Share

We Can Always Fix It

Gia merentangkan kedua tangannya ke atas, lalu ke kanan dan kiri dan sedikit menghela napas ketika akhirnya waktu kerja untuk hari ini telah selesai. Gadis itu sedikit melirik ke atas dari kubikelnya, memperhatikan beberapa rekan kerja yang juga melakukan hal yang sama dengannya. Percayalah, bekerja di depan laptop hampir seharian itu jauh lebih melelahkan. Karena itu pula, Gia harus menggunakan kacamata untuk bekerja.

Gia mengambil ponselnya yang terletak di atas meja. Waktu telah menunjukkan pukul tujuh malam. Sebenarnya, Gia bisa saja pulang sebelum jam tujuh. Namun, pekerjaan hari ini terpaksa membuatnya mengundur waktu pulang.

Satu notifikasi khusus yang Gia buat untuk Jesatya tiba-tiba terdengar. Gia terkesiap, membuka satu pesan yang baru saja Jesatya kirimkan untuknya. Random—tapi akan selalu membuat Gia tersenyum, karena itu adalah tipikal seorang Jesatya Sejati.

Jesa: Gia, masa tadi aku ketemu setan

Gia semakin melebarkan senyumnya dan dengan cepat mengetikkan sebuah balasan hingga mereka bertukar beberapa pesan, seolah melupakan apa yang mereka bicarakan siang tadi.

Gia: Apaan sih je? Setan apa?

Jesa: Gak tau. Tiba-tiba ngilang. Serem deh.

Jesa: Kamu di mana? Udah pulang?

Gia: Belum. Aku masih di kantor. Pulang jam 9 mungkin.

Jesa: Kenapa kok malem banget gi? Banyak kerjaan? Mau aku jemput?

Gia: Ga usah, jes. Aku kan bawa mobil.

Jesa: Oh iya. Ya udah hati-hati.

Jesa: Btw, aku gak mau ngomong sama mami dan papi kamu. Kamu tau kan, papi kamu itu serem.

Gia refleks meloloskan kekehan dari mulutnya hingga membuat Ella yang masih berkutat di depan komputer melirik sebentar.

Gia: After all this time kamu masih takut sama papi? Hahahaha

Gia: Eh bentar ... jadi, kita putus?

Jesa: Belum

Jesa: Give me some time ya gi. Pikirin lagi, ya? Kamu yakin mau kehilangan cowok keren kayak aku?

Gia: You wish Jesatyaaaa

Jesa: Hahahahaha

Gia mengulum senyum, mengakhiri konversasinya bersama Jesatya dan meletakkan ponselnya lagi di atas meja lalu bersiap-siap untuk pulang.

***

Tepat pukul sembilan malam Gia meninggalkan kantornya bersama Ella dan sama-sama berdiri di lobi untuk menunggu jemputan.

“Lo dijemput Jesa?”

Gia menggeleng menjawab pertanyaan Ella. Senyuman tipis tampak menghiasi wajahnya. Ia berbohong kepada Jesatya ketika lelaki itu bertanya pukul berapa ia akan meninggalkan kantor. Gia tidak berbohong soal jam pulangnya, melainkan tentang dirinya yang membawa kendaraan. Gia tidak membawa mobil hari ini.

“Gue naik taksi online aja, La.” jawab Gia akhirnya.

“Lah, biasanya lo dijemput Jesa kalau pulang larut gini, Gi.”

“ya ... itu kan biasanya—waktu hubungan gue baik-baik aja sama Jesa, La.”

“Emang sekarang? Udah putus? Belum, ‘kan? Tadi gue lihat lo ketawa-ketawa aja tuh bales message-nya Jesa—” Ella tiba-tiba terkesiap sambil menutup mulutnya. “Jangan bilang lo punya selingkuhan, Gi?!”

“Enggak ya, La!” seru Gia gemas. “Enak aja lo. Iya, tadi itu gue chat-an sama Jesa, kok.”

“Hah? Terus? Ih, aneh banget lo berdua.”

