Silvi berdiri mematung saat pelukan itu dilepaskan. Anehnya, yang paling menyakitkan bukan pelukannya, tapi kehampaan yang ditinggalkan setelahnya. Seperti ruang kosong yang tiba-tiba terbuka di dalam dadanya, membesar perlahan hingga nyaris menelannya hidup-hidup.
Ia menunduk, menyembunyikan wajah yang mulai basah oleh air mata yang masih tertahan. Ia membenci dirinya sendiri, karena sempat merasakan harapan di dalam pelukan Julian. Harapan kecil yang bodoh, bahwa mungkin di balik semua ini ada cinta yang tulus.
Silvi mundur perlahan. Nafasnya berat, dada terasa sesak. “Saya harus pergi.” suaranya nyaris tak terdengar, seperti bisikan yang enggan keluar.
Julian tidak menghentikannya. Ia hanya menatap diam, dengan tatapan milik seseorang yang percaya bahwa pada akhirnya semua akan kembali padanya.
Silvi berjalan keluar, melewati lorong kantor yang dingin dan sunyi. Lampu di langit-langit terasa terlalu terang, menyilaukan penglihatannya yang mulai buram. Langkahnya tidak punya arah, hanya ingin menjauh. Dari ruangan itu. Dari Julian. Dari semua bisikan lembut yang perlahan-lahan mulai meracuni pikirannya, mengikis pertahanan diri yang tersisa.
Tangannya meraih ponsel yang sejak tadi ia abaikan.
Tunggu aku di tempat biasa jam pulang nanti.
Dari Samuel. Satu jam yang lalu.
Senyum tipis menghiasi wajahnya. Samuel. Benar, masih ada dia. Masih ada tempat pulang yang bukan jebakan. Masih ada seseorang yang membuatnya percaya bahwa hidupnya tidak selalu tentang luka dan manipulasi.
Silvi menuju halte tua di depan kantor begitu jam kerja berakhir. Langit mulai menghitam. Angin berhembus kencang, membawa serta debu dan aroma hujan yang belum jatuh. Ia berjalan sambil memeluk dirinya sendiri, berusaha menahan dingin yang menyerang tubuhnya.
Samuel keluar dari gedung tidak lama kemudian, berjalan cepat ke arah parkiran. Langkah Samuel terhenti saat ia memandang ponsel di tangannya. Wajahnya mendadak kacau, seperti seseorang yang baru saja melihat sesuatu yang tak seharusnya dilihat. Tangannya mengepal, dadanya naik turun dengan cepat.
Silvi sempat berniat untuk berjalan ke arah yang lebih terlihat oleh Samuel, berharap pria itu akan melihatnya. Namun, Samuel yang masuk ke mobilnya langsung pergi begitu saja, tidak peduli dengan keberadaannya, bahkan tidak melirik ke tempat ia berdiri.
Silvi ingin mengejarnya, ingin meyakinkan dirinya bahwa mungkin saja Samuel lupa tempat biasanya ia menunggu. Tetapi sebelum ia sempat bergerak, ponselnya bergetar, memaksanya untuk melihat.
Maaf. Aku gak bisa datang.
Hujan mulai turun, pelan tapi cukup untuk menghancurkan sisa-sisa harapan yang Silvi punya. Tetes-tetes pertama jatuh di pundaknya, menyatu dengan rasa kecewa yang tidak lagi mengejutkan. Silvi tidak bertanya, tidak menebak-nebak. Ia sudah tahu apa yang terjadi. Dan seolah sudah terbiasa dengan kehancuran itu, ia hanya diam di tempatnya. Tidak menangis. Tidak melawan. Hanya berdiri seperti boneka yang kehilangan tali pengendali.
Sampai seseorang datang. Membuka payung dan berdiri di belakangnya. Berusaha menutupi tubuhnya dari hujan, seolah Silvi tidak berdiri membatu di sana karena dirinya. Seolah ia bukan penyebab kehancuran yang baru saja terjadi.
“Apa yang kamu kirimkan pada Samuel?” Suara Silvi lirih, tenggelam dalam derasnya hujan, “Tentang keluargaku? Atau pelukan di ruanganmu?”
Silvi tidak perlu bertanya siapa yang melakukannya. Jika Samuel pergi, tidak mungkin ada orang lain yang menjadi alasannya selain Julian.
Julian tidak langsung menjawab. Ia hanya memandang punggung Silvi yang bergetar pelan. Membiarkan suara gemuruh dan air hujan mengisi kekosongan yang menggantung di antara mereka.
“Aku pernah berjanji untuk tidak menyentuh rahasia keluargamu kalau kamu bersedia jadi sekretarisku,” ucapnya, tenang seperti biasa. Ketenangan yang memuakkan.
