Pagi itu, sinar matahari mengintip malu-malu dari balik tirai jendela besar ruang makan. Cahaya keemasan menerobos masuk, menerangi meja panjang yang hanya ditempati oleh dua orang—Felix dan Emily.Waktu sudah menunjuk angka tujuh pagi. Udara masih terasa sejuk, aroma roti panggang dan kopi hitam memenuhi ruangan. Namun, tidak ada kehangatan dalam suasana pagi itu.Felix meletakkan sendoknya dan menyandarkan tubuhnya di kursi, menatap lekat ke arah Emily yang tampak tenggelam dalam pikirannya.Sudah sejak tadi istrinya hanya memainkan roti di piringnya tanpa benar-benar menyentuhnya. Tatapan matanya kosong, seolah pikirannya berada di tempat lain.Felix mengerutkan kening. Ia bukan pria yang gemar mencampuri pikiran orang lain, tapi ini berbeda. Emily adalah istrinya, dan sesuatu jelas mengganggunya pagi ini.Tak ingin terus bertanya-tanya, Felix akhirnya membuka suara."Emily?" panggilnya, suaranya terdengar dalam dan sedikit berat.Emily tersentak kecil, lamunannya buyar dalam sekej
Emily membeku. Jantungnya seakan berhenti berdetak sesaat.Felix mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, menatap istrinya lebih dalam. Suaranya terdengar lebih dingin ketika akhirnya ia bertanya:"Dan Marsha? Kau berpikir aku akan menikahinya setelah dia ditemukan?"Emily perlahan mengangkat kepalanya, menatap Felix dengan ragu. Dalam diam, ia mengangguk pelan."Ya. Karena Harland mengatakan itu padaku. Dia akan menemukan Marsha dan menikahkan dia denganmu."Felix terdiam sejenak, lalu terkekeh. Namun, tawa itu bukan tawa yang menyenangkan—suara itu terdengar dingin, nyaris menyeramkan. Ada sesuatu dalam sorot matanya yang berubah, sesuatu yang sulit ditebak."Kau percaya begitu saja pada apa yang dikatakan si tua bangka itu?" tanyanya, masih dengan nada mengejek.Emily mengangguk sekali lagi, kali ini lebih ragu-ragu. "Karena Harland mengatakan dengan sangat yakin bahwa kau akan menikahi Marsha begitu dia ditemukan. Dan pengantin sebenarnya adalah Marsha, bukan aku."Wajah Felix men
Asap rokok mengepul di udara, memenuhi ruangan dengan aroma tembakau yang menyengat.Di dalam markas yang remang-remang, Mark duduk santai di kursi kulit hitam, jemarinya dengan terampil memutar korek api yang belum lama ia gunakan untuk menyalakan rokoknya. Mata tajamnya menatap lurus ke depan, dingin dan tak terbaca.Langkah tergesa memasuki ruangan. Harland, pria paruh baya dengan wajah yang tampak lebih tua dari usianya, berdiri di hadapan Mark dengan raut penuh kegelisahan."Mark. Aku memohon bantuanmu." Suaranya terdengar serak, hampir seperti bisikan putus asa.Mark tidak langsung merespons. Ia menarik napas dalam, mengepulkan asap rokoknya ke udara, lalu mengalihkan pandangan malas ke arah pria yang berdiri di depannya."Ada apa, Harland?" tanyanya akhirnya, nada suaranya tetap dingin, seolah sama sekali tidak tertarik dengan masalah yang dibawa tamunya itu.Harland menelan ludahnya, kedua tangannya mengepal, menahan ketakutan dan ketegangan yang menghimpitnya."Anakku... anak
