Share

3.Lalu

Warning: Typo bertebaran, eyd yang berantakan, dan mature content pada awal cerita, jika tidak suka silahkan di skip saja bagian itu.

______________________

_____________________________

Aku tidak pernah membayangkan hal ini terjadi, mungkin kata ini terdengar klise namun bayangan itu muncul begitu saja dalam mimpiku.

Laki-laki ini yang bahkan tidak aku ketahui namanya siapa dan wajahnya pun buram-- namun aku merasa sangat mengenalnya.

Memenuhiku dengan perasaan bahagia didalam benakku, serasa kupu-kupu berterbangan menyeruak keluar dari dalam perutku, tubuhnya berbagi keringat dengan tubuhku, kemudian bercampur dengan suara desahan yang memenuhi tempat ini.

Daun-daun berjatuhan seiring dengan gerakan pinggulnya, pohon apel besar yang kokoh menjadi tempat kami berbagi rasa dan menjadi peka satu sama lain.

Tempat ini begitu tenang dan sepi, pemandangannya pun begitu asri, namun aku terlalu sibuk dan tidak sempat untuk memperhatikan detailnya secara lebih, lalu saat kenikmatan itu datang, kami berdua melenguh bersamaan dengan cairan hangat yang memenuhi liangku.

kemudian kami berciuman untuk kesekian kalinya, dia berhenti membuatku kehabisan napas dan menghembuskan deru napasnya yang tidak beraturan di telingaku.

"Feraa.." Desahnya maskulin, membisiki telingaku yang terasa geli dan panas, cuping telingaku memerah dengan sendirinya.

Aku mengelus-ngelus rambut hitam legamnya yang mencapai pundak dan berantakan.

Kami berbaring dibawah pohon apel dengan selimut yang entah datangnya darimana dan menutupi tubuh kami dengan sempurna.

"Hum?" Aku berguman pelan dengan rona cerah yang menghiasi wajahku.

"Dengar, aku tidak pernah sebahagia ini semenjak kita menikah, entah kenapa dulu aku begitu bodoh, Maafkan aku sayang..." Katanya lagi dengan manja dan mengecup puncak kepalaku.

Aku memejamkan mataku dan merasa damai.

" Aku juga sayang... Setelah apa yang kita lewati, akhirnya kita bisa bersama juga, maksudku benar-benar bersama." Aku tersenyum lembut, namun aku tidak bisa melihat raut wajahnya karena sesuatu membuatnya seolah suatu bagian yang terkena sensor karena tidak pantas untuk diperlihatkan.

Dia membuka mulutnya lagi dan mulai mengeluarkan suara melengking " Fera...Fera!" kenapa yang keluar suara perempuan?

Keningku mengernyit dengan sendirinya dan kembali mencerna suaranya yang tiba-tiba berubah menjadi suara perempuan yang aku kenal.

"Fera...Fera!! Saa Feraa!!" aku merasakan bahuku terguncang-guncang beberapa kali dan mataku membuka sedikit demi sedikit dengan air liur yang menetes diatas meja.

Aku melihat levi memandangiku jijik dan mengeluarkan suara " Iuhh, kok bisa loe ini cewek sih Fer?"

Aku segera menghapus liurku dengan gumpalan kertas yang kurobek dari bukuku.

"Ada apa sih Vi?"

seraya mendengus kesal lantaran Levi mengangguku dari mimpi 'indahku' dengan... dengan siapa ya? siapa laki-laki itu? kenapa aku bisa menikah denganya walaupun di dalam mimpi ya? Au Ah.

Levi menunjuk kearah depan dengan dagu-nya, seorang guru berjenis kelamin perempuan mulai mengeluarkan lembaran soal dan kertas untuk menjawab, dari tas bermerek Gucci besarnya --aku ragu itu asli.

"Oh shit!!"

Ulangan pun dimulai.

-Skip time-

" Namamu siapa?"

"Untuk apa menanyakan Namaku? "

kelvin berdengus kesal memandangi cewek keras kepala yang diserempetnya tadi pagi dan telah diseretnya ke UKS ini tepat setelah bel istirahat selesai berdering.

