“Aku tidak mencintainya.” Itu adalah hal pertama yang Silvi dengar setelah ia masuk ke ruangan Julian. Silvi mendengus, untuk pertama kalinya, rasa takut yang biasanya menguasai digantikan oleh perasaan lain yang jauh lebih kuat. Ia merasa… muak. Muak dengan Julian yang terus-menerus memasukkan tokoh baru hanya demi menyakitinya.
“Anda tidak perlu repot-repot menjelaskan hal seperti itu pada saya,” Silvi berkata pelan, mencoba menahan diri. Ia menurunkan dokumen-dokumen di atas meja Julian, lalu menatap kotak bekal kecil yang terletak rapi di sudut meja, lengkap dengan sticky note berwarna merah muda menempel di atasnya.
Silvi tahu bahwa itu diberikan oleh Celine dan ia sama sekali tidak berniat membaca pesan di sana. Ia tidak ingin tahu apa yang ditulis oleh wanita itu, karena jika ia melakukannya, itu hanya akan membuatnya merasa seperti penyusup dalam kehidupan orang lain.
“Aku akan segera melepaskannya,” Julian kembali berbicara, suaranya rendah dan penuh penekanan, “Kalau kamu juga mau melepaskan Samuel, aku akan membuatnya tidak terlalu menyakitkan untuk kita berdua.”
Silvi menghentikan gerakannya, tangannya menggantung di udara. Nafasnya terhenti sejenak. Perlahan ia menegakkan tubuhnya, menatap Julian dengan mata yang penuh rasa sakit.
“Tidak ada satupun dari kita yang perlu melepaskan pasangan kita, Pak Julian,” jawabnya tegas, meski ada ketegangan yang sulit disembunyikan. Setiap kata yang keluar dari mulutnya terasa pahit, lelah dengan betapa Julian selalu merasa bahwa semuanya berada di bawah kendalinya, termasuk dirinya.
“Lanjutkan saja hubungan Anda dengan Celine dan lepaskan saya,” Silvi kembali melanjutkan dengan suara yang sedikit lebih tinggi, mencoba mempertahankan harga dirinya yang semakin tergerus oleh kata-kata dan permainan Julian.
Julian menatapnya, seolah setiap kalimat yang keluar dari mulut Silvi menekan dadanya. Wanita ini, pikirnya, selalu mencoba menjauhkan dirinya dari emosi apa pun yang coba ia berikan padanya. Padahal jika dia menerima segalanya dengan diam, Julian siap memberikan apa saja yang ia inginkan.
Julian menatap dokumen yang ada di mejanya, dan dengan gerakan tenang, Julian membuang dokumen yang baru saja disusun Silvi ke lantai dengan punggung tangannya. Seolah ingin menunjukkan siapa yang memegang kendali di sini.
“Ambil,” katanya datar, tatapannya tajam, menusuk ke dalam diri Silvi.
Silvi menatap kertas-kertas yang bertebaran di lantai, wajahnya memerah menahan amarah yang mendidih. Tapi ia tetap menunduk, menyerah pada permainan keji ini, karena ini adalah cara yang masih bisa ia pertahankan untuk sedikit menjaga sisa harga diri yang ia punya.
Tangannya mulai memungut satu per satu kertas yang bertebaran, mengitari meja besar yang menjadi singgasana pribadi milik Julian. Hingga ia sampai pada selembar kertas yang berada tepat di bawah kaki sang pria. Julian dengan sengaja menginjaknya menggunakan sepatu mahal yang dikenakannya.
Silvi tak bergeming, hanya menatapnya sejenak, meski nafasnya mulai tidak teratur. Jari-jarinya bergetar hebat, seolah menjerit untuk bisa melemparkan kertas itu tepat ke wajah Julian.
“Hah…” Julian mendengus, dan Silvi tahu bahwa senyum sinis pasti kini mewarnai wajah itu.
Lalu, dengan pelan, Julian menendang selembar kertas ke arahnya. Gerakan itu seperti menyiram bensin ke bara api yang membakar perasaan Silvi. Ia menghela napas dalam, berusaha menjaga kendali yang semakin terkikis. Tangannya meraih kertas itu dengan gemetar, hampir meremukkan sudutnya.
“Kamu terlihat terganggu, kenapa? Karena kotor?” ujar Julian, nada suaranya menyiratkan ejekan yang tajam.
Silvi tetap diam, wajahnya tak berubah. Sampai akhirnya Julian mendekat, menundukkan tubuhnya sedikit, berbisik tajam di telinganya.
“Kenapa harus terganggu? Kertas itu bahkan tidak sekotor dirimu.”
Seketika, Silvi menegakkan tubuhnya. Matanya tajam menatap Julian, penuh luka yang berubah menjadi kemarahan. Tangan kanannya sudah siap melemparkan kertas itu ke wajah Julian, tapi pria itu dengan cepat menahan tangannya, dengan sentuhan yang lembut seolah Silvi adalah sesuatu yang sangat berarti.
