Pagi di rumah Eldrin terasa lebih hangat dari biasanya. Sinar matahari lembut menelusup melalui jendela besar, menciptakan kilauan samar di meja makan yang dipenuhi aroma roti panggang dan teh herbal. Anza, Hana, dan Haya duduk bersama, menikmati sarapan sederhana, sementara Eldrin duduk di ujung meja dengan ekspresi tenang, memperhatikan Leo yang kini tampak lebih segar meskipun masih sedikit waspada.
Haya, seperti biasa, tampak paling bersemangat. "Hari ini aku bakal ngajak kalian keliling pusat kota! Kalian pasti nggak nyangka betapa indahnya Heavenly." Hana tersenyum kecil, matanya berbinar penuh antusias. "Aku sudah penasaran. Kalau suasananya sebagus ini, pasti kotanya luar biasa." Anza hanya diam, pikirannya masih bercabang antara Heavenly dan dunia manusia yang telah ia tinggalkan. Tumpukan pekerjaan, hutang yang menggunung, dan semua tanggung jawab yang belum terselesaikan masih menekannya. Ia bahkan belum yakin apakah dirinya benar-benar bisa menikmati perjalanan ini. Eldrin akhirnya berbicara, suaranya dalam dan stabil. "Kalian pasti melihat pulau yang hangus di perjalanan ke sini." Anza mengangguk. "Ya. Itu akibat serangan Hoplites, kan?" Sejenak, Eldrin tampak berpikir sebelum menjawab. "Ya. Itu terjadi 17 tahun lalu, dalam perang besar pertama antara Heavenly dan Hoplites." Hana menajamkan pendengaran, sementara Haya yang biasanya ceria tiba-tiba terdiam. "Saat itu, Hoplites berhasil menangkap para Griffin," lanjut Eldrin. "Griffin bukan hanya penjaga alami Heavenly… mereka adalah satu-satunya makhluk yang bisa menstabilkan portal antar dunia. Hoplites menangkap mereka untuk memanfaatkan energi mereka dan membuka portal raksasa." "Apa mereka berhasil?" tanya Anza, matanya menyipit sedikit. Eldrin menggeleng. "Tidak sepenuhnya. Portal memang terbuka, dan pasukan Hoplites masuk dengan kekuatan penuh. Perang berlangsung berhari-hari… tetapi mereka tidak memperhitungkan satu hal." "Apa itu?" Hana menyandarkan tubuhnya ke meja, semakin tertarik. "Energi Griffin tidak cukup untuk menjaga portal tetap terbuka dalam waktu lama," jawab Eldrin. "Perlahan, portal mulai melemah. Tanpa sumber energi tambahan, gerbang itu menjadi tidak stabil. Mereka terpaksa menarik mundur pasukan sebelum terjebak di Heavenly selamanya." Haya yang sejak tadi diam akhirnya bersuara, suaranya lebih dalam dari biasanya. "Tapi itu bukan berarti mereka berhenti." Anza meliriknya dengan alis sedikit terangkat. "Maksudmu?" "Portal itu tidak bisa lagi dibuka secara permanen… tapi sesekali, ia masih terbuka dalam waktu singkat," kata Eldrin. "Dan setiap kali itu terjadi, Hoplites memanfaatkannya untuk menerobos masuk." Haya mengepalkan tangannya di atas meja. "Mereka tidak hanya datang untuk mengambil sumber daya Heavenly." Hana menelan ludah. "Lalu… apa lagi yang mereka lakukan?" "Mereka juga menculik orang-orang," lanjut Haya dengan suara yang hampir bergetar. "Lima tahun lalu, mereka menculik kakakku." Keheningan mendadak menggantung di ruangan. Hana menatap Haya dengan mata melebar. "Kakakmu…?" Haya mengangguk pelan. "Dia salah satu dari banyak gadis elf yang mereka culik untuk diperbudak." Anza mengepalkan tangannya di pangkuannya. Sekarang semuanya terasa lebih nyata. Eldrin menatap mereka dengan tenang. "Itulah mengapa kami harus berhati-hati. Hoplites tidak menyerah. Mereka hanya menunggu kesempatan berikutnya." Suasana di meja makan berubah sunyi. Haya akhirnya menarik napas dalam, berusaha mengembalikan semangatnya. "Tapi sudahlah! Hari ini kita bukan mau memikirkan hal menyebalkan itu!" katanya dengan senyum lemah. "Ayo, kita pergi ke pusat kota!" Jalan setapak yang mereka lalui terasa lembab oleh embun pagi. Cahaya keemasan yang menerobos celah dedaunan menciptakan pemandangan yang hampir magis, seolah seluruh hutan ini berpendar dalam sinar lembut. Di kejauhan, suara gemericik air terdengar, disertai lantunan nyanyian merdu yang mengalun lembut seperti bisikan