“Kita akan pergi ke mana, Felix?" tanya Emily dengan suara pelan, matanya menatap penuh tanya saat Felix menyodorkan sebuah dress berwarna putih tulang kepadanya."Ada pesta rekan kerjaku dua jam lagi. Segera ganti pakaianmu, kita berangkat tiga puluh menit lagi," jawab Felix dengan nada tegas, tanpa menyisakan ruang untuk penolakan.Emily menggigit bibirnya, hatinya berdebar. "Apakah aku harus ikut?" tanyanya, nyaris tidak percaya jika Felix benar-benar ingin membawanya ke acara itu.Felix menatapnya dengan sorot mata tajam yang sulit ditebak. "Semua orang sudah tahu bahwa kau adalah istriku. Lalu, jika aku tidak membawamu ke pesta itu, apa kau akan membiarkan para wanita murahan mendekati dan menggodaku?" ucapnya sinis, menimbulkan perasaan teraduk dalam dada Emily.Tanpa berpikir panjang, Emily menggeleng pelan. "Tidak! Aku akan segera ganti baju," katanya cepat, kemudian bergegas menuju kamar mandi dengan langkah tergesa.Setelah beberapa menit, Emily keluar dengan dress putih tul
Lampu-lampu kristal menggantung megah di langit-langit ballroom hotel mewah, memancarkan cahaya keemasan yang berpendar di antara ornamen-ornamen berlapis emas.Lantunan musik klasik dari orkestra live bergema lembut, berpadu dengan suara gelak tawa serta percakapan para tamu yang mengenakan busana terbaik mereka.Emily menatap sekeliling dengan mata berbinar. Gaun hitam elegan yang membalut tubuhnya terasa begitu pas, tetapi tidak ada yang lebih menyilaukan daripada pesta yang kini dihadirinya.“Woah. Pestanya benar-benar meriah,” gumamnya, nyaris tanpa sadar. Tak pernah sekalipun ia melihat kemewahan seperti ini sebelumnya—sebuah dunia yang terasa begitu jauh dari kehidupannya yang sederhana.Felix, yang berdiri di sampingnya dengan jas hitam yang disesuaikan dengan sempurna, segera menoleh padanya.Tatapannya tajam namun tidak sepenuhnya dingin. “Jangan memperlihatkan ketertarikanmu di sini, Emily. Kau akan dinilai buruk oleh para pengusaha sombong yang ada di sini.”Emily mengerja
“Kenapa kau bertanya seperti itu? Secara tiba-tiba?” tanya Emily, sedikit bingung dengan pertanyaan yang diberikan oleh suaminya itu.Felix, pria dengan sorot mata tajam dan wajah yang sulit ditebak ekspresinya, tetap duduk dengan santai di kursinya. Namun, ada sesuatu dalam caranya menatap Emily yang membuat wanita itu merasa aneh.“Hanya ingin tahu saja. Karena di dunia ini bukan hanya aku saja yang menginginkanmu,” ucap Felix, membuat Emily semakin bingung.Emily menghela napas panjang, mencoba mencari makna tersembunyi di balik kata-kata suaminya. Ia menatap Felix dengan pandangan penuh tanda tanya, namun pria itu tidak memberikan petunjuk apa pun.“Aku tidak tahu apa maksudmu bertanya seperti itu padaku. Tapi, yang jelas aku tidak akan bisa lepas darimu, kan? Andaikan ada orang yang menginginkanku dan mencintaiku, aku tidak akan bersamanya.” Suara Emily terdengar pelan, namun cukup tegas.Felix tidak merespons dengan cepat. Ia hanya menatap wajah istrinya tanpa berkedip, seolah s
Suasana hotel yang semula tenang mendadak berubah ketika dua bodyguard Felix ditemukan tidak sadarkan diri di dalam toilet. Tanpa ada yang menyadari, seorang pria misterius telah menyusup dan melumpuhkan mereka dengan obat bius.Sementara itu, Emily yang sedang berada di lobi tidak menyadari bahaya yang mengintainya. Tiba-tiba, seseorang mendekatinya dari belakang dan menutupi wajahnya dengan sapu tangan yang telah dibasahi cairan bius. Emily meronta sejenak, namun dalam hitungan detik, kesadarannya hilang.Dengan cepat, pria itu membawa tubuh Emily yang lemas ke dalam mobil hitam yang telah menunggunya di luar hotel. Mobil itu melaju dengan kecepatan stabil, menjauh dari lokasi tanpa ada yang mencurigai apa pun.Setengah perjalanan, kelopak mata Emily bergerak pelan. Kesadarannya mulai kembali. Ia mengerang pelan dan mengusap dahinya yang terasa berat. Namun, saat matanya terbuka sepenuhnya, jantungnya berdegup kencang.Emily melihat dirinya berada di dalam mobil yang asing. Ia duduk