Gia tertawa. Ia tidak heran jika orang-orang kebingungan dengan hubungannya dan Jesatya. Meski di dalam terasa begitu kosong, tapi sesungguhnya mereka bisa menjadi teman sampai kapan pun. Mungkin, berteman memang lebih cocok untuknya dan Jesatya.

“Udah. Lo enggak bakalan ngerti, La. Pacaran aja lo cuma sekali,” canda Gia.

Ella langsung merengut sebal. “Iya, gue tahu, Gi, tahuuuu banget. Gue emang bukan pakarnya.”

“Tuh, jemputan lo udah datang,” sahut Gia saat mengenali Mobilio hitam berhenti di depan mereka. “Semoga sama yang ini pengalaman lo soal cinta-cintaan nambah ya, La.”

Ella memutar bola matanya dan memberikan jari tengah kepada Gia. Gadis itu hanya tertawa lalu melambaikan tangannya saat Ella telah masuk ke dalam mobil Nathan—gebetannya, dan melambai kepada Gia.

Gia kemudian meraih handphone-nya yang ada di dalam tas. Namun, barang-barangnya yang ada di dalam tas justru terjatuh dan membuat Gia berdecak. Hari ini jelas bukan hari yang baik buat gue.

Gia berjongkok, mengutip sisir, hand cream-nya, lipstik, dan dompet—yang ternyata lebih dulu diambil oleh seseorang di hadapannya. Gia tersentak, menyangka seseorang itu tidak memiliki tujuan yang baik. Ketika ia dan seseorang itu sama-sama berdiri, Gia terhenyak selama beberapa menit sambil menerima dompet yang diserahkan oleh orang itu.

Sekon berikutnya, Gia tersadar dan memukul lengan orang itu dengan dompetnya. “Lo tuh ya, Zra!”

Ezra—seseorang yang ia sangka tidak memiliki niat yang baik langsung tertawa puas. “Muka lo panik banget, Gi.”

“Ya, paniklah, sialan lo!” balas Gia, memasukkan dompetnya ke dalam tas. “Harta gue di situ semua. Gue pikir siapa tadi,” lanjutnya dan kembali menatap Ezra, teman pacarnya—yang entah mengapa bisa ada di kantornya selarut ini. “Ngomong-ngomong, lo ngapain di sini, Zra?”

Ezra tiba-tiba menghembuskan napas berat. “Gue habis ketemu sama bos lo yang super classy itu.”

“Bu Clarissa? Lo mau interview dia?”

Ezra mengangguk. “Lo enggak tahu? Dia ngundang gue sama reporter lain buat makan malam di ruangannya.”

Gia tiba-tiba tergelak. “Pasti lo semua disuruh nulis yang baik-baik.”

“Apa lagi kalau bukan itu,” Ezra menggeleng, sudah terlalu paham dengan profesi yang ia jalan selama empat tahun. “BTW, lo ngapain? Nungguin Bang Jesa?”

“Enggak. Gue baru aja mau mesen taksi online, Zra.”

“Tumben banget enggak dijemput Bang Jesa?”

Gia hanya menggeleng, air mukanya seketika berubah dan Ezra tahu bahwa ia tidak boleh bertanya apa pun lagi mengenai Jesatya kepada Gia.

“Pulang sama gue aja, Gi. Udah malem.” ujar Ezra, membuat Gia menoleh ke arahnya.

“Enggak apa-apa emang? Kayaknya kita enggak searah.”

“Gampanglah kalau soal searah enggak searahnya. Yuk? Mobil gue di bawah.”

Gia tersenyum, mengikuti Ezra yang berjalan lebih dulu darinya menuju basement parkiran gedung itu.

***

“Gi, lo bisa cerita sama gue.” Suara Ezra mengudara ketika mobil yang ia bawa berhasil keluar dari gedung kantor Gia.

Gia tersenyum kecut. Di antara teman-teman Jesatya, ia memang lebih dekat dengan Ezra. Ezra adalah orang yang mengenalkan Gia kepada Jesatya empat tahun lalu—saat ia dan Jesatya menghadiri sebuah seminar.

