Home / Romansa / Hey, Mama! / 1. Kesialan Beruntun

Share

Hey, Mama!
Hey, Mama!
Author: dian_nurlaili

1. Kesialan Beruntun

Author: dian_nurlaili
last update Huling Na-update: 2022-07-31 09:52:00

Ify mengusap peluh, meski lelah tetapi semua itu terbayar saat banyak orang tersenyum ketika menikmati masakannya. Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam dan restoran sudah hampir tutup. Tak ada lagi pengunjung dan Ify pun berniat siap-siap untuk pulang saat salah satu rekannya menghampirinya.

"Fy, dipanggil Pak Riko tuh!"

"Gue?" Ify menunjuk dirinya sendiri. Merasa heran karena tak biasanya sang manager berada di restoran sampai larut malam.

Rekannya hanya mengangguk lalu melanjutkan pekerjaannya.

Ify lantas melepas apron yang melekat di tubuhnya dan bergegas menuju ke kantor Riko. Ia tak mengerti tujuan pria itu memanggilnya. Ini hanya akan meninggalkan gosip baru lantaran berita bahwa sang manager menyatakan cinta padanya kemarin sudah menyebar ke seluruh karyawan restoran. Ify hanya tak nyaman karena terus diledek.

Gadis itu memandang pintu di depannya dengan gugup. Sedikit merasa canggung karena insiden kemarin jadi salah satu penyebab Ify terdiam selama beberapa menit sebelum mengetuk pintu.

Setelah mengetuk pintu, Ify pun masuk dan langsung dihadapkan dengan pandangan sang manager yang sangat tajam ke arahnya.

"Permisi, Pak! Bapak memanggil saya?" tanya Ify dengan sopan. Meski merasa sebal karena pandangan Riko yang seolah menelanjangi dirinya itu, Ify tetap mencoba bersikap sopan.

"Duduk!"

Ify pun dengan patuh duduk di sofa, disusul oleh Riko yang duduk di sampingnya. Ify bergeser pelan, tetapi Riko ikut bergeser. Tangannya dengan kurang ajar memegang paha Ify dan meremasnya pelan.

"Maaf, Pak! Jika tidak ada kepentingan saya ijin pulang," ucap Ify sembari melepaskan tangan Riko dari pahanya.

"Tunggu dulu! Kenapa harus buru-buru? Nanti biar saya antar pulang." Riko mencoba menahan Ify.

"Maaf, Pak! Tapi saya permisi!" Ify dengan cepat bangkit dan berniat untuk segera pergi sebelum tangannya ditahan dan dalam sepersekian detik ia sudah berada dalam pelukan Riko.

"Kenapa kamu susah sekali dibilangin, saya kan bilang nanti dulu! Kemarin kamu sudah nolak saya, hari ini jangan ditolak lagi."

Ify berontak dengan sekuat tenaga. Apalagi saat ia merasakan tangan kurang ajar managernya itu mulai menyentuh pantatnya.

Plakk!

Berhasil lepas dari pelukan sang manager, Ify memberikan satu tamparan keras yang membuat Riko melotot marah.

"Berani kamu sama saya? Mulai besok jangan datang lagi ke restoran ini, kamu saya pecat!"

Ify menggeretakkan gigi, ia sungguh ingin menghajar muka mesum managernya itu hingga babak belur.

Bugh!

"GUE JUGA NGGAK SUDI KERJA SAMA LO LAGI, MANAGER MESUM, BAJINGAANN!"

Ify kemudian keluar dari kantor Riko dan membanting pintunya dengan erat, meninggalkan Riko yang meringis kesakitan memegang asetnya.

*

Keluar dari ruangan Riko, Ify mati-matian menahan air mata yang hampir tumpah. Ia bahkan mengabaikan pertanyaan Sivia, sang sahabat yang begitu khawatir melihatnya keluar dari ruangan sang manager dalam keadaan kacau. Rasa kecewa, marah, sedih, benci dan jijik membuat Ify ingin segera pulang dan mengubur diri dalam selimut.

Tingkah Ify tentu saja menarik perhatian beberapa karyawan yang belum pulang, namun tak ada satu pun yang berani bertanya karena melihat ekspresi Ify. Sampai kemudian terdengar teriakan sang manager dan Ify dengan cepat pergi dari restoran itu tanpa mempedulikan pandangan heran dari rekan kerjanya.