angin. "Dengar itu?" Haya menoleh ke arah sungai di sisi kanan mereka. Di atas batu besar yang menghadap ke arus sungai, seorang siren duduk dengan tenang, suaranya mengalun selaras dengan gemericik air. Rambut biru gelapnya berkilau di bawah cahaya matahari pagi, sementara sisik peraknya berkilauan seperti permata hidup. Air di sekelilingnya tampak bergerak mengikuti irama nyanyiannya, seolah-olah melodi itu memiliki kekuatan untuk mengendalikan alam. "Suaranya… luar biasa," bisik Hana, terpukau. Siren itu menyadari keberadaan mereka dan menoleh, matanya yang berwarna seperti laut dalam menatap mereka dengan senyum lembut. Ia tidak berhenti bernyanyi, tetapi mengangkat tangan, memberikan salam. Mereka membalas dengan senyum sebelum kembali berjalan. Saat mereka tiba di ladang luas di tepi kota, seorang minotaurus dengan tubuh besar dan bulu cokelat tebal tampak sibuk mencangkul tanah, otot-ototnya menegang setiap kali ia mengayunkan alatnya. "Oh! Itu Pak Grom," kata Haya. "Dia salah satu petani terbaik di Heavenly." Minotaurus itu menghentikan pekerjaannya dan menoleh. "Haya!" suaranya berat, tetapi hangat. "Kau tidak sekolah hari ini?" "Lagi libur, Pak Grom! Aku sedang jadi pemandu wisata!" Minotaurus itu mengangguk dengan ekspresi puas. "Bagus. Jangan sampai kalian tersesat di kota." Mereka meninggalkan ladang dan tiba di pusat kota. Bangunan bercahaya, penduduk beragam dari elf, centaur, hingga hybrid bertelinga serigala berjalan santai di jalanan berbatu. Semua terasa begitu damai… hingga tiba-tiba, keramaian berubah riuh. Seseorang melesat di antara atap bangunan dengan lincah, melompati tiang bendera dengan gesit sebelum akhirnya melayang turun dengan salto dan mendarat tepat di depan mereka. Jubahnya berkibar, wajahnya bersinar dalam kepercayaan diri penuh. Matanya keemasan, berkilauan seperti cahaya matahari pagi. Penduduk menghela napas hampir bersamaan, seolah kejadian ini bukan hal baru. Sosok itu menoleh ke arah mereka—dan langsung terpaku saat melihat Hana. "Siapa namamu?" tanyanya dengan suara yang tiba-tiba lebih lembut. Hana mengerjap. "Eh?" Haya menutup wajahnya. "Oh tidak... dia mulai lagi." "Aku Reinalt, Putra Mahkota Heavenly," katanya, matanya masih terpaku pada Hana. "Dan kau… kau adalah hal paling indah yang pernah aku lihat di dunia ini." Anza menatap langit dengan frustasi lalu memijat pelipisnya. "Serius… makhluk seperti ini juga ada di dunia lain?" Di tengah kegaduhan itu, sesuatu mengganggu perhatiannya. Di sudut kota, sepasang mata di bawah bayangan gedung, menatap mereka dengan mata yang tajam. Saat Anza mencoba melihat lebih jelas, sosok itu menghilang. Bulu kuduknya meremang. "Kita sedang diawasi." Sementara Reinalt masih sibuk merayu Hana, Anza hanya bisa bertanya-tanya siapa yang sedang mengawasi mereka, dan apa artinya bagi perjalanan mereka di Heavenly.Udara malam belum benar-benar tenang. Meskipun suara hutan kembali seperti biasa, ada sesuatu yang menggantung di langit—sisa rasa dari ancaman yang tak terlihat. Di halaman rumah Eldrin, Anza duduk sendirian di undakan, memandangi bayangan pepohonan yang perlahan menghilang ditelan gelap. Lampu dari dalam rumah memancar lembut, tapi ia memilih tetap di ambang gelap. Angin membawa aroma tanah basah. Dunia ini begitu asing, tapi beban yang ia bawa terasa sangat familiar. Langkah kaki mendekat. Eldrin muncul membawa dua cangkir yang mengepulkan uap. Ia duduk di anak tangga bawah, menyodorkan satu tanpa kata. “Teh daun malam,” ucapnya ringan. “Tidak menjawab semua pertanyaanmu. Tapi bisa menenangkan sebagian.” Anza hanya memandangi cangkir itu. “Kau yakin… aku memang terhubung dengan Leo?” Eldrin memandang ke hutan. “Aku tidak perlu yakin. Tapi kau sendiri yang akan tahu, cepat atau lambat.” Anza diam lama, lalu menatap kosong ke tanah. “Di dunia asalku… aku kerja terus,