Memuakkan. Semua kata-kata dan bahasa tubuh Julian begitu bertolak belakang, ia seperti menggoda Silvi untuk bertindak, tapi pada saat yang sama terus menahannya dengan kekuasaan yang ia miliki.
“Jangan berpikir untuk melakukan hal aneh, Silvi. Aku tidak bisa menjamin bahwa tidak akan ada gosip yang beredar besok. Atau mungkin kamu mau bertaruh? Kapan wartawan-wartawan itu mulai datang dan menggali kehidupanmu?” ujar Julian, berdiri tegak di hadapan Silvi yang kini terpaku.
Julian menyentuh wajahnya dengan lembut, seolah tak ada yang berubah di antara mereka.
“Menurutmu seberapa menyenangkan headline yang akan muncul?” tambahnya, suara rendah dan penuh ancaman tersembunyi di balik kata-katanya yang seolah-olah tidak berbahaya.
Silvi merasakan darahnya berdesir cepat. Kata-kata Julian seperti jarum tajam yang menembus jantungnya. Di luar, ia mencoba mempertahankan ekspresi tenang, namun detak jantungnya menggema dalam telinganya.
Julian, dengan segala kekuatan dan kemewahan yang ia miliki, begitu lihai dalam permainan emosional ini. Ia tahu betul bagaimana menggiring Silvi ke tepi jurang, memaksanya untuk jatuh, namun pada saat yang bersamaan terus menahannya.
“Jangan lupakan siapa yang memiliki kekuatan di sini,” Julian melanjutkan, suaranya rendah, penuh ancaman yang tersembunyi di balik kata-kata manis yang seolah-olah tidak berbahaya. Diiringi dengan sentuhan ringan di tubuhnya yang terasa begitu beracun.
“Aku mencoba memberikan pilihan untuk melepaskan Samuel, tapi kamu bahkan terlalu arogan untuk melakukannya demi aku.” Julian berbicara dengan nada yang bisa membuat orang percaya bahwa saat ini dialah yang sedang tersakiti, bukan Silvi, “Jangan salahkan aku jika aku berakhir menyakiti kita berdua.” Julian memeluknya, dengan gerakan lembut dan nyaris menyedihkan, seperti seseorang yang begitu mencintai kekasihnya.
Tapi bagi Silvi, itu bukan pelukan. Itu adalah perangkap yang dibalut kasih sayang palsu. Sebuah jebakan yang membuatnya merasa seperti barang rusak yang dipajang di lemari kaca.
Ia bisa mencium wangi parfum Julian, bisa merasakan nafas pria itu di lehernya, dan rasanya seperti ditarik oleh pria itu ke dalam jurang. Kemarahan dan rasa muak bergemuruh di dadanya, tapi tubuhnya hanya membeku, tidak mampu menolak maupun mengatakan apapun.
Dan di tengah itu semua Julian berbisik dengan pelan, “Tapi jangan pernah lupakan bahwa aku melakukannya karena aku mencintaimu.”
Itu adalah kalimat yang menusuk lebih dalam dari semua penghinaan yang pernah Silvi dengar. Karena kali ini, Julian mencoba membungkus racun dalam bentuk cinta. Dan yang paling menyakitkan bukanlah kata-katanya. Tapi kenyataan bahwa di saat-saat terendah di hidupnya, Silvi ingin percaya bahwa apa yang Julian rasakan memang cinta.
Bahwa memang ada yang begitu menginginkannya hingga rela melakukan apapun.
