Share

Healer Kesayangan Sang Duke
Healer Kesayangan Sang Duke
Author: Arta Pradjinta

Episode 1: Nasib Malang Tentang Singkatnya Hidup

Di tengah terik matahari dengan perut yang keroncongan. Seorang gadis memakan roti yang dibeli dari Toko Serba dengan bibir manyunnya. Sesekali menyeka keringat yang mengucur di dahinya. Ini kali kesekiannya dia luntang lantung di jalan untuk mencari pekerjaan, meskipun tidak mudah dia tak mau menyerah.

"Mau Rumah Sakit mana lagi ya yang harus aku kunjungi? kenapa susah sekali mencari pekerjaan," keluh Gadis muda ini.

Seharian menghampiri setiap Rumah Sakit untuk melamar pekerjaan yang sesuai kualifikasi dirinya sebagai Perawat. Tidak hanya di rumah sakit bahkan klinik-klinik kecil pun sudah dihampiri demi kabar baik untuk pekerjaan tapi semuanya nihil. "Uang hasil kerja freelancer sudah semakin menipis, gajian juga kecil tidak akan cukup untuk bayar kos yang nunggak tiga bulan ini," ucap Gadis muda itu sembari duduk bersandar di salah satu kursi kayu di depan sebuah toserba.

Perut keroncongan sudah biasa asalkan jangan diusir dari tempat tinggal karena belum membayar uang sewa tempat tinggal. Gadis itu memerhatikan lalu lalang orang-orang yang sibuk dengan aktivitasnya sementara dia berhenti di sini. Tetes air matanya nyaris keluar tapi Gadis itu segera menggeleng. "Tidak boleh lemah, Aricia kuat!" Gadis itu menyemangati dirinya sendiri.

Saat hendak beranjak berdiri. Sebuah mobil metalik hitam berhenti di depan toserba. Seorang Wanita muda keluar dari mobil dengan memakai kacamata hitamnya. Dia menurunkan kacamata hitam untuk melihat seorang Gadis yang beranjak dari bangku kayu di depan toserba. "Riccie, bukan?" tanya Wanita itu.

Sang Gadis langsung senyum sumringan. Senyumannya cerah seolah lupa pada kesedihannya beberapa menit lalu. "Kak Erika, apa kabar?" Gadis itu menghampirinya.

Aricia, gadis muda yang ceria itu memeluk kakak tingkatnya semasa kuliah dulu. Mereka berteman baik meski beda prodi. Melihat penampilan Erika yang berubah, Aricia berdecak kagum. "Kakak keren sekali, sudah bekerja jadi dokter ya kak?" tanya Aricia.

"Aku baru kembali dari Australia, untuk lanjut kuliah ... Sudah lama ya, aku inget dulu ketemu kamu pas masih maba," kekeh Erika mengenali Aricia.

Aricia mengangguk. "Iya terus pas dinas pernah bareng kak Erika, inget gak kita di UGD gantian hecting malem-malem buta jam 3 subuh, haha," sahut Aricia diselingi tawa renyahnya.

"Aku ingat, kita gantian itu karena ngantuk." Erika menepuk-nepuk pundak Aricia. "Kamu pas aku koas jadi mahasiswa magang paling tanggap dari pada temen-temenmu yang lain, seharusnya kamu udah lulus bukan?" tanya Erika merujuk pada masalah Aricia saat ini. Erika tahu jika Aricia memang mendahulukan rasa empatinya, tak jarang Aricia dulu mengerjakan banyak tindakan pada pasien dibandingkan temannya. Erika jadi berteman dekat dengan Aricia sejak saat itu sampai dia lulus lebih dulu karena Erika kakak tingkat, setahun di atasnya.

Aricia mengangguk lesu. Empati dan kecerdasannya semasa kuliah tidak membantunya menemukan keberuntungan mendapatkan pekerjaan. "Aku masih mencari kerja kak, setahun lebih nganggur, hehe," ucap Aricia sembari tersenyum dan menggaruk tengkuknya yang tak gatal.