Langit malam di Heavenly menggantung berat, seolah hutan itu belum sepenuhnya melepaskan ancamannya. Tapi jauh dari gemuruh hutan dan jejak misterius yang tertinggal di tanah, cahaya keemasan masih menyinari menara tertinggi istana kerajaan—tempat di mana suara-suara langkah tak terdengar dan kebenaran dikubur dalam diam.Lorong-lorong batu yang biasa dipenuhi cahaya kini terlihat lebih gelap. Cahaya lampu sihir masih menyala di sepanjang dinding, tapi ada kesunyian di udara. Sesuatu yang tidak biasa.Reinalt berjalan perlahan menyusuri lorong samping istana, tanpa pengawal, tanpa tujuan yang jelas. Tapi pikirannya terus berputar.Sorot mata Hana. Cara bicara mereka. Pertemuan itu hanya sebentar, tapi ada sesuatu dalam diri mereka yang tak bisa ia singkirkan. Terutama Hana.Ia bukan seperti pendatang biasa. Ada sesuatu yang tersembunyi di balik ketenangan itu. Entah kenapa, ia merasa… seharusnya tahu lebih banyak.Langkahnya terhenti saat melihat dua sosok berseragam asing melintas di
Langit senja menyusup pelan ke sela pepohonan Heavenly. Lembayung dan emas berbaur, menciptakan bias cahaya yang membungkus rumah Eldrin dengan kelembutan. Di halaman depan, meja makan dari kayu alami telah ditata. Lilin-lilin kristal menyala, cahayanya bergetar kecil diterpa angin. Hana duduk di samping Anza, membelai seekor kucing kecil berbulu ungu kebiruan di pangkuannya. Bulu kucing itu berubah warna setiap kali disentuh—merah muda hangat saat senang, keperakan saat tenang. “Lumi,” ucap Hana pelan. “Namanya Lumi.” Lumi mengeong singkat, seolah menjawab. Ekornya melingkar lembut di pergelangan tangan Hana. Eldrin tersenyum kecil. “Nama yang halus untuk jiwa yang peka.” Leo duduk tenang di sisi lain meja. Haya sibuk menyendok sup ke dalam mangkuk, sembari melirik langit yang mulai kehilangan warnanya. Anza hanya memandangi makanannya. Tangan kirinya sesekali menyentuh ponsel di atas meja. Layarnya menyala, tapi kosong. Tidak ada suara. Tidak ada tanda bahwa dunia yang d
Di balik kedamaian Heavenly yang baru saja menerima dua tamu dari dunia lain, angin gelap bergerak di tempat yang tak terjangkau cahaya.Jauh di dunia manusia, tersembunyi di sebuah pulau terpencil yang bahkan tak tercantum di peta mana pun, berdiri sebuah fasilitas hitam raksasa. Tak ada yang tahu keberadaannya. Tak ada yang pernah kembali jika sempat melihatnya. Inilah markas Hoplites—organisasi bayangan yang berdiri di antara ilmu, ambisi, dan kekejaman.Fasilitas itu menjulang rendah, tapi menembus jauh ke dalam bumi. Dinding-dindingnya dari baja berlapis rune sintetis, dirancang bukan hanya untuk menahan makhluk, tapi juga menyembunyikan kebenaran. Tak ada jendela. Tak ada angin. Hanya eksperimen, target, dan dunia lain yang harus ditaklukkan.---Di ruang observasi utama, layar holografik memutar ulang rekaman dari salah satu pasukan yang gugur.Hujan. Gang sempit. Kilat keemasan dari dalam tas. Sekejap kemudian, tubuh Griffin muda muncul—sayap mengembang, mata menyala, dan raun
Pasar Heavenly tetap ramai meski matahari mulai meredup. Lampu-lampu kristal mulai dinyalakan, memancarkan cahaya lembut yang membuat suasana semakin hangat. Penduduk dari berbagai ras masih sibuk berbelanja, berbincang, dan tertawa, sementara wangi rempah-rempah bercampur dengan aroma manis dari roti yang baru dipanggang.Di tengah hiruk-pikuk itu, Reinalt berdiri dengan santai, senyumnya tetap terukir, matanya keemasan bersinar di bawah cahaya sore.“Kalian baru pertama kali ke Heavenly?” tanyanya sambil mengamati mereka dengan ekspresi tertarik.Anza dan Hana bertukar pandang sesaat sebelum Hana menjawab, “Ya, kami hanya pelancong.”Reinalt menautkan alisnya seolah mempertimbangkan jawaban itu, tetapi alih-alih bertanya lebih lanjut, ia justru mengangkat dua jarinya dengan gerakan halus.Dari balik keramaian, dua sosok tinggi berbaju biru perak muncul dengan langkah tenang, seolah baru saja keluar dari bayangan. Mereka mengenakan seragam penjaga kerajaan, dan keberadaan mereka yang
