"Biarkanlah, Ma. Biar anak kita itu mandiri, belajar menyelesaikan masalahnya. Itu proses pendewasaan!" Papa yang baru keluar dari kamar langsung menyela. Hari ini Papa kurang sehat, jadi Lea yang menghandle pekerjaannya. Namun, karena harus ke rumah Ibunya Mas Arsyad, Lea terpaksa meminta bantuan orang kepercayaannya untuk menangani pekerjaan di kantor. Ini sudah bulan kelima, Lea memegang perusahaan Papa. Menurut Mas Ubay, lea mulai mahir bekerja. Bahkan beberapa kebijakan yang dia terapkan membawa dampak positif untuk kemajuan perusahaan.Dengan berat hati, Mama melepaskan Lea pergi ke rumah mertuanya. Arsyad yang baru muncul mungkin melihat kekhawatiran Mama."Ma, Arsyad janji akan menjaga Lea. Arsyad pastikan Lea pulang dengan selamat," ujarnya meski terdengar berlebihan, tapi itu cukup membuat Mama tenang."Arsyad, bantu Lea untuk merebut hati Ibu kamu, ya. Sekiranya Ibu kamu masih belum bisa menerima kehadiran Lea. Semua Mama serahkan padamu. Kalian yang menjalani kehidupan ru
"Maafkan adik saya, Bu Alina. Padahal saya sudah berusaha untuk memberikan pengertian padanya. Bahwa, Pak Baihaqi sudah punya istri dan tak akan menikah untuk kedua kalinya. Tapi, Aisyah seakan mati hatinya untuk memahami itu," ujar Ustadz Malik frustasi.Setelah acara kemarin, Ustadz muda itu berkunjung ke rumah. Dia sangat merasa malu akan kelakuan Aisyah yang datang ke rumah di saat aku dan Mama berada di pondok. Mas Ubay yang panik, menutup pintu dan menelpon Ustadz Malik agar adiknya segera di bawa pulang. Dari rekaman cctv aku melihat Mas Ubay tampak sangat marah. Bahkan mengomeli Aisyah."Tak apa-apa, Ustadz. Bukan salah Ustadz. Mungkin pesona Mas Ubay saja yang membuat Aisyah tak mampu menahan diri. Sejujurnya saya siap berpoligami, jika memang sesuai syariat. Tapi, saya tak bisa memaksa suami. Karena dialah imam yang akan bertanggung jawab atas istri-istrinya.""Saya paham, Bu. Saya juga tak ingin Aisyah menjadi orang ketiga di dalam rumah tangga Ibu dan Pak Baihaqi. Saya san
Aku pun langsung mengirim pesan pada Yati. Yati yang sedari awal diminta untuk melaporkan setiap kejadian buruk yang di alami Lea itu menjawab pesanku. Katanya Lea hari ini tak ke kantor. Dan dari Yati juga aku tau, Lea baik-baik saja. Sikap sang mertua juga sudah mulai menghangat. Meski kata Yati lagi, perempuan bernama Tasya itu masih suka datang ke rumah Ibu Arsyad. Kejadian yang sama persis dengan apa yang kurasakan saat itu.Mendengar pesan Yati itu, Mama sedikit tenang. Dan memutuskan untuk membatalkan rencananya ke rumah mertua Lea tersebut."Begini rasanya punya anak perempuan, ya Al. Walau sudah punya suami, tetap saja rasanya masih punya kewajiban untuk menjaganya," Lirih Mama."Alina ga tau, Ma. Kan belum punya anak perempuan. Baru dalam proses pembuatan,"Mas Ubay yang tiba-tiba datang langsung menyahut ucapan Mama."Ucapin salam dulu, dong, Mas!" Protesku saat melihat Mas Ubay datang tanpa mengucapkan salam terlebih dahulu."Eh, Iya. Assalamu'alaikum ..."Serentak kami me
Kehamilan kedua Lea disambut bahagia oleh Mama, begitu juga denganku dan Mas Ubay. Meski Lea memilih tinggal di rumah mertuanya, tampaknya dia bahagia. Entah bagaimana cara Lea menaklukkan Ibunya Arsyad itu."Kamu di sini saja, Nak. Kasian Alifa di bawa-bawa terus.""Gapapa, Ma. Kan ada Mbak Yati yang menjaga."Memang Mbak Yati selalu ikut kemana pun jika Lea sedang tak bekerja. "Kalau bisa kamu istirahat saja di rumah. Perusahaan biar Ubay yang nanganin.""Yah, gw lagi!" gumam Mas Ubay. "Ubay, sama adiknya sendiri begitu! Sama saudara itu harus saling membantu. Gimana kalau nanti ga ada Mama dan Papa. Kalian jangan sampai bertengkar terus."Lea tersenyum."Tenang, Bang. Lea akan berusaha untuk tidak merepotkan Abang lagi. Sudah besar, sudah jadi Emak-emak.""Kalau ada apa-apa, ngomong aja, Le. Masa iya Mas Ubay ga mau bantu. Ayahnya Hafidz kan baik hati dan tidak sombong, rajin membantu.""Huu ... Kalau ada maunya aja, bilang Mas Ubay baik hati," Mas Ubay mencebik."Faktanya begitu
