Masuk“Maafkan saya, Tuan Muda!” Ariella berujar panik.
Irisnya pun melebar saat melihat tangan Lucas memerah. Dia buru-buru membereskan cangkir, lalu beranjak lebih dekat ke suaminya.
“Tuan Muda, tangan Anda!”
Ariella berniat merengkuhnya, tapi Lucas langsung menampik dengan sengit.
“Enyahlah!” sentak pria itu memicu Ariella tertegun.
Sorot matanya yang tajam, sungguh menunjukkan amukan tertahan. Apalagi dia merasa terus mendapat sial tiap kali bersama Ariella.
“Tapi tangan Anda terluka. Saya akan—”
“Singkirkan benda itu dan keluarlah dari sini!” sambar Lucas amat tegas.
Raut wajahnya tampak berang, sungguh membuat Ariella semakin menciut. Pria itu benar-benar kebak amarah, hingga mustahil bagi Ariella untuk bicara.
Wanita itu menunduk takut seraya bergumam, “sa-saya mohon maaf, Tuan Muda.”
Tangannya meraih cangkir dengan gemetar. Was-was bila sang suami kembali marah padanya.
Begitu Ariella berlalu, Lucas pun meraih tissue dan mengusap noda di sekitar meja. Saat itulah dia baru sadar, bahwa punggung tangannya kian merah dan panas. Hal yang sama terasa juga di perutnya. Ya, agaknya kopi tadi juga menumpahi perut bawahnya.
Benar saja, ketika Lucas melepas kemeja putih itu, kulit perutnya nyaris melepuh.
“Aish, sialan!” makinya sambil mengernyit.
Dia harusnya segera mengalirkan air untuk mendinginkan luka.
Bukannya ke kamar mandi, Lucas justru menarik laci dan meraih rokok dari sana. Namun, saat hendak menyulutnya, tiba-tiba pintu ruangan itu terbuka lagi.
Ariella muncul dari sana sambil membawa wadah air dan handuk kecil.
“Mohon maaf, Tuan Muda. Sa-saya khawatir luka bakar Anda ….” Ucapan Ariella kembali tertelan saat menyadari Lucas telanjang dada.
‘Hah! Sejak kapan dia melepas pakaiannya?’ batin Ariella mengerjap tegang.
Tatapannya jatuh ke perut bawah Lucas dan sadar kulitnya tampak merah karena ketumpahan kopi juga. Sial, rasa bersalahnya karena membuat pria itu terluka, malah menempatkannya di jurang kecanggungan. Mau kembali pun pasti tidak sopan.
‘Tenanglah. Mungkin saja Tuan Muda akan memintaku keluar karena—’
“Kenapa diam? Bukankah kau kembali untuk merawat lukaku?!” tukas Lucas yang sekejap membuat Ariella membelalak.
Dia nyaris tak percaya, tapi ekspresi Lucas tak menunjukkan candaan.
Padahal tadi Lucas sendiri yang mengusir Ariella. Apa sekarang dia butuh bantuannya juga?
Sang wanita perlahan mendekat. Dia berdehem saat meletakkan wadah berisi air dingin itu ke meja.
“A-akan lebih baik jika Anda langsung mengalirkan air di kulit yang terluka, Tuan Muda,” ujar Ariella tanpa melirik suaminya.
Lucas pun melempar rokok ke asbak sembari menyambar sinis. “Lalu apa gunanya kau di sini?!”
Ariella menelan saliva dengan berat. Dia mulai memeras handuk yang dibasahi air dingin, tapi tampak kikuk saat berpaling ke arah Lucas.
“Ma-maaf, Tuan Muda,” katanya hendak mengompres.
Saat menyentuh tangan saja, Ariella sudah canggung bukan main. Dan kini dia harus mengompres bagian perut Lucas. Jarinya tampak gemetar, apalagi bagian yang terluka ada di bawah.
Setiap sentuhannya membuat perut pria itu berkedut, sungguh memicu Ariella tak nyaman. Bahkan mendadak handuk itu jatuh dari cekalannya.
“Ah!” Ariella buru-buru berlutut untuk mengambilnya.
Namun, belum sampai menyentuhnya, Lucas malah menginjak handuk tersebut.
Ariella seketika mendongak. Dari bawah, dia bisa melihat wajah angkuh suaminya.
“Cukup! Keluarlah sekarang!” tukas Lucas dingin.
Ariella tak menyahut. Justru dia bersyukur bisa segera lepas dari situasi ini. Dia pun bergegas keluar sambil membawa wadah tadi.