Gia masih mengingat bagaimana pertemuan mereka saat itu. Ia dan Ezra duduk bersampingan dan menguap dengan kompak karena lelah menghadiri seminar yang telah berjalan selama dua jam penuh. Kaduanya saling pandang, kemudian tertawa bersama. Saat itulah, mereka bertukar nama dan Ezra membawa Gia makan siang bersama teman-temannya karena Gia memang sendirian saat itu.

“Zra,” ujar Gia. “Di mata lo, gue sama Jesa tuh, sekarang gimana sih?”

Ezra terdiam sejenak, seolah menimbang-nimbang kata apa yang harus ia sampaikan kepada Gia. Tentu saja, Gia langsung menyadari itu.

“Lo enggak perlu sungkan, Zra. Kalau menurut lo gue sama Jesa kayak enggak pacaran lagi, ya enggak apa.”

“Iya sih,” jawab Ezra segera. “Emang enggak kayak orang pacaran lagi. Kenapa? Udah sama-sama bosen ya lo berdua?”

“Mungkin.” Gia tersenyum tipis. “Gue sama Jesa kayak menjalani itu semua dengan terpaksa.”

“Lo apa Jesa?” balas Ezra, membalas senyuman Gia. “Karena gue lihat, Jesa biasa aja. Enggak sedikit pun terpaksa.”

“Sejak kapan lo bisa baca pikiran Jesa, Zra?”

Ezra seketika tergelak. “Iya ya, Gi. Sejak kapan?” katanya setelah puas tertawa. “Tapi, yang gue lihat, dia tetap jadi Jesa yang peduli sama elo, Gi.”

Gia bergeming, teringat dengan chat Jesatya tadi kepadanya. Jesatya memintanya berpikir ulang. Begitu pula dengan Ella yang selalu mengingatkannya untuk tidak mengambil keputusan yang salah. Ucapan-ucapan mereka itu membuat keraguan datang kepada dirinya. Lagi. Entah yang sudah keberapa kalinya.

“Lo sama Jesa kan udah lama. Orang tua lo berdua udah saling kenal. Apa enggak sayang?”

“Nah itu,” tukas Gia. “Yang gue dan Jesa pikirin tuh tiap mau putus, pasti orang tua, Zra. Lo tahu kan gimana orang tua gue sama Jesa? Aneh banget. Kayak enggak sabaran buat besanan.”

Ezra terkekeh, ia sangat paham dengan yang satu itu. “Bener sih, Gi. Kenapa, ya? Lo enggak coba tanya sama mami lo?”

“Pernah. Gue pernah tanya dan lo tahu Mami jawab apa?”

“Apa?”

“Katanya, kapan lagi punya calon mantu cakep kayak Jesa, Gi?” sahut Gia menirukan ucapan maminya saat itu dan mengundang tawa dari Ezra. “Bete enggak sih, Zra? Enggak ada serius-seriusnya.”

“Ya kali aja alasannya emang itu, Gi.”

“Enggak mungkin, lah. Jesa enggak cakep-cakep amat tahu.”

Ezra tertawa dan mendadak, suasana di dalam mobil hening. Gia sibuk memikirkan kembali hubungannya dengan Jesatya. Hingga keheningan itu terpaksa diusik oleh Ezra dengan menghidupkan radio di mobilnya.

Lagu Alexandra dari Reality Club tiba-tiba mengudara—tepat di bagian lirik yang sangat mengena untuk seorang Luthesa Gianina. I fell in love with Alexandra. Lantas, Gia tersenyum dengan penuh arti.

“Kenapa lo?” Ezra bertanya, menangkap lengkungan di bibir Gia dari ujung matanya.

“Ini. Gue inget banget dulu Jesa suka nyanyiin lagu ini, Zra. Part I fell in love with Alexandra, dia ganti jadi I fell in love with Gianina. Even though i barely met her, event though we’d break our hearts...” Gia menggantungkan lirik lagu itu dan mengangguk pelan. “Kinda miss those moments, when we were so in love.

Ezra menyunggingkan senyum. Baik dirinya dan Gia mungkin sudah sama-sama tahu apa yang harus mereka lakukan.

