“Perempuan itu pasti yang meminta bantuanmu untuk mengusik hidupku bukan?” Sbastian kembali berbicara setelah duduk di kursi kerjanya.
Carla menghentikan gerakan tangannya yang akan kembali memasukkan makanan ke dalam mulutnya, “Perempuan itu? Ah…maksudmu Evelyn? Kakakmu?”
Sbastian menghembuskan nafas kesal, “Terserah apa katamu!”
“Kau harusnya tidak menyebut kakak kandungmu sendiri dengan sebutan ‘perempuan itu’,” Carla mencoba unutk menasihati si dokter berkepala batu itu.
“Itu bukan urusanmu, jawab saja pertanyaanku!” bentak Sbastian.
“Aku sudah menjawabnya tadi. Aku baru tahu kau adik Evelyn dan aku tegaskan sekali lagi kakakmu itu tidak pernah meminta bantuanku untuk mendekatimu,” ucap Carla asambil menatap tajam Sbastian yang berjarak beberapa meter darinya.
Sbastian tersenyum sinis, “Apa kau pikir, aku akan percaya ucapanmu itu?”
Setelah menunggu cukup lama, akhirnya seorang tukang kunci pun datang ke depan ruangan Sbastian. Dokter muda itu melampiaskan amarahnya pada si tukang kunci yang malang. Carla hanya menggeleng-gelengkan kepalanya saat melihat Sbastian yang sedang meluapkan emosinya. Gadis bermata abu-abu itu merasa kasihan pada si tukang kunci yang terpaksa mendengarkan omolen dari si dokter berhati dingin.“Diamlah Sbastian! Jika kau terus memarahinya, dia akan sulit untuk berkonsentrasi,” tegur Carla yang sedang duduk di sofa ruangan Sbastian.“Kau jangan berani-berani menasihatiku!” bentak Sbastian yang membuat Carla memutar bola matanya malas.“Kau pasti sudah tidak sabar keluar dari sini karena sudah terlalu lapar bukan?” goda Carla.“Suaramu hanya membuat kepalaku semakin pusing gadis gila, jadi sebaiknya tutup mulutmu itu!” ucap Sbastian dengan kasar.Carla berdiri dari sofa yang didudukinya, berjalan mendekat
Udara pagi musim gugur terasa lebih dingin, namun tetap menyenangkan untuk dinikmati. Berjalan-jalan santai pun terasa menyenangkan karena matahari tak bersinar terlalu terik. Pagi itu Carla pergi ke kawasan Golders Hill Park, taman tak jauh dari Compton Avenue, tempat Sbastian tinggal. Gadis bermata abu-abu itu mendesak Evelyn untuk memberikan alamat tempat tinggal Sbastian. Meski awalnya, Evelyn menolak untuk memberikan alamat sang adik, namun akhirnya Carla berhasil menyakinkan sahabatnya itu.Selain meminta alamat, Carla pun mendesak Evelyn untuk memberinya informasi lebih tentang Sbastian. Tidak banyak yang Evelyn tahu tentang sang adik karena mereka memang tidak dekat. Namun, Evelyn beberapa kali di pagi hari pernah datang ke mansion sang adik, ternyata tak menemukan Sbastian di mansionnya, dokter muda itu sering menghabiskan waktu pagi dengan berolahraga di kawasan Golders Hill Park.Oleh karena itu, Carla pun rela pergi jauh-jauh hingga ke Golders Hill Pa
Sbastian terperanjat, ia kembali memeriksa nadi Carla, “Syukurlah denyut nadimu sudah kembali normal,” ucap Sbastian dengan suara datar.Carla tersenyum kecil, ia melepaskan oksigen yang terpasang di hidungnya.“Apa yang kau lakukan?” tanya Sbastian.“Aku sudah baik-baik saja, aku tidak membutuhkan oksigen ini lagi,” ucap Carla sambil menatap Sbastian lekat-lekat.“Kau yakin sudah membaik?” tanya Sbastian dengan raut khawatir.Carla tersenyum riang, “Ah…rupanya kau mengkhawatirkanku ya?” Carla meledek.Sbastian menelan salivanya, “Aku akan mengkhawatirkan siapa pun yang tiba-tib apingsan di depanku,” ucap Sbastian dengan suara dingin.Carla mencoba untuk duduk dari posisinya yang berbaring, Sbastian ingin membantu tetapi mengurungkan niatnya itu, ia tidak mau membuat gadis bermata abu-abu itu semakin meledeknya.“Anggap saja aku mempercayainya.