Ketika Ariella turun ke dapur, rupanya rekan-rekan pelayan sudah sibuk menyiapkan makan malam.
“Lihatlah, upik abu yang berlagak seperti Tuan Putri baru datang!” cecar salah satu rekan Pelayan.
Tatapan tajam sejumlah pelayan lainnya langsung terarah pada Ariella.
“Dia pasti benar-benar menganggap dirinya istri Tuan Muda Lucas. Padahal dia tetaplah Pelayan rendahan!” sahut seorang yang lain.
Pelayan itu menghampiri Ariella sambil mendorong troli.
“Bawa ini ke ruang makan. Nyonya Beatrice sudah menunggu!” tukasnya sinis.
Ariella tak menjawab, tapi dirinya mengambil alih troli itu tanpa protes. Ya, dia tak ingin membuat keributan lagi.
Begitu Ariella membawanya ke ruang makan, di sana baru ada Beatrice dan keponakannya-Chelsea.
“Permisi, Nyonya Besar,” tuturnya saat meletakkan hidangan ke meja.
Namun, ketika sampai di dekat Chelsea, wanita itu tiba-tiba bangkit dari kursinya. Tanpa diduga, Chelsea malah menyiram Ariella dengan air dari gelasnya.
“Hah? A-apa yang Anda lakukan, Nona?”
*** “Hasil pemeriksaan Ava sangat bagus, tapi Nyonya tetap harus memperhatikan kesehatan dan pola makan Nona Ava,” tutur Dokter usai menyerahkan hasil tes. “Saya mengerti. Terima kasih, Dokter,” balas Ariella sopan. Meski Ava hampir lulus dari sekolah menengah, Ariella tetap menganggap dia putri kecilnya. Setiap hari Ariella selalu memantau menu diet Ava. Dirinya takut hal buruk sekecil apapun menimpanya, bagaimana mungkin dia membiarkan Ava kuliah di luar negeri? Begitu keluar ruang dokter, perhatian Ariella tersita pada sejumlah suster yang mendorong brankar dengan cepat. Agaknya ada wanita yang hendak melahirkan. Tapi tatapan Ariella lebih fokus pada pria rambut pirang yang mengikuti dari belakang. Rupanya sangat familiar, Ariella sangat mengenalnya! ‘Damien?!’ batin Ariella tertegun. Sorot matanya mengikuti Damien sampai berbelok ke koridor. Tanpa sadar Ariella melangkah, hendak menyusul. Tapi dari belakang, Ava tiba-tiba memanggilnya. “Mommy!” Kaki Ariella sontak berhent
***“Kakak, Leah masuk, ya!” tukas bocah kecil berpakaian balet itu.Dia sedari tadi mengetuk kamar Ava, tapi tidak ada jawaban. Bahkan saat diam-diam membuka pintu, Leah juga tak menemukan sang kakak di sana.“Huh? Di mana Kak Ava?” gumamnya memindai sekitar. “Apa sedang mandi?”Senyum nakalnya langsung terkuar. Leah yang sejak kecil tampak riang, semakin berbinar saat melirik meja rias Ava.“Itu dia!” katanya antusias.Dia bergegas duduk di depan meja rias, maniknya membola mengamati koleksi alat rias Ava.“Hebat! Kak Ava punya semuanya!” Leah tersenyum puas. “Yang mana, ya? Aku harus cepat sebelum Kak Ava datang.”Tanpa ragu, dia menyabit salah satu lipstick. Sambil menatap cermin, Leah segera mengoles lipstick semerah cerry itu di bibirnya.Di tengah fokus Leah, tiba-tiba Ava keluar dari kamar mandi.“Adik kecil! Apa yang kau lakukan, hem?” tukas Ava melipat kedua tangan.“Aduh!” Leah yang terkejut, refleks melewatkan lipstick dari garis bibirnya.Ava yang melihatnya dari cermin se
‘Kondisi istri Anda cukup kritis. Kami akan terus memantaunya.’Ucapan Dokter setelah keluar ruang bersalin, masih terngiang di telinga Lucas.Semalaman pria tersebut menjaga Ariella yang tak kunjung sadarkan diri. Hingga pagi ini jari Ariella mulai bergerak. Tatapan Lucas seketika melebar, memeriksa istrinya.“Ariella?” Dia memanggil lembut.Sampai detik berikutnya sang istri mulai membuka mata. Sungguh, beton yang menghimpit dada Lucas seolah sirna.Dia bergegas bangkit dari kursinya sembari berkata, “istriku, kau bangun?”“Lucas ….”“Ya, apa kau merasa sakit?” sahut Lucas memeriksa. “Katakan padaku. Aku akan memanggil Dokter. ““Ba-bayi, bayi kita ….”Pria itu menggenggam tangan Ariella sambil menjawab, “tenang saja, Leah kita sangat sehat. Dia cantik sepertimu, istriku.”“Kau tahu? Ava sangat senang mendengar adiknya lahir,” tambahnya.“Lucas, aku mau melihat putri kita,” tutur Ariella.Ya, usai diperiksa oleh dokter, Lucas pun membawa Ariella ke kamar bayi. Pria itu menghentikan k