"Karena kau tidak pakai Name tag dan aku bukan cenayang yang bisa membaca pikiranmu sekaligus mengetahui namamu" Kelvin memutar bola matanya, bosan.

"Kau tahu maksudku, jangan berpura-pura seolah kau tidak mengerti"

Fera mendengus kesal dengan wajah sedikit meringis saat lukanya dioleskan obat.

Saat seorang Siswi PMR yang sedang bertugas hari ini selesai mengoleskan Betadine dan menempelkan plaster yang di bubuhi potongan perban dibawahnya pada kulit terluka di lutut dan ujung siku yang sebelah kanan Fera yang mulai perih dan mengeluarkan trombosit yang pecah di sekitar-nya.

"Terima kasih"

ujar Fera pada siswi tersebut yang di Name tag-nya tertulis Ananta nadisa.

"Sama-sama"

sahut Ananta dengan senyum manis lalu membereskan peralatannya.

"Baiklah, aku sudah selesai"

ujar Ananta lagi dengan cepat kemudian pergi untuk menaruh kotak p3k itu kembali kedalam lemari obat.

Melamun.

Kelvin terlihat melamun, sejenak tatapan matanya menjadi kosong dan hanya memandangi lantai UKS tanpa berpindah dari satu titik pun, memang apa yang perlu di perhatikan di lantai? polanya kah? atau Semut-semut hitam yang berjalan beraturan itu? tak mau pusing-pusing memikirkan Kelvin, Fera pun mendengus remeh melihatnya.

"Kamu ingin pergi kemana? uhmm.. Ananta?" tanya Fera tatkala melihat Ananta yang melangkah keluar dari ruangan.

"Aku ingin ke kantin, belum sarapan, semoga cepat sembuh" Ananta melenggang keluar dari UKS dengan senyum lembut terpatri di wajah putih bersihnya.

Kelvin terjaga dari lamunannya dan melihat sekeliling.

" Kemana gadis perawat tadi itu pergi?"

"Aku tidak tau."

Acuh tak acuh Fera menjawab dan segera berbaring kembali di atas kasur setelah menarik selimut untuk menutupinya.

"Tadi kan dia bersamamu, kenapa kau bilang kau tidak tau?"

"Bodo... siapa suruh melamun seperti zombie"

Fera menutup matanya dan mencibir pelan.

"Argh, aku bisa gila jika terus bersamamu gadis sial! kenapa Name tag tidak diwajibkan di sekolah sialan ini sih?"

Kelvin melepaskan gerutuan yang ditahannya dari tadi, mengacak rambutnya dari semula yang memang berantakan menjadi semakin berantakan jadinya sekarang.

Fera membalikkan badannya menghadap Kelvin yang duduk di sofa sebelah kasurnya.

"Itu semua karena murid seperti kau, kau sendiri tidak mau mengenakannya walaupun dipaksa, kau kan tipe-tipe pelanggar peraturan dan ...ah ya, dengan rambut berantakan ,baju tidak terkancing rapi, dasi tidak ada, tali pinggang tidak ada, sepatu berlainan warna.. well selamat, kau sudah menjadi seperti orang gila..." Fera menghiasi wajahnya dengan senyuman mengejek, dan Kelvin mulai gregetan sendiri lalu dia berdiri dan mulai merapikan bajunya

tepat di depan wajah Fera.

Dia melakukannya secara berlebihan, seperti menarik resleting celananya terbuka terlebih dahulu lalu memasukkan ujung bajunya secara perlahan kedalam celananya, kemudian mengeluarkan tali pinggang dan dasi dari kedua saku celananya dan memakainya setelah merapikan baju.

tak lama kemudian menyisir rambutnya dengan jari-jari panjangnya ke belakang namun rambutnya masih terlihat berantakan walaupun tidak seberantakan tadi.

Fera heran, kenapa guru-guru membiarkan rambutnya itu tidak rapi, biasanya mereka langsung memotongnya.

" Nah, sekarang kau senang? "

Kelvin melakukannya dengan senang ketika melihat Fera tiba -tiba merona, ada apa dengan gadis itu? biasanya gadis-gadis lain akan memucat, bukan malah merona? Kelvin menaikan sebelah alis hitamnya, bertanya-tanya.

