(Lima tahun kemudian)
Midsummer Collection, San Francisco.
“Selamat malam para hadirin, selamat datang di Midsummer Collection 2023. Kami harap koleksi baru dari Lady Vittoria Joa Shue selaku designer utama dapat memberikan kepuasan bagi anda semua. New mode brighten day!”
Sesi pembuka diawali dengan kata sambutan dan musik disco klasik. Satu persatu model mulai berjalan di atas panggung catwalk. Para hadirin membelalakkan mata karena takjub dengan koleksi unisex season ini.
Aku sangat menyukai momen ini, ingin rasanya kupotret untuk dipajang di seluruh dinding kamar tidurku. Sesi penutup acara pun tiba, saatnya bagiku tampil untuk menyambut kesediaan para partisipan malam ini.
“Mari kita sambut, Vittoria~ Joa~ Shue!”
Begitu namaku disebutkan, tepuk tangan meriah mewarnai irama ketukan high heels-ku. Sinar lampu menyorot ke arahku tanpa ragu, bintang utama malam ini adalah aku.
Haaaaa!
Semua orang takjub akan busana ball gown putih mengembang sempurna yang kukenakan.
Aku mengeluarkan sebuah mancis merah dan membakar seluruhnya. Seperti dendam yang membara, ball gown itu mekar menjadi gaun satin mermaid dihiasi bunga mawar merah yang mengekspos lekukan tubuhku dengan jelas.
“Semuanya akan menjadi sempurna di tanganku. Thankyou so much,” sambutku sambil memegang dua buket bunga mawar.
Aku benci pidato panjang lebar tak berfaedah dan tak bermakna. Ucapan terima kasih tulus adalah satu-satunya hal yang ingin kutunjukkan di depan para pendukungku. Pastinya dengan hasil karya yang semakin memukau.
Semua orang bersorak dan ratusan tangkai bunga mawar menghujani panggung spektakuler ini.
Aku melirik barisan VIP sekilas dan mendapati tamu undangan spesial dari Italia. Aku sendiri yang memesan tiket pesawat dan membiayai kursi VIP untuk mereka.
“Tidak lengkap, one bitch is missing!” gumamku dalam hati.
Sesi selanjutnya adalah free talk, kesempatan untuk mengenal lebih dekat para tamu hadirin malam ini.
*
“Babe you’re so gorgeous tonight,” puji Bilson, lalu mendaratkan kecupan ringan di bibir merah Chloe.
Para tamu undangan dibuat iri dengan keharmonisan pasangan legendaris tersebut.
“Wow bau-bau calon pengantin baru,” goda Torrey dengan segelas Vodka di tangannya.
“Kalian akan menikah?” tanya Carla dalam balutan gaun hitam kelap-kelip.
“Jangan-jangan, perutnya sudah berisi,” goda Marie dengan gaya rambut kriting baru.
“Akan kurekomendasikan dokter untuk program anak,” ucap Karen dengan tattoo semakin memenuhi tubuhnya.
“Terima kasih atas hiburannya,” sahut Bilson.
“Sayangnya, Chloe dan aku masih belum berencana menikah, apalagi punya anak hahaha,” lanjut Bilson tanpa melepaskan pelukan di pinggang calon istri keduanya.
“Btw, Berlin tidak datang?” tanya Marie.
“Aku dengar Fabian selingkuh lagi,” jawab Carla.
“Dengan siapa kali ini?” timpal Karen.
“Seorang anak pejabat,” bisik Carla.
“Berlin pasti kewalahan kali ini. Bagaimana jika Fabian meninggalkannya?” tanya Marie.
Karen dan Carla mengedikkan bahunya.
Wee woo… Wee woo…
Sirine kepalaku berbunyi, itu artinya targetku sudah berada di depan mata. Aku pun menghampiri sekelompok orang yang telah menghancurkan hidup Carina Rossi lima tahun yang lalu.
“Hi Joa,” sapa mereka satu per satu sembari memeluk ringan diriku dengan ramah.
“I really love it! You’re amazing!” puji dokter gadungan itu, Marie Lyn.
“Aku benar-benar ingin kau menjadi designer gaun pernikahanku nanti,” lanjut wanita SKSD, Karen Gleeson.
“Let’s take photo together!” seru selebgram wannabe sembari mengeluarkan ponsel edisi terbatasnya, Carla Young.
Torrey melingkarkan tangannya secara spontan di bahuku, aku langsung menepis tangannya dengan kasar.
“Don’t touch me!” cecarku.
Semua orang dibuat terkejut, aku juga baru menyadarinya. Aku suka terlihat seperti ini, dingin dan kejam, itu adalah pribadi baruku setelah terlahir kembali. Aku berjalan menuju waiting room dengan wajah mengerut seperti jeruk nipis.
Dari seorang Carina Rossi yang lembut dan penyayang, berubah menjadi seorang Vittoria Joa Shue yang dikenal memiliki kepribadian buruk dan sikap mendominasi. Aku juga alergi terhadap sentuhan manusia dan rasa gengsiku sangat tinggi. Aku bersikap totalitas dalam membentuk pribadi baru selama lima tahun terakhir, termasuk melakukan operasi plastik untuk mengubah wajahku.
***
[To be Continued...]
