Aku pulang dengan perasaan tak menentu. Aku bingung mau melanjutkan hidup. Sementara belum ada pemasukan sama sekali."La, Mama mana?" Saat kulihat Sabila duduk sendiri didepan televisi."Mama lagi nelpon." sahutnya tanpa menoleh padaku. Aku pun mencari Siti yang mungkin ada di balkon."Sabar, Ki. Saya belum ada uang. Nanti kalau sudah ada uang, pasti akan saya serahkan. Saya tak mungkin kabur."" .... ""Iya, saya paham. Saya akan usahakan secepatnya. Jika tidak ada, saya ikhlas dengan kesepakatan kita yang kedua. Tapi, tolong jangan lepaskan benda ini. Saya masih butuh."Aku menangkap pembicara Siti dengan seseorang di telepon. Siapa dia? Uang apa?"Suami saya akan menyiapkan uangnya. Tenang saja, uang segitu baginya tak ada apa-apa."Entah apa jawaban diseberang sana, teleponnya pun berakhir."Uang apa, Dek?" Siti berbalik, wajahnya langsung pias."Kamu sudah pulang, Mas? Sejak kapan kamu disitu?" tanyanya."Sedari tadi. Aku ingin tau untuk apa uang itu dia minta? Dan siapa dia?"A
Bugh!Sebuah hantaman mendarat di perutku. Serangan yang tiba-tiba membuatku yang tak siap, sehingga terjengkang ke belakang. Pisau kecil yang kupegang terlempar entah kemana."Mama, gapapa?""Adit!"Ibu dan anak itu berpelukan sejenak, sebelum Adit mulai menghantamku lagi."Adit! hentikan!" Pekikku.Tapi, pria yang lebih muda dariku itu tak menghiraukan."Bang, siapapun yang menyakiti Mama, berhadapan dengan gw!"Adit terus menyerangku, walau aku berusaha menjelaskan. Tapi, provokasi dari Tante Irma mematahkan kebohongan yang aku ciptakan demi keselamatanku. Sepupuku itu dengan semangat memberikan bogem mentah pada wajahku.Kemudian, berdua dengan mamanya. Mereka mengikat tangan dan menyuruhku duduk. Kini aku tak bisa berbuat apa-apa lagi. Tangan terikat ke belakang, begitu juga dengan kedua kaki. Keringat bercucuran, entah apalagi yang akan mereka lakukan padaku."Adit, lepaskan, Dit!"Pria muda itu tertawa. Tak menyangka wajah polos Adit ternyata hanya kedok. Adit, seperti anak mud
"Saya tak mau, Om!" Aku berusaha berontak, aku juga butuh harta itu. Setidaknya aku akan mengambil sebagian saja untuk menyambung hidup agar tak kembali ke jalanan seperti dulu."Tak ada kata tak mau, Gun! Kamu itu sudah banyak dosa sama Mbak Tety. Jika semua harta itu diberikan pada kamu, Tante yakin, hanya sekejap mata saja habis ditangan kalian. Lebih baik kami sumbangkan untuk pembangunan mesjid,""Tapi, itu hak saya, Tante!" Aku bersikeras."Tadinya, kami akan menyerahkan padamu. Namun, apa yang kamu lakukan hari ini pada saya. Itu membukakan mata hati saya, jika merawat kamu itu seperti membesarkan anak singa. Setelah besar bukannya balas budi, malah mengigit tuannya,"Aku terdiam penuh penyesalan. Andai tak terburu-buru, andai aku bisa bersabar, andai ... Ah, semua sudah terlambat. Tante dan Om Baskoro sudah tak percaya padaku."Saya janji akan memanfaatkan sebaik-baiknya, Tante, Om," rayuku."Halah, lu mah udah tabiat, Bang. Anggap aja lu menuai apa yang lu tanam. Lagian kan l
Aku berlari kencang ke kamar mencari Siti. Aku butuh penjelasan. Rasanya juga tak masuk akal jika Sabila diculik di dalam kamar hotel seramai ini."Siti! Siti! ..." Aku langsung meneriaki nama perempuan itu sesampainya aku di dalam kamar.Namun, aku sama sekali tidak melihat sosoknya. Kamar masih berantakan seperti saat aku tinggal tadi. Tunggu! Sepertinya ada yang beda. Aku mendekat ke arah lemari yang terbuka lebar. Pakaian Siti dan Sabila tak ada disana begitu juga tas tempat pakaian kami. Hanya tersisa tumpukan pakaianku yang tak seberapa."Aarggghh! Sitiiiiii ...!" Aku berteriak histeris. Kenapa hidupku seperti ini? Semua barang yang kutemui kulempar untuk memuaskan hati. "Siti ...! Kau menghancurkan hidupku Siti ...!" Teriakku dengan suara parau.Tok tok tok!Ketukan di pintu membuat emosiku sedikit meredam. Apa mungkin itu Siti? Cepat berjalan ke arah pintu dan membukanya."Maaf, Pak, mohon agar suaranya dikecilkan karena suara Bapak terdengar sampai ke kamar sebelah," ujar l
