LOGIN
“Baginda hari ini, adalah penyatuan ulang Kerajaan kita dan para pakar ilmuan banyak yang terbunuh sehingga kita kekurangan ilmuan.”
“Segenting apa Patih.” “Dari lima ratus cendikiawan kita hanya tersisa tiga orang saja. Dalam beberapa pertempuran mereka menjadi tulang punggung Kerajaan untuk membantu peperangan dan menulis Sejarah peperangan, hingga tidak meninggalkan sisa dari mereka kecuali hanya tiga orang dan buku-buku catatan yang begitu banyak.” “Bagaimana dengan seleksi di penjuru negeri. Segera buat perekrutan secepatnya atau buat seleksi para anak muda untuk menjadi cendikiawan terpelajar. “Setiap warga yang mampu menghasilkan cendikiawan murni maka dia akan mendapatkan imbalan seribu koine mas.” Per bulannya. ‘’ Untuk beberapa tahun kedepan Kerajaan harus pulih Kembali seperti masa kejayaan Raja Warman.” Kita jangan mengulang kejadian konyol seperti penghianat itu yang telah membuat Raja Warman tewas dan menyebabkan pertikaian dan perpecahan ini.” “Sehingga merugikan kita dan rakyat negeri ini.” “Segera laksanakan tugas ini, dan kalian menyebar keseluruh negeri yang masih bisa di kunjungi.” *** Raka Wironegoro tergeletak tak berdaya setelah di hajar oleh majikannya karena tidak bertenaga. Dengan perlahan membuka kedua matanya, kemudian memindai di sekeliling dia merasa pusing dan sangat terkejut. Mendapati tiga gadis menangis di sebelahnya. Dengan segera Raka bangun dan membuat seisi ruangan panik, sehingga ada yang lari tunggang langgang. Namun tidak dengan tiga gadis cantik di sebelahnya dan seorang laki-laki yang sedari tadi menungguinya. “Mengapa kalian seperti melihat hantu, aku dimana!” Seketika mereka berempat menyeka airmata mereka.” Kanda Raka benarkah ini kandaku yang malang?” Ia bangkit dari terbaringnya, kemudian melihat kekanan dan kekiri. Bau semerbak bunga tujuh warna. Jangan-jangan aku sudah mati. Tadi Ketika aku menyetir ada mobil tronton menabrakku dari samping hingga aku terpental kejurang semenjak itu aku seperti terbang dan masuk kedunia gelap.” Apakah ini mimpi ujar Raka. Kemudian Raka melirik didapati tiga gadis cantik nan menggoda itu menatapinya dengan kaku sambil ternganga. Sedangkan peria paruh baya itu jatuh pingsan. Raka menelan ludan dan membuat tubuhnya panas. Aiiihhhhh pikiran ini.! Dizaman modern ia tidak begitu akrab dengan Wanita karena kesibukannya sebagai anak pengusaha. Setelah menyaksikan ini ia merasa libidonya membuncah. “Dinda akan mengambil baju Kanda.” Setelah berucap demikian gadis cantik itu berlali ke bilik dan yang lainya memapah Raka dengan begitu hangat. Raka menatap jendela yang usang dan rapuh serta rumah yang begitu banyak dilubangi kumbang dan atap dari Jerami. Ia terus memindai semua ruangan yang ada namun ia tetap tidak mengerti apa yang telah terjadi pada dirinya dan ia merasa tempat ini seperti bukan di eranya. Sepertinya aku terlahir kezaman kuno. Seperti buku Kerajaan yang sering aku baca di perpustakaan Kakek Wironegoro. Iya tidak salah lagi aku lahir di zaman kuno. Yang mendapati dirinya telah menggunakan kain kasar dan sangat tidak layak yang penuh dengan tembelan. Negeri Surya Manggala ya ini adalah nama yang kini Raka berada, sebuah Negeri yang dapat di temukan didalam buku Sejarah kuno. “Kanda!” Gadis ini menghampiri Raka membawa baju dari bahan rami yang sudah banyak jahitan dan tambalan. Namun masih layak digunakan untuk pada zaman kuno. Kemudian ia mengenakan pakaian itu dengan lembut dan sangat Anggun walaupun tubuhnya banyak bekas luka cambukan. Raka yang masih merasakan sedikit pusing dan merasa kehausan kemudian dia memberikan isyarat kepada gadis di sebelah kirinya dengan menunjuk sebuah cerek dari tanah liat. Gadis di tangan kirinya segera bergegas mengambilkan air dan memberikan kepadanya. Seperti dinginnya salju yang turun di musim dingin. Yang memberi nuansa syahdu bagi sepasang kekasih yang memadu cinta. Setelah ketiganya mendekat Raka terkejut. Dan buru-buru menutupi tubuhnya dengan menyilangkan tangan didada. Dan Raka segera meraih tangan gadis yang