"Serius?" Erika bertanya dengan terkejut. Dia malah tak menyangka orang cemerlang seperti Aricia malah harus menjadi pengangguran. Erika melihat tampilan Aricia dari atas sampai bawah. Aricia memakai kemeja putih dengan celana kain panjang hitam. Aricia bahkan sudah tampak lesu. Tak salah lagi jika Aricia memang sedang mencari pekerjaan. "Kenapa kamu enggak bilang aku sih," celetuk Erika.

Aricia tersenyum lembut. "A-anu, aku terpaksa menjual handphone tiga bulan lalu untuk membayar kos," kekeh Aricia. "Tapi aku bisa kok hubungi kakak lewat laptopku," ucap Aricia sambil menunjuk ransel yang digendong dipunggungnya.

Erika ikut melihat ransel yang Aricia gendong. Kelihatan berat, batin Erika. Tak lama Erika mendengar perut Aricia yang bunyi keroncongan lumayan keras. Erika terkekeh pelan melihat Aricia yang memerah malu kemudian Erika menepuk-nepuk pundak Aricia. "Abis aku beli plastik di dalam, kita pergi makan siang ya," ajak Erika.

"Tidak perlu kak, aku mau pulang aja abis ini." Aricia menggeleng untuk menolak ajakan Erika.

"Eh, gak boleh begitu Lessa, aku juga belum makan siang nanti aku traktir," ucap Erika.

"Kak, aku baik-baik aja kok," elak Aricia yang sungkan.

Erika memicingkan kedua matanya. Erika menarik tangan Aricia kemudian membawanya masuk ke dalam mobil. "Lain kali deh beli plastik, ayo sekarang aja." Erika berucap sambil menutup pintu mobilnya karena tak mau mendengar penolakan dari Aricia. Erika tentu iba pada adik tingkatnya ini, mengingat betapa dekatnya Erika dengan Aricia dulu.

Mereka tiba di sebuah restoran. Erika memparkirkan mobilnya kemudian keluar dari mobil bersama Aricia. Selayaknya kakak adik, Erika terus menggandeng tangan Aricia. "Ayo duduk, terus kalau waitress datang pesan aja yang kamu mau," ucap Erika yang lebih dulu duduk di sofa lembut ini.

Aricia mengangguk kikuk, dia pun menduduki sofa. Aricia jadi malu karena tidak pernah makan di restoran. Tak lama waitress tiba dengan membawa buku menu makan. "Kak aku pesen yang murah ya," kata Aricia yang sungkan itu.

"Apaan deh Less, santai aja," celetuk Erika sembari membalikkan buku menu. "Steak dua sama fried fries, kamu mau fried fries atau mashed potato?" tanya Erika pada Aricia.

"Kentang goreng aja kak," jawab Aricia menunduk malu.

"Okay, sama jus jeruk dua deh," ucap Erika. Dia tahu Aricia akan diam tanpa memesan makanannya jika bukan Erika yang lagi-lagi memaksa.

Waitress mencatat semua pesanan Erika. "Ada lagi mbak?" tanyanya.

Erika menggeleng sebagai jawaban. Dia melirik Aricia yang mematung. "Itu aja," jawab Erika. Sang waitress pun pergi. Erika menghela napas menatap Aricia. Dia tidak tahu hal apa yang sudah Aricia alami sampai dia menjadi pendiam meskipun Aricia masih ceria, hanya saja sesuatu sudah hilang merengutnya. Erika ingat kedua mata cokelat terang Aricia yang berbinar cerah dengan penuh kehidupan itu dulu.

"Aricia, cerita deh sama Kakak, masalah apa aja yang udah kamu alami?" tanya Erika.

Aricia seorang diri. Sejak dulu dia hidup sebatang kara. Lulus sekolah menengah atas harus berjuang sendiri karena kematian kedua orang tuanya karena kecelakaan. Aricia memang memiliki bibi tapi dia tak mau mengurus Aricia melainkan membawa pergi seluruh harta warisan kedua orang tuanya. Aricia kuliah pun harus merangkap bekerja sebagai guru les privat. Saat wisuda pun dia seorang diri, tak memiliki keluarga dan tak punya teman dekat di angatannya karena Aricia terlalu berkilau sehingga semua orang dengki padanya.

Aricia tak menyadari kedua matanya berkaca-kaca. Bulir air matanya perlahan-lahan membasahi kedua pipinya. Kini dia pengangguran dan terancam berakhir di jalanan. "A-aku ingin melamar pekerjaan," gumam Aricia.

