Share

Hati Yang Tak Pasti
Hati Yang Tak Pasti
Author: inda

Putus

“Kita putus aja, Je.”

Jesatya mengerjap, ucapan Gia, pacar empat tahunnya itu terdengar mutlak. Makan siang yang sedang ia santap dengan lahap beberapa menit lalu tidak lagi membuatnya berselera.

Wa—wait, wait, maksudnya apa sih? Tiba-tiba banget.” Jesatya meletakkan sendok dan garpunya di atas piring lalu menatap Gia lekat. Gadisnya itu tidak tampak bercanda sedikit pun.

You heard me,” balas Gia. “Kita putus aja, Je. Apa kamu enggak capek? The sparks is gone.”

Jesatya menggeleng, menyanggah ucapan Gia itu. “Putus bukan jalan keluarnya, Gia. Kita udah pernah ngelewatin ini, ‘kan?”

Gia menggeleng pelan. Tidak seperti Jesatya yang beberapa menit lalu bisa menyantap makan siangnya dengan santai, Gia sama sekali tidak berselera sejak ia datang menemui Jesatya di restoran ini. Butuh keberanian yang banyak untuknya menemui Jesatya di sini dan mengatakan tujuan awalnya—walau, itu terasa begitu sulit untuk diungkapkan.

Setelah berpikir matang selama tiga malam, Gia kemudian memantapkan hati, bahwa ia tidak bisa lagi melanjutkan hubungannya bersama Jesatya. Putusmungkin memang adalah jalan keluarnya.

“Gia.” Suara Jesatya mulai terdengar pasrah. “Ini bukan cuma soal kita, Gia. Kamu tahu itu, ‘kan?”

Gia mengangguk-angguk, mengalihkan pandangannya ke mana saja asal bukan kepada manik mata Jesatya yang selalu menyejukkan, bahkan saat ini sekalipun.

“Kamu yang ngomong. Ke Mami, ke Mama ... ke semuanya, Je.”

“Enggak.” Jesatya menolak. Jika saja mengatakan hal ini terasa gampang, maka sejak dulu Jesatya akan mengatakannya, tanpa harus Gia yang minta. “Enggak bisa, Gia. Inget, delapan bulan lalu? We’ve tried, didn’t we? Tapi ... Enggak bisa, ‘kan?”

“Jesa, aku tahu ... aku tahu kamu juga enggak punya perasaan itu lagi sama aku. Kita enggak bisa maksa sesuatu, mau udah berapa lama hubungan kita jalan, ‘kan?”

Iya, gue tahu. Gue tahu itu, Gia ....

Jesatya sangat paham dengan maksud ucapan Gia. Sebab, bukan hanya Gia yang merasakan perasaan kosong itu, Jesatya juga sama. Perasaan itu hilang, entah sejak kapan.

Jesatya tidak lagi merasakan kupu-kupu saat bersama Gia. Jesatya tidak lagi merasa excited setiap bertemu dengan Gia. Jesatya merasa semuanya hampa, kosong, dan ia tidak tahu lagi harus mengubah perasaan itu untuk kembali ke perasaan semula. Berbagai cara telah Jesatya coba. Namun, hasilnya nihil. Perasaan itu benar-benar hilang. Baik baginya, maupun bagi Gia. There’s no more us.

“Aku cuma mau bilang itu. Aku mau ke kantor.” Gia bangkit dari duduknya, bermaksud untuk meninggalkan Jesatya saat itu juga.

“Gia,” panggil Jesatya, membuat Gia berhenti sejenak, menatap Jesatya dalam diam. “Apa ini karena seseorang? Is there... someone else?”

No.” Gia langsung menjawab lalu berlalu pergi, tanpa membiarkan Jesatya menghentikan dirinya lagi.

Jesatya menghembuskan napas berat, menyandarkan tubuhnya ke sandaran di kursi. Setidaknya, tidak ada siapa pun yang merusak hubungan mereka.