Waiting room “Sialan! Ambilkan aku tissue basah!” bentakku sambil menendang pintu masuk. Asisten pribadi sekaligus bodyguardku bernama Joke Leign, hanya dia yang tahan bekerja denganku selama 3 tahun belakangan. “Bersihkan bahuku,” ucapku dengan volume suara sedikit diturunkan. “Benar-benar membuat emosi, mood-ku kacau sekali. Biarkan aku sendiri,” terangku. Joke berdiri dan mengusir mereka satu persatu. Lalu, menutup pintu dan duduk di sofa seberangku. “Kau juga tidak ikut keluar?” bentakku sambil melempar setumpuk brosur ke samping. “Sudahi aktingmu, tidak ada orang disini. Tidak ada kamera pengintai j
“Jadwal hari ini adalah penerbangan ke USA untuk acara lelang Antique Chicago di Galeri Fine Arts,” ucap Joke pagi-pagi membuat mimpi indahku terputus, fuck! Aku tidak kuat membuka kedua mataku, “Jam—berapa?” rintihku. “Jangan mengedipkan sebelah matamu, kau terlalu mempesona,” goda Joke yang membuat mood-ku membagus. “Baiklah, princess akan bangun,” kataku. Lingerie satin berenda lepas dalam sekali lucutan. Aku memiliki sebuah kaca besar dalam kamar mandi untuk memeriksa setiap inci tubuhku. Apakah ada bagian yang membengkak atau goresan kecil saja sudah mengangguku. Aku gemar menjaga bentuk tubuh dan telah menghabiskan banyak uang dan waktu demi h
Aku keluar dari acara pelelangan dengan muka masam, tidak ada yang menarik selain lukisan favorit Papa. Aku teringat dengan ucapan Papa saat pertama datang ke galeri ini. “Lukisan langit malam tanpa warna hitam gelap, betapa indahnya bermalam di teras kafe ini.” Sayangnya, galeri Fine Arts milik keluarga Rossi telah dijual Bilson dengan harga tinggi dua bulan yang lalu demi menutupi kerugian perusahaannya. “Anjing pengkhianat Rossi.” “Siapa?” sahut pria kaya raya tadi. Aku terkesiap oleh suara bass-nya yang menggoda, “Bukan siapa-siapa.” Aku menjawab spontan tanpa menatapnya lama. Pria itu mengejar dan menahan lenganku, “Namaku Eric Cassano, beritahu aku
Hotel Royal Crown. “Letakkan disini saja, thankyou.” Eric menutup pintu setelah lukisan seharga puluhan miliaran itu diantar ke rumahnya. “Buddy, kau membeli barang?” tanya Mars yang baru selesai shower. Ia bergegas keluar dengan handuk putih melingkari pinggangnya. “Yesss,” jawab Eric sedikit panik. “Apa itu? Berapa harganya?” “Tidak mahal haha,” balas Eric sambil tertawa palsu. “Cepat pergi tidur. aku lelah.” “Bukankah ini lukisan antik?” tanya Mars yang sudah mengoyak setengah kertas minyak pembungkus lukisan. “Oh
“Joa memiliki seorang tunangan?” keluhku pada gadis tomboy berperawakan tampan yang sedang duduk menyilangkan kaki jangkungnya. “Apa lebih baik aku jujur saja padanya? Bahwa aku bukan Joa yang asli?” usulku. “Kau tidak tahu jelas siapa pria itu,” balasnya. “Benar, belum satupun dari kartunya terbuka. Besok, dia akan datang kesini untuk mengirimkan lukisannya. Kau bantulah aku untuk mengamatinya sebentar.” “Ha—baiklah,” jawab Joke dengan malas. “Namun, ada satu hal yang mencurigakan darinya,” ungkapku. “Aku sudah lama memperhatikannya, namun aku tidak cukup bukti.” “Apa itu?” &nbs
“Dimana Joa?” Aku dan Joke saling bertukar pandang, “Apa—maksudmu?” tidak biasanya aku tergagap. Aku sengaja menaikkan daguku dan menyilangkan kedua lenganku agar tetap terlihat arogan. “Dimana Joa yang kukenal?” Joke mengerutkan dahinya padaku dan kedua bodyguard sudah bersiap-siap untuk menahan segala serangan. Eric menunduk sejenak, “Joa sudah banyak berubah. Dulu kau tidak seceroboh ini.” Aku menghela napas sejenak dan mengipaskan tanganku untuk membiarkan kami ruang pribadi. “Tentu saja, sudah berapa tahun berlalu, apa kau sendiri juga masih sama?” tantangku sambil berjalan mengelilinginya. “Aku masih sama,” jawabn
Shue’s Company. Aku berada di ruang kerjaku sambil memijat kedua pelipis mataku yang berdenyut sedari tadi. Laporan kosong dari Joke membuat emosi dalam diriku tidak stabil. Sudah tiga bulan berlalu, namun tidak ada informasi sama sekali tentang Eric Cassano. “Aku hanya tahu namanya Eric Casssano, blasteran Korean-Italia. Tunangan kecil Joa, ia pernah tinggal di bawah jembatan perbatasan Prancis, dan yatim piatu. Joa adalah malaikat penyelamatnya,” sunggutku mendikte segala ingatan yang kumiliki tentangnya. “Aku sudah mengirim pegawaiku berkeliling dan menetap di wilayah perbatasan Prancis-Italia. Kami juga pergi ke kantor dinas untuk menelusuri daftar nama belakang Cassano dan menemukan sembilan pria bernama Eric Cassano. Namun, wajah dan usia mereka tidak sesuai
“Aku, Vittoria Joa Shue yang akan menjadi interviewer user tahap kedua hari ini,” ucapku di depan puluhan peserta lolos interview tahap pertama. Nama peserta mulai dipanggil dan masuk ke dalam ruang interview secara bergiliran. "I like your style, but I want to know about your next idea, can I?” “Err…mm… ide baru ya?” “Aha," tanggapanku berusaha memacunya. “Ide baru..mmm.." “Next.” -- “Tolong jelaskan apa inspirasimu dalam membuat ball gown ini?” “Aku adalah tamatan luar negeri dengan IPK 3.9 di NY University selama 4 tahun belajar