Pagi di rumah Eldrin terasa lebih hangat dari biasanya. Sinar matahari lembut menelusup melalui jendela besar, menciptakan kilauan samar di meja makan yang dipenuhi aroma roti panggang dan teh herbal. Anza, Hana, dan Haya duduk bersama, menikmati sarapan sederhana, sementara Eldrin duduk di ujung meja dengan ekspresi tenang, memperhatikan Leo yang kini tampak lebih segar meskipun masih sedikit waspada. Haya, seperti biasa, tampak paling bersemangat. "Hari ini aku bakal ngajak kalian keliling pusat kota! Kalian pasti nggak nyangka betapa indahnya Heavenly." Hana tersenyum kecil, matanya berbinar penuh antusias. "Aku sudah penasaran. Kalau suasananya sebagus ini, pasti kotanya luar biasa." Anza hanya diam, pikirannya masih bercabang antara Heavenly dan dunia manusia yang telah ia tinggalkan. Tumpukan pekerjaan, hutang yang menggunung, dan semua tanggung jawab yang belum terselesaikan masih menekannya. Ia bahkan belum yakin apakah dirinya benar-benar bisa menikmati perjalanan ini. El
Angin dingin menggigit wajah Anza saat Leo membawa mereka menembus langit malam. Kota di bawah mereka semakin mengecil, menjadi kumpulan cahaya yang berpendar redup di kejauhan. Sayap besar Leo mengepak kuat, menembus lapisan awan yang semakin padat. Hana berpegangan erat di belakangnya. "Za! Kau masih hidup?" teriaknya, setengah panik. Anza merapatkan tubuhnya ke bulu hangat Leo, mencoba menyeimbangkan diri. "Kupikir aku akan mati kapan saja!" balasnya, suaranya nyaris tertelan angin. Leo terus naik, melewati batas awan terakhir. Udara semakin dingin, tapi sebelum mereka bisa merasa kedinginan lebih jauh, cahaya keemasan menyelimuti seluruh pandangan mereka. Awan-awan di sekitar perlahan berputar, membuka jalan ke sesuatu yang luar biasa. Heavenly. Di depan mereka, pulau-pulau melayang di udara, seperti negeri dongeng yang tercipta dari cahaya. Sungai-sungai berkilauan mengalir di udara, melayang di antara tebing-tebing hijau yang menjulang. Pohon-pohon raksasa tumbuh dengan ak
Malam itu, apartemen Anza terasa lebih sunyi dari biasanya. Hana duduk di kursi, menatap makhluk kecil berbulu keemasan yang terbaring di sofa dengan ekspresi penuh perhatian. Meski luka-lukanya sudah dibalut, ada sesuatu yang membuat suasana di dalam ruangan terasa aneh—seperti ada energi asing yang menggantung di udara.Leo—begitulah Hana mulai menyebutnya—tidak lagi mengerang kesakitan, tapi tubuhnya masih sangat lemah. Nafasnya teratur, tapi sesekali bulu keemasannya tampak berpendar samar, seperti berdenyut mengikuti detak jantung yang tak kasatmata.“Kau yakin dia baik-baik saja?” tanya Anza, memecah keheningan.Hana menghela napas pelan, masih menatap Leo tanpa berkedip. “Sulit untuk memastikan. Aku belum pernah menangani makhluk seperti ini sebelumnya. Tapi setidaknya sekarang dia tidak kesakitan.”Anza mengangguk pelan. Ia bangkit dan berjalan ke jendela, menatap keluar. Hujan sudah berhenti, tetapi jalanan masih basah dan memantulkan cahaya lampu jalan yang berpendar. Normal
Pintu apartemen terbuka dengan sedikit dorongan, engselnya mengeluarkan suara berderit pelan. Anza masuk dengan tergesa, memegang makhluk kecil berbulu keemasan yang terbungkus jaketnya dengan satu tangan. Lampu redup ruang tamu menyambutnya, menerangi ruangan yang masih berantakan seperti saat ia meninggalkannya.Tagihan berserakan di meja, piring kotor masih memenuhi wastafel, dan tumpukan pakaian yang belum dicuci teronggok di sudut ruangan. Tapi malam ini, semua itu bukan lagi perhatiannya.Ia berjalan ke arah sofa dan menurunkan makhluk kecil itu dengan hati-hati. Nafasnya terdengar lemah, sayapnya masih terkulai tak berdaya. Bulu keemasannya yang dulu mungkin berkilauan kini tampak kusut dan kotor, bercampur dengan bercak darah yang mulai mengering di sekitar luka.Anza duduk di tepi sofa, mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Apa yang sebenarnya sedang ia hadapi? Ia ingin berpikir logis, mencari alasan masuk akal untuk keberadaan makhluk ini, tapi tidak ada teori yang bisa men