Home / Romansa / Hasrat Terpendam Papa Tiriku / Bab 07. Masa Lalu Ingin Kembali.

Share

Bab 07. Masa Lalu Ingin Kembali.

Author: eslesta
last update Last Updated: 2025-10-07 17:05:27

Mobil sedan Adrian berhenti di depan Restoran Solaire, kebanggaannya sendiri. Tempat bergaya modern-industrial dengan sentuhan tropikal itu terletak di jantung Jakarta Selatan. Dindingnya didominasi kaca, dihiasi tanaman gantung yang menjuntai di sepanjang jendela, menciptakan suasana segar sekaligus minimalis.

Restoran itu adalah hasil perjuangannya melewati jatuh bangun kehidupan pasca perceraian dengan sang istri.

"Aku tunggu kabar dari Olivia di sini saja," bisik Adrian sambil melepaskan seatbelt dan melirik jam tangan. "Baru jam setengah sembilan pagi. Semoga wawancaramu berjalan lancar, Via."

Senyum manis Olivia yang tadi di dalam mobil tiba-tiba terlintas kembali di pikirannya. Sebelum pikirannya melayang terlalu jauh, Adrian mematikan mesin dan turun dari mobil.

"Pagi, Pak Adri!" sapa Suryadi, petugas keamanan yang berdiri di depan pos satpam. Pria berbadan tegap itu melambaikan tangannya.

"Pagi juga, Pak Suryadi." Adrian membalas dengan senyum kecil dan anggukan kepala, merasa sedikit terhibur oleh sapaan hangat itu.

"Tumben sudah datang jam segini?"

"Iya, Pak. Kebetulan tadi ada urusan di dekat sini. Saya masuk dulu, Pak."

"Siap 86, Pak Adri."

Adrian hanya membalas dengan senyum tipis sambil mendorong pintu utama restoran miliknya. Kakinya melangkah pelan di atas lantai beton halus yang dingin. Meja-meja kayu beraksen logam hitam masih kosong, menunggu tamu yang nanti akan datang. Dari langit-langit, lampu gantung kekuningan menggantung rendah, memancarkan cahaya hangat yang memeluk ruangan dengan elegan.

Begitu dia melangkah masuk, Renata, manajer restoran dengan seragam hitam yang elegan, tiba-tiba berhenti di depan meja, mata membesar sedikit. "Loh?! Pak Adri? Bukannya Bapak hari ini kerja dari rumah? Kenapa datang ke sini, Pak?" sapanya sambil melangkah mendekat, heran namun tetap sopan.

Adrian mengangkat bahu ringan, masih tersenyum hangat. "Saya ada urusan, Ren."

Renata menatapnya sejenak lalu menawarkan, "Oh, begitu. Atau Bapak mau pimpin briefing pagi ini? Semua staf sudah berkumpul di ruang meeting."

Dia menggeleng halus, "Ehm, nggak usah. Kamu saja yang pimpin. Mungkin saya tidak akan lama di sini. Hanya menunggu kabar dari seseorang."

"Oh, baik Pak. Saya tinggal dulu kalau begitu." Renata membungkuk sedikit lalu memutar badan, langkahnya ringan menuju ruang meeting yang dekat dapur.

"Silakan, Ren."

Adrian menarik napas dalam, matanya menatap taman kecil dengan air mancur yang berkilauan di kejauhan. Dengan langkah tenang, dia melewati koridor, membiarkan suasana pagi itu menyapu pikirannya hingga sampai di ujung bangunan, di mana dia akhirnya berhenti.

Adrian mendorong pintu bercat hitam bertuliskan “owner” dengan plakat emas yang mengilap. Begitu masuk, dia segera menyalakan lampu dan pendingin udara, lalu menyibak tirai jendela yang menghadap ke taman vertikal di luar—sebuah oasis kecil yang jauh dari hiruk-pikuk restoran.

Napasnya pelan-pelan terhela. "Hmm, aku butuh kopi," gumam Adrian lirih.

Dia berjalan ke sudut ruangan, menghidupkan mesin kopi dengan cepat. Tak lama, aroma kopi hitam segar menguar memenuhi ruangan. Secangkir kopi terisi penuh di gelas favoritnya, dan Adrian mengangkatnya pelan sambil tersenyum kecil, "Pagi yang sempurna."

Dia membawa cangkir itu ke meja kerja, menyalakan laptop, lalu duduk.