You can always fix it, Gi.”

Thank you, Zra.”

Benar. Mungkin ... dia akan mencoba kembali, kembali ke masa-masa membahagiakan itu bersama Jesatya-nya.

***

Jesatya melangkahkan kakinya keluar dari kamar mandi sembari mengeringkan rambut dengan handuk di kepala. Sayup-sayup suara berisik dari lantai bawah terdengar dan membuatnya menyunggingkan senyum. Ia baru saja hendak turun ke lantai satu ketika dering handphone mengurungkan niatnya.

Jesatya berjalan ke arah meja untuk mengambil handphone-nya dan kontak dengan nama “My Luthesa” terpampang di layar.

“Hei, Luthesa.” sapa Jesatya sambil duduk di tepi kasurnya. “Udah sampai rumah?”

“Udah. Kamu di mana, Jes? Udah di apartemen?”

Jesatya tersenyum, kembali melirik ke arah pintu. “Aku di rumah Raga.”

“Di sana lagi? Kayak enggak punya rumah.”

Jesatya tertawa mendengar komentar Gia. Sebab, Gia sudah lelah mendengar dirinya lebih sering menghabiskan waktu di rumah Raga dari pada di apartemennya sendiri. Alasannya selalu sama. Jesatya senang dengan suasana rumah Raga yang ramai karena temannya itu tinggal bersama adik-adiknya. Tidak hanya satu, tetapi tiga dan itu membuat rumahnya tidak pernah sepi.

“Di unit sepi, Gi. Kamu tahu kan aku di sini—”

“Cuma mau ketemu Rafka? Yeah, I get it, Jesa. Asal alasannya bukan ketemu Rena, ya.”

Lagi, Jesatya tertawa. Rafka itu adik paling kecilnya Raga, ngomong-ngomong, dan benar-benar alasan Jesatya mengapa ia senang menginap di rumah Raga. Bahkan, Raga memberikan satu kamar kosong untuknya menginap di rumah itu.

“Emang kalau alasannya ketemu Rena, gimana? Jealous?”

Rena—adik perempuan satu-satunya Raga yang amat sangat dijaga olehnya dan juga kembaran Rena. Berteman dengan Raga sejak SMA, membuat Jesatya tanpa sadar ikut menganggap adik-adik Raga sebagai adiknya. Terlebih, ia memang merupakan anak tunggal.

Tahun pertama berpacaran dengan Gia, gadis itu sempat merasa sangat cemburu. Sebab, Jesatya selalu tidur di rumah Raga dan tampak akrab dengan Rena. Namun sekarang, Gia sama sekali tidak merasa terganggu dengan itu. Apalagi ia dan Rena sekarang sudah seperti teman yang tak terpisahkan.

“I’m not, Jes.” balas Gia.

“Jadi, kenapa nelepon? Mengingat gimana kita siang tadi, aku cukup kaget kamu nelepon cuma buat nanya ini.”

“Aku lebih kaget waktu kamu nge-chat cuma buat bilang ada setan? You’re so random.”

Senyum Jesatya tak lepas dari wajahnya. Ia bangkit berdiri, berjalan menuju jendela kamar dan memperhatikan suasana komplek perumahan tempat Raga tinggal yang sepi.

“Jadi  ... Kenapa, Gi? Mau ngobrolin apa?”

Terdengar sepi di seberang sana. Gia tidak mengatakan apa pun. Namun, sepinya itu tak berlangsung lama ketika akhirnya Gia mulai bersuara.

“Kalau ... Kamu enggak sibuk weekend ini, mau lunch bareng, enggak? Di Belle’s.”

Atas ucapan Gia tersebut, barulah senyum yang sejak tadi terpatri di wajah Jesatya luntur. Bukannya ia tak senang, melainkan merasa kebingungan dengan ajakan Gia yang terkesan mendadak. Pasalnya, tadi siang, Gia baru saja mengajaknya untuk berpisah.

“Gi ... Ini bukan karena kamu mau ajak putus lagi, ‘kan?”

