"Uhuk! Jadi kau membawa iparmu itu ke apartemenmu? Kau benar-benar serius dengannya?"Matthias menenggak minumannya sembari menatap Mike yang terdesak setelah mendengar ceritanya. Mereka kini ada di salah satu bar setelah sebelumnya, dia pergi mencari orang yang bisa membantu mengurus perceraian Luciana dan Felix. Itu memakan waktu cukup lama, sampai dia kemudian baru bertemu dengan Mike sore harinya. Di sini, saat ini. Banyak hal yang mereka bahas, sampai tak terasa, hari mulai gelap. "Ya, aku serius.""Itu mengejutkan, Matthias. Ini benar-benar gila. Aku tidak menyangka kisah rumah tanggamu begitu rumit, tapi baguslah kalau sudah ketahuan." Mike mengangguk lega, meski dia terkejut setelah mendengar kisah perselingkuhan Victoria dengan suami Luciana. Itu diperumit dengan perasaan Matthias yang ternyata menyukai Luciana. "Tapi ... apa tidak terlalu kejam kau menunjukkannya langsung pada Luciana? Dia pasti sangat syok setelah melihatnya."Matthias diam sesaat. Teringat dengan Lucia
Keheningan menyelimuti perjalanan mereka yang entah ke mana. Luciana kini bersandar dan menatap jendela dengan wajah murung. Ada luka dan kekecewaan yang luar biasa dia rasakan saat ini. Hatinya perih. Sakit dan dadanya sesak. Air mata menetes tanpa sadar setelah tadi dia coba menahannya. Ini terlalu mengejutkan. Dia hanya ingin rasa lelahnya dibayar dengan pelukan hangat dan senyum sang suami. Memperbaiki semua dan memulainya dari awal, tapi malah dia melihat sesuatu yang tak pernah dia duga. Luciana hanya bisa terisak sekarang. Menahan rasa kesal karena kebodohannya sendiri. Sampai sebuah tangan terulur dan menyodorkan sapu tangan ke arahnya. Dia menoleh dan melihat Matthias meliriknya. "Kau bisa menggunakannya. Menangislah sampai puas jika itu bisa membuatmu lega."Luciana meraih sapu tangan itu dan langsung menangis keras. Dia sesenggukan. "Aku benar-benar sangat bodoh. Aku memberinya kesempatan, tapi dia kembali mengkhianatiku. Aku menyesal percaya padanya."Luciana mengusap
Cincin emas sederhana yang pernah Felix sematkan di jarinya, kini menggelinding di lantai. Tepat di bawah kaki Felix yang terperangah. Wajah pria itu memucat. Menatap cincin dan wajah dingin Luciana bergantian. "L-luci, jangan bercanda. Aku tidak akan menceraikanmu, Sayang."Diambilnya cincin itu oleh Felix. Dia menatap nanar Luciana. "Aku masih sangat mencintaimu.""Cinta?" Luciana tertawa. Sinis. Dia melirik jijik pada Felix dan semua omong kosongnya. "Kau pikir aku akan percaya lagi dengan omong kosongmu? Mereka yang mencintai pasangannya, tidak akan pernah mengkhianatinya, dan kau ... kau sudah dua kali melakukannya!"Wajah Felix semakin ditekuk. Muram. "A-aku tahu aku salah. Aku minta maaf, Luci. Aku tadi merasa mabuk. Aku tidak tahu kenapa aku melakukannya. Aku terbawa suasana begitu saja.""Aku tidak mau mendengar alasanmu lagi, Felix." Luciana mendengkus tak peduli. Dia berbalik menghadap Matthias yang masih di sana dan menggenggam tangannya. "Ayo! Aku muak di sini.""Ya."Lu
Keheningan terjadi. Luciana kali ini menangkap basah perbuatan mesum suami dan adik tirinya. Dia tidak lagi menghindar seperti sebelumnya. Namun sialnya, melihat langsung adegan menjijikkan itu, matanya tiba-tiba memanas. Perih. Kedua tangannya mengepal. Mencoba berdiri dengan wajah tegak tanpa air mata, tapi... dia tidak bisa menahannya. Dia melihatnya langsung. Tubuh suaminya menempel dengan adiknya sendiri. "L-luci, aku bisa jelaskan!"Luciana menarik napas tajam ketika melihat Felix menarik diri dari tubuh Victoria yang bersandar di meja. Wanita itu terkesiap dan cairan menjijikan keduanya menetes, mengotori lantai dapur. Luciana ingin menjerit. Dia benar-benar ingin mengamuk dan melempari keduanya dengan apa pun, tapi tiba-tiba, matanya menjadi gelap. Dia refleks menyentuhnya dan menyadari itu adalah sepasang tangan yang menutup matanya. "Kau tidak perlu melihat hal yang menjijikkan dan mengotori matamu.""Matthias?"Luciana merasakan tubuhnya yang tegang, rileks perlahan.
"Kau akan memberikan itu untuk suamimu?"Matthias melirik Luciana yang memegang kotak kecil berbungkus pita berwarna merah di pangkuannya. Dia tahu apa yang ada di dalamnya. Sebuah jam tangan yang sempat dikira akan diberikan padanya, karena wanita itu sempat memintanya membantu memilih. "Iya, ini untuk Felix. Jam tangannya rusak. Aku ingin memberikannya hadiah."Luciana tersenyum tipis. Menatap kado kecil darinya untuk sang suami. Dia sudah memutuskan untuk mulai menumbuhkan kembali kepercayaannya pada Felix.Tidak akan ada sakit hati. Tidak akan ada lagi tembok tinggi. Dia akan berusaha mengikhlaskan semuanya dan merajut kembali rumah tangganya. Felix juga masih mencintainya dan cemburu pada Matthias. Dia akan percaya kalau Felix akan setia padanya seperti janji pria itu. "Dasar bodoh.""Apa? Kamu mengatakan sesuatu?"Luciana menembak langsung ke arah Matthias. Menatap pria itu dengan mata memicing. Dia sepertinya mendengar umpatan pria itu. "Kau bodoh."Luciana melongo. Dia ber
"Ughhh ... shhh ...."Luciana refleks memejamkan mata dan menengadah. Menahan rasa perih saat tangan Matthias membersihkan lututnya yang terluka. "Apa itu sakit?"Matanya kembali terbuka. Dia menunduk dan menatap Matthias dengan bibir mendesis. Kepalanya menggeleng. Walau rasa sakit cukup mengganggu, dia mencoba melawannya. "Tidak terlalu. Sedikit perih.""Ini akan segera sembuh."Luciana mengangguk dan melihat Matthias meniup luka itu, lalu mulai memberinya obat sebelum akhirnya menutup lukanya. Matanya tak berpaling sedikit pun. Dia mengamati bagaimana iparnya begitu serius merawatnya. Luciana harusnya melakukannya sendiri, tapi Matthias memaksa membantunya. Tak peduli bagaimana dia menolak pria ini, Matthias begitu perhatian padanya. Kenapa? Sebenarnya apa yang istimewa dari dirinya sampai pria sehebat ini bisa menyukainya? Meski Luciana sudah mendengar penjelasannya, tetap saja dia masih ragu. Masih ada begitu banyak wanita yang memiliki kelebihan dibanding dirinya. Kenapa M