"Pergi sana! Pelakor!" Mulutnya terus mengeluarkan kata-kata kotor.Aku terus mendorong hingga tiba-tiba tak sengaja Raisa terbanting ke belakang.Bugh!perempuan itu meringgis."Ingat, ya! Aku juga punya hak yang sama disini, sampai kami sah bercerai!" Aku menunjuk tajam ke arah wanita itu, belum tau dia aku juga bisa kasar kalau sudah tak tahan. Wajahnya memerah, rambutnya awut-awutan, sebagian menutupi wajah. Raisa mendengkus, untung saja anaknya baru datang setelah kericuhan itu terjadi. Sepertinya dia dikamar memainkan ponsel Mamanya yang tergeletak sembarangan. Hingga saat aku hendak berlalu, ada benda pipih itu ditangan si gadis.Kamar Mama terkunci dari luar, untung kuncinya masih nyantol disana. Astaghfirullah, tega sekali dia.Aku membuka kunci lalu memutar kenop pintu. Seketika bau tak sedap menyeruak masuk ke hidung. Sesosok wanita kurus tengah terbaring, matanya menatapku, tapi tak mengucapkan sepatah kata pun."Ya Allah, Mama ..." Aku berlari menghampirinya. Meraih tan
Mata Mas Gunawan membeliak melihat punggung Mama dan bagian bawahnya yang melepuh dan terluka. Rahang lelaki itu mengeras."Mas, kamu lihat ini lebam? Tubuh Mama biru-biru, apa kamu yakin jika Mama terjatuh? Sementara Mama sama sekali tak bisa bergerak? Jatuh apa dijatuhkan? Atau jangan-jangan di buat jatuh? Mungkin juga dipukuli karena merasa merawat Mama sebagai sebuah beban." Aku memperlihatkan bagian tubuh Mama yang memang menampakkan lebam biru yang memang agak samar dan melepuh di sebagian tubuh belakangnya.Nafas Mas Gunawan menderu, sambil melirik ke arah Raisa yang wajahnya makin memucat."Mas Sayang, kamu harus percaya aku. Aku ga mungkin menyakiti Mama yang merupakan orang tua kamu. Mamamu juga Mamaku, mana mungkin aku tega berbuat seperti itu." rayuan busuk wanita itu mulai membuat wajah yang tadi siap menyemburkan amarah kembali tenang."Soal punggung Mama, terkadang aku ga kuat untuk mengangkat tubuh Mama sekedar untuk tidur miring. Dan bagian bawah Mama yang luka, kuli
"Apa benar jika, pak Gunawan telah menikah lagi, Bu?Pak Adrian yang merupakan bos dari Mas Gunawan menatapku lekat. Aku menunduk seolah pertanyaan itu sebuah luka yang sedang berdenyut nyeri. Melihat aku yang masih diam, Pak Adrian kembali melanjutkan kata."Sebenarnya, perusahaan ini sudah sejak lama berkomitmen dengan peraturan untuk tidak menerima karyawan yang memiliki istri lebih dari satu, karena akan menganggu kinerja dalam mereka bekerja. Saya sedikit kecewa dengan Pak Gunawan, Kenapa dia malah menyembunyikan dari saya."Tampak pria yang masih terlihat muda itu sangat kecewa."Maaf Pak, jangankan pada Bapak. Saya saja juga baru tau. Selama bertahun-tahun dia menyembunyikan perempuan itu. Dan beberapa bulan belakangan ini dia membawanya tinggal tak jauh dari tempat tinggal Mamanya.""Jadi, Ibu juga baru tau?"Aku mengangguk."Ya Allah ..." Desisnya."Sebelumnya saya mohon maaf kepada ibu. Jika pak Gunawan terpaksa kami keluarkan dari perusahaan ini. Kami khawatir dia akan menj
Mama sudah ditangani dokter. Hari sudah mulai gelap. Namun belum ada kabar dari teman-temanku. Kini aku dan Tante Irma duduk di ruang tunggu."Sayang, Tante ga tau gimana harus membalas kebaikan kalian. Tante benar-benar berterima kasih atas bantuan kamu dan teman-temanmu itu, Nak.""Tante, itu sudah kewajiban Alina sebagai anak. Tante jangan berpikir yang tidak-tidak, tak ada balas budi, kita ini keluarga."Tante Irma langsung memelukku sambil menangis haru."Sungguh merugi Gunawan menyia-nyiakan kamu, Sayang. Kamu itu wanita berhati mulia."Aku tersenyum tipis. Tapi, kisah hidupku tak semanis Cinderella, yang akhirnya bertemu pangeran tampan. Aku hanya wanita yang dipunggut lalu dicampakkan. Mungkinkah karena aku mandul seperti yang Raisa katakan, Mas Gunawan lebih memilih mempertahankan Raisa dari pada aku? ah, nasib cinta yang mengenaskan."Al, kenapa melamun?" Tante Irma mengejutkan lamunanku. Aku langsung menoleh."Kamu lagi mikirin apa, Sayang. Bicaralah pada Tante, jadikan Tan
