongnya dengan hati-hati. "Kita jalan sekarang," katanya, nada dingin tetap melekat saat ia melangkah menuju mobil. Gista mengikuti dengan langkah pelan, menutup pintu perlahan. Di luar, terik matahari terasa menyengat, tapi di antara mereka, hawa dingin seolah membeku tanpa kata. *** Mobil yang dikemudikan Adrian akhirnya melambat di depan Klinik Kesehatan dekat rumah Gista. Mereka turun tanpa banyak bicara, langkah mereka berat menembus sunyinya tempat itu. Di dalam, lampu lembut menerangi ruangan dengan aroma antiseptik yang samar tapi menusuk hidung. Klinik sepi, hanya mereka bertiga, sementara suara AC berdengung pelan seperti mengisi keheningan. Adrian menggendong Nevan dengan hati-hati. Anak kecil itu tampak lemah, wajahnya memerah dan tubuh mungilnya terasa berat di pelukan ayahnya. Gista mengikutinya, langkahnya pelan dan matanya yang sayu tak berani menatap ke arah Adrian. Rasa lelah jelas terlukis di wajahnya, tapi Adrian tetap fokus pada Nevan, seolah menutup diri dari segala hal lain. Setelah selesai dengan urusan administrasi, mereka diarahkan masuk ke ruang periksa. Nevan yang berumur empat tahun, bersandar lemah di bahu Adrian, napasnya memburu. "Ayah…" suara kecilnya hampir tak terdengar, diselimuti rasa takut dan gelisah, "jangan tinggalin…" Adrian duduk dengan hati-hati, membalas bisikan itu dengan mengelus rambut Nevan perlahan, sorot matanya menghangat. "Ayah di sini, Nak. Nggak akan pergi ke mana-mana," ucapnya, suaranya lembut penuh kasih sayang yang berbeda jauh dari dingin dan tegangnya saat berbicara dengan Gista. Di sini, ia benar-benar ayah, tulus dan murni. Di sebelahnya, Gista memandangi mereka diam-diam. Ada getaran asing di dadanya. Dulu, itu tempatnya—di samping Adrian. Tapi dia yang meninggalkan saat pria itu tak punya apa-apa. Sekarang, dia hanya jadi penonton. Pintu ruang pemeriksaan terbuka perlahan. Seorang dokter paruh baya muncul dengan jas putih rapi, stetoskop menggantung di lehernya. Matanya lembut saat menyapa, "Selamat siang, saya Dokter Agung." "Siang, Dokter," kata Adrian. "Adik Nevan panas, ya?" Gista segera menyahut, "Iya, Dok. Sejak semalam sudah saya beri obat, tapi belum juga turun." Dokter Agung mengangguk tenang, kemudian mempersilakan, "Baik, mari saya periksa dulu. Adik Nevan, coba kamu berbaring di bed, ya." Adrian dengan hati-hati mengangkat tubuh kecil Nevan ke atas bed pemeriksaan, memastikan kepala putranya terdukung dengan lembut. Dokter mulai memeriksa, matanya cekatan meneliti tenggorokan dan telinga Nevan, lalu mendengarkan detak jantung dan mencatat suhu tubuhnya: 38,7 derajat. "Kita ambil sampel darah ya, untuk memastikan tidak ada infeksi atau penyakit berat," kata Dokter Agung sambil menyiapkan alat suntik. Nevan mulai menatap sekeliling dengan mata berkaca-kaca, napasnya bergetar kecil. Adrian segera menggenggam tangan mungil itu erat, suaranya lembut, "Lihat Ayah, jangan lihat jarumnya, ya. Abis ini Ayah bakal beliin mobil-mobilan. Kamu katanya mau mobil bus bertingkat, kan?" Nevan hanya mengangguk lemah. "Anak Ayah pasti kuat." Nevan menahan air mata. Jarum masuk, tubuhnya sedikit menegang—tapi dia diam. Adrian tak lepas dari sisinya. Gista berdiri jauh dari ranjang. Tak ikut menenangkan. Tak ikut menggenggam tangan. Selesai pemeriksaan, mereka bergeser ke ruang tunggu yang sunyi. Nevan sudah tertidur lelap di pangkuan Adrian, tangannya mencengkeram ujung baju ayahnya seolah takut terlepas. Adrian memandangi putranya dengan mata sayu, lalu ponselnya bergetar. Nama Olivia terpampang di layar. Ia menatap beberapa detik sebelum mengangkatnya. Wajah Adrian tetap datar, tapi suara yang keluar lebih lembut, penuh perhatian. "Halo?" jawabnya. Di seberang sana, suara Olivia ceria, sedikit bersemangat. "Om, aku udah selesai. Interview-nya tadi... lumayan lancar sih. Sepupu Mariska, Mas Bastian itu, ternyata santai banget orangnya." Adrian tersenyum tipis, matanya menatap ke kejauhan seakan mengangguk bangga. "Kamu pasti tadi kelihatan percaya diri. Kamu