Share

Kenalan Baru

Hari ini, Rea bersama dua orang temannya berangkat ke Yogyakarta untuk presentasi lomba yang mereka ikuti. Setelah melewati berbagai diskusi sampai pembuatan karya, mereka akhirnya lolos ke tahap selanjutnya bersama empat tim lain untuk tampil mempresentasikan hasil kerjanya.

"Ingat, selalu berdoa dan jaga diri di sana. Apapun hasilnya, kalian sudah melakukan yang terbaik. Bisa masuk lima besar saja sudah merupakan pencapaian yang besar." Rea, Paska, dan Desi tersenyum mendengar arahan dari dosen mereka. Seharusnya memanga da yang mendampingi, hanya saja Pak Agus hanya bisa menyusul ke sana.

"Siap, Pak, mohon doanya untuk kami. Semoga di sana lancar, syukur-syukur bisa juara," ucap Paska selaku ketua tim.

"Ya sudah, kalian langsung berangkat saja. Pesawatnya sebentar lagi take-off."

Ketiganya berpamitan dengan dosen, beberapa teman sekelas, sesama anggota BEM, dan pada orang tua mereka. Rea memeluk erat ayahnya. Ardi membisikkan kata-kata penyemangat untuk anak semata wayangnya.

"Bismillah, ya, Nak. Ayah bangga sama kamu."

"Makasih, Yah. Doain Rea, ya?"

Kavi maju beberapa langkah hingga hampir sejajar dengan di mana Ardi berdiri. Sorot bangganya tak lepas kala menatap Rea. Laki-laki itu tersenyum tipis. Ketika matanya bertubrukan dengan Rea, baru lah dia berjalan lebih dekat.

"Sukses, Re, jangan lupa di makan." Kavi memberikan bungkusan berisi bolu lapis talas yang dia beli tadi sebelum ke bandara. Salah satu kue bolu favorit Rea.

Rea menatap ayahnya sejenak sebelum akhirnya menerima oleh-oleh dari Kavi. "Makasih, Kav, nggak perlu repot-repot."

Kavi tersenyum dan menggeleng, "Nggak repot. Salam dari Mama. Semoga berhasil, katanya."

Rea mengangguk, setelah berbincang sedikit dengan anggota BEM, dia langsung pamit karena pesawatnya akan lepas landas tak lama lagi.

«••CLBK••»

"Re, mau ikut keliling nggak? Kayaknya di sekitar sini banyak jajanan." Rea tampak berpikir sejenak. Dia baru saja sampai di hotel satu jam lalu, tiga puluh menit berkabar dengan ayahnya, membereskan barangnya, lalu mandi.

Jam menunjukkan pukul empat sore. Sebenarnya dia lapar, tapi rasanya lelah jika harus berjalan lagi mengitari Yogyakarta.

"Nggak, deh. Nanti malam mau ke Malioboro, kan? Gue ngikut nanti malam aja. Lelah, cuy," tolak Rea. Desi kemudian mengangguk lalu bergegas menemui Paska yang sudah menunggunya di lobi hotel.

"Gue jalan dulu, ya?"

"Yo, hati-hati, Des."

Rea membaringkan tubuh lelahnya di ranjang. Gadis itu telingkup sambil meraih ponselnya di atas nakas. Sebelum tidur ada baiknya dia berselancar sebentar di media sosial.

Duh, yang lagi anget-angetnya pacaran mah bebas, ya? Serasa dunia punya mereka, yang lain cuma remahan rengginangKeinjek dikit juga hilang, batinnya saat melihat foto selfi salah satu teman SMAnya.

Rea kemudian bangkit dari posisinya dan berjalan ke arah balkon. Hotelnya memiliki spot paling tepat untuk melihat sunset. Bahkan masih jam empat pun, pemandangannya benar-benar menyegarkan mata. Gadis itu membuka aplikasi kamera dan memotret sebuah hutan buatan yang dibiasi sinar matahari sore. Sesekali berpindah tempat untuk mengambil dari beberapa angle.

Setelah puas, Rea kembali ke kamar dan berniat mempostingnya. Rea jarang mengisi Instagramnya. Sejauh ini, dia hanya punya tiga puluh foto di Instagram, itu pun berisi makanan, pemandangan, atau hasil menggambarnya. Bisa dihitung jari foto dirinya di Instagram karena Rea memang jarang berfoto.

Setelah selesai, Rea meletakkan kembali ponselnya di atas meja dan pergi tidur. Karena nanti malam dia akan berjalan-jalan, dia harus punya tenaga mengikuti langkah kaki teman-temannya mengelilingi kawasan Malioboro.

Pukul 09.30 malam

Rea menabur bedak tipis di wajahnya dan tak lupa mengoles liptint pink di bibirnya. Gadis itu mengedip sekali sambil tersenyum.

