"Mana anak Arsyad, Ibu mau lihat," ketusnya."Oh, ada, Bu. Lagi berjemur, sebentar Lea ambil."Ibu tak menjawab, seolah tak mendengar ucapanku. Aku pun berlalu ke belakang. "Siapa, Lea?" Mama yang masih memakai mukena keluar dari kamar."Ada Ibunya Mas Arsyad, Ma.""Oh, ya?"Aku mengangguk lalu kembali berjalan ke belakang."Sayang, kita ke depan dulu, yuk. Ada Oma."Aku meraih Alifa yang tengah tidur dipangkuan mbak Yati."Oma? Ibunya Mas Arsyad, ya Le?" tanya Alina. "Iya," jawabku singkat.Aku pun kembali ke ruang depan dimana ada Ibu dan perempuan itu. Alina mengikuti dari belakang."Ini, Bu. Namanya Alifa."Mata tua itu berbinar. Langsung meraih Alifa dengan hati-hati. "Kemarin pas aqiqahan Alifa, rambutnya di cukur," jelas Mama ketika Ibu membuka topi kupluk Alifa. Mama pasti melihat perubahan wajah Ibu yang melihat cucunya botak."Heran, ada-ada saja adatnya. Bayi botak begini ga ada lucu-lucunya!" Mama melirikku dengan wajah heran."Bu, memotong rambut bayi pada usia 7hari
Perempuan itu meradang. Wajahnya memerah."Maaf, Tante. Saya pamit!" Tasya bangun dan berjalan cepat ke arah pintu."Ini maksudnya apa?"Ibu masih belum paham, atau memang sengaja pura-pura tak mengerti."Mbak Tasya, kalau nanti udah ga kuat jadi pramugari. Bisa menghubungi Lea lho, dia pasti punya penawaran pekerjaan yang terbaik untuk Mbak," teriak Alina. Tasya tak menjawab.Arsyad yang melihat adegan itu terpana. Pasti dia bingung dengan apa yang terjadi."Arsyad, Ibu pulang." Perempuan setengah baya itu memberikan Alifa pada Mas Arsyad lalu setengah berlari mengejar Tasya."Memang ada apa sih?" suamiku itu masih mode bingung."Arsyad, jawab pertanyaan Mama. Apa perempuan itu mantan kekasih kamu!" bentak Mama.Wajah Mas Arsyad pucat, dari wajahnya jelas sekali apa jawaban yang akan keluar dari bibirnya.Kini kami duduk di ruang tamu, suasana hening. Mama masih menunggu jawaban Mas Arsyad."Maaf, Ma. Sebenarnya dia benar mantan Arsyad. Tapi, Arsyad benar-benar sudah tak ada keingina
"Mana anak Arsyad, Ibu mau lihat," ketusnya."Oh, ada, Bu. Lagi berjemur, sebentar Lea ambil."Ibu tak menjawab, seolah tak mendengar ucapanku. Aku pun berlalu ke belakang. "Siapa, Lea?" Mama yang masih memakai mukena keluar dari kamar."Ada Ibunya Mas Arsyad, Ma.""Oh, ya?"Aku mengangguk lalu kembali berjalan ke belakang."Sayang, kita ke depan dulu, yuk. Ada Oma."Aku meraih Alifa yang tengah tidur dipangkuan mbak Yati."Oma? Ibunya Mas Arsyad, ya Le?" tanya Alina. "Iya," jawabku singkat.Aku pun kembali ke ruang depan dimana ada Ibu dan perempuan itu. Alina mengikuti dari belakang."Ini, Bu. Namanya Alifa."Mata tua itu berbinar. Langsung meraih Alifa dengan hati-hati. "Kemarin pas aqiqahan Alifa, rambutnya di cukur," jelas Mama ketika Ibu membuka topi kupluk Alifa. Mama pasti melihat perubahan wajah Ibu yang melihat cucunya botak."Heran, ada-ada saja adatnya. Bayi botak begini ga ada lucu-lucunya!" Mama melirikku dengan wajah heran."Bu, memotong rambut bayi pada usia 7hari
Aku menunduk menyembunyikan tawa. Alina sungguh cerdas. Dia membumkam mulut Ibu. Ibu kena mental, tak berani lagi memuji-muji perempuan ga jelas itu.Tak lama, Mas Arsyad pulang. Aku menyambut kedatangannya. "Mas tadi dapat pesan dari Ibu, jika Ibu mau mampir. Jadi, Mas buru-buru pulang,"bisiknya."Bukan karena ada mantan kamu, 'kan?""Ya, enggak lah. Buat apa!" sahutnya.Kami pun berjalan beriringan ke ruang tamu. Mas Arsyad menciumi tangan Ibunya. Lalu mengangguk ke arah Tasya yang masih menatap dengan tatapan penuh kerinduan."Apa kabar, Mas?" "Baik!" Jawab Mas Arsyad singkat.Mama yang menyadari jika perempuan itu menatap Mas Arsyad berkata "Mbak Tasya ini belum nikah, ya?"Dia gelagapan."Be-- belum, Tante.""Oh, pantes. Buru-buru nikah saja. Menikah itu bagian dari usaha untuk menghindari kemaksiatan yang tak sengaja maupun yang sengaja kita lakukan.""Maksud, Tante?" "Iya! maksud, Jeng apa?" Ibu ikut bertanya, dengan suara meninggi."Ya, misalnya, maksiat melihat suami orang
