Share

Bab 6 : Dokter pengganti

Hari Arsen mengambil shif malam, ia sedang menunggu pemeriksaan pasien di jam malam sembari meneliti perkembangan pasien. Ia membaca menggunakan kacamata.

Dua puluh menit berlalu, hari ini menunjukkan pukul 07.30 pm, Arsen bersiap lebih awal setengah jam dari waktunya pemeriksaan pasien. Arsen melihat arloji yang melingkar di tangannya. Ia melangkah menuju tempat ganti pakaian yang ada di ruangan ini berbentuk skat menggunakan gorden.

Semenjak Dokter Clara melimpahkan semua tugas kepadanya, Arsen berusaha membagi waktu.

Arsen kini hanya sendirian memeriksa, ia bergegas mengganti bajunya karena baju tadi sudah di pakai dan sedikit berkeringat.

Sedangkan di luar ruangannya terlihat Auris sedang berdebat dengan Dokter Galen.

"Kenapa aku tidak bisa mengganti dokternya?".

Gelen terlihat memijit kepalanya "Ya karena tidak bisa nona, sudah ada prosedurnya dan semua dokter sedang sibuk" Galen mencoba memberi pengertian.

"Aku ingin bertemu dengan Dokter Ares!"

Ketika mendengar nama Ares, Galen berpikir siapa Ares?

"Tidak ada dokter bernama Ares nona, silahkan kembali ke ruangan" ucap Galen.

"Ada yang menanganiku, dia pengganti Dokter Clara"

"Oh maksudmu Dokter Arsen? Tuh disana ruangannya" ucap Galen yang tak mau mengurusi nona itu.

"Oke, terimakasih" Auris segera berlari menuju ruangan Dokter Arsen.

"Gadis aneh" rutuk Galen, ia buru-buru pergi karena ada urusan.

Dengan langkah cepatnya Auris segera mendekati pintu ruangan itu. Ia lupa tidak mengetuk pintu dahulu dan langsung membukanya. Ketika baru empat langkah matanya menangkap sosok tubuh yang indah dan berotok namun saat sadar Auris berteriak.

"Aaaa..." teriak Auris yang melihat Arsen tengah berganti pakaian berdiri di sofa. Tidak masalah berganti bajunya hanya saja tubuh bagian atas Arsen terlihat karena tidak pakai baju.

Arsen terkejut tiba-tiba gadis itu masuk.

"Tutup matamu!" Arsen segera memakai seragam berwarna biru dongker, pakaian seragam dokter.

Setelah mengenakan pakaian, Arsen berusaha menstabilkan detak jantungnya yang sudah tak karuan karena terkejut begitu juga Auris.

Arsen menghampiri Auris dengan wajah kesal, kapan Auris tidak menganggunya.

Ia berhenti di hadapan gadis itu.

"Auris bisakah kau masuk ketika pintunya terlebih dahulu?!" protes Arsen.

Auris menatapnya "Kenapa tidak menguncinya?".

"Ketika aku bekerja aku tidak mengunci pintunya" timpal Arsen yang melipatkan tangannya di dada.

"Kenapa kau ganti baju disini?" ucap Auris mencari pembelaan.

"Karena ini ruanganku dan jika ada yang masuk mereka mengetuk pintu terlebih dahulu. Apalagi alasanmu hmm?" Arsen mengskak Auris.

"Sudah jelas kau yang salah dasar bodoh" timpal Arsen.

"Aku tidak bodoh, bodoh!" tegas Auris lalu dijawab lagi oleh Arsen.

"Aku juga tidak bodoh, bodoh!" kini Arsen yang membalas Auris mengatainya bodoh.

"Aduh kepalaku pusing" Auris memegangi kepalanya, Arsen langsung bertanya "Kepalamu sakit?".

Arsen terdengar mengkhawatirkan Auris sedangkan gadis itu malah menjawab "Iya ini semua karnamu".

Arsen mendengar ada orang yang mendekati ruangannya, langsung saja Arsen menarik gadis itu. Auris yang kebingungan terpaksa mengikuti Arsen.

