Share

Bab 6

Rafi menunduk sejenak. Kemudian ditatapnya Nazwa. “Maafkan aku, Naz. Aku memang terlalu pengecut untuk berkata jujur. Renata pastinya sudah bercerita kepadamu kejadiannya. Jujur, Naz. Aku tak pernah ingin berada dalam situasi seperti ini. Kalau aku bisa mengulang kembali cerita hidupku, ingin rasanya aku tak berhutang budi kepada orang tua Renata. Sehingga aku tak harus memenuhi permintaan ayah angkatku untuk menikahi Renata,” Keluh Rafi.

“Aku tak meminta pembelaan dirimu, Fi. Yang terjadi pastilah yang harus terjadi. Aku hanya ingin kamu tidak berbohong padaku dan anak-anak! Kamu sendiri yang bilang, bahwa apapun yang akan kita lakukan itu berkaitan dengan anak-anak dan mereka mempunyai hak yang harus kita pertimbangkan dengan langkah yang akan kita ambil. Ingat, saat kamu mengetahui Kafka ingin menikahiku? Kamu kesal karena aku tak menanyakan pendapat anak-anak tentang itu. Bagaimana dengan kamu sendiri? Satu tahun bukan waktu yang sebentar, Fi!” tandas Nazwa.

 “Nazwa, aku bingung. Aku tak ingin anak-anak mengira perceraian kita dikarenakan hadirnya Renata.” Tukas Rafi.

 “Tapi memang itu kenyataannya kan? Rafi, aku bukan orang yang selalu menyesali kejadian yang sudah terjadi. Kamu tahu itu. Dan aku tidak pernah menyesali perceraian kita. Buatku, semua adalah takdir yang harus aku jalani. Aku hanya tidak mengerti, kenapa kamu tidak pernah bercerita apapun tentang semua itu!” Tekan Nazwa.

  “Renata tak pernah salah, Naz. Aku yang salah. Aku memang pernah memberinya harapan. Aku ingin melihat orang tua angkatku bahagia. Dan membahagiakan Renata adalah tujuan hidup mereka. Sehingga aku bertekad akan menikahi Renata sampai kondisiku mapan. Jika kondisiku sudah oke, aku akan meminta orang tua angkatku menikahkanku dengan anaknya yang semata wayang itu. Pastinya mereka akan setuju. Itulah tujuan hidupku, Naz. Sampai akhirnya aku bertemu kamu. Kamu berhasil memporak-porandakan tujuan hidupku ....,”

 “Jadi maksudmu, aku yang bersalah, karena bertemu denganmu! Begitu?!” potong Nazwa.

 “Bukan! Bukan begitu. Tolong dengarkan dulu, Naz!” pinta Rafi memelas.

 “Kamu tahu, pesonamu begitu menyilaukan mataku.  Sehingga aku lupa dan tak lagi peduli dengan niatku itu. Saat Renata memberitahu penyakit ayah angkatku dan keinginannya melihat aku dan Renata menikah, aku seperti tersadar bahwa aku masih mempunyai niat dan janji yang belum aku tunaikan,” Lanjut Rafi.

 “Lalu sekarang, niatmu sudah tercapaikan? Mestinya sudah tak ada masalah lagi diantara kalian! Maaf Fi, bukan aku ikut campur. Tapi Renata menceritakan apa yang terjadi di antara kalian. Dan buatku itu sangat aneh. Kamu tahu setelah menikah, kamu punya kewajiban untuk menafkahi istrimu lahir dan batin. Teganya kamu Fi, tak memberikan nafkah batin pada Renata sepanjang pernikahan kalian,” Tuding Nazwa.

 “Naz, untuk kamu tahu. Aku sudah berusaha ... berusaha untuk menggenapkan kewajibanku terhadap Renata. Ya, kami bercumbu, layaknya pasangan suami istri. Tapi, hanya sebatas itu. Aku tak sanggup, Naz!” keluh Rafi.

 “Tak sanggup? Kamu masih laki-laki normal kan?!” cela Nazwa.

 “Nazwa! Sepertinya kamu perlu tahu alasan aku tak sanggup meniduri Renata!” geram Rafi menahan kesal.

 “Aku tak ingin tahu tentang itu!” bantah Nazwa. “Aku hanya ingin kamu tahu, bahwa tak sepantasnya kamu bersikap seperti itu! Bagaimanapun Renata adalah istri sahmu saat ini! dan sudah seharusnya kamu memberikan haknya sebagai seorang istri!” tuntut Nazwa.

 Rafi menghela nafasnya mendengar perkataan Nazwa. Ia tak suka dengan situasi ini. “Nazwa, kurasa itu bukanlah urusanmu!” ucap Rafi tajam tak menyukai ucapan Nazwa yang terasa menyudutkannya.

“Itu menjadi urusanku, karena kamu membuatnya demikian! Alasanmu tak memberikan nafkah batin pada Renata karena aku, iya kan? Kamu bilang, kamu tak bisa melakukannya tanpa cinta. Sementara cintamu hanya untuk aku. Katakan lagi itu bukan urusanku! Kamu bawa aku ke dalam masalahmu dan Renata, jelaskan kalau itu bukan urusanku!” berkali Nazwa menegaskan bagaimana Rafi telah membuat ia masuk ke dalam masalah antara Rafi dan Renata.