Silvi tertawa pelan. Tawa kering dan patah. Untuk pertama kalinya sejak Julian kembali, ia membiarkan air mata jatuh di wajahnya. Tidak ada lagi gunanya menahannya.
“Apa kamu benci kalau aku bahagia?”
Julian berjalan mendekatinya, menyisakan hanya sedikit ruang di antara mereka. “Aku ingin kamu bahagia, Silvi. Tapi bukan dengan seseorang yang goyah hanya karena sedikit guncangan.”
“Kamu gak tahu itu…”
“Aku tahu.” Suaranya nyaris lembut, seolah mencoba menenangkan. “Karena kalau aku yang di posisinya, aku ga akan pernah membiarkanmu menunggu di bawah hujan hanya karena sebuah foto.”
Kata-katanya seperti jarum. Kecil, tapi menyakitkan. Dan lebih buruk lagi, itu terdengar masuk akal.
“Kalau dia benar-benar mencintaimu, dia akan ada di sini sekarang. Bertanya. Marah. Tapi tidak pergi begitu saja tanpa mengatakan apapun.”
Julian memeluknya dari belakang menggunakan satu tangan, ringan tapi mengikat. Hangat, tapi juga menyesakkan.
“Kamu tahu siapa yang ada di sini sekarang?”
Silvi menunduk. Mempersiapkan dirinya untuk pengakuan yang menyakitkan, “…Kamu.”
“Benar.” Julian mengangguk pelan, membisikkan kalimat itu di telinga Silvi, “Karena hanya aku yang mencintaimu. Bahkan saat kamu membenciku, kamu tahu aku tidak akan membiarkanmu sendirian seperti yang Samuel lakukan.”
Silvi menggigit bibir. Tubuhnya gemetar, bukan karena hujan atau dingin. Tapi karena ia tahu, apa yang dikatakan Julian benar. Dan ia membenci betapa dalamnya kalimat itu masuk ke dalam dirinya.
Ia ingin menyangkalnya. Tapi tak ada kata yang keluar.. Hanya keheningan. Dan di dalam keheningan itu, Silvi tahu: semuanya sudah berakhir. Ia menyerah.
Jika Julian menginginkannya, biarlah. Ambil saja segalanya hingga tak bersisa.
Satu minggu berlalu dan Julian masih belum menyadari bahwa ada cincin yang menghilang dari lemarinya. Pria itu benar-benar hanya membeli tanpa memperhatikannya lagi. Uang di dompetnya juga sama, Julian tidak mencurigai ada yang hilang dari dalamnya.Silvi mengambilnya sebagai pertanda bahwa sejauh ini yang ia lakukan masih aman. Jika dia bisa mengambil satu saja perhiasan yang bernilai tinggi, itu bisa cukup sebagai dana daruratnya jika Silvi akhirnya memutuskan untuk pergi.Silvi menatap kembali lemari itu dengan dada yang berdebar keras. Apa yang harus ia ambil hari ini? Apa yang kemarin hanya beruntung? Bagaimana jika yang dia ambil kali ini sesuatu yang punya nilai di mata Julian?Atau haruskah ia mengambil salah satu tas desainer yang dipajang rapi di dalam lemari itu? Kalau dia bisa mengambilnya, benda itu punya nilai yang cukup tinggi. Tapi Silvi tidak mungkin bisa menyembunyikannya tanpa ketahuan.Silvi membuka lemari perhiasan dengan tangan gemetar. Ia menarik napas dalam-dal
“Aku mau sarapan di bawah.” Julian yang berdiri di ambang pintu untuk mengambil sarapan mereka ke lantai satumembalikkan badannya dan menatap Silvi yang berdiri di belakangnya.“Ya?”“Akau udah lama ga keluar kamar Julian.” Silvi berbicara dengan ragu-ragu, kedua tangannya ia sembunyikan di punggung, meremas satu sama lain. “Aku bosan…”Julian menatap Silvi ragu. Ia membuka mulutnya sesaat lalu menutupnya lagi. Julian belum mengatakan apapun, tapiSilvi mulai merasa cemas.. Apa pria itu berhasil mencium niatnya yang sebenarnya??“...Tunggu sebentar.” Ucap Julian akhirnya setelah berpikir beberapa saat, “Aku ke bawah dulu.”Silvi menganggukkan kepalanya pelan dan mendengarkan pintu kembali dikunci. Ia menghela nafas, tidak menyadari bahwa ia telah manahannya sejak tadi. Pria itu curiga. Silvi tahu Julian terlalu pintar untuk dibodohi seperti ini, tapi bagaimanapun juga dia tetap harus mencoba. Julian memastikan satu per satu pintu dan jendela telah terkunci begitu dia sampai di lant
