Share

Kemenangan

Sejak pagi, Rea, Desi, dan Paska sudah disibukkan dengan materi presentasi mereka. Semalam, mereka begadang video call dengan dosen mereka, meminta saran untuk lomba hari ini.

Mereka sudah sampai di Universitas Atmajaya dan sedang menunggu dimulainya kompetisi.

"Hai," sapa cowok lesung pipi. Rea melebarkan matanya.

"Lo di sini? Ikut lomba juga?" tanya Rea. Desi tampak memerhatikan cowok tersebut kemudian menjentikkan jari.

"Ah, cowok kafe itu, kan? Yang lihatin Rea mulu."

Raga mengusap belakang lehernya sambil tersenyum malu. "Ketahuan, deh. Gue Ragasta, panggil aja Raga."

"Gue Desi dan ini Paska." Desi menunjuk cowok di sebelahnya. Mereka berjabat tangan sejenak.

"Katanya lo nggak kenal Raga, Re?"

"Emang. Gue aja baru kenal kemarin sore, kok."

Desi bertepuk tangan pelan sambil menggelengkan kepala, "Heol! Belum ada seminggu lo di sini, udah dapet kenalan aja."

*Heol: Waw / ucapan kagum, kaget, atau tak percaya (bahasa Korea)

"Tunda dulu nyidangnya, kita harus siap-siap, sebentar lagi mulai." Paska langsung menengahi saat melihat sang MC acara sudah bersiap.

Acara demo acara terlewati dengan baik. Empat tim yang lolos pun mempresentasikan karyanya. Tema tahun ini adalah "Mbangun Desa", para peserta diberikan beberapa pilihan daerah dan mereka harus berinovasi membuat program apa saja untuk mensejahterakan desa yang mereka pilih.

"Gue nggak yakin kita menang. Lo inget tim Raga, kan? Selain ide, gambar mereka juga terasa real banget."

"Presentasi mereka juga bagus. Kadar optimis gue langsung berkurang setengah," lanjut Desi membenarkan kata-kata Rea. Saat ini mereka sedang berada di kantin kampus sambil beristirahat dan menunggu keputusan juri.

"Udah, nggak perlu panik. Yang penting kita udah maksimal, kan? Buat seru-seruan aja, sebelum kita balik ke kampus tercinta. Jadwal BEM numpuk, nih."

Kedua gadis itu mengangguk kemudian meneguk minumannya masing-masing. Meskipum di awal Rea sempat tidak berniat ikut, tapi dia juga ingin membawa pulang piala untuk kampusnya. Memangnya siapa yang tidak ingin menang, hm?

Jam tiga sore seluruh peserta sudah berkumpul kembali dan siap menunggu keputusan juri.

"Gimana lomba hari ini?" tanya sang MC.

"Keren banget. Kita jadi dapat ilmu baru, teman baru, kita juga secara nggak langsung berdiskusi untuk membangun desa yang lebih produktif dan kreatif dengan ide-ide yang kita punya." salah satu peserta menjawab.

"Jadi, udah siap dong dengerin siapa yang jadi pemenang untuk Sepekan Arsitektur tahun ini?"

Semuanya menjawab dengan kompak. Jika bisa, suara detak jantung mereka yang berpacu akan terdengar bersahutan saking penasaran dan gugupnya.

Desi, Rea, dan Paska berdoa dalam hati. Tangan mereka saling bertautan memberi semangat.

"Juara 1 Sepekan Arsitektur 2019 jatuh kepada ...."

Genggaman mereka bertiga menguat. Mereka tidak masuk juara harapan, juara dua, maupun juara tiga, jadi bolehkah mereka berharap lebih tinggi lagi?

"Universitas Suryadharma, selamaaat." riuh tepuk tangan mengiringi soral bahagia Desi, Rea, dan Paska. Ketiganya berpelukan erat. Kelima tim tampak bersorak dan menghampiri mereka untuk mengucapkan selamat.

"Kita menang, Re, Ka."

"Asem lah, gue pengin nangis rasanya."