“Nick, kau datang?” tukas Ava tersenyum. Bocah lelaki itu berhenti tepat di hadapannya. Sambil mengatur napas yang terengah-engah, dia menyodorkan kotak kaca pada Ava. Ava menilik hewan kecil di dalamnya seraya berujar antuasias. “Wah … imutnya!” Tatapannya terpaku pada kura-kura kecil yang sudah lama ditunggunya. “Namanya Lily. Lihat, dia sangat menggemaskan. Sama sepertimu,” ujar Nicholas membuka tutupnya. Lucas yang mendengarnya seketika mengernyitkan kening. Dia tahu putrinya sangat cantik dan manis, tapi melihat anak laki-laki menggodanya terang-terangan, ini sungguh di luar dugaan. Begitu Ava fokus pada kura-kuranya, Lucas langsung memberi isyarat pada Nicholas agar mendekatinya.“Kenapa, Paman?” tanya bocah itu polos. Lucas melipat kedua tangan sembari bertanya tegas, “bocah kecil, dari mana kau belajar ucapan tadi?”“U-ucapan apa maksud Paman?” Nicholas tak paham.Sampai Lucas menaikkan sebelah alis, Nicholas baru menyadarinya. “Ah … soal Ava menggemaskan, ya?” Dia men
***“Bagaimana kondisi istri saya, Dokter?” Richard bertanya datar.Ya, tadi malam Beatrice dilarikan ke rumah sakit. Tubuhnya yang ambruk dari tangga, berguling hingga kepalanya membentur lantai dasar. Begitu ditilik ke bawah, dia sudah tak sadarkan diri. Gelenyar merah mengalir dari tengkuk dan sekitar keningnya.“Pasien mengalami cedera cukup fatal. Benturan yang keras memicu pendarahan di otak, Tuan,” tukas Dokter menjelaskan. “Kemungkinan pasien akan mengamali stroke, bahkan kesulitan bicara.”Richard mengembuskan napas panjang. Ekspresinya memendam kecewa.“Apa pasien bisa sembuh, Dokter? Bagaimana dengan terapi?”“Mungkin bisa dicoba, tapi mengingat kondisi pasien, pasti membutuhkan waktu lama,” sahut Dokter tadi.Begitu keluar dari ruang dokter, Richard sudah disambut sang putra. Lucas sengaja menunggu di luar, sebab dirinya tak mau berurusan dengan Beatrice.“Biarkan ayah melihatnya sebentar,” tutur Richard.Lucas hanya mengangguk. Dia paham, bagaimana pun juga ayahnya pernah
“Kau mencurigaiku?!” decak Beatrice mengerutkan kening. Dia berpaling pada Richard dan lantas melanjutkan, “Sayang, kau tahu sendiri, aku tidak pernah mencelakaimu. Bagaimana bisa Luke meragukanku?”Richard hanya mengangguk, sebab dia memang memercayai istrinya. “Ibumu benar, Lucas!” tukas Richard beralih menatap putranya. “Ayah sudah lama menunggumu. Sekarang keluarga kita sudah berkumpul, jadi jangan membuat masalah. Apalagi di depan putrimu!”“Jika benar itu obat, harusnya dia tidak cemas. Minum saja agar aku percaya!” sahut Lucas bersikeras. Beatrice diam-diam mengepalkan tangannya. Dia tak menyangka malam ini Lucas datang dan mengacaukan rencananya. ‘Brengsek! Dia sengaja menantangku!’ batin Beatrice penuh geram. ‘Jika aku terus menolak, Richard pasti curiga padaku!’Irisnya melirik ramuan obat tadi. Sungguh konyol karena racun itu jadi boomerang untuknya. ‘Aish, sial! Tidak ada cara lain. Jika harus mati, aku juga akan menyeretmu bocah bajingan!’ sambung Beatrice dalam hatin