“Kurang ajar! Menjaga satu wanita saja tidak becus!”Bugh! Bugh! Bugh!Tinju Felix melayang bak badai petir yang mengamuk di langit malam, menghantam wajah dua bodyguard yang kini hanya bisa menunduk dalam kepasrahan.Mereka, yang seharusnya menjadi tembok pelindung bagi Emily, justru menjadi celah yang membuatnya lenyap dibawa bayangan kelam malam.“Kalian ingin mati di tanganku, hah?” pekik Felix, suaranya menyayat udara seperti pedang tajam yang tak mengenal belas kasihan.Amarahnya membuncah seperti lahar yang meledak dari perut gunung berapi, tak ada satu pun yang mampu meredamnya kini.“Ampun, Tuan! Kami minta maaf karena sudah lalai menjaga Nona Emily. Kami dijebak—”“Aku tidak butuh alasan konyolmu itu, sialan!” bentaknya, suara Felix sekeras guntur yang membelah langit di tengah badai.Wajahnya merah padam, matanya menyala seperti bara api yang belum padam, siap membakar siapa pun yang berani menghalanginya.“Yang aku inginkan adalah Emily kembali!” teriaknya sambil menoleh k
Felix melangkah cepat memasuki gedung tinggi bertuliskan "Regina Corp" di pintu kaca depannya. Wajahnya tampak gelap, rahangnya mengeras, sorot matanya tajam seperti bilah pisau.Tanpa memperdulikan sapaan resepsionis, ia langsung menuju lift dan menekan lantai tertinggi.Begitu sampai, ia berjalan lurus ke arah pintu besar bertuliskan "CEO Office" tanpa mengetuk. Dengan satu dorongan kuat, pintu terbuka, membentur dinding dan membuat suara keras bergema.Di dalam, Regina yang sedang duduk di balik meja kerjanya mengangkat wajah, lalu tersenyum lebar begitu melihat siapa yang datang."Felix!" serunya riang, berdiri dari kursinya dan melangkah mendekat, seolah-olah Felix datang untuknya dengan niat baik.Namun, sambutan itu langsung dibalas dengan tatapan dingin membunuh dari Felix. Ia berdiri tegak di hadapan Regina, kedua tangannya mengepal di sisi tubuhnya, menahan amarah yang hampir meluap."Beraninya kau," geram Felix, suaranya rendah dan bergetar menahan emosi, "mengganggu istrik
“Kekasih?” ulang Felix, suaranya terdengar serak, antara marah dan tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.Emily menganggukkan kepalanya pelan, matanya tidak pernah lepas dari wajah Felix. “Apa kau memiliki kekasih selama ini, Felix?” tanyanya lagi, suaranya bergetar, penuh dengan harap dan ketakutan.“Tidak!” jawab Felix tegas, menatap langsung ke dalam mata istrinya. Tatapan itu tajam, penuh keyakinan, seolah ingin menegaskan bahwa tak ada kebohongan dalam kata-katanya.Namun Emily tetap ragu. “Tapi... wanita itu bilang bahwa kau adalah kekasihnya. Dia bahkan berucap dengan sangat percaya diri,” katanya lirih, seolah-olah hatinya mulai condong mempercayai ucapan wanita asing itu.Melihat Emily yang seperti itu, Felix semakin geram. Rahangnya mengeras, dadanya naik-turun cepat menahan amarah.Tanpa berkata apa-apa, ia membalikkan badan dan melangkah menuju walk-in closet, meninggalkan Emily yang berdiri terpaku di tempatnya.Emily, yang tidak ingin kehilangan jawaban, sege