di sebelahkanannya. Wanita ini sungguh cantik namun pakaiannya sangat transparan karena dari bahan rami namun masih menutupi tubuhnya dengan baik. Sehingga menghalangi pria hidung belang untuk menatapnya lebih lama. Kemudian gadis didepannya memangku tangan sambil menatap Raka dengan air mata yang mengalir di pipinya. Sentuhan lembut begitu Anggun mengusap air mata di pipinya sehingga membuat Raka menelan ludah sehingga jakunya bergerak begitu melihatnya. Tiba-tiba, dekapan yang begitu hangat dari kedua gadis di kanan dan kirinya membuat Raka. Kelalapan dan bangun dari duduknya. “Apa yang terjadi kalian menyentuhku tanpa ada rasa malu!” Ketiga Wanita itu berlutut dan bersimpuh di hadapan Raka. “Kanda jangan begini lagi, jika kanda terlalu lemah kami bertiga bisa di bawa Mandor Kuat untuk di Lelang di kota. “Apa-apaan ini!” Wajah Raka memerah dan dia sedikit mengingat apa yang terjadi pada pemilik tubuh sebelumnya kemudian ia mengingat sekilas bahwa tiga gadis cantik yang sangat menggoda ini adalah istri sahnya di Negeri Surya Manggala. Tiga gadis tersebut erupakan istri pemberian ayahnya. Lurah Wiroguno. Kemudian Raka baru menyadari bahwa Wanita-wanita ini adalah istrinya. “Jangan lakukan hal ini di depan banyak orang!” Jawab Raka tegas “Kalian segera berdiri rapikan bekas pemandian ini aku belum mati.” Iya kakanda siap mereka bertiga bergegas membersihkan tempat itu. “Kanda sekarang duduklah di sini sambil menunjukkan tempat duduk dari bambu yang sudah usang. Kemudian mereka bertiga menghampiri Raka dengan wajah yang berseri-seri nan begitu cantik jelita, tanpa di sadari Raka menelan ludah begitu lama. Hingga … “Kanda kamu melamun lagi ya?” “Oh tidak-tidak tadi aku memikirkan sesuatu yang terjadi disini.” Coba ceritakan kepadaku apa yang telah terjadi Mereka bertiga begitu rapi duduk di bawah Raka dan tidak tersadar Raka menelan ludah lagi karena melihat pemandangan yang sempurna. “Sial sempurna sekali gadis-gadis ini.!” Kedua gadis memijati betis Raka dan yang satunya sambil menceritakan kejadian kepada Raka dengan hikmat.Di tengah kekacauan pelarian, Cakra melihat sosok yang paling ia benci: Patih Aryo, yang sedang menunggang kuda tercepatnya, berusaha kabur. Aryo tidak hanya memimpin penyerangan, ia juga merupakan sumber intrik dan ancaman yang tak berkesudahan bagi Giri Amerta.Cakra, yang jiwanya membara oleh kesetiaan dan kemarahan, segera menaiki kudanya, mengabaikan usianya dan kelelahan pertempuran.Cakra: (Berteriak melengking, suaranya pecah namun penuh amarah) "Bajingan Aryo, Jangan Lari! Kau yang memulai kekacauan ini, kau harus bertanggung jawab! Hadapi aku, pengecut!"Aryo menoleh ke belakang, melihat Cakra yang mengejarnya sendirian. Ia tahu Cakra adalah pahlawan tua Giri Amerta, dan membunuhnya akan menjadi kemenangan simbolis di tengah kekalahan memalukan. Aryo mendorong kudanya lebih cepat, menolak berduel, karena ia tahu tujuannya adalah melarikan diri hidup-hidup.Aryo (Dalam hati): "Aku tidak punya waktu untuk berduel dengan veteran tua ini! Aku harus lolos! Kekalahan ini... ini me
Rentetan meriam dari pasukan Surya Manggala dan Negeri Angin mengawali pertempuran. Bola-bola besi menghantam lapisan terluar Benteng Petir dengan suara yang memekakkan telinga.Patih Aryo (Berteriak penuh kemenangan dari kemahnya): "Serang terus! Tembak hingga tembok itu runtuh! Hancurkan pertahanan mereka!"Lapisan dinding pertama, yang sengaja dibuat lebih tipis sebagai umpan dan penyerap kejut, segera ambruk. Debu beterbangan, dan sorak-sorai kemenangan terdengar dari kubu Aryo.Panglima Wirantaka: (Melirik Raka, wajahnya sedikit pucat) "Lapisan pertama runtuh, Paduka! Musuh mengira kita lemah!"Raka: (Sangat tenang, mengawasi dengan teropong) "Biarkan mereka bergembira sesaat, Wirantaka. Lapisan pertama telah menjalankan tugasnya. Itu hanya kulit luar. Inti kita masih utuh. Beri sinyal kepada operator meriam. Sekarang giliran kita menunjukkan kepada mereka apa arti peperangan yang sesungguhnya!"Di balik lapisan kedua benteng yang kokoh, para prajurit Giri Amerta bersiap. Meskipu