Sbastian menyetir mobil mewahnya dengan wajah dilipat. Carla terus memperhatikan wajah tampan dokter itu. Mereka berdua meninggalkan mansion Sbastian setelah Carla menghabiskan sup ayam buatan Sbastian.“Kenapa kau terus menatapku?” tanya Sbastian dengan dingin.“Karena kau terus menekuk wajahmu,” ucap Carla sambil terus menatap wajah Sbastian.“Itu karena kau terus membuatku kesal,” Sbastian melirik Carla beberapa detik.Carla menggeleng-gelengkan kepalanya, “Meski aku tidak membuatmu kesal, kau pasti akan tetap menekuk wajahmu, itu sudah kebiasaanmu dan kebiasaan itu susah dihilangkan.”“Bukan urusanmu!” bentak Sbastian.Carla menghembuskan nafas kesal, gadis itu menyenderkan punggunya di sandaran kursi mobil Sbastian, kini tatapan matanya menatap lurus jalanan depan. suasana jalanan London mulai dipenuhi kendaraan bermotor.“Antarkan aku ke Oxford Street,” ucap
Kota New York memanglah kota yang selalu sibuk. Lalu-lalang kendaraan bermotor dan para pejalan kaki nampaknya tak pernah berhenti. Hingar-bingar kehidupan dunia dapat ditemukan di setiap bagian kota. Siang itu ketika matahari musim gugur bersinar cukup terik, beberapa bintang model perempuan dan pria sedang melakukan pometratan untuk iklan baju renang di kolam renang terbuka.Renatta nampak seksi dengan baju renang model Monokini berwarna merah menyala. Pakaian renang itu membentuk setiap lekuk tubuh tinggi dan langsung si perempuan berambut pirang itu. pemotretan berjalan lancar hingga akhir. Namun, saat Renatta keluar dari kolam renang dengan dengan menaiki tangga bagian dalam kolam renang, kakinya mengalami kram dan membuatnya tergelincir.Orang-orang di sekitarnya berteriak karena terkejut. Teman-teman model Renatta dan beberapa kru lapangan ikut membantu perempuan berambut pirang itu untuk keluar dari kolam renang.“Kau baik-baik saja?” tanya A
Tiada hari tanpa bertemu dengan Sbastian, itulah moto baru dalam hidup Carla. Ia tak akan membiatkan dokter bermata hijau itu sehari saja tak melihat wajahnya. Tak peduli berapa kali pun ia ditolak dan diusir, Carla akan tetap membayang-bayangi hari-hari Sbastian.Di pagi musim gugur yang hampir berakhir, Carla pagi-pagi sekali masuk ke ruangan Sbastian. Gadis bermata abu-abu itu meletakkan bunga Daisy berwarna oranye ke dalam vas kaca yang selama ini menganggur dan disimpan di pojok ruangan. Ia ingin membuat ruangan Sbastian nampak lebih hidup dan indah“Kau?” Sbastian kembali dikejutkan dengan kedatangan Carla yang sepagi itu sudah ada di ruangan kantornya.Carla tersenyum manis, menyambut kedatangan sang pemilik ruangan.“Apa kau benar-benar tidak bosan selalu datang menggangguku?” tanya Sbastian dengan kesal.Carla menggelengkan kepalanya, “Sama sekali tidak. Ini menyenangkan untukku.”&ldq
“Ada apa memanggilku?” tanya Carla pada seorang pria tua yang sedang berada di ruang perawatan vip rumah sakit St Thomas’. Ruangan itu adalah ruangan terbesar dan terlengkap yang ada di rumah sakit itu.“Kau ini bisa tidka bersikap lembut padaku? Selalu saja ketus,” keluh si pak tua.Carla menghembuskan nafas kesal, “Maaf, suasana hatiku sedang kacau.”Pak tua itu menatap lamat-lamat si gadis bermata abu-abu, “Ke marilah! Aku ingin berbicara padamu,” pinta si pak tua dengan suara yang lebih lembut.Carla menurut, ia berjalan mendekati pak tua itu. Kemudian, duduk di kursi yang ada di samping ranjang perawatan pria tua itu.“Aku dengar dari Jane kau sedang berusaha mendekati seorang dokter di rumah sakit ini,” Pak tua memulai pembicaraan.“Aish...kenapa Suster Jane jadi suka bergosip,” gerutu Carla sambil mengerucutkan bibirnya.Pak tua itu menyentil kening C
Carla kembali ke ruangan Sbastian saat tengah hari, namun udara di luar masih terasa begitu, pertanda awal musim dingin akan segera tiba. Gadis bermata abu-abu itu membawakan Sbastian burger keju dan segelas Americano, ia tahu bahwa dokte angkuh itu sedang melakukan operasi sejak pagi.Saat tiba di ruangan Sbastian, dilihatnya bunga-bunga daisy yang ditatanya di pagi hari masih berada di tempa semula. Carla menyunggingkan senyum kecilnya, “Kau tidak jadi menginjak-injak bunga-bunga ini rupanya,” gumam Carla.Gadis bermata abu-abu itu memutuskan untuk menunggu kedatangan Sbastian sambil berselonjor kaki di atas sofa yang ada di pojok ruangan. Ia akan memeriksa bunga-bunga yang hari ini datang ke tokonya melalui ponsel karena ia sedang tidak ingin datang ke toko bunganya.“Apa kau tidak bosan menggangguku?” ucap seseorang yang baru saja masuk ke dalam ruangan itu, Carla yang terlalu berkonsentrasi dengan ponselnya terkejut karena tidak mend