Home / Romansa / Hate You To The Bone / 8. Karena Cinta

Share

8. Karena Cinta

Author: Rainina
last update Last Updated: 2025-03-14 15:27:58

“Aku tidak mencintainya.” Itu adalah hal pertama yang Silvi dengar setelah ia masuk ke ruangan Julian. Silvi mendengus, untuk pertama kalinya, rasa takut yang biasanya menguasai digantikan oleh perasaan lain yang jauh lebih kuat. Ia merasa… muak. Muak dengan Julian yang terus-menerus memasukkan tokoh baru hanya demi menyakitinya.

“Anda tidak perlu repot-repot menjelaskan hal seperti itu pada saya,” Silvi berkata pelan, mencoba menahan diri. Ia menurunkan dokumen-dokumen di atas meja Julian, lalu menatap kotak bekal kecil yang terletak rapi di sudut meja, lengkap dengan sticky note berwarna merah muda menempel di atasnya.

Silvi tahu bahwa itu diberikan oleh Celine dan ia sama sekali tidak berniat membaca pesan di sana. Ia tidak ingin tahu apa yang ditulis oleh wanita itu, karena jika ia melakukannya, itu hanya akan membuatnya merasa seperti penyusup dalam kehidupan orang lain.

“Aku akan segera melepaskannya,” Julian kembali berbicara, suaranya rendah dan penuh penekanan, “Kalau kamu juga mau melepaskan Samuel, aku akan membuatnya tidak terlalu menyakitkan untuk kita berdua.”

Silvi menghentikan gerakannya, tangannya menggantung di udara. Nafasnya terhenti sejenak. Perlahan ia menegakkan tubuhnya, menatap Julian dengan mata yang penuh rasa sakit.

“Tidak ada satupun dari kita yang perlu melepaskan pasangan kita, Pak Julian,” jawabnya tegas, meski ada ketegangan yang sulit disembunyikan. Setiap kata yang keluar dari mulutnya terasa pahit, lelah dengan betapa Julian selalu merasa bahwa semuanya berada di bawah kendalinya, termasuk dirinya.

“Lanjutkan saja hubungan Anda dengan Celine dan lepaskan saya,” Silvi kembali melanjutkan dengan suara yang sedikit lebih tinggi, mencoba mempertahankan harga dirinya yang semakin tergerus oleh kata-kata dan permainan Julian.

Julian menatapnya, seolah setiap kalimat yang keluar dari mulut Silvi menekan dadanya. Wanita ini, pikirnya, selalu mencoba menjauhkan dirinya dari emosi apa pun yang coba ia berikan padanya. Padahal jika dia menerima segalanya dengan diam, Julian siap memberikan apa saja yang ia inginkan.

Julian menatap dokumen yang ada di mejanya, dan dengan gerakan tenang, Julian membuang dokumen yang baru saja disusun Silvi ke lantai dengan punggung tangannya. Seolah ingin menunjukkan siapa yang memegang kendali di sini.

“Ambil,” katanya datar, tatapannya tajam, menusuk ke dalam diri Silvi.

Silvi menatap kertas-kertas yang bertebaran di lantai, wajahnya memerah menahan amarah yang mendidih. Tapi ia tetap menunduk, menyerah pada permainan keji ini, karena ini adalah cara yang masih bisa ia pertahankan untuk sedikit menjaga sisa harga diri yang ia punya.

Tangannya mulai memungut satu per satu kertas yang bertebaran, mengitari meja besar yang menjadi singgasana pribadi milik Julian. Hingga ia sampai pada selembar kertas yang berada tepat di bawah kaki sang pria. Julian dengan sengaja menginjaknya menggunakan sepatu mahal yang dikenakannya.

Silvi tak bergeming, hanya menatapnya sejenak, meski nafasnya mulai tidak teratur. Jari-jarinya bergetar hebat, seolah menjerit untuk bisa melemparkan kertas itu tepat ke wajah Julian.

“Hah…” Julian mendengus, dan Silvi tahu bahwa senyum sinis pasti kini mewarnai wajah itu.

Lalu, dengan pelan, Julian menendang selembar kertas ke arahnya. Gerakan itu seperti menyiram bensin ke bara api yang membakar perasaan Silvi. Ia menghela napas dalam, berusaha menjaga kendali yang semakin terkikis. Tangannya meraih kertas itu dengan gemetar, hampir meremukkan sudutnya.

“Kamu terlihat terganggu, kenapa? Karena kotor?” ujar Julian, nada suaranya menyiratkan ejekan yang tajam.

Silvi tetap diam, wajahnya tak berubah. Sampai akhirnya Julian mendekat, menundukkan tubuhnya sedikit, berbisik tajam di telinganya.

“Kenapa harus terganggu? Kertas itu bahkan tidak sekotor dirimu.”