Positif.Ada dua garis di sana dan Silvi sudah membaca petunjuk serta melihat hasilnya ratusan kali. Berkali-kali ia membolak balik kertas petunjuk itu seolah isinya bisa berubah jika Silvi berusaha lebih keras untuk membacanya.Isakan yang sejak tadi ia tahan mulai keluar dari bibirnya, air mata Silvi mulai membasahi ponselnya yang ia pegang, yang lagi-lagi mencoba mencari tahu, karena siapa tahu, hasilnya bisa berbeda. Siapa tahu dua garis di sana tidak menyatakan positif.Tapi tidak ada, semua mengatakan sama, dua garis berarti positif. Dan Silvi tidak sanggup membohongi dirinya lagi. Ia berjongkok di lantai kamar mandi, menampung wajahnya sendiri di kedua telapak tangannya dan menangis keras.Harusnya ia tidak bertingkah bodoh, harusnya ia tidak pernah membiarkan Julian menyentuhnya. Sekarang pria itu punya alasan baru untuk menahannya dan semua adalah hasil dan kebodohan Silvi sendiri.“Bodoh… bodoh…” Silvi merutuk, membisikkan kalimat penghinaan pada dirinya sendiri di antara is
Pagi itu, Silvi terbangun dengan tubuh lemas dan keringat dingin membasahi pelipisnya. Mual datang tanpa aba-aba, menghantam perutnya begitu kuat hingga ia bergegas menuju kamar mandi. Suara muntah menggema di dalam kamar mandi dan tubuhnya gemetar hebat saat ia akhirnya terduduk di lantai kamar mandi.Pandangan Silvi kabur. Napasnya memburu. Dunia di sekelilingnya mendadak sunyi, kecuali suara detak jantungnya yang berdegup terlalu keras di telinga. Saat ia mencoba mengatur napas dan menyeka sisa muntah di bibirnya, pikirannya mulai memutar kemungkinan yang tidak ingin ia akui.Tidak mungkin, kan?Tapi… sudah berapa lama dia tidak datang bulan? Silvi memang sering kali terlambat datang bulan karena rasa stress. Tapi…Tiba-tiba pintu kamar mandi terbuka dengan suara cepat, “Bu Silvi?!”Lina berdiri di ambang pintu, wajahnya panik saat melihat Silvi terduduk di lantai dengan tangan yang gemetar hebat. Tanpa menunggu aba-aba, Lina berlari mendekat, berlutut di sampingnya, dan meraih t
Silvi memperhatikan Lina yang masuk ke kamar dengan gerakan canggung. Tangannya membawa beberapa bungkusan dan Silvi sudah bisa menebak apa isinya. Tas, pakaian, heels semua merupakan merek desainer terkenal.“Dari Pak Julian, Bu.” tentu saja itu semua dari Julian, siapa lagi yang bisa memberikannya hadiah di rumah ini selain pria itu. Silvi yang tengah duduk di sofa di dekat jendela, hanya menatap Lina dan hadiah itu sebentar dengan kaki menyilang dan membuang mukanya. Lina yang sesaat berdiri canggung memutuskan untuk membawa semua barang-barang itu ke closet seperti biasa.Julian terus membanjirinya hadiah sejak hari itu, hari dimana Silvi berusaha lari dan justru kembali merangkak padanya karena tidak punya tujuan. Tidak ada kata maaf, tidak ada kata ‘aku bersalah’. Hanya ada hadiah. Hadiah yang bahkan Silvi tidak tahu apa fungsinya karena Julian bahkan tidak mengizinkannya melewati ambang pintu.Julian masih muncul sesekali, mengecek apa yang Silvi lakukan bagai seorang sipir p
Celine tidak pernah menyangka akan kembali ke kantor Julian. Tapi di sanalah ia sekarang, duduk diam di balik kemudi, mobilnya berhenti di parkiran di seberang lobi dengan tembok kaca yang megah. Ia parkir di sana dengan sengaja, berharap keberanian akan datang lebih mudah jika ia berada sedekat ini.Tapi kenyataan justru sebaliknya. Setiap detik berlalu terasa seperti hukuman. Turun dari mobil dan melangkah masuk ke dalam gedung itu akan terasa seperti pengakuan dosa, dan Celine, betapapun berat rasa bersalah yang ia pendam, baru sadar bahwa ia belum cukup berani untuk mengakuinya.Celine menatap jam di dashboard. Sudah hampir satu jam. Ia hampir menangis frustasi karena kesal pada dirinya sendiri yang terlalu pengecut. Celine kembali menatap ke arah lobi dan di sanalah ia melihatnya.Seorang pria tinggi keluar dari pintu depan gedung dengan langkah cepat. Di tangannya ada sebuah kotak besar. Celine tidak tahu siapa namanya, tapi wajah itu terasa tidak asing. Mungkin dari kantor J