Senyum Mimi menghilang. Dia tahu Dayinta galau. Bagaimana bisa Ricky menyukai dirinya. Dayinta dan Ricky itu bagai langit dan bumi jaraknya. Seperti utara dan selatan yang tidak pernah bisa ketemu. Tapi siapa yang tahu misteri hati dan cinta. Dayinta cewek yang kuat, penuh semangat, pemberani, dan tangguh. Ricky, dia cowok yang tidak terkesan macho, rada ngalem, selengekan, tapi setia kawan dan perhatian. Justru kesannya Dayinta lebih macho dari Ricky. "Day, Ricky baik, kan? Selama ini dia care, tulus, dan ga lelah bantuin kamu dan aku. Kurasa dia serius dengan cintanya. Pikirkan deh, untuk terima dia." Mimi menyampaikan apa yang ada di pikirannya. "Kamu yang bener saja." Dayinta menyahut. Bagaimana bisa dia menerima Ricky kalau hatinya masih nyangkut sama Allan? Meskipun benar, Dayinta sadar, Allan tidak akan melihat padanya, karena pria dingin itu cinta Mimi, bukan berarti dia lalu dengan gampang menerima Ricky. "Bisa dicoba, Day." Mimi membujuk Dayinta. "Beli baju bisa dic
Hati Ricky tidak bisa tenang sejak dia melihat Nehan bersama seorang gadis di dalam mobil tadi. Dia harus memastikan bahwa pikirannya tentang Nehan salah. Gadis yang bersama Nehan bukan siapa-siapa, hanya teman saja. Kebetulan, ada teman Ricky yang tinggal satu tempat kos dengan Nehan. Jadi Ricky memutuskan pergi ke sana untuk mendapat informasi tentang Nehan. "Hei, tumben kamu ke sini. Ada perlu apa?" sambut teman Ricky begitu Ricky sampai di tempat kosnya. "Suntuk aja, Man. Tugas lagi penuh, pingin refreshing." Ricky menepuk bahu Diman. Diman mengajak Ricky masuk ke kamarnya. "Tugas banyak itu dikerjakan. Kok malah maunya nyantai." "Kamu lagi kerja tugas?" tanya Ricky. Mereka sudah di dalam kamar. "Nggak. Lagi nonton." Tanpa merasa bersalah Diman menjawab. "Sialan! Kirain kamu kerja tugas!" Bukan lagi menepuk, Ricky menonjok lengan Diman. "Adauhh!!" Diman sedikit berteriak karena sakit juga lengannya. Ricky ngakak. "Tapi kebetulan dong, aku ikutan deh, nonton. Film apa?" R
Sementara makan, suasana antara Ricky dan Dayinta sedikit kaku. Sangat beda dari biasanya. Yang umum terjadi kalau mereka ketemu keributan muncul. Tapi kali ini seolah keduanya tenggelam dalam dunia masing-masing. "Enak banget. Kamu mau nambah, ga?" Ricky memecah kesunyian di antara mereka. "Oh? Eh, nggak, deh. Udah kenyang aku. Kamu kalau mau nambah ya silakan aja." Dayinta menyahut. Dia melanjutkan menghabiskan sisa makanannya yang tinggal tiga suap. "Baiklah. Kamu ga usah galau. Mimi pasti baik-baik. Kita akan jaga dia. Oke?" Ricky menenangkan Ricky. Itu yang Ricky pikirkan. Dayinta resah karena kabar yang Ricky sampaikan. Dayinta sedikit lega, Ricky tidak curiga kalau dia gelisah justru karena penyataan cinta Ricky beberapa hari lalu. Dayinta menunggu apakah Rikcy berniat akan mengatakan lagi, meyakinkan Dayinta tentang hatinya atau dia memilih mundur dan tetap bersahabat saja. Tidak lama setelah itu, mereka pun pulang. Sampai di tempat kos, Dayinta langsung mencari Mimi. Dia
Mata Mimi dan Allan bertemu. Mimi merasa sangat gugup. Terakhir mereka bersama di rumah, Allan sangat marah pada Mimi. Bahkan dia mulai masuk ke pertapaan lagi. Dia tidak mau memberi Mimi kesempatan bicara. Sampai sekarang komunikasi mereka putus. Dan, di pameran ini mereka baru bertemu lagi. "Fotonya sangat bagus, Kak. Aku suka." Sedikit bergetar suara Mimi. "Hm. Kamu apa kabar?" Allan berkata dengan nada datar. Tidak ada senyum di sana. "Aku, baik. Ya ..." Mimi merasa kikuk dan canggung. Jika diingat saat-saat bersama yang menyenangkan, kini mereka seperti tidak saling kenal begini, aneh sekali. "Oke," ujar Allan. Dia tetap terlihat tampan, meski dingin sikapnya. Allan memandang Mimi. Dia sangat rindu gadis itu. Dia ingin kembali bisa punya saat berdua lagi, seperti ketika Mimi masih di rumah. "Ehmm, kamu ga ingin ..." "Allan!" Seseorang menepuk bahu Allan. Allan menoleh pada pria itu. Pembicaraan mereka terputus. Pria itu datang dengan seorang wanita cantik, modis, dan anggun