Melangkah dengan gontai, satu persatu air mata Ify jatuh. Ia terisak pelan. Kenapa sulit sekali untuk hidup dengan tenang? Ify hanya ingin bekerja dengan baik demi mendapatkan uang untuk pengobatan sang ibu dan biaya sekolah sang adik. Tapi hari ini ia baru saja dipecat.

Ify terduduk di trotoar, memeluk lutut lalu menangis keras. Tak peduli dengan pandangan orang-orang yang lewat. Karena meskipun sudah cukup larut, jalanan ini masih lumayan ramai, maklum kota besar seperti Surabaya ini tak ada matinya.

Puas menangis, Ify kemudian bangkit sembari mengusap air matanya. Rasanya menjadi lebih lega dan langkahnya lebih ringan untuk pulang ke rumah. Ia sudah ikhlas jika kehilangan pekerjaan sekarang, besok ia akan mencoba lebih keras lagi. Ify yakin, kemampuannya dalam mengolah masakan tak kalah dengan chef di restoran hotel bintang lima.

Sebuah kerumunan di halte bus menarik perhatian Ify. Ia mendekat perlahan untuk melihat apa yang terjadi.

"Orangtuanya kemana? Kenapa anak ini sampai sendirian di sini?" sayup-sayup Ify mendengar percakapan orang-orang yang berkerumun itu.

Ify mendekat dan melihat seorang bocah laki-laki berusia sekitar tiga tahun tengah menangis histeris. Tak mau di dekati oleh siapapun hingga orang-orang pun bingung bagaimana mau menolong.

Ify menatap bocah itu, bersamaan dengan bocah itu yang juga menatapnya. Lalu tanpa diduga bocah itu berdiri, menubruknya dan berteriak-

"MAMA!"

Ify tersedak ludahnya sembari agak terhuyung menerima pelukan tiba-tiba dari bocah laki-laki itu.

Kini semua mata memandangnya dengan cemoohan. Ify hanya menggeleng, mencoba menjelaskan jika itu tidak seperti yang mereka kira, karena tenggorokannya tercekat tanpa bisa mengucapkan sepatah katapun, sementara bocah lelaki itu sudah memeluknya dengan erat seolah takut terlepas.

"Punya anak tuh mbok dijaga, gimana kalau terjadi apa-apa? Jadi ibu kok nggak becus jagain anak."

"Anak muda jaman sekarang maunya punya anak tapi nggak bisa jaga."

"Lain kali lebih perhatian lagi. Kasihan anaknya udah tantrum nangis, tuh!"

Dan berbagai celotehan lain yang tak bisa ditangkap oleh telinga Ify. Ia total membeku dengan sang bocah yang kini sudah berhenti menangis dan malah tertidur di pelukannya.

Kerumunan itu kemudian buyar, meninggalkan Ify dan sang bocah di pelukannya. Ingin rasanya Ify menangis dan berteriak sekuat tenaga. Ia kira, dipecat dari pekerjaan adalah kesialan terakhir hari ini, nyatanya masih ada kesialan menyusul. Rasanya Ify ingin mengulang waktu dan memilih untuk naik taksi saja dan tiba di rumah lebih cepat.

Ify menghela napas panjang, melihat paras bocah laki-laki di pelukannya yang tertidur pulas. Jejak-jejak air mata masih nampak di pipi kecil itu. Sebenarnya orangtua bangsat mana yang ninggalin anaknya sendirian di halte??? Bikin susah Ify aja.

Tak tega meninggalkan bocah itu, Ify pun berjalan pulang sembari menggendong bocah itu. Ify bertekat untuk mencari orangtua sang bocah dan menuntut kompensasi karena sudah pasti ia kini juga harus merawat sang bocah. Menghidupi dirinya sendiri saja sudah kewalahan dan kini Ify harus mengurus balita yang entah anak siapa.

Sampai di depan kamar kosnya, Ify berniat mengambil kunci di saku celananya saat ponselnya bergetar tanda panggilan masuk. Dengan satu tangan, Ify mengangkat panggilan telepon yang ternyata dari sang adik.

"Halo, Ray!" sapa Ify disambut dengan isakan lirih yang membuat jantungnya berdebar menyakitkan. Perlahan, Ify berjalan ke arah kursi yang ada di depan kos, mendudukkan dirinya di sana sebelum menerima kabar dari sang adik yang ia tebak adalah kabar buruk.

