Jeff menarik napas seraya mengangguk. "Saya pesan carbonara, bukan aglio olio."
"Oh maaf, itu salah saya."
"Iya, salah anda."
"Kalau begitu biar saya ganti---"
"Tidak usah."
"Tapi---"
"Tidak usah, Rinji Kamila Averaya." Rinji langsung kicep. Dia menyesali diri nya sendiri yang terlihat ceroboh untuk kedua kali nya di depan Jeffrey Karenzio.
"Maaf, Pak."
"Hm."
"Jeff, kamu yakin enggak apa-apa salah pesanan?"
"Iya. Lagian, sama-sama pasta."
"Oke. Mbak, jangan di ulangin ya kesalahan nya. Bisa fatal loh." Tukas Vella yang kemudian diangguki Rinji.
"Iya, sekali lagi saya minta maaf."
"Iya sudah, kamu boleh pergi."
Rinji pun beranjak dari meja delapan belas itu. Tapi sebelum nya, dia membungkuk sopan, untuk meminta maaf dengan sungguh-sungguh.
"Rinji! Kenapa sih? Astaga." Rinji mendumal pelan, menyalahkan diri nya untuk yang ke sekian lagi.
***
Terkadang, Dildar merasa malu dengan sosok perempuan bertubuh mungil yang tak lain dan tak bukan adalah Rinji, seseorang yang dia kenal dua tahun lalu sebagai rekan kerja nya.
Iya, Dildar malu karena Rinji pekerja keras, padahal dia perempuan. Bahkan gadis itu tidak memiliki waktu luang untuk sekedar melepas stress. Setiap kali Dildar ajak pergi, Rinji selalu menolak, meskipun itu di hari libur. Dildar tahu semua pekerjaan yang Rinji lakukan. Tapi Dildar tidak tahu alasan di balik semuanya. Entah karena Rinji memang sesuka itu dengan pekerjaan nya, atau entah karena ada hal lain yang membuat dia harus bekerja keras tanpa mengenal lelah.
"Lo kenapa sih suka banget sama kerja? Emang enggak capek?" Tanya Dildar waktu pertama kali tahu kalau Rinji punya pekerjaan lain selain resepsionis.
"Capek. Tapi dibawa santai aja lah. Lagian hidup cuma sekali, sayang banget kalau cuma leha-leha doang."
"Tapi, Ji, lo cewek. Enggak wajib banget kerja sana-sini kayak gitu."
"Makanya lo nikahin gue dong, biar gue stay di rumah terus." Pada dasar nya, mulut Rinji memang suka ceplas-ceplos. Untung nya Dildar bukan manusia yang gampang terbawa perasaan. Jadi bisa santai menghadapi ocehan tidak jelas Rinji.
Pikir Dildar, mungkin itu cara Rinji melepas beban berat yang dia pikul.
Dua tahun mengenal Rinji dan menjadi sedekat nadi, sekalipun dia belum pernah mendengar Rinji mengeluh. Yang ada, setiap hari nya dia selalu menjadi energi positive bagi siapa pun yang ada di dekat nya. Dan karena hal itu, Dildar jadi penasaran.
Sebenarnya, apa sih yang Rinji sembunyikan dari orang-orang?
"Dildarling kuuuuu...." Suara cempreng dari manusia yang baru saja Dildar pikirkan itu segera memasuki telinga nya, di susul derap kaki yang semakin mendekat.
"Oy."
"Baik banget sih malam-malam gini rela jadi tukang ojek gratis."
"Kata siapa gratis?"
"Dih, pamrih."
"Emang. Udah ayo naik."
"Helm nya?"
"Oh iya, sini," Rinji menurut, dia mendekatkan diri pada Dildar yang kemudian memasangkan helmet pada kepala nya.
Setelah tautan helmet itu menyatu ditandai dengan bunyi 'klik' Dildar langsung menepuk-nepuk kepala Rinji yang sudah di lindungi helmet dengan pelan, membuat sang empu nya merengut.
"Udah. Sana naik." Rinji pun menurut lagi. Dia berjalan ke belakang Dildar, lalu naik di atas motor scoopy putih milik cowok itu.
"Pegangaa yang kencang."
"Ogah."
"Iya udah terserah kalau mau jatuh."
"Jangan ngebut-ngebut! Tadi siang gue hampir kehilangan nyawa, masa sekarang mau kehilangan nyawa lagi?!"
"Iya-iya, bercanda. Tapi pegangan dong, biar so sweet."
"Buaya kalau malam begini ya."
"Hahahahaha."
"Buruan deh, mau pulang."
"Makan dulu ya, gue lapar nih. Lo udah makan belum?"
"Belum sih."
"Kan udah gue bilang, lo jangan sampai lupa makan, Ji."
"Iya-iya. Yaudah ayo jalan."
"Oke pegangan." Tidak mau ribut, Rinji pun menurut. Tangan nya melingkari perut Dildar, sementara dagu nya dia letakkan pada bahu cowok itu.