Setengah jam berlalu. Adrian duduk termenung, tangannya tak henti mengaduk pelan kopi hitam yang kini sudah mulai dingin. Ponsel di samping cangkir berkali-kali menyala, tapi pesan dari Olivia tak kunjung datang. Ia menyandarkan punggung ke kursi, menatap kosong ke langit-langit.

"Apa dia gugup? Atau malah... kenapa belum ada kabar sama sekali?" bisiknya, rasa cemas merayapi dada.

Pikirannya dipenuhi kemungkinan. Hari ini hari penting bagi Olivia—interview kerja pertamanya setelah kepergian Sheila. Dan entah mengapa, Adrian merasa jauh lebih tegang dibanding hari-hari ketika ia sendiri dulu menjalani wawancara bisnis atau pitching investor.

Adrian meraih ponsel lagi, membuka layar pesan. Masih kosong. Tak ada kabar apapun dari Olivia.

Namun sebelum ia sempat kembali tenggelam dalam pekerjaan, dering telepon mendadak memecah keheningan.

Adrian menoleh ke layar yang menampilkan nama itu, dan bahunya menegang tanpa sadar: Gista Ayuningtyas.

Dengan pelan, Adrian mengangkat telepon. Suara di ujung sana menggema, bergetar oleh cemas.

"Mas Adri, bisa ke rumah sebentar nggak? Nevan panas tinggi dari tadi malam. Aku udah kasih obat, tapi belum turun juga. Aku takut … bisa antar ke dokter? Papi sama Mami sedang di luar kota. Aku sendirian di rumah, Mas."

Adrian terdiam sejenak, menarik napas dalam dalam mencoba menguasai dirinya. "Sekarang kondisi Nevan gimana?" tanyanya perlahan.

"Barusan tidur, tapi dia rewel terus. Mas Adri, aku takut banget. Tolong ya."

Kalimat yang terucap membuat lutut Adrian terasa lemas. "Aku ke sana sekarang."

"Makasih, Mas. Aku tunggu."

"Hmm, kabari kalau ada sesuatu."

"Iya, Mas."

Setelah menutup telepon, ia meraih kunci mobil dengan tangan yang sedikit lebih mantap. Sambil mengirim pesan instruksi singkat ke manajer restoran, langkahnya sudah terburu keluar dari ruangannya. Di dalam dadanya, dua rasa bertubrukan: khawatir pada Nevan dan rasa tak enak hati karena belum bisa tahu kabar Olivia.

"Via, semoga interview-mu lancar. Aku harus lihat kondisi anakku dulu," bisiknya lirih, sebelum mendorong pintu keluar restoran, menuju mobil yang terparkir di depan restoran.

***

Mobil Adrian melaju kencang menuju rumah wanita yang pernah mengisi masa lalunya. Belum genap satu jam, sedan itu berhenti di depan rumah yang sama seperti dulu—minimalis modern, dengan cat abu-abu dan putih yang tak berubah.

Adrian menekan tombol lepas seatbelt, lalu mematikan mesin. Ia keluar dengan langkah cepat, tangannya segera mengayun membuka pintu pagar.

Dadanya terasa berat, selalu seperti ini saat kakinya melangkah di halaman rumah milik orang tua Gista.

Ayunan besi yang sering ia pakai bermain bersama Nevan, berdiri kokoh, seakan selalu menunggu kehadirannya. Burung peliharaan mantan bapak mertuanya berkicau lirih, suaranya lembut, tapi malah menambah ketegangan yang menyelimutinya.

"Assalamualaikum," ucap Adrian.

Pintu rumah terbuka tiba-tiba, memperlihatkan Gista dengan rambut diikat seadanya, wajahnya yang lelah tetap memancarkan kecantikan yang tak pudar. Matanya tajam, penuh kecemasan, seolah menyimpan beban sejak semalam.

"Dia di kamar. Tidur, tapi gelisah banget," ucap Gista pelan, tubuhnya segera berbalik dan berjalan masuk tanpa menunggu balasan.

Adrian mengikutinya, langkahnya mantap namun bibirnya terkatup rapat. Matanya menelusuri setiap sudut rumah yang dulu pernah menjadi saksi bisu cerita mereka. Penuh kenangan, tapi juga menyimpan luka yang enggan dibuka kembali.

Mereka sampai di kamar kecil di ujung lorong. Nevan terbaring meringkuk, hanya selimut tipis yang menyelimuti tubuhnya. pipinya kemerahan, dan hela napas berat terdengar di antara keheningan ruangan. Keringat membasahi rambutnya yang tipis, sementara tangan kecilnya bergerak-gerak cemas, seperti menolak mimpi buruk yang terus menghantui.