Dering nyaring dari ponsel yang tergeletak di atas nakas membuat Emily menggeliat kecil dalam tidurnya.Matanya mengerjap pelan, menyesuaikan diri dengan cahaya remang kamar, sebelum akhirnya memfokuskan pandangannya pada sumber suara.Dengan alis bertaut, ia mengulurkan tangan dan mengambil ponsel itu. Layar ponsel menunjukkan sebuah nomor tak dikenal yang sedang berusaha menghubungi.“Nomor siapa ini?” ucapnya dengan pelan. Nomornya asing, tanpa nama, tanpa identitas yang tersimpan.Emily mengerutkan kening. Ia menoleh ke kanan, lalu ke kiri, mencari sosok suaminya, Felix. “Ke mana Felix? Sudah pergi? Tapi, tidak mungkin dia meninggalkan ponselnya jika sudah pergi.”Namun, ranjang di sebelahnya kosong dan dingin. Ia mengangkat sedikit tubuhnya, mendengarkan lebih seksama.Suara gemericik air terdengar dari kamar mandi, menandakan Felix sedang mandi. Emily menghela napas lega sesaat, tapi tatapannya kembali tertarik pada ponsel di tangannya yang kembali bergetar, layar kembali menyal
Felix menatap Emily dengan tatapan panas, matanya tak beralih sedetik pun darinya. Dalam satu gerakan cepat dan mantap, ia membungkuk dan mengangkat tubuh mungil Emily dengan gaya bridal—membuat gadis itu terkesiap kecil.Lengan kekarnya terasa kuat dan hangat membungkus tubuh Emily, membuat jantungnya berdebar tak karuan.Dengan langkah mantap, Felix membawa Emily melewati lorong dan masuk ke kamar mereka.Tanpa meletakkannya, ia menutup pintu kamar dengan kakinya, menciptakan bunyi klik lembut yang membuat suasana di antara mereka mengental dengan ketegangan.Felix menundukkan wajahnya, membisik di telinga Emily dengan suara serak penuh gairah,"Jangan pura-pura tidak tahu, Emily... Kita sudah lama tidak bercinta."Emily menelan ludahnya dengan gugup, merasakan panas menyebar dari telinga hingga ke pipinya. Suara Felix begitu berat, dalam, dan sangat berbahaya bagi pertahanannya yang mulai runtuh.Dengan suara bergetar namun mencoba terdengar tenang, Emily mengangkat wajahnya dan be
“Aku membawakan makanan kesukaanmu.” Suara Felix terdengar lembut dan tenang saat ia melangkah masuk ke ruang tengah, membawa sebuah mini box mungil berwarna merah muda di tangannya.Cahaya sore yang masuk dari jendela memantul di permukaan kotak itu, membuatnya tampak seperti hadiah kecil yang istimewa.Emily sedang duduk santai di sofa, bersandar dengan nyaman sambil menonton acara televisi favoritnya.Suara TV terdengar samar di latar belakang, namun seketika perhatiannya teralih saat Felix meletakkan kotak tersebut di meja di hadapannya.“Kesukaanku? Apa itu?” tanyanya dengan nada penasaran, matanya membulat penuh rasa ingin tahu. Ia langsung meraih kotak itu dan membukanya perlahan.Begitu tutupnya terbuka, aroma manis langsung tercium. Warna-warni pastel dari deretan macaron yang tertata rapi membuat matanya berbinar. Emily menoleh cepat ke arah Felix, matanya membesar karena terkejut.“Macaron? Kau tahu aku sangat menyukai macaron?” ucapnya dengan nada yang penuh kejutan sekali
“Pa. Ada yang ingin aku tanyakan padamu.” Suara Marsha terdengar pelan namun serius saat ia melangkah pelan mendekati sang ayah yang sedang duduk santai di sofa ruang tengah.Di tangannya, Harland memegang majalah edisi terbaru, matanya sibuk mengikuti tiap baris kata di halaman yang terbuka.“Katakan saja. Aku akan mendengarnya,” jawab Harland datar, tanpa sedikit pun menoleh ke arah anak perempuannya. Nada suaranya tenang, nyaris seperti sedang membicarakan cuaca.Marsha berdiri sejenak, menatap wajah ayahnya yang tak bergeming, lalu menarik napas panjang sebelum duduk perlahan di sofa seberang.Matanya memandangi Harland lekat-lekat, mencoba mencari celah untuk memahami isi kepala pria paruh baya itu.“Kau serius ingin membuat Felix dan Emily berpisah? Dengan cara apa?” tanyanya langsung, tanpa basa-basi, menyimpan keheranan sekaligus kekhawatiran dalam nada suaranya.Mendengar pertanyaan itu, Harland akhirnya menghentikan aktivitas membacanya. Ia menutup majalah dengan satu geraka