udah usaha keras. Semoga bisa dapat kabar baik, ya." Olivia terdengar gugup tapi tulus, suaranya penuh rasa terima kasih. "Iya… makasih ya, Om. Makasih banget buat semua bantuannya. Itu berarti banget buat Via." Dari kursi seberang, Gista menoleh sebentar ke Adrian, tak mendengar kata-katanya dengan jelas. Tapi sorot mata Adrian, yang hangat dan penuh perhatian, berkata cukup. Ia sedang bicara dengan seseorang yang dia peduli. Benar-benar peduli. "Pulang pelan-pelan, ya. Maaf aku nggak bisa jemput, aku ada urusan mendadak," ucap Adrian sebelum menutup telepon. Setelah itu, keheningan menggantung sesaat, lalu Gista membuka suara, suaranya pelan tapi penuh tanya. "Kamu habis terima telepon dari siapa?" tanyanya, matanya menatap Adrian yang mengusap punggung putra mereka dalam pelukannya. Adrian tak merespon banyak, pandangannya ke depan. "Bukan urusanmu," jawabnya datar. Gista menarik napas dalam, mencoba menekan rasa penasaran. "Dia anak Sheila, ya?" Sekali lagi, Adrian hanya mengangguk tanpa menoleh. "Kamu peduli banget sama dia?" suara Gista melembut, tapi ada sedikit getir. Tanpa menoleh, Adrian menjawab singkat, "Dia sedang terpuruk, kehilangan ibunya. Butuh ditemani, seseorang harus peduli." Gista menelan saliva, tak membalas. Ia tahu kalimat itu juga ditujukan padanya—tentang dulu, saat ia memilih pergi, saat Adrian hanya seorang suami pengangguran yang sedang runtuh. Beberapa saat kemudian, hasil pemeriksaan keluar. Dokter mengumumkan tak ada penyakit serius. Nevan bisa pulang dengan obat yang sudah disiapkan. Adrian sibuk mengambil obat itu dari petugas dan melakukan pembayaran. Setelahnya, Adrian mendekati Gista yang menunggu di kursi besi, menggendong Nevan yang masih tertidur lelap. "Obatnya udah selesai aku ambil," kata Adrian cepat, "Ayo, aku antar kalian pulang." Gista mengangguk pelan, tanpa berkata lebih. Hanya sunyi yang mengikut langkah mereka keluar dari klinik dan wanita berambut panjang itu kini menyesal melepaskan Adrian hanya karena ego. Bersambung...Olivia membiarkan ujung kakinya menari-nari di permukaan air. Cahaya matahari pukul enam pagi memantul halus di atas permukaan kolam, membuat air tampak seperti kaca biru yang berkilau. Hembusan angin membawa aroma dedaunan basah. Sabtu yang tenang. Sabtu yang bikin siapa pun ingin melompat ke air tanpa pikir panjang.Bikini hitamnya mulai basah terciprat setiap kali ia menggerakkan kaki. Titik-titik air menempel di kulit pahanya seperti butiran kaca kecil.Suara pintu geser terdengar dari belakang.Olivia menoleh, rambutnya yang lurus bergeser lembut di bahunya.Adrian berdiri di teras belakang dengan piyama biru kusut dan wajah kantuk yang belum sepenuhnya pergi. Senyum mengembang di wajahnya seperti senyum malas yang hanya muncul ketika bangun tidur.“Kamu kok nggak ngajakin aku?” katanya sambil berkacak pinggang. “Mau berenang sendirian?”Olivia tertawa kecil. “Sebenarnya aku nggak niat berenang, Mas. Tadi aku minum teh hangat sambil lihat kolam. Airnya kayak manggil-manggil. Aku
Adrian menurunkan kacamatanya yang sedikit melorot, menjepit gagangnya di antara jari telunjuk dan ibu jari. Layar laptop di depannya menampilkan deretan tab wedding organizer lain—semuanya terbuka karena satu alasan: ia ingin menjauh sejauh mungkin dari Blissful Wedding. Setiap melihat nama itu, dadanya seperti mengencang lagi, mengingat kepanikan dan rasa tak percaya yang ia rasakan saat teh yang ia minum kemarin mendadak membuat tubuhnya terasa aneh dan berakhir dengan tidur bersama Olivia.Ia mengusap pelipis. "Sial, kenapa kepikiran Celia lagi."Ketukan pelan pada pintu ruangan, mengusik pikirannya.“Siapa?!” Suaranya sedikit lebih keras dari yang ia maksudkan.“Renata, Pak!” seru suara yang sudah tidak asing di telinganya.“Oh. Masuk aja! Ada apa, Ren?”Pintu terbuka pelan, Renata masuk dengan senyum yang terlihat ragu. “Pak, ada Mas Hadi dari Blissful Wedding. Mau ketemu langsung dengan Bapak. Saya sudah bilang Bapak sedang sibuk, tapi … sepertinya beliau nggak akan pergi sebel