Erika tersenyum kecil menanggapi Aricia. Dia tahu Aricia memang sebatang kara karena dulu Erika tahu hal ini tak sengaja dari teman-teman Aricia yang merundungnya dengan ejekan anak yatim piatu yang haus pujian. "Kalau begitu, apa kamu mau jadi perawat di keluarga kenalanku?" tanya Erika.

Secerca harapan menghampiri Aricia. Dia mengangguk dengan antusias. "Mau kak!"

“Kalau begitu besok kamu mulai bekerja di alamat ini, semangat ya!”

Besok pagi-pagi sekali Aricia sudah bersiap dengan memakai kemeja merah muda dan rok panjang cokelat muda. Rambut cokelat panjangnya diikat ekor kuda. Aricia tidak memakai riasan karena dia tak memilikinya. Pengeluaran harus dipangkas habis demi urusan perut, begitulah pemikiran Aricia.

Aricia baru mengunci pintu kamar kosnya. Di depan pintu sudah banyak surat tagihan listrik dan air ledeng, tak terkecuali tagihan biaya kos. Aricia mengabaikannya nanti akan ia lunasi usai mendapat gaji. Aricia membuka gerbang kemudian sudah melihat mobil Erika yang terparkir di depan. Erika menurunkan kaca mobil kemudian melambai-lambaikan tangannya pada Aricia, menyuruhnya cepat masuk.

"Ayo, semangat Aricia!" Teriak Aricia menyemangati dirinya sendiri.

Aricia menegak ludahnya sendiri. Apa lagi rasa gugupnya bertambah ketika dirinya sampai di depan sebuah mansion mewah dan megah. Gerbang yang terbuka saja ukurannya raksasa. Taman yang luas sampai berhenti di depan mansion bergaya eropa klasik dengan para penjaga berjas hitam. “Alamatnya tidak salah kok,” gumam Aricia.

Aricia pun masuk ke dalam kediaman itu. Ia mulai bekerja sebagai Perawat yang mengurusi Wanita Tua yang hanya bisa berbaring di ranjang kasur. Aricia dengan telaten melakukan pekerjaan sesuai jadwalnya. Siang ini dia tengah menyuapi makan Wanita Tua itu.

“Oma, buka mulutnya, ya?” Aricia dengan sabar mendekatkan sendok berisi makanan namun Wanita Tua itu segera meludahi Aricia.

“Dasar Bodoh, aku tidak mau dirawat oleh orang tak becus sepertimu!” bentak Wanita Tua itu.

Aricia jadi jengkel namun ia berusaha untuk sabar. Saat Aricia hendak menyuapi Wanita itu lagi terdengar suara derapan langkah dari luar. Aricia beranjak berdiri namun saat itu pintu langsung terbuka mendapati dua orang pria bertopeng hitam dengan pisau belati.

“Siapa kalian?” tanya Aricia terkejut.

“Angkat tanganmu, pasti Wanita Tua ini pemilik rumah ini,” terka Pria bertopeng. “Cepat katakan di mana hartamu?” ancam Pria itu.

Wanita tua itu malah keras kepala. “Memangnya aku perduli, tak akan aku berikan sepeser hartaku untuk manusia miskin seperti kalian,” cibir Wanita itu.

“Nenek Tua ini, habisi saja langsung nanti kita geledah kamar ini,” perintah Pria lainnya.

“Rasakan ini Nenek Tua!” bentak Pria itu sembari melayangkan pisaunya.

Aricia yang semula terdiam pun segera menghadang Pria itu. Aricia merasakan benda menghunus masuk pada dirinya. “Ah, konyol sekali,” gumam Aricia. Ia menatap cairan merah dari perutnya itu.

“Gadis ini gila, dia menghadang,” ucap Pria itu.

Aricia berjalan mundur dengan langkah sempoyongan. Kedua pandangan matanya mulai kabur. Tak lama bobot tubuhnya terasa ringan sehingga ia pun ambruk tak sadarkan diri. Sebelum seutuhnya tiada. Aricia merutuki dirinya sendiri.

“Kumohon ... setidaknya biarkan aku hidup kembali dengan takdir yang layak,”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status