Seketika, Silvi menegakkan tubuhnya. Matanya tajam menatap Julian, penuh luka yang berubah menjadi kemarahan. Tangan kanannya sudah siap melemparkan kertas itu ke wajah Julian, tapi pria itu dengan cepat menahan tangannya, dengan sentuhan yang lembut seolah Silvi adalah sesuatu yang sangat berarti.

Memuakkan. Semua kata-kata dan bahasa tubuh Julian begitu bertolak belakang, ia seperti menggoda Silvi untuk bertindak, tapi pada saat yang sama terus menahannya dengan kekuasaan yang ia miliki.

“Jangan berpikir untuk melakukan hal aneh, Silvi. Aku tidak bisa menjamin bahwa tidak akan ada gosip yang beredar besok. Atau mungkin kamu mau bertaruh? Kapan wartawan-wartawan itu mulai datang dan menggali kehidupanmu?” ujar Julian, berdiri tegak di hadapan Silvi yang kini terpaku.

Julian menyentuh wajahnya dengan lembut, seolah tak ada yang berubah di antara mereka.

“Menurutmu seberapa menyenangkan headline yang akan muncul?” tambahnya, suara rendah dan penuh ancaman tersembunyi di balik kata-katanya yang seolah-olah tidak berbahaya.

Silvi merasakan darahnya berdesir cepat. Kata-kata Julian seperti jarum tajam yang menembus jantungnya. Di luar, ia mencoba mempertahankan ekspresi tenang, namun detak jantungnya menggema dalam telinganya.

Julian, dengan segala kekuatan dan kemewahan yang ia miliki, begitu lihai dalam permainan emosional ini. Ia tahu betul bagaimana menggiring Silvi ke tepi jurang, memaksanya untuk jatuh, namun pada saat yang bersamaan terus menahannya.

“Jangan lupakan siapa yang memiliki kekuatan di sini,” Julian melanjutkan, suaranya rendah, penuh ancaman yang tersembunyi di balik kata-kata manis yang seolah-olah tidak berbahaya. Diiringi dengan sentuhan ringan di tubuhnya yang terasa begitu beracun.

“Aku mencoba memberikan pilihan untuk melepaskan Samuel, tapi kamu bahkan terlalu arogan untuk melakukannya demi aku.” Julian berbicara dengan nada yang bisa membuat orang percaya bahwa saat ini dialah yang sedang tersakiti, bukan Silvi, “Jangan salahkan aku jika aku berakhir menyakiti kita berdua.” Julian memeluknya, dengan gerakan lembut dan nyaris menyedihkan, seperti seseorang yang begitu mencintai kekasihnya.

Tapi bagi Silvi, itu bukan pelukan. Itu adalah perangkap yang dibalut kasih sayang palsu. Sebuah jebakan yang membuatnya merasa seperti barang rusak yang dipajang di lemari kaca.

Ia bisa mencium wangi parfum Julian, bisa merasakan nafas pria itu di lehernya, dan rasanya seperti ditarik oleh pria itu ke dalam jurang. Kemarahan dan rasa muak bergemuruh di dadanya, tapi tubuhnya hanya membeku, tidak mampu menolak maupun mengatakan apapun.

Dan di tengah itu semua Julian berbisik dengan pelan, “Tapi jangan pernah lupakan bahwa aku melakukannya karena aku mencintaimu.”

Itu adalah kalimat yang menusuk lebih dalam dari semua penghinaan yang pernah Silvi dengar. Karena kali ini, Julian mencoba membungkus racun dalam bentuk cinta. Dan yang paling menyakitkan bukanlah kata-katanya. Tapi kenyataan bahwa di saat-saat terendah di hidupnya, Silvi ingin percaya bahwa apa yang Julian rasakan memang cinta. 

Bahwa memang ada yang begitu menginginkannya hingga rela melakukan apapun.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Hate You To The Bone   54. BAB 54

    Silvi membenci ibunya.Sejak pertama kali ia menyadari bahwa hidupnya dibangun atas dasar kebohongan, Silvi selalu mengingatkan dirinya akan satu hal. Apa pun yang dikatakan ibunya, semuanya hanyalah kebohongan yang diberikan demi keuntungan wanita itu.Tapi Silvi selalu mempercayai satu hal secara konsisten, satu hal yang dikatakan ibunya untuk pertama kali saat ia pulang dengan keadaan rumah yang berantakan. Bahwa Silvi adalah pembawa sial.Wanita itu mengatakannya sambil memegang bahunya dengan erat hingga meninggalkan jejak yang baru hilang setelah berhari-hari.Silvi mencoba melupakan kalimat itu, berusaha menjalankan hidupnya seolah kalimat yang sama tidak menghantuinya di setiap malam di mana ia merasa kesepian. Tapi, ia tidak bisa. Kalimat itu terus berbisik di kepalanya dan tidak berhenti dari ia bangun hingga tidur lagi. Bahkan, kalimat itu kembali muncul di hari ini ketika ia melihat ibunya berada di depan pintu, berdiri di depan seorang asisten rumah tangga yang terli