POV Alina.Kasian Lea. Ternyata kisah hidupnya ga semanis drama Korea. Aku baru tau jika Ibu mertua Lea, tak menyukai pilihan anaknya. Bahkan terang-terangan membawa perempuan yang menjadi mantan kekasih suaminya dulu. Ingat itu, hatiku seakan menangis. Gimana dulu aku juga pernah merasakan hal yang sama, saat Mama membawa Aina ke rumah. Bahkan berniat mau menikahkan kembali perempuan itu dengan Mas Ubay.Beruntung semua kebusukan perempuan itu dapat terbongkar, dan kini mendekam di penjara karena kebodohannya sendiri. Karir yang cemerlang seketika padam. Padahal jika berjalan lurus-lurus saja dia pasti akan hidup bahagia, terlebih saat ini dia sedang hamil. "Mikirin apa, Sayang?" Mas Ubay yang baru masuk kamar langsung merebahkan diri disampingku yang sedang menidurkan Hafidz."Kasian Lea, ya, Mas."Mas Ubay menghela napas panjang. "Rumah tangga memang begitu, ada ujian yang akan membuat kita kuat. Karena rumah tangga, bertemunya dua insan dalam pernikahan adalah satu-satunya ibadah
Pagi-pagi, Lea sudah duduk di taman belakang. Pandangannya lurus ke depan. Entah apa yang dia pikirkan, apa masih mikirin masalah kemarin?"Lele! Jangan ngelamun! Ayam tetangga kemarin ngelamun mulu, esoknya jadi opor!""Astaghfirullah, Abang! Lu do'a in gw jadi opor?""Tuh, kumat! Sama Abang sendiri la-lu-la-lu!""Ngeselin sih!" sungut Lea."Alifa mana, Le?"tanyaku yang kemudian menjatuhkan bobot tubuh di samping Lea."Sama Mbak Yati," jawabnya singkat."Suami kamu? Sudah berangkat?""Sudah, katanya ada rapat penting pagi ini.""Bang, aku kapan bisa mulai kerja?""Sekarang boleh!" sahut Mas Ubay yang sedang memainkan ponselnya. Hari ini dia tak ke kantor. Katanya mau mengajakku juga Lea dan Mama jalan-jalan, entah kemana."Yang serius, Bang ..." rengek Lea."Serius! nanti Abang akan menjelaskan semuanya pada kamu.""Papa?""Papa sudah setuju. Abang udah memberitahu Papa.""Serius?""Serius lah, masa bohong!"Wajah Lea berbinar, matanya terlihat berkaca-kaca."Ga usah nangis! Gitu aja
POV Alina.Kasian Lea. Ternyata kisah hidupnya ga semanis drama Korea. Aku baru tau jika Ibu mertua Lea, tak menyukai pilihan anaknya. Bahkan terang-terangan membawa perempuan yang menjadi mantan kekasih suaminya dulu. Ingat itu, hatiku seakan menangis. Gimana dulu aku juga pernah merasakan hal yang sama, saat Mama membawa Aina ke rumah. Bahkan berniat mau menikahkan kembali perempuan itu dengan Mas Ubay.Beruntung semua kebusukan perempuan itu dapat terbongkar, dan kini mendekam di penjara karena kebodohannya sendiri. Karir yang cemerlang seketika padam. Padahal jika berjalan lurus-lurus saja dia pasti akan hidup bahagia, terlebih saat ini dia sedang hamil. "Mikirin apa, Sayang?" Mas Ubay yang baru masuk kamar langsung merebahkan diri disampingku yang sedang menidurkan Hafidz."Kasian Lea, ya, Mas."Mas Ubay menghela napas panjang. "Rumah tangga memang begitu, ada ujian yang akan membuat kita kuat. Karena rumah tangga, bertemunya dua insan dalam pernikahan adalah satu-satunya ibadah
"Yang serius, Bang ..." rengek Lea."Serius! nanti Abang akan menjelaskan semuanya pada kamu.""Papa?""Papa sudah setuju. Abang udah memberitahu Papa.""Serius?""Serius lah, masa bohong!"Wajah Lea berbinar, matanya terlihat berkaca-kaca."Ga usah nangis! Gitu aja mewek!"Kini Lea beneran terisak."Makasih, ya Bang, Alina. Seharusnya perusahaan itu ada hak kalian di sana. Tapi, kalian malah mengikhlaskan untukku."Aku mengusap punggung Alina."Lea, bagi kami. Harta itu adalah persaudaraan tak pernah lekang oleh waktu, tidak terkikis oleh kebencian dengan alasan apapun itu.""Hiks ... Alina ... Ga salah aku memilih kamu menjadi Kakak ipar. Kamu yang terbaik dan tak akan pernah tergantikan," Lea menitikkan air mata haru.Aku tersenyum, berharap itu sebuah do'a. "Dah, yuk siap-siap!""Kemana, Bang?""Hari ini kita jalan-jalan. Abang sudah minta ijin sama Arsyad tadi. Jadi, buruan sana dandan. Alifa biar dijaga sama Mbak Yati, kamu sudah stok Asip kan?""Beneran, Bang?""Bener, kapan a