“Argh! Sialan!” bentak Regina sambil melemparkan botol kosong beer ke lantai.Botol itu jatuh dengan suara dentingan tajam, menggema di ruangan pribadinya yang luas namun kini terasa sumpek oleh amarahnya sendiri.Ia berjalan mondar-mandir dengan langkah berat, rambut panjangnya yang biasanya tertata kini terlihat berantakan.“Kenapa cepat sekali Felix memutuskan untuk menikah?!” gerutunya lagi, mengambil botol beer yang baru dari kulkas kecil di sudut ruangan.Ia membuka tutupnya dengan gerakan kasar dan langsung meneguknya. “Bukankah dia dulu bilang tidak percaya dengan komitmen seperti itu? Dia bukan tipe pria yang mengikat diri!”Suasana malam di apartemennya dipenuhi dengan dentuman musik jazz pelan, kontras dengan emosi yang membuncah di dadanya.Ia menatap layar ponsel di tangannya, mengetik nama Felix Reinhardt berulang-ulang di mesin pencarian.Tapi yang muncul hanya berita-berita bisnis, ekspedisi, dan aktivitas gelap yang dibungkus dengan bahasa profesional.“Tidak ada beri
Pagi itu, suasana di lobi gedung pencakar langit di pusat kota tampak sibuk. Langkah kaki cepat para eksekutif terdengar berpadu dengan dering ponsel dan suara percakapan singkat.Felix melangkah masuk dengan aura dingin dan tak tergoyahkan. Setelan jas hitamnya rapi, wajahnya datar tanpa ekspresi. Ia diiringi oleh Arnold, asisten pribadinya yang setia.“Semua sudah disiapkan?” tanya Felix singkat.Arnold mengangguk cepat. “Ya, Tuan. Mereka sudah menunggu di ruang rapat lantai 15. Dan... pemilik perusahaan ekspedisi itu sudah datang.”Felix menoleh cepat. “Pemiliknya?”Arnold menelan ludah, sedikit ragu sebelum melanjutkan. “Ya... dia sendiri yang datang. Dan saya pikir Anda mengenalnya.”Felix mengerutkan kening, tapi tak bertanya lebih lanjut. Mereka masuk ke lift dan tak lama kemudian, pintu ruang rapat terbuka.Di sana, beberapa jajaran petinggi ekspedisi sudah duduk menunggu. Tapi yang langsung mencuri perhatian Felix adalah sosok wanita yang berdiri menyambutnya.“Felix?” suara
“Apa aku pernah menyakitimu selama kau menjadi istriku, Emily?” tanya Felix akhirnya. Suaranya terdengar pelan, tapi ada tekanan di balik nada itu—seperti seseorang yang sudah lama menahan tanya, namun takut akan jawaban yang mungkin menyakitkan.Emily tak langsung menjawab. Matanya menunduk, jemarinya meremas ujung baju tidurnya pelan. Felix memang tak pernah menyakitinya secara fisik. Tak pernah sekalipun tangan itu terangkat padanya. Namun, entah kenapa... ada luka kecil yang tak terlihat, seperti tusukan halus yang perlahan-lahan menggores dari dalam. Luka yang tak bisa ia jelaskan, bahkan pada dirinya sendiri.“Maaf,” ucapnya pelan, hampir tak terdengar. Seperti bisikan dari hati yang ragu.Felix menaikkan alisnya, bingung dengan respons itu. “Apa maksudmu, Emily? Aku bertanya, kenapa kau menjawab dengan kata ‘maaf’?” tanyanya, mencoba memahami, tapi juga merasa ada jarak yang semakin nyata di antara mereka.Emily hanya menggeleng pelan sambil menatap wajah Felix. Wajah itu... be