"Diamlah" bisik Arsen ketika sudah bersembunyi di balik gorden tempat ganti pakaiannya. Karena ruangan ini sempit terpaksa Arsen menghimpit tubuh Auris ke tembok. Sedangkan Auris yang diperlakukan seperti ini hanya menelan ludahnya sendiri, dada Arsen menempel di wajahnya, Auris memalingkan kepalanya menghadap ke samping. Ia kesulitan bernafas dan jantungnya berdebar tiba-tiba.

Aroma tubuh Arsen sangat khas, Auris menghirup dalam-dalam, lalu merasakan sensasi yang candu.

"Dokter?" Suster itu memanggil Arsen namun Arsen tak menjawabnya. Ia takut ketahuan oleh orang lain jika dirinya bersama pasien malam-malam begini.

"Dimana Dokter Arsen" ucap seorang suster yang melihat ruangan Arsen pintunya terbuka namun tidak ada orang. Suster langsung pergi sebelumnya dia menutup pintu ruangan Arsen.

Dirasa sudah pergi, Arsen langsung keluar dari gorden berbahan kain itu lalu mencari udara. Sedangkan Auris masih bersandar di tembok dan tak percaya dirinya sangat dekat dengan Arsen. Ia memegangi dadanya yang terlalu kencang berdebar sampai sedikit sesak.

"Hhh..." helaan nafas berat terdengar dari Auris, ia kemudian menghilangkan pp-pikiran yang aneh di otaknya.

"Ada apa kau kemari?" Arsen memilih duduk di sofa, Auris keluar dan berdiri di hadapan Arsen.

"Aku ingin bertanya padamu"

"Silakan"

"Apa aku bisa mengganti dokter yang merawatku dengan dokter yang lainnya?" Auris bertanya langsung pada intinya.

"Kenapa kau ingin mengganti dokter?"

"Aku ingin dokter yang lain saja tidak mau dirimu"

"Apa alasannya kau tidak mau dirawat olehku?"

"Iya karena aku ingin dirawat oleh dokter perempuan, jikapun laki-laki aku tidak mau olehmu sebab kau dokter tidak baik" terang Auris yang terdengar jujur, Arsen sedikit sedih mendengar Auris yang membencinya.

"Aku akan merawatmu semaksimal mungkin"

"Tapi kau sering memarahiku dan kau tidak punya hati"

Arsen menghela nafasnya "Kapan aku kasar padamu dan kapan aku memarahimu?"

Auris tengah berpikir memang Arsen tidak memarahinya namun sering berdebat dengannya. Dipikir-pikir Arsen adalah dokter yang paling tampan dan tubuhnya bagus. Auris senang melihatnya.

Tanpa disadari Auris menyunggingkan bibirnya tersenyum. Arsen yang melihatnya langsung membuyarkan lamunanya.

"Kenapa malah melamun? Sepertinya kau tidak menemukan kapan aku memarahimu benar?" Arsen tersenyum lalu berkata "Auris jika kau tidak berulah. Sebagai doktermu aku berharap kau menuruti semua perkataanku" ujar Arsen dengan menatap Auris serius namun gadis itu tertawa.

"Iyaa semoga aku menurutimu, Dokter Arsenio Ivander" Auris melihat papan nama di meja kerja Arsen. Pria itu tersenyum membalas tatapan Auris, gadis cantik dengan wajah pucat itu

terlihat menarik.

"Iya Auristella Georgia"

"Baiklah kalau begitu aku pergi dulu" ucap Auris lalu melambaikan tangannya dengan genit. Dia puas mengerjai Arsen.

Setelah Auris pergi, Arsen mengambil jas putihnya lalu mengikuti Auris dari belakang karena tujuannya searah.

Arsen yang melihat dari belakang, cara jalan Auris tidak menunjukkan anggun selayaknya gadis lain. Dari diri Auris, ia bisa melihat gadis itu bukan gadis yang lemah. Ada sesuatu yang menarik dari Auris membuat Arsen penasaran tentangnya.

