"Nisya kenapa, mah?"
Suara panik Arsya masih mengalun dengan jelas ditelinga Anjani. Anjani bahkan masih ingat bagaimana raut wajah Arsya terlihat panik saat menanyakan keadaan wanita lain, Nisya.
Untuk kali ini, Anjani tidak menyesal sudah bertindak lancang. Sama sekali Anjani tidak menyesal telah menguping pembicaraan Arsya dengan Mamahnya lewat telfon. Anjani tidak menyesal meski ia harus menanggung sakit yang teramat setelah mengetahui kenyataan bahwa,
Arsya panik karena Nisya.
Apa yang Nisya lakukan hingga bisa mencuri perhatian Arsya darinya?
Lalu kenapa suara mamah mertuanya yang terdengar saat nama kontak panggilan tersebut jelas - jelas bernama Nisya?
Bukankah Arsya bilang mertuanya itu sedang di Kalimatan?
Apa yang mereka sembunyikan?
Apa ini alasan Arsya tidak mengizinkannya pulang ke Jogja?
Sesampainya Arsya di Jogja, isak tangis Tuti menyambutnya. Wanita paruh baya itu duduk dikursi tunggu dengan pandangan kosong. Namun setelah matanya menemukan radar keberadaan Arsya, Tuti langsung menjerit berlari kecil ke Arsya lalu memukul - mukul tubuh Arsya meluapkan emosinya. Arsya diam, menerima pukulan dari wanita paruh baya itu."Kurang ajar kamu Arsya! Kamu hampir buat anak saya mati!" jerit Tuti sembari memukul badan Arsya dengan sekuat tenaganya.Arsya tetap diam, tidak berontak sekalipun. Sedang yang lainnya berusaha untuk menghentikan Tuti."Cukup, buk!" Sintia berusaha menarik Arsya dari jangkauan Tuti. Memeluk Arsya erat melindungi. Arsya yang melihat itu berontak karena kini tubuh Mamahnya lah yang menjadi santapan pukulan Tuti.Suasana mendadak ramai. Suara caci maki Tuti menggema diselingi dengan teriakan orang - orang yang mencoba memisahkan. Begitu ramai, hingga rasanya Ar
"Yeay mas bojo pulang!!!"Kepulangan Arsya ke kost pagi ini disambut suara melengking Anjani. Dengan wajah sumringah menatap Arsya yang baru saja masuk kedalam rumah. Wajah Anjani sangat cerah begitu melihat siapa yang datang pagi - pagi, senyum Anjani juga terlukis begitu tulus meski hatinya berdenyut nyeri saat menyadari suaminya bermalam diluar.Satu demi satu tingkah Arsya mengoyak kepercayaan Anjani. Mata Anjani memang membinar saat melihat Arsya, bibirnya tersenyum lebar, juga pipinya merona, tapi Anjani tidak bisa menyangkal kalau pikirannya mulai berjalan, sedikit demi sedikit hatinya mulai terkikis dengan logika.Kenapa Anjani melakukannya lagi? Memalsukan diri.Kenapa harus senyum manis yang ia berikan pada suaminya yang ntah tidur dengan siapa tadi malam, bukankah seharusnya Anjani marah pada Arsya? Meminta penjelasan kenapa semalam ranjangnya terasa lebih dingin dan luas.
"Lho, belanjaan nya mana, Jan?" Sintia melempar tatapan bingung pada Anjani yang baru saja pulang dari tukang sayur, yang tadi katanya ingin belanja bahan - bahan masakan hari ini, pas pulang kok tangannya lenggang. Anjani menunduk, menahan tangis, "Aku gak beli, Mah. Maaf." jawab Anjani lalu masuk kedalam kamarnya. Sintia dan Kai yang melihat itu saling melempar pandang, kebingungan. "Biasa, tan. Moody." ujar Kai menjawab tatapan bingung Sintia. "Apa iya?" ujar Sintia masih tak percaya. Kai mengangguk, lantas bangkit dari duduknya, "Ayo tan kepasar, saya anterin." Sintia menghela nafas pendek lalu beranjak ke dalam kamar untuk mengambil dompetnya, pamit sebentar ke Anjani sebelum akhirnya menyusul Kai yang sudah menunggu di mobil. *** Toong beritahu apa yang harus Anjani lakukan. Terdiam dengan tatapan kosong, tanpa air mata. Pandangan Anjani benar - benar kosong menatap bingkai foto pernikahan nya bers
"Kenyang,""Satu sendok lagi, mubazir buang - buang makanan,"Nisya cemberut, lalu membuka mulut membuat sendok berisi bubur terakhir mendarat ke dalam mulutnya."Mau minum," pinta Nisya, Arsya segera mengambil segelas air putih diatas nakas sembari menaruh mangkok bekas bubur yang Nisya makan.Nisya menyodorkan lagi gelas yang isinya tersisa setengah, Arsya sigap menerima lalu menaruh ketempat semula."Mas, kakiku dingin. Tolong pakein kaos kaki." ujar Nisya dengan nada manja yang dibuat - buat. Arsya menghela nafas samar, lalu beranjak mengambil kaos kaki Nisya yang tergeletak disofa. Dengan setengah hati memasangkan kaos kaki berwarna pink itu ke kaki Nisya.Tanpa Arsya sadari, kamera hape Nisya menyorot kearahnya. Mengambil satu foto tanpa izin dari objeknya. Bibir Nisya tersenyum licik menatapi hapenya yang berhasil mengirim hasil fotonya ke