Gia terkekeh. “Enggak, Jesa. Aku... Mau coba perbaiki lagi hubungan kita.”

Mendengar itu, senyum yang sempat pudar beberapa detik lalu pun perlahan kembali mewarnai air muka Jesatya. “Of course, Luthesa. Let’s fix it.”

“Kak Jesaaaa! Pizza!”

Jesatya melirik ke arah pintu yang kemudian terbuka, menampakkan sosok Rena yang sedang memakan sepotong pizza.

“Ups, lagi teleponan? Siapa?”

“Gia,” kata Jesatya.

Rena kemudian menghampiri Jesatya. “Kak Giaaaa! Aku pinjem lagi Kak Jesa-nya!”

Gia tertawa. “Pinjem lama-lama juga enggak apa, Ren.”

“Ih, ogah! Enggak mau sama bapak-bapak!”

“Enak aja lu! Sana-sana, ntar gue turun!” sahut Jesatya sambil mendorong tubuh Rena untuk keluar. Rena mengerucutkan bibirnya sebal, menjulurkan lidah, lalu meninggalkan kamar itu.

“Ya udah. See you on the weekend ya, Je?”

See you, Gi. Good night.”

Jesatya menutup sambungan teleponnya bersama Gia dan meletakkan benda itu ke atas meja. Berhubung Rena sudah sampai menjemputnya untuk memakan Pizza yang sepertinya baru saja dipesan oleh Raga, Jesatya pun akhirnya menghampiri adik beradik itu ke lantai bawah.

“Udah tidur lo, Jes?” tanya Raga yang duduk di sofa bersama adik bungsunya, Rafka.

“Enggak. Lagi teleponan sama Gia.” jawab Jesatya, duduk di sebelah Rafka dan langsung memeluk bocah berumur tujuh belas tahun itu. “Rafka, enak banget makannya. Suapin Abang, dong.”

“Kan! Kalah nih aku jadinya!” sahut Rafka marah-marah. Jesatya hanya tertawa mendengarnya. Selalu merasa gemas jika Rafka sudah marah-marah seperti itu.

“Kok bisa masih teleponan, sih? Kan, mau putus.” ujar Raga.

“Hah? Putus?” Rena dan Regi, kembarannya langsung menyahut dengan kompak.

“Serius, Bang? Mau putus sama Gia?” ulang Regi.

“Enggak ah, belum. Kenapa emang?”

“Mau gue pepet, lah!” kata Regi lagi yang kemudian langsung mendapat lemparan kacang atom dari Rena dan Raga.

“Eh ....” Rafka tiba-tiba bersuara, menurunkan ponsel ke pangkuannya. “Mumpung ada Bang Jesa, aku mau nanya.”

“Nanya apa?” tanya Jesatya bingung. Raga, Regi, dan Rena pun ikut menatap Rafka penasaran.

“Iya ... supaya aku enggak dimarahin,” kata Rafka lagi pelan.

“Eh, kamu habis ngapain?!” sahut Rena.

“Awas ya macem-macem!” tegur Regi ikut-ikutan.

Raga kemudian ikut menegur Rena dan Regi. “Hei, biarin dulu adiknya ngomong.”

Rafka mengejek Regi lalu kemudian menatap Jesatya di sampingnya. “Aku cuma mau nanya. Enggak penting, sih. Tapi, penasaran.”

“Iya, apa, Raf? Enggak bakalan dimarahin.” ujar Jesatya.

Rafka memandangi Raga, Rena, Regi, dan Jesatya bergantian. Tatapannya ragu, takut kalau-kalau, pertanyaan itu malah mengundang amukan. Terutama dari Abang Regi yang sumbu marahnya pendek sekali.

“Rasanya ... rokok itu kayak apa, sih?”

“REGI! LO APAIN ADIK GUE?!” seru Jesatya.

“ADIK GUE INI MAH, BUKAN ADIK LO KALI, BANG!” balas Regi.

“REGI, INI SEMUA SALAH LO!” Rena pun ikut menimpali. Sedangkan Raga, lebih memilih untuk diam.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status