"Mamam enak, aku datang." gadis itu menyambar clutch bag dan bergegas ke luar kamar setelah memastikan tidak ada benda penting yang tertinggal.

Malioboro di malam hari tak ubahnya Jakarta. Ramai oleh orang-orang baik wisatawan maupun warga setempat. Karena lokasinya tidak jauh dari kampus, banyak mahasiswa yang nongkrong atau mengerjakan tugas sambil menikmati ramainya kawasan wisata Malioboro.

Rea mengapit lengan Desi dan Paska sambil sesekali menunjuk beberapa pedagang.

"Gue berasa momong bocah. Iya nggak sih, Des?" keluh Paska pasrah. Cewek bernama Desi itu mengangguk.

"Gini nih kalo ngajak anak rumahan ke luar kota. Norak bener."

"Heh, kalau gue hilang di sini, kalian mau tanggung jawab? Malioboro itu luas, lho," protes Rea. Paska memutar bola matanya.

"Senyasar-nyasarnya lo, masih di negara sendiri, Re."

"Banyak protes. Mending kita cari jajanan lagi. Perut gue masih muat banyak."

"Gila sih perut karet. Pantesan si Arsan tekor bandar tiap ngajak lo dinas ke luar. Sekalinya jajan bisa ngabisin jatah duit sebulan."

Rea tertawa membenarkan kata-kata Desi. Memang Arsan sering mentraktirnya makan setiap mereka ada tugas ke luar untuk urusan BEM. Biarlah, Arsan kan banyak uang.

"Gue pengen es krim gelato, deh. Yuk, buruan." Paska dan Desi hanya bisa pasrah saat Rea dengan antusias berlebih menyeret mereka mendatangi salah satu tempat nongkrong yang cukup terkenal akan es krim Italian gelatonya.

Mereka bertiga duduk di pojok sambil menunggu pesanan.

"Jadi, ada yang mau bahas presentasi kita buat lusa?" tanya Paska. Melihat wajah malas dua cewek di depannya itu membuat Paska mendengus. Jika sudah begini, Paska hanya berharap mereka bertiga punya sinyal cukup kencang untuk saling terkoneksi ketika presentasi nanti.

"Up to you, Girls. Nasib gue laki sendiri di sini mah, bakal kalah aja sama ini dua betina."

Desi dan Rea berpandangan lalu berhigh five. Paska ini kadang kelewat serius. Meskipun mereka di sini untuk lomba, apa salahnya liburan melupakan tugas negara sejenak? Bikin rambut rontok saja.

"Re, lo kenal cowok di sebelah kita itu?" tanya Desi. Rea langsung menoleh ke samping.

"Yang lagi pegang kamera sama buku sketsa itu?" tanya Rea memastikan. Desi mengangguk. Paska ikut menoleh.

"Nggak kenal. Kenapa? Kenalan lo, Des?"

"Bukan. Gue perhatiin dari tadi dia ngelihatin lo mulu. Gue kira dia temen lo."

Rea menoleh lagi ke arah cowok tersebut dan kebetulan mereka sedang berpandangan. Obyek ghibahan mereka pun tersenyum manis, menampilkan lesung pipinya. Rea langsung mengalihkan pandangannya.

Sialan, manis juga itu cowok. Eh, kok malah muka si kampret Kavi itu sih yang muncul?

"Gue nggak kenal. Udah lah, biarin aja."

"Serius dianggurin? Nggak mau dilobi dulu gitu? Tanya-tanya nama aja, Re. Lumayan, cowok manis,0 tuh."

"Lo mau? Silakan coba peruntungan dulu, siapa tahu berakhir bahagia."

"Bahagia dalam segi apa dulu? Bahagia batin apa bahagia yang lain?"

"Maksudnya?"

Desi tak menjawab, tapi matanya fokus memandang bibir dan buah dada Rea secara bergantian. Menyadari tatapan melecehkan Desi, Rea langsung menutup area yang Desi pandang.

"Ngeliatin apaan lo, hah?"

Desi terkekeh pelan. Temannya itu masih polos, membicarakan hal-hal vulgar saja butuh usaha ekstra supaya cepat mengerti. Di samping itu, Paskah hanya bisa bertopang dagu sambil memandang malas ke arah Desi dan Rea yang asyik membahas itu. Memangnya tidak ada pembahasan lain, ya?

Tak lama pesanan mereka tiba. Mata Rea berbinar tanpa bisa dicegah melihat banyaknya pesanan mereka. Ralat, pesanan Rea.

"Gila, makanan lo, Re. Awas kalo nggak habis," ancam Desi. Rea mengacungkan dua jempolnya sambil menampilkan deretan giginya.

"Tenang aja, mastah es krim nggak bakal cukup buat yang beginian."

"Tekor laki lo nanti beliin es krim mulu."