Adrian duduk perlahan di tepi ranjang, merunduk supaya tak mengagetkan. "Nevan, ini Ayah, Nak..." bisiknya penuh hati-hati.

Anak kecil berusia empat tahun itu mengerang pelan, matanya tetap tertutup rapat. Adrian mengusap dahinya, alisnya berkerut merasakan suhu badan putranya.

"Masih panas," gumamnya seraya berdiri, lalu menatap Gista dengan pandangan serius namun tenang.

"Iya, Mas. Suhunya belum turun."

"Kamu berikan obat apa?"

"Paracetamol."

"Apa dia makan sembarangan sebelum ini?"

"Maaf, Mas. Aku kemarin habis dari Bogor dua hari, Mami sama Papi yang jaga dan waktu kemarin sore aku pulang, badannya belum hangat. Aku belum sempat tanya orang tuaku soalnya mereka keburu berangkat ke Bandung dan mungkin sekarang sedang dalam perjalanan pulang."

"Apa?! Kamu pergi dua hari dan nggak bawa Nevan?"

"Aku ada urusan mendadak di Bogor."

"Ya tapi kenapa kamu nggak bawa Nevan? Dia masih empat tahun, Ta. Masih butuh ibunya," kesal Adrian.

Gista ragu. "Eum... itu karena aku a—"

"Ayo ke klinik langganan. Biar Nevan dicek darahnya sekalian," potong Adrian datar, hampir seperti bicara ke rekan kerja.

Gista mengangguk pelan, menundukkan kepala seolah mengumpulkan keberanian. "Mas Adri…" suaranya hampir berbisik, nyaris tak terdengar, "Aku dengar soal … Sheila. Aku turut berduka. Aku nggak tahu harus bilang apa, tapi semoga Mas tabah."

Adrian terpaku sesaat, tatapannya dingin, tidak menatap balik atau menunjukkan emosi. Ia hanya mengangguk singkat. "Terima kasih," katanya pendek.

Gista menatap punggung pria itu, ada rasa bersalah yang tak pernah benar-benar hilang di matanya. Tapi ia tahu, bukan saatnya bicara soal masa lalu. Adrian sekarang bukan lagi suaminya—ia hanya ayah dari anak mereka.

Tak lama kemudian, Adrian membawa Nevan yang digendongnya dengan hati-hati. "Kita jalan sekarang," katanya, nada dingin tetap melekat saat ia melangkah menuju mobil.

Gista mengikuti dengan langkah pelan, menutup pintu perlahan. Di luar, terik matahari terasa menyengat, tapi di antara mereka, hawa dingin seolah membeku tanpa kata.

***

Mobil yang dikemudikan Adrian akhirnya melambat di depan Klinik Kesehatan dekat rumah Gista. Mereka turun tanpa banyak bicara, langkah mereka berat menembus sunyinya tempat itu. Di dalam, lampu lembut menerangi ruangan dengan aroma antiseptik yang samar tapi menusuk hidung. Klinik sepi, hanya mereka bertiga, sementara suara AC berdengung pelan seperti mengisi keheningan.

Adrian menggendong Nevan dengan hati-hati. Anak kecil itu tampak lemah, wajahnya memerah dan tubuh mungilnya terasa berat di pelukan ayahnya. Gista mengikutinya, langkahnya pelan dan matanya yang sayu tak berani menatap ke arah Adrian. Rasa lelah jelas terlukis di wajahnya, tapi Adrian tetap fokus pada Nevan, seolah menutup diri dari segala hal lain.

Setelah selesai dengan urusan administrasi, mereka diarahkan masuk ke ruang periksa.

Nevan yang berumur empat tahun, bersandar lemah di bahu Adrian, napasnya memburu. "Ayah…" suara kecilnya hampir tak terdengar, diselimuti rasa takut dan gelisah, "jangan tinggalin…"

Adrian duduk dengan hati-hati, membalas bisikan itu dengan mengelus rambut Nevan perlahan, sorot matanya menghangat.

"Ayah di sini, Nak. Nggak akan pergi ke mana-mana," ucapnya, suaranya lembut penuh kasih sayang yang berbeda jauh dari dingin dan tegangnya saat berbicara dengan Gista. Di sini, ia benar-benar ayah, tulus dan murni.