" Apa kau sudah kehilangan akal?! keluar kau ! lakukan itu ditempat lain! setidaknya di toilet ,bodoh! "

"Ahahaha hahaha... "Kelvin tertawa terbahak-bahak lantaran berhasil mengerjai gadis itu, Setelah selesai merapikan bajunya dia menyentil dahi Fera yang sedang menutup wajahnya dengan telapak tangannya sembari duduk diatas kasur.

Lalu melenggang keluar UKS dengan tertawa keras.

" Apa yang dilakukan si bodoh itu di sini sih?!" Fera benar-benar malu, dan dia membuka tangannya tatkala tidak mendengar suara laki-laki itu lagi.

Wajahnya benar-benar merona hebat. "Argghh"

bantal pun menjadi pelampiasannya, dia mengigitnya seperti sedang mengigit daging yang sangat alot.

Untung bantalnya tidak robek.

Dua detik kemudian Levi masuk ke ruangan dengan wajah kusut.

"Fer, ya ampun ... Gue mau curhat tapi lupa"

Levi mendadak cemberut saat melihat kelvin, cowok yang membuat hatinya berdebar tadi malam, keluar dari ruang UKS tempat Fera berada sekarang. Dia pun masuk keruangan dan mendapati Fera dengan muka merahnya, Menahan amarah.

"Loe kayaknya ada affair ya sama cowok tadi?" Tanyanya kesal.

"What? That is big no!"

Fera terkejut dan merinding saat Levi menuduhnya yang bukan-bukan.

" Terus kenapa dia keluar dari sini dengan wajah bahagia seperti itu?" Jika saja ini Anime, pasti asap sedang keluar dari kedua telinganya saat ini.

"Loe cemburu? Levi, ya ampun, loe bener-bener cemburu?"

Fera merasa cemas.

Apakah itu benar? bahwa Levi itu seorang lesbian? dia tidak mungkin mulai menyukaiku kan?.

Sekarang yang Fera lakukan adalah merapat keujung kasur dan menjauhi Levi dengan teratur dengan wajah pucat pasi.

"Tidak! tidak! siapa bilang gue cemburu! gue bahkan tidak mengenalnya kenapa gue harus cemburu? gue bahkan tidak mengetahui namanya dan dia itu hanya pelanggan gue di kedai dan kenapa pula gue harus repot-repot untuk cemburu! gue bahkan nggak tertarik dengan senyuman manisnya,cara dia memandang gue tadi malam dan segala sikapnya yang memang membuat sedikit terkesan dan pangling tapi gue nggak tertarik padanya walaupun gue ngerasa deg-deg-an tiap kali gue ngeliat dia, tapi tidak mungkin gue cemburu padanya, gue bahkan hanya mengenalnya tadi malam dan gue benar-benar tidak tertarik padanya, tidak sama sekali, " Levi menyelesaikan kalimatnya dalam satu tarikan napas dan berbicara dengan sangat cepat seperti kereta Kapsul buatan jepang bernama Hyperloop dengan kecepatan 630 km/jam yang digadang-gadang sebagai kereta tercepat di dunia.

Setidaknya Fera bisa bernafas lega sekarang, untung saja dugaannya salah.

" Dan apa-apaan dengan sikap loe itu?"

Fera bertepuk tangan dengan mulut terbuka lebar.

Terpesona dengan kemampuan berbicaranya Levi, kenapa dia tidak ikut paduan suara saja? tarikan nafasnya luar-biasa panjang.

"Wow... Gue sih yes!"

yang terjadi berikutnya adalah Levi menimpuk Keras kepala Fera dengan bantal secara terus menerus.

"Ow, aduh iya-iya maafin gue, baiklah! baiklah!"

Fera mengaduh keras, lukanya bahkan belum sembuh dan Levi malah menambah rasa sakit di luka-lukanya.

Levi pun berhenti menimpuk Fera.

"Gue nggak cemburu, mungkin,semacam loe tau, sedikit merasa kesal, entah untuk alasan apa ,yang pasti gue Nggak cemburu"

Levi menambahkan.

" Tidak ketika gue bahkan tidak punya hubungan apapun dengannya"

"Jadi loe pingin punya hubungan dengannya?"