"Selamat untuk kita."

Desi memeluk kedua rekannya dengan haru. Ini pertama kalinya ikut lomba dan langsung menang membuatnya bangga dengan timnya.

"Satu foto untuk sang pemenang," ucap Raga sambil mengarahkan kamera ke arahnya dan Rea. Gadis itu tersenyum manis berselfie dengan Raga.

Setelah selesai menerima berbagai penghargaan dan juga trophy, Paska selaku ketua tim kembali ke tempatnya.

"Makan besar di depan mata, Guys," ucap Rea yang langsung dibalas jitakan oleh dua temannya. Bukannya mengaduh kesakitan, gadis itu malah tertawa bahagia.

Arsan pernah bilang akan mentraktir mereka jika menang juara satu dan Rea bangga bisa meraihnya. Rea pastikan Arsan akan kapok mentraktirnya kali ini.

«••CLBK••»

Rombongan Rea sudah tiba di bandara. Arsan, Ara, dan Kavi sudah menunggu mereka di terminal dua. Jika ketika berangkat mereka hanya bertiga, kini mereka kembali ke Jakarta berlima.

Melihat rekannya menjemput, Desi dan Paska langsung berjalan cepat meninggalkan Rea dan Raga yang masih asyik mengobrol.

"Selamat buat kemenangan kalian." Aksan menyambut temannya dan memberikan pelukan singkat.

"Kemenangan kita, Bro."

"Udah siap duit banyak belum, San?" Desi menagih janji Aksan membuat laki-laki itu merengut.

"Iya, tenang aja. Senin kita makan besar."

"Bapak Ketua kita yang tercinta memang baik. Oh iya, Gue kira lo bercanda mau jemput kita," ucap Paska.

"Nggak mungkin lah gue bercanda." Aksan melirik ke arah Rea yang sedang tersenyum. Tampaknya asyik berbincang dengan orang baru. "Kalian di sana lomba sekalian cari jodoh? Si Rea udah dapet aja."

"Tahu tuh, kenalan baru katanya."

Rea yang sedang tertawa langsung membeku ketika Kavi, Aksan, dan Ara sudah ada di hadapan mereka. Terlebih ketika Kavi menatapnya sedikit berbeda.

"Selamat datang, Nona. Nggak ada niat ngenalin yang di sebelah?" tanya Aksan. Rea berdehem sejenak.

"Oh iya, kenalin namanya Raga, kita ketemu di sana. Dia ikut lomba juga sama Rasya."

"Hai, gue Raga dan ini Rasya."

"Halo, gue Rasya."

"Hai, gue Arsan. Ini Ara dan yang di ujung namanya Kaviar. Panggil Kavi aja."

Setelah melalui perkenalan singkat, mereka berpisah di bandara.

Desi aktif bercerita tentang apa saja yang mereka lakukan selama di Yogyakarta. Dia juga bilang mencoba banyak makanan dan punya kenalan baru selama di sana. Dia bertemu banyak orang dengan pikiran yang sangat maju.

"Kalian nggak keberatan kan buat berbagi cerita selama di Yogya sama teman-teman mahasiswa nanti? Kita kan ada seminar Produktif Berkarya tiga bulan lagi, gue mau kalian kasih tips dan semangat buat mahasiswa kita supaya lebih memaksimalkan potensi yang mereka punya."

"Kalau itu sih, Rea jagonya. Dia kan langganan piala. Pengalaman dia juga udah banyak, kalau gue kan baru ini ikut kompetisi."

Arsan yang duduk di bangku kemudi melirik ke arah Rea. "Gimana, Re?"

"Terserah."

"Terserah bukan jawaban, Re. Kasih jawaban yang lebih tegas kan bisa. Lo ini mahasiswa, berprestasi pula."

"YesChief. Atur aja."

Aksan tersenyum sampai matanya menyipit, "Nah, gitu, dong."

"Melek, San, jangan merem sambil nyetir."

"Sialan lo."