Wajah Allan masih memandang lurus pada Velia. Dia menghela napasnya dan meneguk tiga kali isi cangkirnya. "Di mana kalian bertemu?" Tidak ada jawaban dari Allan membuat Velia bertanya lagi. "Di pameran, kemarin." Suara Allan pelan, tidak gembira sama sekali. "Bersama kekasihnya?" tanya Velia memastikan jika itu yang membuat Allan semakin galau. "Aku tidak tahu. Dia sedang berdiri memandang foto yang aku sertakan di lomba. Sendirian. Hanya say hello, lalu Dalton memanggilku bertemu Andini." Allan meletakkan cangkirnya. Velia memandang Allan. Tidak ada yang terjadi. Allan hanya terbawa perasaannya sendiri. Dia pasti sangat merindukan Mimi. Velia tahu, hati Allan mulai dalam menyayangi Mimi. Tetapi kenyataan tidak berpihak padanya. "Lan, tetap jadilah kakak buat Mimi. Tidak apa-apa jika dia tidak bisa bersama kamu sebagai ..." "Ga usah bicara, Ma. Aku tahu." Allan berdiri. Dia tidak menghabiskan sarapannya. Dengan sedikit kesal Allan berjalan kembali masuk ke kamarnya. Velia mende
Ricky mengucek matanya. Itu kenapa pakai peluk dan cipika cipiki gitu? Setahu Ricky, sama Mimi juga Nehan nggak begitu. Ada yang aneh. Nehan dan cewek itu duduk berdua. Dekat, mata mereka saling pandang, tersenyum. Sesekali Nehan menepuk pipinya, lalu ci cewek juga memegang tangan Nehan. Ricky menoleh ke jam dinding, hampir jam delapan malam. Peraturan di kos ini kalau terima tamu cewek hanya sampai jam delapan. Ricky tiba-tiba ada ide. Apa reaksi Nehan kalau melihat Ricky muncul dan memergoki dia dengan cewek itu? "Man, aku balik, ya?" Cepat-cepat Ricky mengambil jaketnya yang tergantung di sandaran kursi di dekatnya. "Pulang? Udah selesai memata-matai?" ujar Diman heran. "Ada, deh. Aku cabut." Ricky keluar kamar Diman. Dia berjalan ke arah halaman rumah itu. Bagusnya dia parkir motornya di dekat teras. Mau tidak mau dia akan mendekat pada dua makhluk yang terlihat happy itu. Begitu sampai di dekat motornya, Ricky menoleh ke arah teras. Nehan duduk sedikit membelakangi Ricky. Cew
Angin terasa makin dingin karena hari sudah gelap. Cahaya lampu yang remang-remang memang membuat kesan romantis di sekitar Mimi dan Nehan. Tempat yang cantik dan indah, melengkapi manisnya kebersamaan dua sejoli itu. Nehan memandang Mimi. Dia ingat, hari itu dia menelpon Mimi dan gangguan datang. Dengan cepat dia memotong pembicaraan dan mengakhiri panggilan. Dia pikir Mimi tidak mendengar, ternyata dia bertanya juga. Yang Nehan takutkan adalah Ricky akan memberitahu Mimi kalau dia melihat Nehan dengan seorang wanita, ternyata tidak. Mimi justru menanyakan hal yang lain. Setidaknya Nehan sudah mengantisipasi apa yang akan dia katakan jika Mimi bertanya soal hubungannya dengan cewek lain. "Oh, itu ... sepupuku, Mi. Aku pernah bilang, kan?" Nehan meraih tangan Mimi. Dia tetap tenang dan tersenyum manis pada Mimi. "Sepupu? Apa dia tinggal serumah dengan kakak?" Mimi mencoba meminta penjelasan. Buat Mimi tidak masuk akal juga kalau dia dengan keponakannya ber-sayang ria begitu. Awalnya
Kalimat yang Allan katakan membuat Mimi merasa ragu untuk bicara pada Allan. Beberapa saat dia tak bergerak, tak merespon apapun. "Kamu dengar yang aku katakan?" Allan membuyarkan lamunan Mimi. "Eh, iya, Kak. Aku dengar. Aku ingin kita baikan." Sedikit takut, Mimi bicara lalu menundukkan kepala. Allan terdiam. Ya, selama ini dia dan Mimi seolah bermusuhan. Gara-gara Nehan, bukan gara-gara Mimi tidak jujur kalau sudah pacaran dengan Nehan. Allan menepuk kursi di sisinya. Mimi melangkah mendekat, duduk di kursi itu. Hati Mimi makin dag dig dug. Dia takut salah bicara lalu Allan akan marah besar. "Oke. Kita baikan." Allan memandang Mimi. Ada rasa lega mengalir di hati Mimi. Meskipun tanpa ekspresi, kata-kata itu Allan ucapkan. Dan Mimi tahu Allan serius, dia tidak bohong. "Maafkan aku, Kak. Aku sudah menyakiti Kak Allan. Sama sekali aku ga ada maksud begitu." Mimi mengucapkan lagi maaf, yang sudah lama dia pernah ucapkan, dia tulis dalam surat, dan dia ulang lagi. "Aku akan baik-b