Ah, Fera bisa menebak apa yang akan terjadi selanjutnya.

Levi mengambil teh panas --sudah di bungkus ke dalam plastik dan ditambahkan sedotan putih didalamnya-- yang dibelinya dikantin tadi untuk Fera setelah melewati kerumunan manusia dan antrian seperti tangga yang menuju ke langit.

Lalu memasukkan sedotan itu ke dalam mulut Fera.

"Tutup mulut omong-kosong loe dan mulailah mencatat catatan pelajaran yang loe tinggalin tadi"

Levi juga menyodorkan 2 buku catatan, buku catatanya dan buku catatan Fera serta sebuah pulpen.

"Loe tau gak? kepala gue hampir pecah saat ulangan tadi. "

dengan segera Fera melupakan pertanyaan yang tadi diajukannya pada Levi tatkala Levi sudah mengganti topik pembahasan.

"Sayang sekali, loe adalah nona pemalas yang kerjaannya hanya menghayal dan tidak pernah serius dalam hal apapun, loe udah belajar tadi malam kan? "

Fera memutar bola matanya, bosan.

"Tentu saja sudah"

" Kalau begitu, kerjakan saja catatannya dan jangan banyak bicara"

Levi membaringkan tubuhnya diatas sofa dan menjadikan tangannya sebagai bantalan kepalanya.

"Dan, soal menghayal, jangan lupa gue sudah pernah menipu loe dengan hayalan gue tentang terowongan ajaib di dalam kamar gue, loe benar-benar percaya tentang hal itu saat itu ahahaha gue bahkan masih tertawa saat ngebayangin hal itu lagi"

Fera tertawa sembari menyalin catatannya Levi.

"Well, Loe menang banyak saat itu dan loe juga memperlihatkan ke gue bukti-bukti tentang hal "itu" ."

Levi mengerakkan kedua jarinya membentuk tanda kutip saat mengucapkan itu.

" Dan bisa-bisanya gue ikut berhayal seperti loe juga saat itu huh, sial" Levi memejam matanya saat mengucapkan itu, mengahayatinya dengan dalam.

Fera tiba-tiba teringat sesuatu.

"Loe jadi kedengaran seperti si sialan itu" pupil matanya membesar.

"Siapa? cowok yang tadi itu?" tebak Levi.

"Iya" sahut Fera membenarkan.

"Benar-benar pengerutu sejati" mereka mengucapkannya secara bersamaan, merujuk pada seseorang yang sekarang sudah berganti pakaian, dari putih abu-abu menjadi pakaian olahraga berwarna putih biru dan terdapat garis -garis berwarna biru di daerah bahu hingga pergelangan tangan, juga simbol sekolah yang tercetak jelas dibelakang punggung.

"Kenapa mereka lama sekali keluar dari toilet itu vin?"

" Loe tau gak? "

Kelvin balik bertanya pada Randi.

"Kagak, "

balas Randi polos.

" Nah itu, masalahnya gue juga kagak tau "

Kelvin memasang wajah datarnya.

Sedangkan Randi hanya bisa memasang wajah palmface terbaiknya sekarang.

"Huh, nyesel banget gue nanya sama loe vin,"

" Nah itu, Ran, ngapain juga loe nanya kalo udah tau jawabannya"

senyum matahari dipagi hari menghiasi wajah kelvin sejenak, menyilaukan mata Randi dengan cahaya putih bersih dari giginya Kelvin.

Randi menghalau cahaya itu dengan kedua tangannya.

"Buset dah, loe sikat gigi pake pengasah pisau ya? putih bener, "

"Kagak Ran, gue sikat gigi pake jari gue tadi pagi, hehe"

dan Kelvin mengacungkan dua jarinya terbuka dan mengucapkan kata 'peace'.

"Bisa nggak, loe panggil gue Randi atau ndi aja? gue risih tau denger nama gue loe panggil Ran doang, kayak nama Ran di webtoon yang tinggal bareng telur tanpa identitas, dan dia cewek, risih ah. "

"loe ngomong apa sih Ran?"