"Kak, mama meninggal!"

Rasanya nyawa Ify terbang meninggalkan raganya yang termangu di depan pintu kamar kos. Mengabaikan nyamuk yang mulai berpesta ria menghisap darahnya. Hingga rengekan dari balita di pangkuannya mengembalikan kesadaran Ify.

"Kak, kakak bisa pulang malam ini? A-aku takut, Kak!" Suara Ray membuat Ify menghela napas. Ia harus kuat, tak ada waktu untuk meratapi ini semua. Ia harus pulang, tapi bagaimana dengan balita ini? Ify tak sejahat itu untuk mengabaikan bocah ini. Ia bisa saja mengantarkan bocah ini ke kantor polisi, tapi mengingat di halte tadi bocah ini tak mau disentuh siapapun membuat Ify tak punya pilihan lain.

"Tunggu kakak pulang!"

Ify pun memutuskan membawa bocah itu pulang. Entah apa yang akan terjadi nanti, Ify enggan untuk berpikir.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Hey, Mama!   47. Extra Part 2

    "Bawa seperlunya saja, Sayang! Kita nanti bisa beli di sana," ucap Rio saat melihat sang istri yang kebingungan karena kopernya yang tidak muat."Apakah boleh?" tanya Ify polos yang membuat Rio terkekeh."Kamu masih belum terbiasa dengan dompet suamimu ini?"Ify mendengus, meski Rio sudah memberinya black card, terkadang Ify terus saja lupa. Kebiasaannya berhemat ternyata sangat susah dihilangkan. "Baiklah, aku akan menghabiskan seluruh uangmu nanti," ancam Ify yang diangguki dengan semangat oleh Rio."Habiskan Sayang! Memang sudah tugasmu menghabiskan uangku. Aku takut pihak bank nanti kewalahan menyimpan uangku.""Sombong sekali," cibir Ify yang membuat Rio gemas dan mencuri kecupan kecil di bibir sang istri."Tapi, Mas! Atan tidak apa-apa ditinggal?" Entah ini pertanyaan ke-berapa kali yang Rio dengar saat mereka akhirnya memutuskan untuk bulan madu selama satu bulan penuh dengan mengunjungi beberapa negara.Rio menutup koper lalu membimbing istrinya untuk duduk di ranjang."Sayang

  • Hey, Mama!   46. Extra Part 1

    "Taruh di sana, awas jangan sampai telurnya pecah!" "Sayurannya di sini."Ify terus memberikan pengarahan demi kenyamanan dapurnya. Agar ia bisa bergerak cepat, ia juga harus mengetahui letak bahan-bahannya dengan baik. Ify melihat lawan-lawannya yang juga melakukan hal yang sama. Sebagai yang terpilih mewakili Jade Imperial, Lintang memiliki harapan yang tinggi dan itu sedikit membuat gugup. Apalagi head chef-nya itu hadir di barisan para juri.Tangan Ify terasa agak gemetar karena gugup. Ini adalah kali pertama ia mengikuti acara kontes memasak. Tidak seperti saat ia mengikuti tes interview, kali ini semua orang akan melihat karena acaranya diliput secara exclusif oleh salah satu stasiun TV terkenal."Semangatt!! Kamu bisa!!" Sivia mengepalkan tangannya, memberi semangat kepada sang sahabat yang dibalas Ify dengan senyuman tipis. Apron sudah terpasang apik di tubuhnya. Ia kembali mengingat semua resep yang telah dihapalnya. Matanya memejam sembari berdoa agar ia bisa menyelesaika

  • Hey, Mama!   45. Epilog (21+)