Tidak bisa menjemput putri semata wayangnya di bandara, Ardi memilih menunggu Rea di rumah sambil menyiapkan makanan kesukaan anaknya. Lagipula, ada Kavi yang akan mengantar Rea pulang.

"Oke, semua udah siap."

Ayah tunggal itu sudah selesai menyelesaikan urusannya, Tinggal mandi sebentar lalu duduk manis menonton berita sampai gadisnya tiba di rumah.

Berita yang sedang viral akhir-akhir ini adalah tentang pelecehan seksual pada perempuan di jalan. Para pelaku yang bersepeda motor dan berkelompok itu akan mendekati korban yang juga sedang berkendara, lalu memblokir jalan, dan saat itu lah mereka melakukan pelecehan.

"Zaman sudah tua, otak manusia juga sudah mulai rusak. Mereka lahir dari seorang wanita, tapi melecehkan wanita. Belum tahu aja susahnya menjaga wanita yang dicintai dan naasnya menjadi korban pelecehan. Sakitnya itu lho, sebagai orang tua."

Ada juga berita tentang mobil truk-oleh netizen budiman disebut mobil transformer- oleng hingga menimpa sebuah mobil berkeluarga.

"Ini lagi, mobil besar gitu kan sudah ada jam operasionalnya sendiri."

Keasyikan mengomel sampai Ardi tidak tahu bahwa anaknya sudah di rumah.

"Ngedumelin apa sih, Yah?" tanya Rea meletakkan barang bawaanya di sofa.

"Lho, kamu udah sampai? Kok nggak ucap salam dulu?"

Gados itu mendengus sambil keraih yangan ayahnya. Diciumnya lembut tangan dari pria yang palinh dia cintai.

"Ayah sibuk ngomel sampai nggak dengar Rea ucap salam sampai tiga kali."

"Emang iya? Oh iya, selamat ya, pacarnya Ayah dapat juara satu." direngkuhnya Rea dengan erat sambil mencium pucuk kepalanya. Mata Ardu sampai berkaca-kaca.

"Makasih, Pacarnya Rea. Ayah masak apa? Rea laper banget. Tadi pas laporan di kampus nggak sempat ke kantin."

"Pas banget Ayah masakin makanan kesukaan kamu. Cumi dan udang goreng tepung asam manis."

"Wah Rea nggak sabar mau makan. Rea mandi dulu, deh. Lengket banget ini badan."

"Ayah siapin makanan kamu, ya?" Rea mengangguk setuju. Gadis itu langsung beranjak dari sofa dan bergegas mandi.

«••CLBK••»

Tradisi Universitas Suryadharma bagi siapa saja yang memenangkan sebuah lomba akan digiring ke aula dan bercerita singkat di hadapan seluruh mahasiswa. Istilahnya seperti upacara biasa, hanya saja tidak ada pengibaran bendera atau mengheningkan cipta. Hanya ada menyanyikan lagu nasional dan beberapa pidato ucapan selamat.

"Gila lo, Re, nyabet juara satu Sepekan Arsitektur. Keren lah!"

"Itu event emang udah terkenal keren, kan? Dan tiap yang lolos lima besar pasti gila semua sih karyanya."

"Heh, harusnya kemarin gue ajak kalian taruhan aja, ya?" ucapan Reno barusan membuatnya mendapat toyoran legit dari teman-temannya. Laki-laki jangkung itu memang hobi bertaruh. Tolong, jangan ditiru, ya?

"Ogah ya gue dijadiin bahan taruhan. Seisi dunia ini aja nggak bakal cukup buat nebus gue. Cause Why? Gue ini spesial," ucap Rea dengan lantang. Jika tadi Reno yang ditoyor, kini gantian Rea dilempari bola kertas oleh teman-temannya.

Sedang asyik tertawa, satu notifikasi yang masuk ke ponsel Rea membuat tawa gadis itu perlahan meredup. Satu nama yang sedang susah payah dia hindari, kini seakan gencar mendekat.

Kaviar Liandra : Pulang bareng aku.