Berulang kali kuputar video itu. Memastikan jika aku tidak salah dengar."Ini mah si Siti, Siti Nurlela, kita manggilnya Siti. Kalau Raisa Humaira teh, adiknya. Udah lama meninggal waktu masih kecil. Kabarnya jatuh di Empang. Tapi, kalau dilihat mah seperti habis di siksa. Tapi, ya gitu kita kan orang luar, ga tau apa-apa." ujar wanita tua yang hampir separuh rambutnya sudah memutih itu, ketika melihat foto Raisa."Jadi, ini bukan Raisa, Mbah?""Ya jelas bukan! Raisa udah meninggal kok. Mbah ikut dalam pemakamannya.""Lalu orang tua Raisa eh, Siti ini dimana, Mbah?""Setelah Raisa meninggal. Si Siti ngilang entah kemana. Yang Mbah tau, Mak sama Bapaknya nyariin dia ke Jakarta. Karena dapat kabar Siti naik bis ke Jakarta.""Jadi, orang tuanya juga tak ada di kampung ini?" "Engga, udah lama ga. Itu rumahnya di ujung jalan. Udah lapuk, tak ada yang merawat." ujar si Mbah sambil menunjuk ke ujung jalan.Video berdurasi hampir lima menit itu membuatku benar-benar tak habis pikir. Bagaiman
POV Gunawan"Kamu yakin, bisa merawat Mama?" Ujarku pada Raisa wanita yang lima tahun ini sudah kunikahi secara siri meski tanpa persetujuan Mama."Yakin lah! Masa merawat Mama aja aku ga bisa." Wanita yang tak lagi memakai kerudungnya itu terus mengoles lipstik di bibirnya."Kalau kamu merasa ga mampu, biar aku carikan pembantu. Jangan sampai kejadian seperti kemarin lagi. Aku ga mau Alina makin memojokkan kamu."Sejak Alina datang waktu itu, aku mulai sedikit lebih perhatian pada Mama. Aku lebih cerewet pada Raisa. Berharap dia merawat Mama dengan sepenuh hati. Karena upaya membujuk Alina untuk tetap menjadi istriku, sepertinya sia-sia. Dia sudah mendaftarkan gugatan cerai ke pengadilan, bahkan sudah memasuki sidang kedua."Pelakor itu, memang selalu mencari celah. Setelah gagal merebut Mama, sekarang dia berusaha mengambil perhatian Tante Irma. Pasti ingin agar Tante Irma memihak dia dan mengambil semua harta milik Mama.""Jangan berburuk sangka, Alina tak seperti itu.""Kamu membe
"Gimana rasanya?" perempuan yang menendangku berucap angkuh.Aku tak bisa menjawab, ngilu ini masih menyiksa begitu juga malu sekali rasanya."Lea! Elu ini apa-apaan. Kalau dia mati gimana? Kantung ajaibnya ditendang begitu." bentak Pak Baihaqi yang mulai mendekat."Mati ya dikubur lah, Bang. Masa dipajang." Ketusnya cuek.Astaga, perempuan macam apa yang menjadi teman Alina."Lagi pula, dia bawa pisau, mau membunuh Alina.""Serius, Lu!""Iya, tuh pisaunya!" Perempuan itu memungut pisau yang tergeletak di lantai tak jauh dariku.Pak Baihaqi baru datang memang tidak melihat bagian awal. Dia tidak tahu jika aku membawa sebuah pisau lipat di saku celanakul"Oh, jadi ini mantan suami Alina yang punya istri dua itu."Lelaki itu setengah jongkok di depanku. Matanya menatapku lekat, seakan sedang mengingat ingat sesuatu."Saya pernah melihat kamu, tapi saya lupa dimana." Ujarnya kemudian. Aku tak berani mengatakan siapa aku sebenarnya, bisa-bisa Pak Baihaqi melaporkan aku pada Pak Adrian ka
Mas Gunawan sudah pergi. Kini tinggal aku dan Ubay di ruangan ini. Lelaki itu ternyata seorang laki-laki kaya dengan penampilan yang sederhana. Sungguh aku semakin merasa tak pantas untuknya. Ah, ngomong apa aku. Aku masih berstatus istri orang, malah memikirkan lelaki lain, Astaghfirullah."Al, sebaiknya kamu tinggal dengan Lea, biar ada yang jaga. Biar aku yang sementara tinggal di tempat lain."Aku mengerutkan kening."Loh, kenapa memang?"Ubay tampak salah tingkah."Aku khawatir mantan suamimu akan mengganggu lagi."Aku tersenyum lalu menghela napas dalam-dalam."Dia tak tau rumahku yang sekarang. Tak apa, InsyaAllah semua akan baik-baik saja."Lama Ubay menatapku hingga risih sekali rasanya. Aku menghindar dengan pura-pura mengambil minum lalu keluar."Bay, ngelamun aja lu! Yuk, kita pulang. Tadi, nyokap nelpon, minta lu datang. Ada yang mau di bicarakan.""Eh, iya!" Ubay gelagapan saat Lea menyeru kencang dibalik pintu."Ngelamun cewek mulu, lu! Lamar sono!""Tunggu dia lepas du