“Sekarang ... apa?” gumam Jesatya.

***

Jesatya menghela napas—entah untuk yang keberapa kalinya setelah ia bertemu dengan Gia tadi. Ia tiba di kantor dengan perasaan yang campur aduk—antara lega dan bingung harus melakukan apa. Lega, karena Gia melakukan itu bukan karena orang ketiga dan bingung harus mengatakan apa kepada orang tua mereka.

Dulu, Jesatya dan Gia pernah mencoba mengakhiri hubungan mereka. Percobaan pertama itu ditentang habis-habisan oleh kedua orang tuanya dan Gia. Orang tuanya dan Gia sudah berteman lama dan tentu saja tidak ingin mengakhiri hubungan mereka begitu saja.

“Kalau hubungan udah lama pasti kayak gitu, Je, Gi. Pasti ada aja cobaannya. Percaya deh, kalian berdua pasti bisa ngelewatin ini kok. Jangan nyerah gitu, ya?” kata ibunya Jesatya kala itu, menasihati dirinya dan Gia.

Setiap Jesatya berpikir untuk mengakhiri hubungannya bersama Gia, yang terlintas di benaknya hanya satu; bagaimana cara yang benar untuk meyakinkan kedua orang tuanya agar mereka tahu, bahwa ia dan Gia tidak bisa lagi bersama.

“Kenapa lo?” tanya Raga, begitu Jesatya masuk ke dalam ruangan Haris, Editor in Chief-nya di Resandi.co, tempat ia bekerja.

“Gia?” Haris ikut menimpali, sembari membaca berkas-berkas yang telah menumpuk sejak pagi.

Jesatya tidak perlu repot-repot membenarkan ucapan Haris ataupun tatapan Raga. Sebab, memang tidak ada hal lain yang membuat wajah Jesatya kusut selain seorang Lutesha Gianina.

“Kenapa lagi?” tanya Haris dengan tenang tanpa menoleh ke arah Jesatya.

“Dia mau putus.”

Raga membulatkan mata begitu mendengar ucapan Jesatya. Harusnya dia tidak perlu kaget. “Lagi? Does she really hates you or what, Jes?” Raga terkekeh dan Jesatya menatapnya sebal.

Selain karena hanya Raga yang memanggilnya dengan ‘Jes’, ucapan Raga sebelum itu justru yang paling membuat Jesatya sebal. Mendengar Raga berkata demikian, Jesatya merasa ucapan pria itu ada benarnya juga sampai-sampai, teman-temannya tidak terkejut lagi jika mendengar kabar bahwa Gia ingin putus darinya.

Kenapa Gia mencoba pergi drinya—dengan bersikeras seperti itu?

“Jadi sekarang mau apa lagi? Enggak mungkin ditahan lagi.” sahut Haris.

Jesatya menggeleng, mengacak rambut kecokelatannya frustrasi. “Lo berdua tahu gue enggak bisa. Egoisnya Gia, dia nyuruh gue yang ngomong ke bokap nyokap.”

“Jes.” Raga meletakkan satu berkas yang sedang ia baca ke meja Haris dan menatap Jesatya. “Gue jadi penasaran kenapa mereka ngotot banget. Gimana kalau ternyata—lo dijual, Jes, buat nutupin hutang?”

Jesatya langsung menatap Raga tajam. Sedangkan yang ditatap hanya tertawa puas lalu mengambil setengah berkas yang ada di meja Haris dan membawanya keluar ruangan. Si Redaktur Pelaksana Resandi.co itu terkadang bisa sangat menyebalkan.

Haris ikut tertawa. “Mungkin udah saatnya lo bener-bener tanya sih, Je, kenapa orang tua lo sengotot itu buat mempertahankan hubungan lo sama Gia. Who knows? Bisa aja Raga bener, ‘kan?”

Jesatya bergeming, yang Haris dan Raga katakan mungkin ada benarnya.

