Share

08; Rinji Kamila Averaya

Jeff menarik napas seraya mengangguk. "Saya pesan carbonara, bukan aglio olio."

"Oh maaf, itu salah saya."

"Iya, salah anda."

"Kalau begitu biar saya ganti---"

"Tidak usah."

"Tapi---"

"Tidak usah, Rinji Kamila Averaya." Rinji langsung kicep. Dia menyesali diri nya sendiri yang terlihat ceroboh untuk kedua kali nya di depan Jeffrey Karenzio.

"Maaf, Pak."

"Hm."

"Jeff, kamu yakin enggak apa-apa salah pesanan?"

"Iya. Lagian, sama-sama pasta."

"Oke. Mbak, jangan di ulangin ya kesalahan nya. Bisa fatal loh." Tukas Vella yang kemudian diangguki Rinji.

"Iya, sekali lagi saya minta maaf."

"Iya sudah, kamu boleh pergi."

Rinji pun beranjak dari meja delapan belas itu. Tapi sebelum nya, dia membungkuk sopan, untuk meminta maaf dengan sungguh-sungguh.

"Rinji! Kenapa sih? Astaga." Rinji mendumal pelan, menyalahkan diri nya untuk yang ke sekian lagi.

***

Terkadang, Dildar merasa malu dengan sosok perempuan bertubuh mungil yang tak lain dan tak bukan adalah Rinji, seseorang yang dia kenal dua tahun lalu sebagai rekan kerja nya.

Iya, Dildar malu karena Rinji pekerja keras, padahal dia perempuan. Bahkan gadis itu tidak memiliki waktu luang untuk sekedar melepas stress. Setiap kali Dildar ajak pergi, Rinji selalu menolak, meskipun itu di hari libur. Dildar tahu semua pekerjaan yang Rinji lakukan. Tapi Dildar tidak tahu alasan di balik semuanya. Entah karena Rinji memang sesuka itu dengan pekerjaan nya, atau entah karena ada hal lain yang membuat dia harus bekerja keras tanpa mengenal lelah.

"Lo kenapa sih suka banget sama kerja? Emang enggak capek?" Tanya Dildar waktu pertama kali tahu kalau Rinji punya pekerjaan lain selain resepsionis.

"Capek. Tapi dibawa santai aja lah. Lagian hidup cuma sekali, sayang banget kalau cuma leha-leha doang."

"Tapi, Ji, lo cewek. Enggak wajib banget kerja sana-sini kayak gitu."

"Makanya lo nikahin gue dong, biar gue stay di rumah terus." Pada dasar nya, mulut Rinji memang suka ceplas-ceplos. Untung nya Dildar bukan manusia yang gampang terbawa perasaan. Jadi bisa santai menghadapi ocehan tidak jelas Rinji.

Pikir Dildar, mungkin itu cara Rinji melepas beban berat yang dia pikul.

Dua tahun mengenal Rinji dan menjadi sedekat nadi, sekalipun dia belum pernah mendengar Rinji mengeluh. Yang ada, setiap hari nya dia selalu menjadi energi positive bagi siapa pun yang ada di dekat nya. Dan karena hal itu, Dildar jadi penasaran.

Sebenarnya, apa sih yang Rinji sembunyikan dari orang-orang?

"Dildarling kuuuuu...." Suara cempreng dari manusia yang baru saja Dildar pikirkan itu segera memasuki telinga nya, di susul derap kaki yang semakin mendekat.

"Oy."

"Baik banget sih malam-malam gini rela jadi tukang ojek gratis." 

"Kata siapa gratis?"

"Dih, pamrih."

"Emang. Udah ayo naik."

"Helm nya?"

"Oh iya, sini," Rinji menurut, dia mendekatkan diri pada Dildar yang kemudian memasangkan helmet pada kepala nya.

Setelah tautan helmet itu menyatu ditandai dengan bunyi 'klik' Dildar langsung menepuk-nepuk kepala Rinji yang sudah di lindungi helmet dengan pelan, membuat sang empu nya merengut.

"Udah. Sana naik." Rinji pun menurut lagi. Dia berjalan ke belakang Dildar, lalu naik di atas motor scoopy putih milik cowok itu.

"Pegangaa yang kencang."

"Ogah."

"Iya udah terserah kalau mau jatuh."

"Jangan ngebut-ngebut! Tadi siang gue hampir kehilangan nyawa, masa sekarang mau kehilangan nyawa lagi?!"

"Iya-iya, bercanda. Tapi pegangan dong, biar so sweet."

"Buaya kalau malam begini ya."

"Hahahahaha."

"Buruan deh, mau pulang."

"Makan dulu ya, gue lapar nih. Lo udah makan belum?"

"Belum sih."

"Kan udah gue bilang, lo jangan sampai lupa makan, Ji."

"Iya-iya. Yaudah ayo jalan."

"Oke pegangan." Tidak mau ribut, Rinji pun menurut. Tangan nya melingkari perut Dildar, sementara dagu nya dia letakkan pada bahu cowok itu.

"Udah so sweet belum, Dar?"

"Hah? Lo ngomong apa?"

"Enggak, fokus nyetir aja. Gue masih mau hidup." Teriak Rinji. Suara angin terlalu kencang, di tambah dengan deru mesin yang berasal dari kendaraan lain, jadi Rinji harus berteriak supaya suaranya terdengar.

"Oke! Let's go!"

Dan selanjutnya hanya ada keheningan di antara mereka, di tengah-tengah Jakarta pada malam hari.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status