  • Hate You To The Bone   53. BAB 53

    Vanessa memperhatikan Silvi dari celah pintu yang ia buka. Anak tirinya itu tidak lagi bergerak dari kamarnya selama dua hari. Bahkan walau dua orang yang terakhir kali datang menemuinya kembali datang ke rumah mereka, Silvi menolak kedatangan mereka secara terang-terangan.Ia tidak tahu apa yang terjadi, tapi ia sudah berniat akan melakukan apa pun untuk membantu Silvi begitu ia mendengar dari suaminya bahwa wanita itu sedang hamil dan butuh banyak dukungan.Tapi bagaimana cara untuk membantu seseorang yang bahkan tidak ingin dibantu?Silvi selalu diam di kamarnya, makan secara terpisah ketika Vanessa sudah selesai makan. Selain itu, ia hanya keluar jika memang diperlukan. Fakta bahwa Silvi hanya keluar

  • Hate You To The Bone   52. BAB 52

    Saat keheningan di ujung telepon bertahan terlalu lama, Anastasia tahu pria di seberang sana telah memakan umpannya. Maka ia melanjutkan dengan nada yang manis."Kalau kamu mau tahu, aku bisa memberitahumu… dengan satu syarat."Terdengar helaan napas dari seberang lalu suara yang terdengar terasa dingin, tapi tak bisa sepenuhnya menyembunyikan kegugupan yang mulai merayap."Apa maumu?"Anastasia bangkit dari tempat duduk dan berjalan perlahan ke arah jendela. Menatap bayangan wajahnya di sana."Aku ingin kamu membantuku," ucapnya ringan, "Aku ingin Silvi menghubungiku. Kamu bisa menyebut namaku kapan saja. Kalau dia tahu kamu tahu tempatnya dariku, dia akan menghubungiku."

  • Hate You To The Bone   51. BAB 51

    Mami tahu kamu kembali ke rumah itu.Silvi membaca pesan yang baru saja masuk dari ibunya dengan tangan yang gemetar. Belum ada 24 jam sejak Samuel dan Celine datang ke rumah ini dan sekarang ia harus menghadapi ibunya?Apa Papi kamu menanyakan keadaan Mami?Silvi sudah mengangkat tangannya untuk melemparkan ponsel itu ke dinding ketika benda itu bergetar di tangannya, membuatnya mengintip nama yang muncul di layarnya.MamiSesuai dengan dugaannya. Silvi mulai bertanya-tanya mengapa ia masih menyimpan nomor itu.Dan kenapa wanita itu masih memiliki cukup rasa percay

  • Hate You To The Bone   50. BAB 50

    "Apa kalian pikir yang paling aku butuhin saat ini itu balas dendam?" Silvi bergumam pelan, masih tidak percaya dengan apa yang ia dengar sebelumnya. Celine membuka mulut, tapi Silvi melanjutkan, "Aku bahkan nggak bisa berdiri lama tanpa merasa kram. Kalian pikir aku masih mau terlibat ini semua?"Samuel terlihat canggung, "Kami cuma… kami cuma ingin bantu.""Kalau kalian benar-benar ingin bantu," suara Silvi mulai bergetar, "Kalian harusnya mulai dengan bertanya apa yang aku butuhin. Bukan ngebawa rencana yang bahkan ga aku mau."Ruangan itu hening, hanya ada suara nafas Silvi yang terdengar berat. Tangannya menyibakkan rambutnya ke belakang dengan wajah yang gusar.Dan tepat di tengah keheningan itu, ponsel Silvi berdering. Ia merogoh sakunya dan mata Silvi seketika memicing saat melihat siapa yang menelpon.Mami. Lagi.Seakan dunia tak memberinya ruang untuk sekadar duduk dan mencoba berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja. Silvi mematikan panggilan itu dan kembali menatap Cel

  • Hate You To The Bone   49. BAB 49

    Semuanya terasa begitu kacau.Julian mencoba melakukan pekerjaannya seperti biasa. Ia bahkan mulai lebih sering hadir di kantor yang dulu hanya ia kendalikan di belakang layar. Mencoba mengalihkan dirinya dari bayang-bayang Silvi yang duduk tenang sambil membaca buku maupun menonton televisi di tempat tidur mereka.Julian mencoba memindahkan ruang kerjanya ke tempat lain agar tidak semakin terganggu dengan bayang Silvi, tapi usahanya gagal ketika ia keluar untuk makan siang dan melihat bayangan Silvi yang duduk di meja makan sambil memainkan ponselnya.Hingga akhirnya ia memilih keluar dari rumah untuk bekerja. Mungkin ia bisa lebih fokus di tempat baru, mungkin dia bisa benar-benar melakukan sesuatu di tempat yang tidak pernah didatangi Silvi sebelumnya.Tapi, pekerjaannya justru terus terhenti karena Julian terus menerus mengecek ponselnya. Membuka pesannya dengan Silvi yang bahkan tidak memiliki banyak history karena mereka tinggal di rumah yang sama.Alhasil, asistennya harus

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status