Di sebelahnya, Gista memandangi mereka diam-diam. Ada getaran asing di dadanya. Dulu, itu tempatnya—di samping Adrian. Tapi dia yang meninggalkan saat pria itu tak punya apa-apa. Sekarang, dia hanya jadi penonton.

Pintu ruang pemeriksaan terbuka perlahan. Seorang dokter paruh baya muncul dengan jas putih rapi, stetoskop menggantung di lehernya. Matanya lembut saat menyapa, "Selamat siang, saya Dokter Agung."

"Siang, Dokter," kata Adrian.

"Adik Nevan panas, ya?"

Gista segera menyahut, "Iya, Dok. Sejak semalam sudah saya beri obat, tapi belum juga turun."

Dokter Agung mengangguk tenang, kemudian mempersilakan, "Baik, mari saya periksa dulu. Adik Nevan, coba kamu berbaring di bed, ya."

Adrian dengan hati-hati mengangkat tubuh kecil Nevan ke atas bed pemeriksaan, memastikan kepala putranya terdukung dengan lembut.

Dokter mulai memeriksa, matanya cekatan meneliti tenggorokan dan telinga Nevan, lalu mendengarkan detak jantung dan mencatat suhu tubuhnya: 38,7 derajat.

"Kita ambil sampel darah ya, untuk memastikan tidak ada infeksi atau penyakit berat," kata Dokter Agung sambil menyiapkan alat suntik.

Nevan mulai menatap sekeliling dengan mata berkaca-kaca, napasnya bergetar kecil. Adrian segera menggenggam tangan mungil itu erat, suaranya lembut, "Lihat Ayah, jangan lihat jarumnya, ya. Abis ini Ayah bakal beliin mobil-mobilan. Kamu katanya mau mobil bus bertingkat, kan?"

Nevan hanya mengangguk lemah.

"Anak Ayah pasti kuat."

Nevan menahan air mata. Jarum masuk, tubuhnya sedikit menegang—tapi dia diam. Adrian tak lepas dari sisinya.

Gista berdiri jauh dari ranjang. Tak ikut menenangkan. Tak ikut menggenggam tangan.

Selesai pemeriksaan, mereka bergeser ke ruang tunggu yang sunyi. Nevan sudah tertidur lelap di pangkuan Adrian, tangannya mencengkeram ujung baju ayahnya seolah takut terlepas. Adrian memandangi putranya dengan mata sayu, lalu ponselnya bergetar. Nama Olivia terpampang di layar.

Ia menatap beberapa detik sebelum mengangkatnya. Wajah Adrian tetap datar, tapi suara yang keluar lebih lembut, penuh perhatian.

"Halo?" jawabnya.

Di seberang sana, suara Olivia ceria, sedikit bersemangat. "Om, aku udah selesai. Interview-nya tadi... lumayan lancar sih. Sepupu Mariska, Mas Bastian itu, ternyata santai banget orangnya."

Adrian tersenyum tipis, matanya menatap ke kejauhan seakan mengangguk bangga. "Kamu pasti tadi kelihatan percaya diri. Kamu udah usaha keras. Semoga bisa dapat kabar baik, ya."

Olivia terdengar gugup tapi tulus, suaranya penuh rasa terima kasih. "Iya… makasih ya, Om. Makasih banget buat semua bantuannya. Itu berarti banget buat Via."

Dari kursi seberang, Gista menoleh sebentar ke Adrian, tak mendengar kata-katanya dengan jelas. Tapi sorot mata Adrian, yang hangat dan penuh perhatian, berkata cukup. Ia sedang bicara dengan seseorang yang dia peduli. Benar-benar peduli.

"Pulang pelan-pelan, ya. Maaf aku nggak bisa jemput, aku ada urusan mendadak," ucap Adrian sebelum menutup telepon.

Setelah itu, keheningan menggantung sesaat, lalu Gista membuka suara, suaranya pelan tapi penuh tanya.

"Kamu habis terima telepon dari siapa?" tanyanya, matanya menatap Adrian yang mengusap punggung putra mereka dalam pelukannya.

Adrian tak merespon banyak, pandangannya ke depan. "Bukan urusanmu," jawabnya datar.

Gista menarik napas dalam, mencoba menekan rasa penasaran. "Dia anak Sheila, ya?"

Sekali lagi, Adrian hanya mengangguk tanpa menoleh.

"Kamu peduli banget sama dia?" suara Gista melembut, tapi ada sedikit getir.