Jesatya bangkit dari duduknya, menepuk pundak Haris. “Thanks, Ris.” ujarnya sambil meninggalkan ruangan Haris.

***

Gia tahu, berpisah dengan Jesatya bukanlah keputusan yang baik. Ada banyak muda mudi di luar sana yang berpacaran dan memiliki hubungan yang sudah di ujung tanduk seperti dirinya dan Jesatya. Gia juga tahu, muda mudi itu pasti sudah melakukan berbagai macam cara untuk mempertahankan hubungannya dan berakhir kembali dengan pasangan mereka masing-masing.

Namun, untuk kasus Gia dan Jesatya, rasanya tidak mungkin lagi untuk dipertahankan.

Tidak ada lagi Jesatya atau Gia yang memiliki konversasi random dan hanya mereka yang memahami hingga dapat tertawa bersama. Tidak ada lagi mereka yang berdebat untuk mendengarkan playlist siapa di mobil. Tidak ada lagi mereka yang senang duduk di ayunan balkon apartemen Jesatya sembari memandangi langit malam. Tidak ada lagi ucapan selamat pagi dan seterusnya. Semuanya, tidak ada lagi.

“Jadi, lo resmi putus?”

Gia mengalihkan pandangannya dari foto dirinya bersama Jesatya yang masih ia biarkan menempel di kubikel, kepada Ella, teman dekatnya di kantor.

“Mungkin?” balas Gia tidak yakin.

“Emang diiyain sama Jesa?” sahut Ella lagi.

Gia tidak menjawab dan Ella tahu jawabannya apa. “Berarti belum, lah.” kata Ella. “Lo putus kalau Jesatya juga ngomong gitu, Gi. Kalau belum, ya berarti belum. Lo yakin enggak bakalan nyesel, Gi?”

“Nyesel, ya.” Gia mengulang kata terakhir yang Ella sebutkan. Ia tersenyum tipis. “Gue udah mikirin matang-matang, La. Gue udah yakin sama keputusan gue. Gue enggak mau nyakitin Jesa lebih dalam lagi. Rasa itu udah enggak ada, La.”

“Kali aja lo cuma bosen, Gi, sama Jesa. Dan kali aja itu cuma sementara? Mungkin lo bisa healing berdua. Ke mana kek gitu.”

Gia menggeleng. Ia sudah mencoba saran Ella yang satu itu sekitar tiga bulan yang lalu. Ia dan Jesatya pergi ke Bandung untuk sekadar refreshing sambil mengunjungi keluarga Gia yang ada di sana. Tapi, hasilnya tidak ada.

“Oh, oke, udah pernah. Ke Bandung.” Ella menjawab sendiri dan manggut-manggut, membuat Gia tersenyum kecil padanya. “Bete gue sama lo berdua. Tapi, gue lebih bete sama diri sendiri.”

“Lah, kenapa jadi lo yang bete? Yang pacaran kan, gue sama Jesa.”

“Soalnya gue enggak bisa nolong lo berdua, Giiiii ....” Ella merengek, mengambil kursi kosong yang ada di sebelah kubikel Gia dan berpura-pura menangis. “Gue sayang banget sama lo berdua. Masa putus, sih?”

“Berarti gue sama Jesa enggak jodoh, La ....” Gia mengusap-usap punggung Ella yang masih berpura-pura menangis.

Ella mendengkus, menarik dirinya menjauh dari Gia. “Tapi, daripada nanti udah terlanjur nikah dan berhenti di tengah jalan, enggak enak juga.”

“Yap.” Gia mengangguk setuju. “Udah ah. Ayo kerja lagi. Mbak Stef udah mulai jalan-jalan tuh.”

Ella refleks menggeser kursi ke arah kubikelnya dan kembali bekerja, sebelum ia disemprot habis-habisan oleh Product Manager-nya itu.