"Udah Ah lupain aja, itu mereka sudah keluar, ayo kita pergi ke lapangan"

"Et, et bentar, what the hill is going on now? gue sengaja nunggu mereka keluar dari toilet karena gue kebelet boker, au ah loe cabut duluan aja" Kelvin pun masuk ke toilet dengan segera.

"Oh... well... Baiklah".

Setidaknya yang bisa diakukan Randi sekarang hanya bisa membalikkan badannya, menggaruk pipinya dan berjalan ke arah lapangan.

-Beberapa menit kemudian di lapangan-

"Tangan gue gatal banget"

Kelvin sekarang berkumpul bersama teman-temannya setelah keluar dari toilet,seraya mengaruk-garuk kedua telapak tangannya.

"Loe nggak cuci tangan?"

tanya Randi mengeryit jijik.

"Cuci lah ,cium nih"

Kelvin menyorongkan telapak tangannya yang wangi,pada hidung Randi.

Randi segera menepis tangannya.

"Nggak usah"

"Kayaknya ada yang bakal dapat rejeki nih, sebelah mana yang gatal vin?"

tanya Gio dengan wajah cerah.

"Kedua tangan gue yo, terus rasanya gue kayak lupa sesuatu , tapi... entah itu apa"

Ucap Kelvin seraya mengaruk-garuk belakang kepalanya yang tidak gatal.

"Kalo yang gatal kedua duanya sih.. gue kagak tau itu maksudnya apaan." Gio memasang tampang berpikir dan mengelus-ngelus janggut imajinasinya.

Dari kejauhan, tampak berjalan memasuki lapangan seorang pria nyentrik dengan baju olahraga yang berkerah panjang di belakang dan rambutnya yang di wax berlebihan di bagian depan membentuk jambul seperti burung Beo.

"Eh,eh, Pak Deni tuh" bisik-bisik pun memenuhi tempat itu dan pak Deni pun sudah berdiri di hadapan mereka.

"Hari ini Bapak akan mengajarkan bagaimana cara bermain sepak takraw, dan untuk itu, sebelum permainan dimulai dan juga net-nya belum di pasang maka dari itu kita akan melakukan stretching, atur barisan semuanya lalu rentangkan tangan"

"Dan... oh ya,Info yang perlu kalian ketahui dan kalian ingat dengan sebaik-baiknya di dalam otak kalian itu tentang Olahraga sepak takraw adalah transformasi dari permainan yang dalam bahasa Melayu disebut Sepak Raga (raga = keranjang), disebut Takraw dalam bahasa Thai, di Filipina disebut Sipa, di Burma disebut Chinlone, di Laos disebut Kator...Bla..bla..bla" Sesaat lalu , para murid memperhatikan omongan dari Pak Deni, namun sekarang mereka malah mengabaikannya dan menganggapnya sebagai angin lalu malah berbicara dengan teman-teman mereka sendiri.

Pak Deni pun terus menjelaskan hal itu dengan mata terpejam seperti sedang mengingat-ngigat materinya.

"Udah ceweknya dikit, ngapain juga mereka atur posisi paling belakang juga, huuhh jadi nggak bisa liat nice assview deh huuh"

Gio mendengus kecewa saat dia sengaja berada di barisan ketiga belakang hanya untuk tujuan itu namun para murid perempuan malah memilih posisi paling belakang untuk stretching mereka.

Ran mengeplak kepala Gio,

"Loe tau gak Yo? cowok kayak loe itu yang bikin cewek-cewek pada ilfill"

Dia berdiri di barisan kedua belakang tepat di depan Gio, jadinya dia bisa mendengar gumamannya Gio.

"Aduh.. loe ah gak kira -kira mukulnya! kalo gue gegar otak gimana? sakit tau ..."

Gio mengusap-ngusap kepalanya yang baru saja habis si geplak Randi.

,"Bilang aja loe juga demen Ran sama begitu-an, ya nggak vin?"kemudian sambung Gio setelah rasa sakit di kepalanya hilang.

"Loe juga vin?" tanya Randi tidak percaya pada Kelvin yang berdiri di samping kanan Gio.

" Ran, dimana-mana tuh ya, kalo ada kesempatan tuh jangan di sia-siain" Jelas Kelvin dengan seringai terukir di wajahnya yang sekarang berwarna putih pucat.