Sebisa mungkin Rea menekan debaran di jantungnya. Cuma sebaris kalimat saja sudah membuat Rea begini. Dan kenapa Rea tidak bisa menolak ajakan cowok itu? Bukankah Rea sudah bertekad move on?

Move on adalah barisan kata yang kelihatannya mudah, tapi ternyata sulit dilakukan. Seperti yang sedang Rea usahakan, menghilangkan bayang-bayang Kavi adalah sesuatu yang rasanya melelahkan, menyesakkan, dan hampir mustahil.

Mereka berpacaran ketika SMA. Kavilah yang lebih dulu gencar mendekati Rea dengan tingkah recehnya. Semua terasa sangat menyenangkan sebelum laki-laki itu menghilang tiba-tiba sedangkan mereka tidak bertengkar sebelumnya. Malam sebelum itu, mereka bahkan menghabiskam waktu berdua di pantai seperti hari-hari biasa, dan keesokkam paginya Kavi tidak ada di sekolah hingga hari berikutnya.

Satu tahun kemudian, takdir rupanya belum mau berhenti mempermainkannya. Rea bertemu Kavi sebagai senior dan junior di kampus, membuatnya semakin sulit melupakan cowok itu. Rea tidak tahu apa rencana Tuhan untuknya. Rea hanya tahu bahwa dia harus segera mengenyahkan Kavi apalagi cowok itu kini sudah bersama oran lain. Setidaknya itu yang Rea pikirkan.

"Woy!" Rea tersadar dari lamunannya akibat gebrakan meja Ara. Gadis itu membawakannya segelas es teh manis dan bakso pesanan Rea.

"Apaan sih lo, bar-bar banget. Kalo tiba-tiba jantung gue turun ke pinggang gimana?"

Ara tergelak mendengarnya. Dengan enteng tangannya menoyor pelan pipi Rea. "Tenang aja, nanti gue jepit pake jepitan jemuran biar jantung lo nggak turun. Lagian lo yang apa-apaan, hah? Belum ada setengah hari udah ngelamun. Balik dari Yogya langsung bawa setan lo?"

"Mulut lo ya, Ra, amit-amit banget. Diajarin siapa, sih?" gadis itu memotong baksonya hingga beberapa bagian dan menyendokkan ke mulut.

"Ajaran lo lah, siapa lagi temen gue yang punya mulut kayak sampah selain lo?"

"Sialan—"

"Apaan sih lo berdua? Jam segini udah maki-makian aja, nggak malu dilihatin orang?" Arsan yang baru bergabung langsung mengomeli dua gadis itu.

"Sorry, Ara duluan yang bikin kesel." mengetahui dirinya ditunjuk membuat Ara mencibir tanpa suara. Jangan aneh dengan interaksi mereka, meskipun sering bertengkar, persahabatan keduanya ini tidak perlu dipertanyakan lagi solidnya.

Satu per satu teman tongkrongan Rea bergabung dengannya. Termasuk Kavi dan Kina.

"Kin, duduk aja di samping Rea, aku mau cari bangku dulu." cewek bernama Kina itu mengangguk lalu tersenyum ke arah Rea. Manis, hanya itu yang terlintas di benak Rea kala melihat senyum tulus Kina.

Pantes aja Kavi suka. Apalah gue mah cuma debu keset welcome, batin Rea.

"Kagak usah dilihatin mulu, San. Sampai mau copot itu mata mandangin Rea aja," celetuk Marham yang langsung dibarengi siulan menggoda dari teman-temannya.

Tidak biasanya, Rea memerah ketika digoda oleh teman-temannya. Itu membuat suasanan semakin panas. Arsan mengernyit bingung.

"Muka lo merah, Re." Arsan menyeringai. Satu pernyataan dari Arsan membuat laki-laki di ujung meja itu merasakan perasaan menyesakkan di hatinya. Sedangkan Rea hanya bisa menoleh ke arah lain, menghindari tatapan Kavi yang sejak tadi serasa ingin melobangi kepalanya.

To be continued...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status