Hari itu, langit yang mendung seakan mencerminkan isi kepala Celine. Biasanya, ia akan menghabiskan hari libur dengan Julian dan kembali ke rutinitas dengan hati ringan. Tapi kali ini, ia mengenakan setelan putih gading yang tegas, lengkap dengan sepatu hak tinggi dan kacamata hitam besar yang ia gunakan untuk menutupi matanya yang bengkak karena menangis.Ia duduk di mobil yang diparkirkan cukup jauh dari lobi, hatinya gelisah. Apapun yang dilakukan Julian pada minggu lalu ada hubungannya dengan kantornya. Pria itu mengatakannya jelas.Dan Celine harus mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Atau siapa.Beberapa menit kemudian, sebuah mobil hitam berhenti di depan lobi. Julian turun dari mobil hitam tersebut. Tampak biasa saja. Rapi. Tenang. Seperti tidak ada satu hal pun dalam hidupnya yang berubah. Lalu seseorang menyusul di belakangnya, seseorang yang Celine kenali sebagai sekretarisnya. Kenapa? Apa mereka ada urusan pekerjaan sebelum ini?Celine menegang. Matanya menyipit. Wan
Lampu kamar sudah dimatikan, Silvi yang tengah menonton hanya ditemani cahaya yang muncul dari TV, mata lelahnya menatap film tanpa benar-benar tau apa isinya.Ia sudah lupa apa judul filmnya. Tentang pasangan yang saling mencintai tapi tidak bisa bersama dan harus memperjuangkan perasaan mereka, klasik dan basi. Tapi ia biarkan terus berputar di hadapannya. Suara-suara dialog menjadi latar dari pikirannya yang berisik.Silvi sibuk memikirkan apabila hidupnya adalah film itu, apa berarti ia adalah tokoh jahat yang mengambil tunangan orang lain? Tapi apa yang bisa dia lakukan sekarang selain membuat Julian ikut memilihnya?Julian masuk tanpa suara, entah kapan mereka sudah terbiasa. Ia tidak pernah membuat langkahnya terdengar. Mungkin karena dia tahu, Silvi tidak suka dikejutkan.Tanpa bicara, Julian duduk di tepi ranjang lalu perlahan menyusup ke balik selimut, menyandarkan tubuhnya di belakang Silvi. Lengannya melingkar di pinggang Silvi, seperti ritual malam yang sudah berlangsung
Weekend biasanya adalah waktu yang paling dinantikan oleh Celine. Di hari-hari seperti itu, Julian selalu menyempatkan diri untuk menghabiskan waktu bersamanya, ketika kesibukan mereka berdua sedikit mereda. Mereka lebih sering menghindari perhatian publik dan memilih untuk tinggal di rumah, menikmati kebersamaan tanpa gangguan. Celine menikmati momen-momen sederhana itu, memasak bersama, makan berdua, lalu menghabiskan waktu yang tersisa hanya dengan Julian.Tapi hari itu tidak seperti biasanya, meja makan itu hanya dipenuhi keheningan. Denting sendok dan garpu pun terdengar nyaring, menciptakan gema yang terasa aneh di tengah suasana yang begitu dingin. Hanya Celine yang tersenyum, duduk anggun dengan harapan yang memancar dari matanya.“Kamu suka?” Ia mencondongkan tubuhnya sedikit, mencoba menangkap tatapan Julian yang tampak terlalu fokus pada makanannya. Ada keraguan dalam nada suaranya meski ia tetap mempertahankan senyumannya.Julian mengangguk pelan. Ia meletakkan alat makann
“Dia gandengan sama Pak Julian? Gila, nggak punya malu.”“Bukannya dulu selalu sok sibuk sama kerjaan?”“Itu cuma pura-pura, kan? Sok fokus kerja. Padahal diam-diam deketin pak Samuel, terus begitu ada 'barang baru' langsung pindah haluan.”Silvi yang baru saja hampir melewati pintu pantry, menghentikan langkahnya. Awalnya ia ingin terus berjalan. Berpura-pura tidak mendengar, seperti yang biasa ia lakukan selama beberapa tahun terakhir. Berpura-pura menjadi versi ‘baik’ dari dirinya yang lama, versi yang hanya akan menunduk dan menerima kata-kata sinis itu seolah dia pantas menerimanya.Tapi untuk apa? Apa hasil dari semua itu? Ia sudah mencoba menyesuaikan diri. Menjadi rendah hati. Menjaga jarak. Bekerja lebih keras daripada siapapun demi mendapatkan sesuatu untuk bisa dibanggakan dari dirinya. Tapi orang-orang itu terus mencari celah untuk menginjaknya, seolah mereka tahu siapa Silvi sebenarnya. Silvi mengurungkan niatnya untuk pergi, ia justru masuk ke dalam pantry bahkan walau