Uang di tangan makin hari makin menipis, sebagian sudah kupakai untuk membayar tagihan di hotel, kontrakan juga ongkos bolak-balik mencari kontrakan dan mencari Sabila. Sebelum uangnya habis aku harus segera mendapatkan penghasilan lain.Sore ini, aku sampai dirumah Farhan. Sebentar lagi dia pasti pulang dari kantor. Aku akan membongkar kebusukan laki-laki itu, kalau tidak mau menyerahkan uangnya padaku.Tepat jam lima mobil Farhan datang, aku yang menunggu di bawah pohon tak jauh dari rumahnya bergegas bangun. Masuk ke pekarangan itu dengan berjalan perlahan."Farhan!" Seruku saat Farhan yang baru keluar dari mobil hitamnya itu.Dia menoleh lalu segera membuang pandang."Kamu ga kirimin aku uang? Aku punya rekaman kamu dan Rika berduaan?" Ancamku."Oh, ya?" sahutnya cuek sambil mengambil sesuatu di mobil lalu menutupnya kembali."Kamu sudah siap hidup sengsara, ya Han?"Farhan tak menjawab. Namun, tiba-tiba dari pintu sebelah seorang wanita turun membawa banyak barang. "Oh, kalian s
POV Siti.Sial sekali hari ini aku bertemu lagi dengan Mas Gunawan. Padahal aku sudah berusaha menjauh darinya. Lelaki itu pasti marah besar jika tahu mobilnya sudah kujual untuk membayar Ki Kusumo. Dukun kampungan yang membuat aku kini tersiksa. "Seharusnya dari kemarin kau membayar uang ini, karena saya juga harus membeli kambing hitam untuk persembahan. Kau terlambat, sehingga membuat marah dia yang menolongmu untuk terlihat cantik," ujarnya dengan suara berat."Tolonglah, Ki. Saya baru dapat uangnya. Beberapa hari ini tubuh saya mengeluarkan bau yang tidak sedap. Dan wajah saya juga tiba-tiba terlihat tua. Kita sudah bekerjasama lama, Ki. Tolong bantu saya," aku memelas."Saya tidak bisa membantu kamu. Setidaknya Saya sudah membuat kamu terhindar dari menjadi tumbal atas permintaan kamu sendiri. Sekarang susuk itu tak akan bermanfaat lagi. Kamu silahkan pergi!""Tapi, Ki. Saya sudah menyerahkan banyak uang pada Ki Kusumo!" "Hahaha, kau kira itu cukup! Beberapa bulan ini kau tida
Kini, aku terpaksa kembali pada pekerjaanku yang lama. Setelah Sabila terpaksa kuserahkan pada Freddy. Hotel tempat aku dan Mas Gunawan menginap ternyata miliknya. Dan secara kebetulan kami bertemu saat aku mengajak Sabila jalan-jalan keluar. Aku sudah berusaha lari dan bersembunyi.Namun, Laki-laki itu dengan mudah mengikuti dan masuk ke kamarku."Walau, anak ini lahir dari seorang perempuan murahan seperti kamu. Aku akan tetap membawanya, dia benihku. Aku akan merawatnya jangan sampai dia besar menjadi seorang pelacur seperti ibunya." Sentaknya."Heh! Jangan merasa paling benar kamu Freddy! Kau juga laki-laki bejat yang tidur dengan banyak wanita."Freddy berdecih!"Aku sedari awal sudah menawarkan kehidupan yang lebih baik padamu. Kau yang tak mau. Padahal, asal kau tahu. Kau wanita pertama yang aku tiduri saat itu. Sekarang sudah terlambat, melihatmu saja aku sudah jijik. Aku kesini hanya untuk mengambil anakku,"Aku berontak, namun anak buah Freddy memegang kedua tanganku."Itu bu
"Lihat apa sih?"Tanya Mas Ubay saat aku sedang membaca portal media online yang memperlihatkan sebuah berita kecelakaan lalu lintas di jalan tol. Korbannya seorang perempuan yang tak punya identitas, wajahnya juga hancur tak lagi bisa dikenali, karena terlindas truk."Berita kecelakaan, Mas," sahutku sambil menaruh ponselku dan sekarang melihat ke arah Mas Ubay."Dedek, lagi apa?" Tangannya mengelus lembut perutku yang masih datar, perkiraan dokter usianya baru 4-5 Minggu.Saat tahu aku hamil, perhatiannya makin menjadi-jadi saja."Lagi mikirin Ayah, kapan ya, beliin Bunda rujak,""Eh, iya Ayah lupa. Yuk, kita beli sekarang," Dia langsung bangkit."Naik mobil apa mau pake motor,""Motor aja, Mas,""Oke!" Sahutnya sambil meraih kunci motor di atas meja.Saat hendak menaiki motor."Hey! Mau kemana? Kok pake motor?" Seru Mama yang baru keluar.Sejak aku dinyatakan hamil, Mama memintaku untuk tinggal bersamanya. Meski Lea keberatan. Tapi, kata Mama, Mama lebih berpengalaman dari pada Le