    "Mas, bangun! Mas ....!" Ify terus menggoyang-goyangkan tubuh Rio, berharap suaminya itu terbangun. Pasalnya, Rio tengah merintih dalam tidurnya dengan air mata yang berderai."Sudah bangun suamimu, Fy?" "Belum, Ma! Mas Rio susah banget dibangunin. Nggak tahu mimpi apa sampai nangis kaya gini." Ify terus mengusap peluh dan air mata Rio. Sedikit khawatir karena Rio seperti sedang berada di dimensi mimpi yang sangat jauh sehingga sulit meraih kesadaran."Coba guyur pake air, Fy!" Zahra sudah datang dengan segayung air setelah sebelumnya masuk ke kamar mandi pengantin baru itu."Kasihan Mas Rio dong, Ma!""Ya terus gimana? Takutnya mimpinya terlalu jauh itu, Fy! Susah banget dibilangin jangan tidur menjelang maghrib juga, malah istrinya ditinggal sendirian," omel Zahra."Mas Rio kecapekan, Ma! Biar Ify usap aja siapa tahu Mas Rio bangun." Ify lantas mengambil alih gayung air dari tangan mertuanya, mencelupkan tangan lantas mengusapkan di wajah Rio. Dua kali usapan, kerjapan mata dari s

  • Hey, Mama!   44. Hari Bahagia (Ending)

    Gugup. Satu kata yang cukup menggambarkan bagaimana kacaunya Rio. Berkali-kali ia merapikan jas yang sudah rapi. Berjalan bolak-balik dari ranjang ke depan kaca karena takut penampilannya tidak memuaskan. Tangannya menggenggam tisu karena keringat dingin yang terus keluar. "Tenang Rio, tenang ... tarik napas ... buang ..." Rio terus menyugesti dirinya sendiri agar tak terlalu gugup. Suara pintu terbuka membuat Rio berjengit kaget. Ia menekan dadanya sendiri karena detak jantung yang semakin menggila seolah jantung itu bisa keluar dari dadanya dengan sendirinya."Mama ngangetin!" pekik Rio begitu mendapati entitas penyebab jantungnya semakin berdetak anomali."Padahal mama udah ketuk pintu, loh!" Zahra berjalan masuk perhalan. Menahan senyum melihat kegugupan sang anak yang terlihat sangat jelas."Gugup? Padahal bukan pertama kali loh!""Ish, Mama! Meskipun ini bukan pertama kali buat Rio, tapi sensasinya tetep aja bikin gugup, Ma!""Cih, cemen!" cibir Zahra yang membuat Rio melotot

  • Hey, Mama!   43. Resign

    Ify menghela napas panjang usai mendengar semua penjelasan Rio dan melihat rekaman CCTV. Memang terlihat jelas bagaimana Rio mencoba untuk menjaga jarak, tetapi perempuan itu mengambil kesempatan, dan entah kenapa momen itu tepat saat Ify tiba. Klasik, seperti momen-momen yang sering Ify baca di novel. Namun, itu juga alasan kenapa Ify mau mendengarkan penjelasan dari Rio. Ify hanya tak ingin menjadi orang yang menyesal karena kesalahpahaman."Sayang, jangan marah lagi ya! Aku minta maaf," Rio menatap Ify dengan pandangan memelas. Ify hanya mengangguk singkat. Meski tak lagi marah, tapi rasa kesal masih ada. Ingin rasanya ia menjambak rambut wanita itu hingga botak.Rio menghela napas melihat Ify yang setia dengan kebungkamannya. Harusnya ia memang mulai membuat peraturan tak tertulis kalau wanita itu kini dilarang datang ke kantornya."Aku harus apa biar kamu maafin aku?"Ify menoleh, mendapati Rio dengan ekspresi putus asa."Aku sudah maafin kamu, Mas! Lagian bukan salah Mas juga,

  • Hey, Mama!   42. Ujian

    "Ikut aku ke kantor aja gimana?" tawar Rio sebelum masuk ke mobil. "Mau ngapain, Mas? Jadwalku nanti masuk siang."Rio mencebik. "Kalau gitu nanti makan siang bareng ya?""Aku kan harus siap-siap ke restoran, Mas!""Sayaaang, nggak bisa apa bolos sehari gitu nemenin aku kerja?" Ify terkikik geli, Rio yang bertingkah clingy benar-benar sesuatu yang baru. Sisi yang cukup mengejutkan mengingat kesan pertama yang Ify lihat dari Rio adalah hot daddy."Ada ya, bos yang nyuruh karyawannya bolos?" "Ya lagian kamu sibuk banget, padahal di sini bosnya aku.""Kan aku ikut bantu ngurus persiapan pernikahan kita, Mas! Justru yang sibuk itu Mas Rio tau. Masa kita yang mau nikah tapi Mas Rio pasrah aja gitu nyerahin semuanya ke WO."Kali ini Rio menyengir dengan penuh rasa bersalah. "Maaf, sayang! Aku lagi ngebut kerjaan buat tiga bulan ke depan biar abis kita nikah, bisa honeymoon keliling dunia."Mendengar ucapan Rio, tak ayal dada Ify kembang kempis, perutnya terasa tergelitik mengundang sen