Randi mengeleng-gelengkan kepalanya tidak menduga.

"Wah parah kalian berdua"

"Udah, kayak loe gak aja"tuduh Gio lagi.

"Eh sorry lah ya" Randi mengelak.

"Udah ah diam, kalian berisik banget" Kelvin pun melerai pembicaraan mereka karena Pak Deni sudah selesai berbicara dan mulai meniup peluitnya.

'Pritt'

"Semuanya sudah berbaris?

Nah mari kita mulai stretchingnya" Pak Deni mulai mengangkat tangannya keatas dan telapak tangannya ditengadahkan ke langit.

"Berhitung!" Dan mulai meminta para murid untuk mengikuti gerakannya dan satu-satu seorang mulai berhitung untuk setiap posisi.

"Eh faber, loe kenapa?"sekarang adalah giliran Alwin si murid laki-laki satu-satunya yang memakai kacamata minus di kelas mereka untuk posisi mengangkat lutut dan menekuknya ke dalam lipatan, Faber mengikuti gerakan itu sedangkan iqbal yang merasa aneh dengan tingkahnya hari ini baru bisa bertanya sekarang giliran mereka masih lama tinggal 6 orang lagi, dia berdiri di barisan kedua belakang tepat di depan kelvin dan iqbal berdiri di samping kirinya.

"Uhmm, kagak tau kenapa, tapi kok perasaan gue kagak enak banget ya hari ini?"Kelvin terus saja memandang punggung Faber dan membuat Faber tidak nyaman dengan intimidasi tak di sadarinya, entah kenapa, kelvin masih belum mengingat janjinya kemarin untuk memukul Faber, dan sekarang ingatanya perlahan-lahan muncul seiring dengan semakin intensnya pandangan matanya pada punggung Faber.

"Eh, loe tau gak? cewek kelas 2 adek kelas kita yang namanya Adelia?" Iqbal menatap Faber penasaran.

"Terkenal memangnya? nggak tuh, kenapa memangnya? dia naksir gue?" Ujar Faber dengan pede.

Iqbal langsung berpura-pura muntah dan menyentil dahi Faber.

"Jijay gue ngeliat tingkah loe fab, nggak semua cewek suka sama loe juga ,kege'eran loe mah"

Faber hanya mencibir Iqbal seraya mengaduh dan mengusap-ngusap dahinya yang memar akibat sentilan super dari jari Iqbal.

Sedangkan Kelvin mencoba mengingat-ngingat tentang apa yang sedang dia lupakan

"Apa...yaa, apa yaa"

dan terus memandang kepala hitam Faber sampai dia mengingat tentang pertandingan Voli kemarin dan Faber si penghancur rekornya.

"Ah gue ingat!!"Teriak Kelvin seketika, membuat semua mata memandang heran saat yang seharusnya dilakukannya adalah berhitung untuk posisi meregangkan kaki kiri, malah berteriak hal lain.

"Kamu! kenapa berteriak-teriak?" tanya Pak Deni paka Kelvin sambil menunjuk dengan tongkat satpamnya yang selalu dibawanya kemana-mana di dalam sekolah ini entah diluar.

Lalu kelvin bangun dari posisisnya dan menerjang Faber dengan tangan mengepal.

"Ini dia si sialan!!" dan kelvin meninju punggung Faber dari belakang dengan keras, saat dia ingat janjinya kemarin, tepat pada saat mereka sedang melakukan pemanasan.

Didepan guru.

"Apa-apaan kau ini?! kenapa memukulku?"Faber melawan dan coba memukul Kelvin balik

"Kyaaaaa"

Para murid perempuan berteriak histeris menjauh dari pusat perkelahian.

" Woooo...... ayo kelvin kalahkan diaaa!! ayo Faber kalahkan diaa !!"

Dan para murid laki-laki membela kubunya masing-masing.

Pak Deni mengusap wajahnya frustasi dengan kelakuan anak-anak muridnya ini dan membelah kerumunan murid laki-laki yang membentuk lingakaran seketika lalu melihat Kelvin dan Faber saling berkelahi, memukul, menendang dan bermain silat serta taekwondo secara bersamaan.

"Apa-apaan ini?"

teriaknya.

Bersambung...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status