Di dalam kamar yang diterangi cahaya matahari lembut, Olivia duduk di tepi ranjang sambil memandangi foto lama ayahnya. Foto itu sudah sedikit pudar di beberapa sisi, namun tetap menyimpan banyak hal yang tak pernah terjawab. Ia menyapunya perlahan dengan ujung jarinya, seperti mencoba menghapus jarak bertahun-tahun yang terlewat. Sejak kecil ia sering bertanya-tanya, Kenapa tidak ada satu pun fotonya di rumah? Jawaban itu baru benar-benar ia mengerti setelah dewasa: ayahnya meninggalkan ibunya, dan ibunya lebih memilih menyingkirkan semua jejak yang bisa membuat luka itu terulang. Pintu kamarnya tiba-tiba terbuka. Adrian muncul di ambangnya dengan senyum lebar, langkahnya terhenti begitu melihat ekspresi Olivia yang mengerut pilu. Senyumnya meredup, berganti khawatir. Tapi begitu tatapannya jatuh ke foto di pangkuan gadis itu, ia menghela napas pelan. Mengerti. Pria tampan itu mendekat, duduk di sampingnya. Permukaan kasur amblas sedikit menandakan berat tubuhnya. Tangannya terul
Setelah selama hampir dua jam berkendara menembus kemacetan dengan gelisah dan merasa tubuhnya mendapatkan energi yang berlebihan, Adrian akhirnya menginjakkan kaki di bawah carport rumahnya. Tepat di depan pintu ruang tamu, Olivia telah menantinya dengan tatapan manis karena baru saja selesai menyiapkan makan malam untuk kekasihnya itu."Kamu kok tau banget sih aku udah selesai masak?" tanya Olivia, mendekati Adrian yang tampak berkeringat.Tanpa memberi kesempatan untuk menjawab, Adrian langsung berlari mendekati Olivia, memegang tangannya dengan cepat dan menyeretnya masuk ke dalam rumah. "Eee... tunggu, Mas. Buru-buru amat! Kamu udah kelaparan?" taya Olivia, kebingungan.Adrian, dengan napas yang terengah-engah dan kepanikan di wajahnya, buru-buru menjawab, "Kamu harus tolong aku, Sayang!""Tolong apa?" Olivia mempertanyakan, semakin bingung dengan situasi yang semakin tidak jelas."Aku, aku kepanasan, Sayang! Ada... ada sesuatu yang salah dengan tubuhku. Aku seperti butuh... pel
Celia menatap pantulan dirinya di cermin toilet kantor Blissful Wedding Organizer. Cahaya lampu putih di atas kepalanya membuat kulitnya tampak lebih halus, lebih bercahaya—seolah ia sedang menyiapkan wajah untuk sebuah pertunjukan.Bibirnya terkatup rapat saat ia menggoreskan lipstik merah merona dengan presisi. Warna yang sengaja ia pilih: tegas, berani, dan tak mungkin diabaikan. Rambut panjangnya ia biarkan tergerai lembut di bahu, bergelombang natural seakan tanpa usaha, padahal ia sudah menghabiskan lima belas menit meluruskannya ulang.Perempuan bertubuh tinggi itu menarik bagian kerah tanktop putihnya sedikit ke bawah hingga sesuatu yang bulat mengintip sebelum kembali menyelimuti tubuhnya dengan blazer biru muda yang anggun. Tampak profesional, namun tetap menggoda. Keseimbangan yang ia cari.“Perfect…” bisiknya sambil mengamati dirinya dari samping. “Adrian pasti tergoda melihat susu yang besar ini.”Meski cara yang dipakai Celia mungkin kotor, namun hatinya tetap berdebar.
Olivia membeku sejenak. "L-lebih, Mas?" tanyanya dengan ragu, seolah setengah takut akan jawaban yang akan ia dengar.Adrian menatapnya dalam, tatapannya begitu pekat hingga membuat dunia seolah menyempit hanya untuk mereka berdua. "Iya, Sayang," bisiknya pelan, suaranya berat namun lembut, "Hukuman yang lebih, karena kamu nakal."Belum sempat Olivia menyusun kata, jemari hangat Adrian menyusuri pipinya perlahan, seolah ingin menghafal setiap lekuk wajahnya. Sentuhan itu turun ke leher, membuat bulu halus di sekitar tubuhnya meremang, lalu meluncur lembut ke lengan Olivia yang masih terangkat di atas kepala.Jantung Olivia berdebar tak terkendali. Sorot mata Adrian membuatnya semakin tak kuasa, seolah pria itu tengah menikmati setiap detik posisinya yang pasrah."Mas..." panggilnya lirih, nyaris seperti bisikan."Hmm, apa?" Adrian menunduk sedikit, wajah mereka kian dekat."Please jangan siksa aku," bisiknya lagi, matanya bergetar menahan harap.Adrian tersenyum samar, penuh rahasia.