  • Hey, Mama!   41. Brother Feelings

    Mas Rio :Sayang, aku nanti agak telat nggak apa-apa ya? Masih ada sedikit pekerjaan mendesak :( Me :Nggak apa-apa, Mas!Lagian aku nanti juga mau belanja bentar di supermarketMas Rio : Belanjanya nggak pas kita pulang aja?Me :Nggak deh Mas! Takutnya nanti keburu capek, kita kan nggak tahu fitting-nya nanti sampai jam berapaMas Rio: Ya udah deh, hati-hati ya sayang!Belanja pake kartu yang aku kasih aja!Me :Iya Mas sayaang!Lagian aku cuma belanja dikit doang kok, Mas!Mas Rio: Pokoknya pake aja, Sayang! Aku nungguin notifikasi kartu yang kamu pake, nih!Me :Kamu aneh deh, Mas! Nggak takut apa kalau aku cuma mau porotin kamu doang?Mas Rio: Ngapain takut? Duitku banyak dan tugasmu buat habisinIfy tercengang tanpa bisa berkata melihat balasan terakhir dari Rio. Memang aneh orang kaya satu ini. Saat yang lain menyeleksi calonnya dengan ketat karena takut dimanfaatkan, Rio justru menyodorkan diri untuk diporoti. Jika sudah begini, maka Ify pun tak akan ragu lagi. Dengan se

  • Hey, Mama!   40. Satu Langkah

    "Pulang aja, ya! Aku lebih suka masakanmu."Ini adalah kelima kalinya Rio meminta untuk pulang. Ify hanya terdiam tanpa berniat merespon."Ify .... Sayaaang!" Rio merengek bak anak kecil, sama sekali tidak malu dengan Pak Aziz, sang supir yang tersenyum tipis melihat tingkah majikannya."Apa sih, Mas! Diem, kita hampir sampai!" Rio merengut. Menegakkan tubuhnya dengan tangan bersedekap dan memandang ke depan dengan penuh permusuhan. Bangunan hotel bintang lima itu seolah ingin ia musnahkan dalam sekali pandang."Nggak mau turun, Mas!"Ify tersenyum tipis melihat Rio yang merajuk. Sangat mirip dengan Atan. Sampai merek ke dalam hotel dan masuk ke restoran, Rio sama sekali tak berniat untuk mengubah ekspresi wajahnya yang penuh permusuhan. Semua orang yang menyapanya dengan ramah ia balas dengan pandangan dingin dan menusuk. Terutama saat melihat entitas seseorang yang kini tengah berjalan ke arah mereka dengan senyum lebarnya."Hai, Cantik! Aku udah siapin meja yang spesial buat ka

  • Hey, Mama!   39. Sampai Kapan?

    Keadaan hening di dalam lobi saat Agni, selaku mantan istri dari Rio berhasil diusir meski melibatkan satpam. Ify menghela napas sekali lagi saat Rio tak juga membuka suara."Mau sampai kapan kita kaya gini?" Ify membuka suara yang membuat Rio terlonjak kaget. Sedikit tergagap dan melihat Ify dengan sendu."Maaf," ucapnya lirih."Maaf kenapa?""Maaf karena aku selalu membuatmu dalam posisi yang sulit, aku juga selalu membuatmu berada dalam bahaya."Ify melangkahkan kakinya ke kursi yang memang tersedia di lobby dekat receptionist, duduk disana diikuti oleh Rio."Jadi itu alasan Mas Rio pergi?"Lidah Rio kelu, tak sanggup menatap Ify yang kini memusatkan perhatian padanya.Rio kembali membisu, Ify menghela napas tajam. Meskipun ada rasa tak tega melihat Rio yang sangat kacau, tapi Ify harus melakukannya. Agar Rio tak lagi mencoba kabur dan berani menghadapi ketakutannya."Itukah cara Mas untuk kabur dari tanggungjawab?" Lagi-lagi Rio tak membuka suara."Mau tahu cerita nggak, Mas? Ak

Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status