Benteng Petir kini bukan hanya diisi oleh prajurit Giri Amerta, tetapi juga oleh kontingen sekutu yang datang dari kejauhan. Pasukan Negeri Pasir, yang terkenal dengan ketahanan dan keahlian bertarung di medan kering, telah tiba untuk membantu.Di lapangan benteng, Raka berbicara kepada pasukan gabungan tersebut.Raka: "Dengarkan aku, para pejuang Giri Amerta dan saudara-saudara kami dari Negeri Pasir! Musuh kita, Patih Aryo, mengira kita lemah karena duka yang baru melanda. Dia mengira dengan membawa bala bantuan, dia bisa menghancurkan kita!"Kepala Suku Pasir, Malik: (Berdiri di samping Raka) "Dia salah, Rajasa! Rakyat Negeri Pasir menghargai sekutu sejati. Kami mendengar kabar kemakmuran Giri Amerta dan keadilan Rajasa. Kami datang bukan karena paksaan, melainkan karena kami percaya pada kebenaran perjuangan kalian! Kami akan berdiri di samping kalian, di antara Kemusuk dan Petir, hingga tetes darah terakhir!"Seruan persatuan menggema. Rakyat desa sekitar juga ikut membantu, memb
Meskipun para penasihat memohon Raka untuk tetap berada di ibu kota demi keselamatan dan moral, Sang Rajasa menolak. Ia tahu, di saat duka dan ancaman ganda, kehadirannya di garis depan adalah simbol tak tergantikan.Di hadapan ribuan prajurit dan sukarelawan rakyat yang siap berangkat, Raka berpidato dengan suara lantang.Raka: "Warga Giri Amerta, kita baru saja kehilangan Ratu Andini, dan kini musuh mengira duka kita adalah kelemahan kita! Mereka datang dari Kemusuk, dipimpin oleh Patih Aryo yang tamak, ingin merampas kemakmuran yang telah kita bangun!"Raka: "Mereka berpikir, kami para pemimpin akan bersembunyi di balik tembok istana! Mereka salah besar! Benteng Petir adalah benteng pertama kita, dan aku, Raka, Rajasa kalian, akan berdiri di sana! Aku tidak akan menyuruh kalian bertempur; aku akan bertempur bersama kalian!"Sorakan prajurit dan rakyat memecahkan keheningan pagi. Raka, dengan baju besi khasnya, memimpin barisan terdepan, didampingi oleh Panglima Wirantaka. Rakyat ya
Meskipun Raka menolak pengkultusan, wafatnya Andini tetap membawa duka yang mendalam bagi seluruh rakyat Giri Amerta. Mereka melihat Raka, Sang Rajasa, yang biasanya kokoh, kini menanggung beban yang tak terlihat.Di sudut pasar, dua ibu rumah tangga berbincang lirih sambil membawa keranjang belanja.Ibu Sari: "Kasihan sekali Paduka Rajasa. Baru saja membangun negeri dengan susah payah, kini harus kehilangan Ratu Andini. Dia adalah wanita yang sangat santun, selalu tersenyum saat melewati pasar. Rasanya, duka beliau adalah duka kita semua."Ibu Murni: "Benar, Sari. Dan aku dengar, Paduka Rajasa kini jarang terlihat di Balairung. Katanya, beliau menghabiskan waktu di samping Pangeran Tama. Dia adalah ayah sekaligus pemimpin yang tengah dilanda kesedihan. Semoga Sang Hyang Widhi memberi beliau ketabahan."Ibu Sari: "Kita harus mendoakan pemimpin kita. Di saat beliau sedang rapuh, kita sebagai rakyat harus menunjukkan dukungan. Sebab, takdir Giri Amerta kini bergantung penuh pada ketanggu
Angin malam berbisik pilu di balik tirai sutra kamar permaisuri. Di sana, Andini, istri ketiga Raka, berjuang melawan penyakit yang diam-diam menggerogoti tubuhnya sejak ia masih gadis belia. Meskipun dirawat oleh tabib terbaik Giri Amerta, takdir berkata lain.Tabib Candra: (Berlutut di hadapan Raka, suaranya tercekat) "Hamba mohon ampun, Paduka Rajasa. Kami telah berusaha sekuat tenaga. Namun, penyakit ini... ia seperti benang sutra yang mengikat jantung sejak lahir. Tubuh mulia Ratu Andini telah terlalu lelah berjuang. Ia... telah pergi menuju keabadian."Suara tangisan tertahan dari para dayang dan pengawal memenuhi ruangan. Andini, yang dikenal sebagai sosok paling lembut dan penuh tawa di Istana, kini terbaring damai, senyum tipis seolah masih terukir di bibirnya. Sebuah lilin di samping ranjang tampak bergetar, seolah turut merasakan getaran duka yang mendalam.**Raka, Sang Rajasa yang tak pernah gentar menghadapi seribu meriam perang, kini berdiri kaku, seolah jiwanya tercabu