Kami masuk ke ruangan. Rumah besar itu seperti aula yang sudah dipenuhi oleh orang-orang yang sudah duduk di meja masing-masing.Melihat kami datang, beberapa mata menatap aneh. Mas Ubay dengan bangga meraih lenganku dan berjalan bergandengan menuju Pak Adrian yang berada di ujung. Sepertinya sedang asik ngobrol dengan orang-orang penting, terlihat dari pakaian yang mereka kenakan. Setelan jas dan dasi yang masih melekat."Wah, Pak Baihaqi. Akhirnya datang, juga.".Pak Adrian menyambut kami dan menyalami Mas Ubay. Ketika hendak menyalamiku, aku menangkupkan tangan di dada. Pak Adrian tampak kaget, lalu tersenyum sambil melakukan hal yang sama denganku."Ini Pak Baihaqi, pemilik HQ Coorporation?" Seorang laki-laki yang hampir separuh kepalanya tak ada rambut itu menunjuk Mas Ubay."Betul, Pak. Ini pengusaha muda yang sukses itu," sahut Pak Adrian.Laki-laki itu bangkit lalu mendekat. "Saya William, pemilik Perusahaan Gardamas jaya abadi." Dia memperkenalkan diri.Mas Ubay menyambut de
"Mikirin apa, Sayang?" Mas Ubay duduk disampingku, yang tengah duduk menghadap akurium kecil.Kini sebuah akuarium mini sengaja dia letakkan di atas meja di dalam kamar. Aku suka melihat ikan dengan warna-warna indah berenang ke sana sini. Aku sering mengajak Hafidz duduk dalam pangkuanku. Lalu bercerita tentang banyak hal. Cerita-cerita positif yang membuat Hafidz betah berlama-lama walau aku yakin hafidz belum sepenuhnya paham. Terkadang, sambil mengingat hafalan Al Qur'an lalu membaca terbata-bata sambil menatap binatang kecil itu hilir mudik."Ga mikirin apa-apa Mas, seneng aja lihat ikan-ikan itu." Aku kembali menatap ikan itu takjub. "Mas, mas pernah berpikir ga, jika kita itu seperti ikan di akuarium ini?" Mas Ubay menggeleng."Kenapa bisa seperti ikan?""Iya, air tempat mereka berenang ibarat dunia. Kemana pun dia pergi, kita bisa perhatikan, meski berenang ke dasar akurium ataupun muncul ke permukaan. Semua dapat kita lihat tanpa ada penghalang.""Lalu?""Ya, kita pun sama.
"Namanya Jody?" gumamku sambil manggut-manggut."Kenapa? Suka sama laki-laki itu?" Ledeknya."Astaghfirullah, Mas. Masa aku akan membagi hati dengan laki-laki seperti itu. Innalilahi!" Mas Ubay tertawa terbahak-bahak. Pantas Mas Ubay tak kenal dengan lelaki itu. Karena dia tau nama laki-laki yang meninggalkan aku di acara resepsi pernikahan dulu itu, Alex, bukan Jody. Padahal, mereka adalah orang yang sama, Alex Jodyantara.Setidaknya dari obrolan kami tadi, aku tau bagaimana akhir dari dia yang telah membuatku dulu menderita. Mungkin itu akibat dari mempermainkan acara yang sakral yang seharusnya menjadi momen indah yang tak akan terlupakan bagiku. Naas justru menjadi kenangan pahit, walau akhirnya mengantarkanku pada keadaan sekarang. Itulah takdir.***"Ma, Alina hari ini ke restoran dulu, ya. Sudah lama tak kesana. Mama mau ikut?""Mama lagi kurang sehat, Sayang. Kamu sendiri aja bisa? Apa mau Mama telepon Ubay, biar dia mengantar kamu?""Ga usah, Ma. Gapapa, Alina sendiri saja.
POV Baihaqi."Alina mana, Ma?" tanyaku ketika melihat Mama sedang mengendong Hafidz yang rewel. Aku baru saja pulang dari kantor. Seharian banyak laporan yang harus aku periksa sehingga tak sempat menelpon Alina."Itulah, dari tadi Mama telpon tapi nomornya ga aktif," sahut Mama cemas."Memang Alina kemana?" Tanyaku mengambil alih hafidz setelah aku mencuci tangan di westafel."Tadi ke restoran, lalu ke rumah Lea.""Oh, jadi, Ma?""Alina ga pamit sama kamu?""Iya, tadi pagi Alina minta ijin. Ubay ga bisa anter, Ubay pikir Alina ga jadi berangkat. Hari ini Ubay sibuk sekali, jadi lupa menelpon Alina.""Coba kamu telepon sekarang!" titah Mama.Hafidz kuserahkan pada Bik Irah yang baru datang. "Coba bikinkan susu dulu, Bik. Barangkali hafidz haus.""Baik, Tuan." Bik Irah membawa Hafidz ke kamar sambil terus membujuk-bujuknya. "Sedari tadi, Hafidz rewel. Tak biasanya seperti itu," adu Mama.Perasaanku mulai tak tenang. Nomor telepon Alina tidak aktif. Aku mencoba menghubungi Lea, juga s