Tanpa menoleh, Adrian menjawab singkat, "Dia sedang terpuruk, kehilangan ibunya. Butuh ditemani, seseorang harus peduli."

Gista menelan saliva, tak membalas. Ia tahu kalimat itu juga ditujukan padanya—tentang dulu, saat ia memilih pergi, saat Adrian hanya seorang suami pengangguran yang sedang runtuh.

Beberapa saat kemudian, hasil pemeriksaan keluar. Dokter mengumumkan tak ada penyakit serius. Nevan bisa pulang dengan obat yang sudah disiapkan. Adrian sibuk mengambil obat itu dari petugas dan melakukan pembayaran.

Setelahnya, Adrian mendekati Gista yang menunggu di kursi besi, menggendong Nevan yang masih tertidur lelap.

"Obatnya udah selesai aku ambil," kata Adrian cepat, "Ayo, aku antar kalian pulang."

Gista mengangguk pelan, tanpa berkata lebih. Hanya sunyi yang mengikut langkah mereka keluar dari klinik dan wanita berambut panjang itu kini menyesal melepaskan Adrian hanya karena ego.

Bersambung...

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Hasrat Terpendam Papa Tiriku   Bab 07. Masa Lalu Ingin Kembali.

    Mobil sedan Adrian berhenti di depan Restoran Solaire, kebanggaannya sendiri. Tempat bergaya modern-industrial dengan sentuhan tropikal itu terletak di jantung Jakarta Selatan. Dindingnya didominasi kaca, dihiasi tanaman gantung yang menjuntai di sepanjang jendela, menciptakan suasana segar sekaligus minimalis. Restoran itu adalah hasil perjuangannya melewati jatuh bangun kehidupan pasca perceraian dengan sang istri. "Aku tunggu kabar dari Olivia di sini saja," bisik Adrian sambil melepaskan seatbelt dan melirik jam tangan. "Baru jam setengah sembilan pagi. Semoga wawancaramu berjalan lancar, Via." Senyum manis Olivia yang tadi di dalam mobil tiba-tiba terlintas kembali di pikirannya. Sebelum pikirannya melayang terlalu jauh, Adrian mematikan mesin dan turun dari mobil. "Pagi, Pak Adri!" sapa Suryadi, petugas keamanan yang berdiri di depan pos satpam. Pria berbadan tegap itu melambaikan tangannya. "Pagi juga, Pak Suryadi." Adrian membalas dengan senyum kecil dan anggukan kep

  • Hasrat Terpendam Papa Tiriku   Bab 06. Harapan Baru.

    Olivia berdiri diam di depan cermin, matanya menelusuri bayangannya sendiri yang baru saja tertangkap. Kemeja putih lembut yang kemarin ada di dalam kotak kini melekat pas di tubuhnya, seperti dibuat khusus untuknya. Celana abu tua serasi memberikan kesan rapi dan profesional, sementara rambut yang ia biarkan terurai sebagian disisir rapi dan ujungnya sedikit ditiup blow. Make up tipis menghidupkan rona segar di wajahnya, dan sepasang kacamata bening menghias hidung, memberi kesan cerdas sekaligus dewasa. Olivia menarik napas dalam, dadanya mengembang penuh keyakinan meski hatinya masih terselip keraguan kecil. "Oke, kamu bisa. Tundukkan siapapun HR di balik meja itu, Via," gumamnya pelan, menatap bayangan sendiri dengan senyum kecil yang berusaha menyingkirkan gelisah. Olivia melirik arlojinya. "Sebaiknya aku sarapan dulu. Masih ada waktu, interview aku pukul sembilan." Gadis cantik itu menatap cermin sekali lagi untuk memastikan penampilannya, lalu memutar tubuhnya menuju pintu

  • Hasrat Terpendam Papa Tiriku   Bab 05. Mulai Bangkit.

    Langkah kaki Olivia terdengar pelan menyusuri setapak batu di taman belakang rumah Adrian. Udara pagi masih sejuk, dingin lembut yang membuat napasnya terasa segar. Sinar matahari menembus celah dedaunan trembesi, berkilau malu-malu seperti ingin mengintip rahasia hari baru. Di kejauhan, kolam kecil berisi ikan mas tenang sekali, airnya nyaris tak beriak sama sekali.Karena udara cukup panas, Olivia mengenakan kaus longgar dan celana katun abu, rambutnya dikuncir seadanya. Wajah polos tanpa riasan itu menampakkan ketenangan yang berbeda dari biasanya. Pagi itu, hatinya terasa sedikit lebih ringan—seolah ada beban yang perlahan mencair. Mungkin karena dia sudah mulai bisa menerima keadaan sedikit demi sedikit, ditambah kehadiran Mariska yang menjadi tempat curahan hatinya.Namun, meski sudah lebih dari seminggu tinggal di rumah Adrian, Olivia masih memilih diam, menjaga jarak dengan lelaki itu. Tapi ada perubahan kecil yang tak terelakkan: ia mulai keluar kamar, ikut makan bersama, dan

  • Hasrat Terpendam Papa Tiriku   Bab 04. Rapuh.