“Oke, kamu benar. Aku minta maaf. Tapi, bisakah kamu melihat. Sebesar itulah cintaku padamu. Tidakkah kamu mengerti itu? Aku tak pernah punya niat sekecil apapun untuk menyakitimu apalagi mengkhianatimu! Aku terlalu mencintaimu, Naz,” Ucap Rafi sungguh-sungguh.

 “Tapi kamu melakukannya, Fi. Kamu sudah menyakiti hatiku. Membuatnya terluka dan retak,” sesal Nazwa menyayangkan perbuatan Rafi.

“Beri aku kesempatan untuk mengobati luka itu, Naz,” Rafi menggenggam tangan Nazwa dengan tiba-tiba. Ditatapnya Nazwa dengan penuh harap. “Please, jika bukan untukku, maka lakukan demi Salsa dan Hanif,” rengeknya.

 Nazwa menatap tangan Rafi yang menggenggam tangannya. Lalu ditatapnya kedua mata Rafi. Ia melihat ketulusan di sana. Sekelebat terpapar lagi kenangan manisnya dengan Rafi, laki-laki yang sempat menjadi bagian dalam hidupnya selama 12 tahun. Dipejamkannya mata. Dan saat matanya terbuka kembali, dilepaskannya genggaman tangan Rafi.

 “Tapi luka itu telah ada yang mengobati, Fi. Maaf,” Tutur Nazwa pelan.

 “Kafka-kah?” tebak Rafi.

“Iya,” angguk Nazwa. “Kafka orangnya.”

“Nazwa, jika saat ini aku mengajukan permintaan untuk bisa menikahimu kembali. Maukah kamu mempertimbangkannya?” Rafi mengajukan sebuah pertanyaan yang mengejutkan bagi Nazwa.

 “Maksud kamu?”

  “Aku hanya meminta kesempatan padamu. Untuk membuat hatimu percaya, bahwa aku tulus mencintaimu. Dan aku berjanji tak akan melukai hatimu lagi,” Rafi berusaha meyakinkan Nazwa.

 “Aku tak mengerti, Fi?!” Nazwa menggelengkan kepalanya. Ia merasa bingung.

 “Jika Kafka belum hadir di hidupmu, mungkinkah kamu akan kembali padaku? Aku kira kesempatanku tipis,” Rafi terkekeh kecil. “Kamu tahu, Naz. Aku bersyukur dengan kehadiran Kafka. Karena dengan begitu, kamu akan tahu besarnya cintaku padamu. Aku akan bersaing dengan Kafka, untuk bisa memiliki hati dan cintamu. Ijinkan aku, Naz. Seperti kamu memberikannya kepada Kafka,” Rafi memohon dengan sangat.

 “Kamu gila, Rafi!” seru Nazwa merasa keinginan Rafi sangat aneh.

“Itu bukan kegilaan, Naz. Tapi keinginan!” balas Rafi.

“Keinginan yang gila!” tandas Nazwa.

“Tapi Kafka sudah setuju, Naz!” kilah Rafi.

 “Setuju?” Nazwa semakin tak mengerti.

 “Ya. Ia setuju untuk  memberiku kesempatan  mencoba meraih hatimu kembali. Dan ia sudah setuju kami menjadi rival dalam usaha untuk menjadi pendamping hidupmu. Kami sudah berjanji akan bersaing secara sportif. Dan ... Naz, hei ... Naz, Nazwa ...!” Rafi berseru memanggil Nazwa.

Nazwa berlari meninggalkan Rafi. Hatinya dipenuhi amarah. Dua laki-laki brengsek! Makinya dalam hati. Dicegatnya sebuah taxi. “Golden Tower, Pak,” Perintahnya kepada supir taksi. Dihiraukannya telpon yang berbunyi dalam tasnya. Pikirannya betul-betul kacau. Saat ini ia ingin mendengar pengakuan Kafka sekaligus memakinya.

*****

Golden Tower.

 “Maaf menunggu lama, Naz.” Ujar Kafka begitu masuk ke ruang rapat tempat Nazwa menunggunya. “Ada apa, Naz. Tiba-tiba datang ke sini. Ada hal penting sampai tak bisa menunggu aku datang ke rumahmu, Mmh? Besar sekalikah desakan kerinduanmu untukku?” goda Kafka.

 “Sepertinya hari ini cuaca hatimu sedang cerah ya?” Nazwa menyunggingkan senyum sinis.

 “Mmh ... ya.  Aku berhasil memenangkan tender, Naz. Itu tender besar. Jelas aku excited sekali,” Jelas Kafka dengan senyum mengembang.

 “Oh ya? Bukan karena telah berhasil mendapatkan rival untuk memperlihatkan seberapa besar kekuatan kamu memikat wanita?” sindir Nazwa.

*************

Bersambung

           

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status