Silvi tidak hadir ke kantor keesokan harinya. Tidak ada kabar, tidak ada pesan. Tidak ada satupun orang yang tahu kenapa. Bahkan HRD pun tidak tahu. Seolah keberadaannya sengaja disembunyikan oleh seseorang.Samuel mencoba menunggu, berdiri di depan meja Silvi sambil mencoba menghubunginya berulang kali, tapi ponselnya tidak bisa dihubungi. Apa Silvi marah karena kemarin ia pergi begitu saja? padahal Samuel sendiri yang memintanya menunggu.Samuel tahu dirinya salah, tapi Silvi bukan tipe yang menghilang seperti ini. Dia selalu rasional. Jika ada yang mengganggunya, dia akan bertanya. Langsung dan tanpa basa-basi, bukan dengan diam dan menghilang.Tapi jika ia mencoba melihat kembali, akhir-akhir ini Silvi memang sedikit berubah sejak Julian hadir.Dan seolah menjawab pikirannya, Julian muncul dari ujung lorong. Rapi seperti biasa dengan langkah percaya diri sambil memasang ekspresi yang tidak bisa diartikan.Julian bahkan tidak melirik sedikit pun ke arah meja Silvi yang kosong. Tid
Silvi tidak pulang malam itu.Ia tidak melawan saat Julian menarik tangannya, tidak berkata apa pun ketika pria itu membukakan pintu mobil untuknya. Hujan yang turun sejak sore hanya menyisakan pakaian yang basah dan udara dingin yang menempel di kulit. Silvi duduk diam di kursi penumpang, membiarkan suara mesin dan klakson dari kendaraan lain mengisi keheningan. Tidak ada pertanyaan tentang ke mana mereka akan pergi atau apa yang akan terjadi. Ia hanya mengikuti Julian seperti bayangan, tidak peduli akan dibawa ke mana.Saat pintu apartemen Julian terbuka dan cahaya menyambut, Silvi tetap melangkah pelan di belakangnya. Julian duduk di sofa dan menepuk tempat di sebelahnya. Tapi Silvi tidak langsung duduk. Ia hanya berdiri, memandangi seluruh ruangan hingga Julian menariknya perlahan membuat tubuhnya jatuh di samping pria itu. Kepalanya bersandar di pangkuan Julian dan tangannya menggenggam lutut pria itu dengan lemah. Ia tidak menangis. Tapi matanya kosong, penuh kelelahan yang ti
Silvi berdiri mematung saat pelukan itu dilepaskan. Anehnya, yang paling menyakitkan bukan pelukannya, tapi kehampaan yang ditinggalkan setelahnya. Seperti ruang kosong yang tiba-tiba terbuka di dalam dadanya, membesar perlahan hingga nyaris menelannya hidup-hidup. Ia menunduk, menyembunyikan wajah yang mulai basah oleh air mata yang masih tertahan. Ia membenci dirinya sendiri, karena sempat merasakan harapan di dalam pelukan Julian. Harapan kecil yang bodoh, bahwa mungkin di balik semua ini ada cinta yang tulus.Silvi mundur perlahan. Nafasnya berat, dada terasa sesak. “Saya harus pergi.” suaranya nyaris tak terdengar, seperti bisikan yang enggan keluar.Julian tidak menghentikannya. Ia hanya menatap diam, dengan tatapan milik seseorang yang percaya bahwa pada akhirnya semua akan kembali padanya.Silvi berjalan keluar, melewati lorong kantor yang dingin dan sunyi. Lampu di langit-langit terasa terlalu terang, menyilaukan penglihatannya yang mulai buram. Langkahnya tidak punya arah, h
“Aku tidak mencintainya.” Itu adalah hal pertama yang Silvi dengar setelah ia masuk ke ruangan Julian. Silvi mendengus, untuk pertama kalinya, rasa takut yang biasanya menguasai digantikan oleh perasaan lain yang jauh lebih kuat. Ia merasa… muak. Muak dengan Julian yang terus-menerus memasukkan tokoh baru hanya demi menyakitinya.“Anda tidak perlu repot-repot menjelaskan hal seperti itu pada saya,” Silvi berkata pelan, mencoba menahan diri. Ia menurunkan dokumen-dokumen di atas meja Julian, lalu menatap kotak bekal kecil yang terletak rapi di sudut meja, lengkap dengan sticky note berwarna merah muda menempel di atasnya.Silvi tahu bahwa itu diberikan oleh Celine dan ia sama sekali tidak berniat membaca pesan di sana. Ia tidak ingin tahu apa yang ditulis oleh wanita itu, karena jika ia melakukannya, itu hanya akan membuatnya merasa seperti penyusup dalam kehidupan orang lain.“Aku akan segera melepaskannya,” Julian kembali berbicara, suaranya rendah dan penuh penekanan, “Kalau kamu jug
Samuel menemukan Silvi di ujung ruang arsip ketika jam kerja hampir berakhir. Tangannya bergerak memegang beberapa dokumen, tapi kemudian meletakkannya kembali di tempat yang sama. Seolah itu hanyalah caranya agar tidak ada yang mengusiknya.Matanya merah, menahan air mata yang terus ia tolak keluar. Silvi tidak bisa berbohong, gosip itu mempengaruhinya. Ia menghabiskan bertahun-tahun untuk membersihkan namanya dan memastikan tidak ada masalah yang menempel, bahkan membuang nama belakangnya, hanya untuk Julian dengan sengaja menyematkan kalimat ‘wanita simpanan’ di sana. Ia membencinya, dan jauh lebih membenci dirinya yang tidak berdaya.Samuel berhenti di ambang pintu, tidak mengetuk, tidak memanggil. Hanya memandang Silvi dari kejauhan.Ia tahu bahwa seharusnya ia pergi, karena Silvi yang ia kenal benci ketika ia terlihat rapuh di mata orang lain. Tapi Samuel menahan dirinya di sini, mencoba memanggil Silvi pelan.“Silvi…”Suara itu pelan, nyaris tenggelam di antara suara folder yan