    Hari ketiga di rumah Adrian masih sama sunyinya seperti dua hari sebelumnya. Dingin menusuk dan rasa canggung yang tak hilang dari udara. Olivia tetap memilih mengurung diri di kamarnya, jarang sekali turun sekalipun untuk makan. Adrian berusaha berpura-pura biasa saja, menyembunyikan ketegangan seolah itu bisa membuat suasana menjadi normal. Tapi sejak Sheila pergi, semua terasa hampa dan tak pernah benar-benar seperti sedia kala. Pagi itu, Olivia duduk membungkus tubuhnya dengan selimut di sudut tempat tidur. Jari-jarinya menggenggam ponsel yang menampilkan tujuh panggilan tidak dijawab pada Ruby. Dengan enggan, ia membuka room chat, melihat deretan pesan yang belum juga dibaca oleh sang Tante. "Nomornya aktif, tapi kenapa semua pesanku nggak terbaca?" gumamnya, suara pelan penuh kesal. Tarikan napas panjang mengisi dadanya. Matanya masih sembab, meski tak ada lagi air mata yang tersisa. Hatinya seperti ditinggalkan oleh siapa pun yang seharusnya datang tapi malah pergi menjauh.

  • Hasrat Terpendam Papa Tiriku   Bab 03. Masih Kehilangan.

    Rumah besar berlantai dua milik Adrian Fabian berdiri megah dalam balutan cahaya lampu taman yang hangat. Namun bagi Olivia, bangunan itu terasa lebih seperti penjara yang tak ia pilih, ketimbang rumah.Saat mobil Adrian berhenti di carport, Olivia turun tanpa banyak bicara. Ia hanya menenteng tas kecil, langkahnya pelan tapi tegas menuju pintu depan.Adrian membukakan pintu, mempersilakan dengan gerakan tangan yang diam dan sopan."Kamarmu di atas, lantai dua, yang paling ujung kiri. Sudah Mama kamu pilih sendiri waktu itu," ucapnya pelan, seperti berjalan di atas pecahan kaca."Oke.""Perlu aku antar?"Olivia hanya menggeleng, suara pendek. "Tidak, aku bisa cari sendiri.""Yakin?""Iya."Adrian menghela napas kecil, mencoba memecah keheningan. "Kalau butuh apa-apa, kamu bisa cari aku. Aku ada di ruang keluarga, ada beberapa hal yang harus aku kerjakan."Tanpa membalas, Olivia mengangguk kecil dan berlalu tanpa mengucap sepatah kata pun. Langkah kakinya bergema pelan di lantai marmer

  • Hasrat Terpendam Papa Tiriku   Bab 02. Berduka dan Kehilangan.

    Langit mendung bergelayut rendah sejak pagi. Udara dipenuhi kelembaban, aroma tanah basah, dan duka yang menggantung berat di udara. Tanah pemakaman wanita itu sunyi meski dipenuhi puluhan pelayat. Semuanya menunduk, seolah tak berani mengganggu kesedihan yang pekat di udara. Di barisan depan, Olivia berdiri tegak, tanpa payung, membiarkan gerimis jatuh membasahi rambut dan wajahnya yang pucat. Kain hitam membungkus tubuhnya, sementara matanya menatap kosong ke arah liang lahat yang siap digunakan. Dari kejauhan, Adrian berjalan dengan langkah gontai. Koko putih dan celana hitamnya tampak kontras dengan sorot matanya yang hampa, seolah beban dunia menekannya. Tangannya gemetar saat ia mengangkat keranda berisi jenazah Sheila, yang dibungkus kain kafan putih bersih. Perlahan ia mendekati lubang liang lahat, bersama para pelayat pria lain. Dengan hati-hati, mereka menurunkan keranda itu. Adrian pun ikut masuk ke liang lahat, mengiringi sang istri sampai ke peristirahatan terakhir

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status