"Udah so sweet belum, Dar?"
"Hah? Lo ngomong apa?"
"Enggak, fokus nyetir aja. Gue masih mau hidup." Teriak Rinji. Suara angin terlalu kencang, di tambah dengan deru mesin yang berasal dari kendaraan lain, jadi Rinji harus berteriak supaya suaranya terdengar.
"Oke! Let's go!"
Dan selanjutnya hanya ada keheningan di antara mereka, di tengah-tengah Jakarta pada malam hari.
Rinji langsung memasang wajah cemberut, ketika matanya bersirobok dengan mata bulat Dildar yang berbinar. Tahu kenapa? Karena cowok yang memiliki muka bayi itu sudah membuatnya bolos kerja, dengan beralasan diare.Padahal harus nya hari ini Rinji memberi kuis matematika untuk anak murid kesayangan nya. Tapi Dildar memaksa nya jalan berdua, sebagai ucapan perpisahan, karena mulai senin Rinji sudah tidak lagi jadi rekan kerja nya.Kalau di pikir-pikir memang konyol. Tapi tidak bisa dipungkiri juga, Rinji senang. Karena akhirnya dia bisa menghirup udara segar di kota Bandung. Iya, Dildar mengajak nya jalan ke kota kembang untuk mendatangi wisata alam di Lembang, tepatnya di Orchid Forest Cikole, dengan mengendarai motor scoopy putih yang diberi nama Bodil alias Bohay nya Dildar."Udah dong kesal nya. Tenang aja, hari ini lo enggak bakal keluarin duit sepeser pun." Ucap Dildar sambil membuka tautan helmet Rinji.Padahal sudah berulang
Jeff dikenal selalu patuh pada apa pun yang sudah ditugaskan untuk nya. Pria itu sungkan untuk menolak, sehingga tidak jarang banyak yang memanfaatkan kebaikan nya untuk kepentingan pribadi. Dan semua orang yang ada di sekitar Jeff, pasti setuju kalau kepribadian pria itu selalu tenang, meskipun badai sedang menerjang habis-habisan. Jeff juga laki-laki yang sederhana. Meskipun visual nya sangat mendukung, tapi Jeff tidak suka mengumbar wajah nya ke jejaring sosial demi sebuah like atau pun komentar yang bagus. Jeff tidak suka keramaian, tapi semenjak dia kenal dunia photography, tempat ramai bukan lagi sesuatu yang harus dia hindari. Karena disana, dia bisa mengabadikan banyak moment dengan lensa kamera nya, seperti yang dia lakukan sekarang. Istilah nya, hunting foto. Jeff melakukan itu seorang diri, dan kali ini dia memilih Bandung sebagai lokasinya. Ya... Anggap saja itu sekalian liburan singkat nya, karena hari ini dia dibebas tugas
Hari semakin gelap, lantunan ayat suci pun sudah berkumandang. Rinji terdiam seorang diri di jembatan gantung sambil menunggu Dildar menyelesaikan ibadah nya. Iya, mereka sengaja berlama-lama di satu tempat saja, karena yang mereka inginkan hanya moment bersama, bukan lain nya. Karena setelah ini, mereka sudah bukan lagi rekan kerja yang bisa bertemu setiap hari.Jika dengan Dildar dia bisa lupa dengan segala persoalan hidup, maka kepergian Dildar mengembalikan nya ke dunia yang sebenar nya.Rinji tahu hidup memang tidak mudah. Dia juga paham kalau dunia adalah tempat kesakitan, yang hanya di huni untuk sementara waktu. Tapi satu hal yang Rinji tidak bisa mengerti, kenapa masalah hidup nya tidak kunjung selesai, bahkan ketika dia sudah berusaha untuk membenahi nya satu-persatu.Selama ini Rinji berusaha keras untuk tetap kuat di hadapan banyak orang. Dia memanupulasi manusia-manusia yang ada di sekitarnya dengan membagikan energi positive. Padahal ya
Dari liburan singkatnya, ada satu hal yang Jeff syukuri. Lensa kamera nya ternyata berhasil mengambil potret Rinji yang sedang merenung di jembatan gantung. Dan, Jeff baru menyadari kalau ternyata Rinji cantik. Bahkan side profil gadis itu terlihat sekelas dengan model-model yang dia lihat di internet. "Saya beruntung bisa memotret nya." Monolog Jeff. Karena jujur saja, meskipun dia hanya memotret nya sekali, tapi hasilnya luar biasa. Dia hanya tinggal mengeditnya sedikit lagi untuk mempertajam gambar, hingga ketika sudah sempurna, Jeff memposting nya di akun media sosial yang di khususkan untuk menyalurkan hobi photography nya. 'Terlihat ramai tapi sebenarnya kosong' Itu yang Jeff tulis sebagai judul untuk foto Rinji yang dia posting. Saat itu, di sana memang ramai, tapi Jeff dapat melihat kekosongan yang Rinji rasakan dari matanya. Jadi itu adalah judul yang sangat cocok. Drt... Drt...