"Mas Arsya gak boleh pulang..." rengek Nisya sembari bergelayut manja di lengan Arsya."Istri saya menunggu dirumah." ujar Arsya memohon. Wajah Arsya sudah jengah, ia lelah menuruti segala keinginan Nisya."Kalau mas Arsya pulang nanti aku sendirian," ujar Nisya mengerlingkan mata mengiba. Bibirnya mempout, mencoba merayu Arsya dengan wajah imut.Arsya menghela nafas berat, "Saya harus pulang, Nis. Saya memiliki tanggung jawab atas istri saya!" kata Arsya mulai tersulut emosi. Suaranya meninggi membuat Nisya tersentak kecil.Raut wajah Nisya praktis berubah, matanya menyalang, dadanya bergemuruh kesal karena Arsya terus mengingat istrinya dirumah. Kepala Nisya yang tadinya bergelayut manja di lengan Arsya kini menegak lalu menepis lengan Arsya dengan kasar.Nisya melipat kedua tangannya di depan dada, "Aku juga tanggung jawab mas Arsya!" bentak Nisya murka.Tungkai Arsya mundur selangkah, menatap Nisya dengan sorot te
Esok paginya Anjani datang lagi ke rumah sakit bersama Kai beserta keluarga Nisya. Sebenarnya bersama Arsya juga, namun Anjani seolah tidak melihat keberadaan Arsya yang selalu berdiri di belakangnya."Mamah sama Ayah lagi di jalan," ujar Arsya memberitahu saat mereka sedang berjalan beriringan di lorong rumah sakit.Langkah Anjani berhenti, praktis membuat langkah Kai dan Arsya ikut berhenti. Sementara Tuti dan suaminya sudah menuju kamar inap Nisya lebih dulu."Kenapa selalu bawa - bawa orangtua lo sih? Kemarin lo bilang bisa nyelesain masalah ini sendiri, tapi buktinya lo seret - seret Kai sama mamah ayah. Lo gak kasihan sama orangtua lo bulak - balik jogja jakarta?" ujar Anjani sarkas.Arsya menunduk, menahan diri untuk tidak marah melihat perlakuan sarkas Anjani. Bibirnya bungkam, tak mampu buka suara.Melihat keterdiaman Arsya, Anjani berdecih lalu kembali melanjutkan l
Semalaman Arsya merenungi kepergian istrinya. Menatapi ruang kamarnya yang begitu sunyi. Biasanya jam segini harum masakan Anjani sudah menusuk indra penciuman Arsya, ditambah dengan suara cempreng Anjani yang bersenandung menyanyikan lagu yang berasal dari negeri gingseng, yang Arsya yakin Anjani sendiri tidak tau artinya.Arsya menyeruput minuman soda nya, mengambil putung rokok milik Kai yang tertinggal lalu memetik api menyalakan bara rokoknya, Arsya bukan perokok, tapi disaat - saat seperti ini dia butuh barang nikotin itu untuk sedikit melepas penatnya. Mata Arsya melirik kearah jam dinding, jarum pendek pada jam menunjukkan pukul sembilan. Dan Arsya sama sekali tidak ada gairah untuk berangkat kerja pagi ini.Kepala Arsya mengepul, kebanyakan mikir tapi tidak ada tindakan. Calon Ayah itu bahkan memilih untuk berdiam diri di dalam kamar semalaman daripada menyusul istrinya ke Jakarta.Arsya menggaruk rambutnya kesal, mematikan putung rokok y
"Aku mau minta maaf,"Mendengar penuturan Nisya barusan, Arsya berdecih. Bola mata Arsya menatap Nisya yang sedang duduk di hadapannya, cewek itu menunduk sambil meremas telapak tangannya gelisah."Saya maafin. Tapi kamu harus terima konsekuensi yang udah kamu perbuat." ujar Arsya tegas, tak ada lagi raut khawatir yang Arsya berikan pada Nisya.Meskipun Arsya bilang sudah memaafkan Nisya, tapi bagaimanapun Arsya ingin Nisya di berikan hukuman yang setimpal atas perbuatan yang dia lakukan. Kemarin, Arsya sudah mengajukan berkas laporan yang sudah dia siapkan matang - matang.Nisya mendongak, kerlingan matanya seolah memohon pada Arsya, "Mas--""Kali ini kamu sudah keterlaluan, saya gak mungkin diam aja." potong Arsya cepat sebelum mendengar cewek itu mengiba.Wajah Nisya menunduk lagi, tak kuat menerima tatapan tajam yang Arsya berikan. Meskipun Nisya ta