Julian menepati janjinya. Artikel-artikel dan forum yang membicarakan Silvi, perlahan menghilang satu per satu. Belum sepenuhnya, tapi semua yang menjadi sumber terbesar sudah menghilang.
Silvi menatap Julian yang masih duduk di meja ruang kerjanya dengan ponsel yang masih setia menempel di telinganya. Panggilan itu tidak berhenti sejak tadi. Silvi tidak bertanya apa yang Julian katakan atau siapa yang ia hubungi. Dia hanya menunggu, menatap dari kejauhan.
Tidak peduli apa yang Julian lakukan. Apapun, asal namanya tidak disebut-sebut lagi di luar sana. Tapi ia mendengarnya sekilas, ada desakan, ada kompromi, dan ada harga yang harus dibayar.
Silvi merefresh mesin pencarian yang memunculkan namanya, memperhatikan satu persatu artikel yang perlahan menghilang secara real time.
Keesokannya, Silvi bangun ketika matahari sudah tinggi. Saat tangannya menyentuh sisi ranjang yang kemarin malam ditempati oleh Julian, tempat itu sudah dingin. Menandakan bahwa Julian sudah lama meninggalkannya.Tapi sebelum Silvi benar-benar merasa sendirian, suara langkah kaki terdengar dari arah ruang kerja Julian. Pria itu melangkah terburu-buru, meninggalkan semua pekerjaannya untuk mendatangi Silvi.“Kamu sudah bangun.” itu bukan pertanyaan, suaranya lebih seperti sedang memastikan bahwa yang di hadapannya benar adalah Silvi.Ia duduk di tepi ranjang lalu menyentuh pipi Silvi dengan lembut, “Maaf aku ga nunggu kamu bangun dulu.”Silvi menggelengkan kepalanya pelan, “Gapapa,
Julian tidak berbohong saat mengatakan bahwa ia telah menyiapkan semuanya. Karena hal pertama yang menyambut Silvi saat mobil yang dikendarai oleh Julian berhenti adalah sebuah rumah yang cukup mewah. Tidak sebesar rumah keluarganya dulu dan mungkin tidak bisa dibandingkan dengan rumah keluarga Julian. Tapi cukup untuk membuat orang lain bertanya siapa yang tinggal di dalamnya.Silvi memperhatikannya dalam diam. Tanaman yang memenuhi halamannya, cat berwarna putih yang masih terlihat baru, danebranda lantai dua yang telah diisi dengan dua buah kursi dan meja, seolah memanggilnya untuk duduk di sana.Julian yang sudah turun terlebih dahulu, membukakan pintu untuk Silvi, mengulurkan tangannya dengan senyuman yang lembut. “Silvi…”Panggilan itu terdengar halu
“Apa yang dikatakan orang tuamu? Apa mereka tidak menyukaiku ada di sini?” Suara Silvi pelan, hampir tenggelam dalam ketakutan lamanya yang belum benar-benar padam. Ia menatap Julian, mencari kejujuran di balik wajah yang selama ini selalu menyembunyikan perasaannya sendiri dengan baik.Silvi butuh jawaban, ia sudah merasa tidak tenang sejak Julian mengatakan bahwa dia harus bertemu orang tuanya. Silvi tidak asing dengan kata ditinggalkan, ia sudah mengalaminya, berkali-kali. Jika Julian juga meninggalkannya karena paksaan dari keluarganya, dia tidak tahu lagi cara bertahan.“Mereka tidak pernah menyukaimu.” Julian menjawab tanpa ragu, suaranya datar namun jujur. Tidak ada usaha untuk meredam kenyataan. Dan anehnya, justru itu yang membuat Silvi percaya, karena untuk pertama kalinya, Julian tidak mencoba meman
Celine tidak menunggu waktu lama untuk memberitahu orang tua Julian. Di malam Silvi menangis di pelukan Julian karena campuran perkataan ibu Silvi dan perkataan Celine, telfon itu datang.Dan sekarang Julian menemukan dirinya di rumah orang tuanya. Ia memperhatikan ke sekeliling ruangan, merasakan udara yang sesak karena tekanan. Tapi di antara dirinya dan kedua orang tuanya yang duduk bersebrangan, hanya Julian yang duduk tegak, seolah menunjukkan tidak ada yang salah.“Kamu memutuskan pertunangan dengan Celine?” pertanyaan itu disampaikan ibunya dengan hati-hati, tidak ada kemarahan. Tapi penuh rasa kecewa.“Iya.” Julian menjawab tanpa berpikir panjang. Dia tahu bahwa keputusannya akan membawa ke titik ini, jadi dia sudah siap memberi jawaban sejak lama.“Dan kami dengar, sekarang kamu tinggal dengan seorang perempuan?”“Iya.” wajah ibunya berubah memucat, bahkan walau ia tahu Celine tidak mungkin berbohong, tapi mendengar putranya mengatakannya tanpa ada rasa bersalah sedikitpun me
Julian menepati janjinya. Artikel-artikel dan forum yang membicarakan Silvi, perlahan menghilang satu per satu. Belum sepenuhnya, tapi semua yang menjadi sumber terbesar sudah menghilang.Silvi menatap Julian yang masih duduk di meja ruang kerjanya dengan ponsel yang masih setia menempel di telinganya. Panggilan itu tidak berhenti sejak tadi. Silvi tidak bertanya apa yang Julian katakan atau siapa yang ia hubungi. Dia hanya menunggu, menatap dari kejauhan.Tidak peduli apa yang Julian lakukan. Apapun, asal namanya tidak disebut-sebut lagi di luar sana. Tapi ia mendengarnya sekilas, ada desakan, ada kompromi, dan ada harga yang harus dibayar.Silvi merefresh mesin pencarian yang memunculkan namanya, memperhatikan satu persatu artikel yang perlahan menghilang secara real time.
“Kamu… serius?” Vanya menatap Celine dengan ragu. Ada yang berbeda sejak wanita itu menerima telepon dari Celine tadi. Biasanya, Celine adalah orang yang bisa disebut ‘baik’. Sangat baik. Tapi kali ini, ada sesuatu yang dingin di matanya.“Van, ga ada alasan buat aku bercanda soal ini.”“Aku ngerti... tapi kalau kamu salah gimana? Kalau dia bukan anaknya Anastasia yang itu? Kamu sadar ini bisa ngancurin hidup seseorang?”Bahkan kalaupun benar, anaknya ga salah apa-apa, kan? Jika perempuan bernama Silvi itu memang menarik diri dari dunia hiburan, bukankah itu artinya dia sudah cukup terluka? Tapi kalimat itu hanya bergema dalam kepala Vanya. Tak pernah keluar dari bibirnya.Ia memang kesal pada aktris tua itu, banyak alasan. Tidak profesional, sombong, penuh skandal yang sempat merusak jadwal Celine yang sudah susah payah ia atur. Tapi anaknya? Haruskah ikut menanggung semuanya?“Dia anaknya. Ga mungkin ada dua orang yang semirip itu tanpa hubungan darah,” jawab Celine. Suaranya datar,