Rinji sedikit gugup, ketika lensa kamera mengarah pada nya. Jika kalian berpikir pekerjaan baru Rinji adalah model, salah besar. Rinji bekerja sebagai asisten pribadi di sebuah butik yang bernama Tammy's House. Tetapi karena sesuatu tak terduga---model langganan butik tersebut tidak bisa datang karena ada keperluan, jadi Rinji terpaksa dijadikan model pengganti untuk katalog terbaru. Sebenarnya tidak masalah, Rinji senang dapat bayaran tambahan di hari pertama nya kerja. Akan tetapi, Rinji mati gaya. Dia tidak tahu harus bagaimana selain tersenyum menghadap kamera dengan badan tegap seperti hendak melakukan foto pas. "Rinjani," panggil pemilik butik tersebut yang juga merangkap peran nya sebagai photographer, guna menghemat pengeluaran. Tamara nama nya. "Rinji, Bu." Koreksi Rinji karena nama nya salah disebut. "Ah iya, Rinji. Sorry." "Hehe, iya Bu." "Honey, kamu enggak usah kaku ya, santai aja supaya hasilnya bagus. Saya enggak bakal gigit kamu kok."
"Kenapa? Mama belum siap-siap akting ya?" Tamara meneguk ludah. Kalau sampai Jeff marah, bisa gawat urusan nya. "Jeff, listen---" "C'mon Mam, I miss you." Tapi, Jeff tidak marah. Dia malah langsung menghamburkan diri nya pada pelukan sang Mama. "Darling, I miss you so so sooooo much." Ibu dan anak itu berpelukan dengan erat, membuat Rinji---satu-satu nya orang yang tersisa di sana, ikutan merasa hangat. Rasanya senang bisa melihat interaksi anak dan orang tua yang sedekat ini. Karena tidak semua orang bisa melakukan nya. "Anak nakal kamu ya, ngunjungin Mama kalau ada kabar sakit aja!" Ujar Tamara begitu pelukan nya dengan sang anak terlepas. Nama nya juga Ibu-Ibu, mengomel adalah hal yang biasa. Dan Jeff hanya manggut-manggut saja, lalu meminta maaf setelah Tamara selesai dengan omelan nya. "Tapi Mama enggak sakit kan?" "Enggak. Mama bohong, Honey. I'm sorry, dan Mam
Hingar bingar dunia malam terpaksa mengusik kehidupan Jeff yang damai, hanya karena satu panggilan dari seseorang yang tidak boleh dia abaikan.Iya, Vella. Gadis itu memaksa Jeff yang sedang mengerjakan sesuatu di laptop nya untuk pergi ke kelab. Sebenarnya Jeff enggan, karena tempat itu sangat bising. Belum lagi, bau asap rokok dan alcohol yang mengganggu indra penciuman nya. Ugh! Jeff benci tempat seperti itu. Tapi bagaimana lagi, Jeff tidak bisa menolak permintaan Vella, sekalipun dia harus terjun ke sungai Amazon. "Jeff ayolah, kita bersenang-senang disini." Teriak Vella sambil mengudarakan gelas berisi tequila nya. Jeff tidak menjawab, dia hanya mengangguk saja sebagai respons nya. "Bersenang-senang Jeff. Bukan diam kayak patung!" Jeff mengesah, lalu ikut serta mengangkat gelas miliknya, yang kemudian beradu dengan gelas milik Vella. "Yeah, cheers!" Seru Vella yang kemudian menenggak hingga tandas tequila nya.
Sempat kehilangan Vella karena panggilan video tanpa di sengaja itu, akhirnya Jeff kembali menemukan keberadaan nya lagi, yang kini tengah menjadi pusat perhatian karena tarian nya begitu menonjol. Vella menari layak nya orang gila yang tak punya malu sampai Jeff langsung geleng-geleng kepala.Vella dan kelab malam, rasanya memang tidak bisa terpisahkan, pikir Jeff. Iya, sebab ini bukan sekali dua kali nya Jeff mendampingi Vella disini, dengan tingkah hyper nya.Pernah waktu itu Vella benar-benar mabuk dan kehilangan kewarasan nya, sehingga berani menyentuh bibir Jeff dengan lihai ketika pria itu baru saja membaringkan nya di ranjang. Kontan posisi mereka seperti sepasang kekasih yang hendak bercinta, padahal yang terjadi sebenarnya Jeff hanya diam. Dia tidak mengindahkan ciuman Vella, tidak juga mengelaknya. Sampai kemudian Vella menghentikan pagutan nya, lantas menatap Jeff dengan kesal. "Jeff... Kenapa kamu diam?" Rengek wanita itu dengan nada sedikit manja