"Justru itu gue mau cari suami yang udah mapan dan banyak duit biar bisa beliin gue es krim tiap hari," balas Rea cuek. Gadis itu mulai memakan es krimnya dengan lahap.

"Di mana-mana cari pasangan yang agama dan keuangannya bagus," tegur Paska.

"Itu maksud gue. Yang alim, mapan, nggak pelit duit jajan, dan ganteng."

Desi dan Paska kompak mencubit pipi Rea membuat gadis itu mengaduh kesakitan. Rea hanya bisa cemberut memegangi pipinya yang akan membiru sebentar lagi. Cubitan mereka bukan kaleng-kaleng ternyata.

"Gue aduin ke Arsan lo berdua, biar kena jewer karena nyakitin wakil kesayangannya."

"Wakil apa pacar? Pake malu-malu segala lo."

"Pacar? Kagak, deh. Mending sama yang lain."

Desi dan Paska tertawa mendengarnya. Mereka menikmati waktu dengan mengobrol banyak hal hingga larut malam. Sebenarnya lebih banyak Paska mendengarkan Rea dan Desi membicarakan boyband favorit mereka.

«••CLBK••»

Rea memutus panggilan setelah berbicara dengan ayahnya. Gadis itu sedang berjalan-jalan di sekitar hotel sambil sesekali memotret apa saja yang menarik baginya. Desi dan Paska entah kemana, dan di sinilah Rea, sendirian di taman hotel.

"Hai," sapa seseorang dari arah belakang. Rea menautkan kedua alisnya.

Siapa, ya? Cowok random?

"Boleh duduk di sini?" tanyanya. Rea merasa tidak asing dengan wajah cowok di depannya itu.

"Kalo lo keberatan juga nggak apa, kok. Cuma ya ... gue tetep mau duduk di sini." cowok itu sudah akan melangkah pergi, tapi Rea menahannya.

"Lalu kenapa tadi minta izin dulu?"

"Biar terlihat kayak cowok sopan aja." laki-laki yang entah siapa itu mengedipkan sebelah matanya. Jika biasanya Rea langsung kesal, kali ini berbeda. Rea merasa itu punya kedipan menggoda atau semacamnya.

"Silakan aja kalau mau duduk."

Cowok itu tersenyum sekali lagi. Saat melihat lesung pipinya, Rea kemudian sadar. Mulutnya membulat membentuk huruf O.

"Kayaknya lo udah inget muka gue. Iya, kan?"

Rea mengangguk, "Iya. Lo yang di kafe semalam, kan? Yang kata temen gue selalu ngelirik ke tempat gue."

Cowok sawo matang itu tertawa kecil. Tiba-tiba hati Rea berdesir mendengarnya.

Renyah banget, cuy. Itu suara ketawa apa gigitan wafer Tango, ya?

"Temen lo aja peka, masa lo nggak, sih?"

"Jadi, beneran?" cowok itu tidak mengiyakan. Dia hanya tersenyum tipis. Kemudian mulai memperkenalkan diri.

"Nama gue Raga. Ragasta Adjiwijaya, 22 tahun, masih single karena baru ditinggal doi nikah dua bulan lalu, asli Yogyakarta, cuma sekarang tinggal di Jakarta buat kuliah DKV. Apa lagi? Oh, ukuran baju L, nomor sepatu 47, insyaa Allah sholeh. Siapa nama lo?"

Rea tertawa kecil, "Edrea, panggil aja Rea, mahasiswi arsitektur."

"Rea? Lo itu setan Bali itu, kan?"

Dikatai mahluk halus membuat Rea reflek memukul pelan bahu Raga. "Licin banget mulutnya. Habis ganti oli?"

"Hahaha, maaf, deh."

Keduanya saling diam. Rea fokus menatap ponsel, Raga fokus mengotak-atik kameranya. Rea sedang berkabar dengan Arsan, meminta info apa saja tentang kampus dan BEM. Dia juga membalas pesan yang Kavi kirimkan.

"Lo liburan di sini? Setahu gue ini bukan musim libur, deh."

"Gue lomba di sini. Lo sendiri?"

"Sama kayak lo. Gue juga lomba di sini." Rea mengangguk tanpa berniat bertanya lebih jauh. Karena Raga ini masih kategori orang asing baginya, Rea belum terlalu peduli dan kepo lebih jauh.

"Gue balik, ya? Ditunggu temen-temen gue." Rea berdiri, Raga ikut berdiri.

"Gue juga mau balik. Kita pisah di sini, nih?"

"Iya, gue tinggal, ya?" gadis itu berbalik meninggalkan Raga yang tersenyum kecil. Tangannya mengangkat kamera dan diarahkan ke matanya. Dalam sekali jepretan, Raga berhasil mendapatkan foto Rea.

To be continued...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status