***

“Mudah saja bagimu, mudah saja untukmu—“

Jesatya langsung mengganti channel radio di mobil ketika lagu Sheila On 7 berjudul Mudah Saja itu hampir memasuki bagian puncaknya. Jika sebelumnya ia hampir tidak pernah melewati lagu-lagu Sheila On 7, maka kali ini, beda. Jesatya sedang malas untuk mendengarkan lagu Sheila On 7yang mungkin agak mirip dengan kisah cintanya.

Jesatya tidak sedang memikirkan Gia. Ia hanya bingung dengan apa yang harus ia katakan kepada orang tuanya. Lagi pula, hei, kenapa Gia egois sekali menyuruh ia mengatakan ini semua seorang diri?

“Emang bener-bener lu, Gia.” gumam Jesatya sambil menggeleng pelan.

Di saat Jesatya sibuk memikirkan kalimat apa yang harus ia katakan kepada orang tuanya, konsentrasinya justru membuyar di perjalanan hingga ia terkesiap dan terpaksa menginjak rem mendadak ketika seseorang hampir saja menyebrang di depannya.

“Mampus gue,” gumam Jesatya sambil menarik rem tangannya dan bergegas turun dari mobil. Perjalanan menuju apartemennya itu tidak begitu ramai karena ia mengambil rute yang singkat.

Helaan napas lolos dari mulut Jesatya saat ia melihat orang yang hampir dia tabrak selamat dan terlihat sedang berjongkok tak jauh dari mobilnya. Maka, Jesatya memutuskan untuk menghampirinya dan memastikan bahwa seseorang yang sedang berjongkok itu memang manusia—bukan sesuatu yang lain.

“Hei,” sapa Jesatya takut-takut. “Mbak enggak apa-apa?”

Perempuan bersurai panjang itu menoleh. Kedua tangannya tampak sedang menggenggam seekor kucing kecil yang sepertinya melintas di jalan dan hampir Jesatya tabrak. Mata Jesatya membulat dan sekali lagi, ia bernapas lega.

“Ya ampun. Makasih banyak, Mbak, udah selamatin kucingnya. Tapi, Mbaknya enggak apa-apa, kan?”

Perempuan itu bangkit berdiri, mengelus kucing kecil yang sedang mengeong itu dengan kasih sayang. “Enggak apa.” jawab perempuan itu akhirnya sembari mendongakkan wajah untuk menatap Jesatya. “Kucingnya juga enggak apa-apa.”

“Syukurlah. Saya pikir ada apa-apa. Maaf, saya enggak lihat-lihat.” kata Jesatya.

Perempuan itu menggeleng. “Enggak. Masnya udah bener kok bawa mobil. Kucingnya aja yang enggak lihat-lihat. Saya juga salah main nyebrang aja.”

Jesatya mengangguk, memandangi perempuan itu yang berjalan ke tepi dan meletakkan lagi si kucing kecil ke tanah. Kucing kecil itu berlari dengan gesit—entah ke mana. Jesatya menatapnya hati-hati. Pergerakan si perempuan pun tampak hati-hati. Pelan dan anehnya malah menyita perhatian Jesatya—walau ia tidak tahu mengapa ia melakukan itu. Jesatya masih menatapnya, hingga suara klakson mobil dan teriakan seseorang mengagetkannya.

“Hoi! Lo pikir jalan punya bapak lo?!” teriak seseorang.

Jesatya mengerang dan berbalik. “Ugh, I wish.” bisiknya lalu menunduk kepada si pemilik mobil yang baru saja berteriak. “Maaf, Pak.” katanya sambil menepikan mobil.

Saat mobilnya sudah menepi, Jesatya keluar dari mobilnya dan mengedarkan pandangan, mencari-cari perempuan yang tadi hampir ia tabrak. Sialnya, perempuan itu menghilang begitu saja.

Seketika, sekujur tubuhnya merinding.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Armelia Rahmasari
Positif thinking mungkin mba nya lari cepet2 trus nyelip2 dimobil laen jes :))
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status