Setelah memastikan Auris masuk ke ruangan, Arsen memutar jalannya lalu menghampiri ruangan yang di ujung, ia memeriksa satu persatu pasien di ruang VVIP ini. Ia juga memeriksa Ivy yang harus ditangani dengan serius, besok jika belum ada perubahan terpaksa Ivy dipindahkan ke ruang ICU. Ada dua pasien dengan kondisi yang perlu penanganan intens karena penyakit yang diderita menunjukan hal yang buruk.

Semua yang ada di bangsa VVIP sudah ditangani tinggal satu pasien lagi. Arsen menangani pasien dengan keadaan darurat terlebih dahulu baru memeriksa pasien yang bisa ditangani terakhir.

Arsen membuka pintu kamar 502, ia masuk dan melihat Auris yang duduk di tempat tidurnya sembari memainkan ponselnya sehingga Auris tidak sadar jika ada yang masuk.

Arsen berdehem membuyarkan konsentrasi Auris, gadis itu yang tengah bermain game di ponselnya. Auris menengok lalu tersenyum singkat kemudian ia menaruh ponselnya di nakas.

"Apa ada keluhan?" tanya Arsen.

Auris menggelengkan kepalanya "Tidak ada"

Arsen mengecek denyut nadi di tangan Auris lalu memeriksa kedua mata gadis itu.

"Aku baru teringat bagaimana kucingnya?" Auris bertanya, Arsen mengangguk setelah memeriksa keadaan Auris. Keadaannya menunjukkan perubahan yang bagus.

"Baik-baik saja"

"Apa kau membawanya ke rumahmu?" Auris membenarkan posisi duduk dengan bersandar.

Arsen menatap Auris yang menunggu jawabannya, gadis itu mengkhawatirkan kucing jantan itu.

"Aku harap ada di rumahmu, setelah aku sembuh total aku akan membawanya" Auris berbicara dengan lembut.

"Kucing itu tidak di rumahku" ucap Arsen, Auris mendengarnya lalu menatap tajam.

"Dimana kucingnya?".

Arsen tidak menjawab lalu membalikkan tubuhnya berniat pergi dan mengabaikannya, Auris yang masih penasaran. Ia langsung turun dari tempat tidur lalu mengejar Arsen.

Langkah Arsen terhenti ketika lengannya ditarik oleh Auris.

"Jawab dulu dimana kucingnya?" Auris mengeratkan pegangannya di lengan Arsen.

"Kucingnya sudah aman kau tidak perlu khawatir" jawab Arsen yang melepaskan cengkraman Auris.

"Sungguh aku tidak bisa mempercayai perkataanmu, Dokter Arsen" Auris melangkah kembali ke tempat tidurnya dengan perasaan yang kesal.

Arsen melihat gadis itu marah lalu berkata "Kucingnya sudah dirawat oleh seseorang yang bijaksana. Kau harus sembuh baru aku mengantarmu kesana"

Baru saja Auris menengok Arsen sudah hilang di balik pintu. Ia mengepalkan tangannya ke udara lalu memukul kecil dan berkata "Menghilang seperti hantu".

Di lobi rumah sakit, Bibi Etna tengah berjalan. Dari arah belakang ada yang memanggilnya.

"Bi" suara itu terdengar berat, Bibi Etna menengok ke arah pria tinggi yang mengenakan pakaian terlihat kasual dengan jaket kulit berwarna hitam. Pria itu juga membawa sebuah buket bunga dan sebuah tote bag.

Bibi Etna tersenyum menyambut orang yang sudah dianggap saudara. Pria itu berjalan dengan hati-hati lalu berhenti di samping Etna.

"Tuan Sean, sudah kembali" ucap Bibi Etna, pria itu mengangguk.

"Apa kabar bi?".

"Bibi baik-baik saja. Tuan?".

Sean mengangkat sedikit bahunya "Baik, aku ingin bertemu dengan gadis kecil. Dimana dia?".

Bibi Etna mengangguk "Mari" lalu mengarahkan menuju ruang inap Auris.  Ia senang Sean kembali setelah lama pergi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status