Ingatan Raka begitu terus menerawang apa yang sebenarnya terjadi kapada dirinya dan kepada ketiga istrinya ini. Setelah mendengarkan cerita ini mereka begitu senang dan melihat pancaran kedewasaan muncul dari wajah Raka.
“Kanda apakah semua ini sudah cukup menjelaskan keadaan kita saat ini.” “Sudah cukup aku sedikit mengingatnya.” Aku sangat berutang budi kepada kalian bertiga. Raka menatap dengan lekat tiga gadis cantik di depannya dengan begitu teliti hingga tidak terlewatkan satu incipun dan memperhatikan bagitu semangat. “Kamu kemarilah Raka memanggil gadis yang di sebelah kirinya dan menyurunya duduk di sebelah kiri Raka. “Coba kulihat tangan mu.” Raka memegang tangan yang begitu sempurna putih bersih dan harum. Kamu sedang haid sepertinya.” Gadis itu pun merah padam dan tersipu malu. Kali ini pertama dalam hidupnya ai di puji oleh lelaki yang begitu tampan dan berwibawa setelah bangun dari mati surinya. Dizaman ini laki-laki diberikan istri lebih dari tiga. Sehingga hal itu menjadi wajar dan lumrah bahkan itu merupakan pria termiskin di desa karena hanya memiliki tiga istri. Ya memang benar bahwa Raka orang yang miskin dari sekian banyak penduduk desa. “Semu aini salah ayahku hingga ia tega membungku ke desa ini dan melibatkan kalian bertika.” “Kelak aku akan membalas hal ini.” Biar mereka menyadari bahwa aku bukan anak yang tidak berbakat.” “Ohya apakah kalian punya nama?” Ujar Raka menyeringai kea rah dua gadi yang masih bersimpuh didepannya dengan rambut yang di ikat memanjang dan bentuk dada yang sempurna. “Saya Aina, ini adik ku Aini, dan di sebelah kakanda Andini adik kedua ku dan kami bertiga adalah istri kanda pemberian dari Lurah Wiroguno.” “Aini menyela ya kami sangat berterimakasih kepada kanda karena mau menerima kami sebagai istri kanda.” Heem ketiga gadis itu kompak menganggukkan kepala. **** Andai hal ini terjadi di zaman modern pastilah aku……… Kemudian Raka menggelengkan kepalanya dan Kembali focus kepada apa yang ada di sekitarnya ia mendapati begitu kumuhnya dan rusaknya rumah mereka bahkan itu tidak layak jika untuk di huni, lebih cocok sebagai kendang kambing gunung. Raka menatap nanar dengan keadaan yang menimpanya Hal seperti ini tidak akan terjadi jika di zaman modern “Andai hal ini ada mungkin aku bisa menggunakan pesawat untuk membawa mereka ke hotel mewah ku.” “Pesawat….Hotel….” mereka bertiga menggaruk-garuk kepala… Aduh! Raka melihat wajahnya di cermin lusuh yang sudah tidak layak ya sepertinya tukang loak pun enggan untuk membelinya. Dan memindai rambut panjangnya dengan sempurna serta wajah yang begitu tampan dan gagah berani. ???? Bagaimana bisa pria ini hidup begitu menderita sedangkan ia memiliki tbuh yang sempurna dan sangat kuat untuk bisa melawan dan melindungi ketiga istrinya. Bukan malah menjadi budak dan selalu ditindas Bersama ketiga istrinya. Benar-benar laki-laki tidak berguna pantas saja ayah membuang nya hingga kedesa terpencil ini. Sungguh Nasib yang sangat tragis. “Kanda berbaringlah di pangkuan Aini biar aku dan Andini mencari kelinci di bawah perbukitan ini.” Raka kemudian bernapas berat dan mengeluarkan suara gemuruh dari dadanya Jangan lakukan hal itu lagi biar aku yang mengerjakannya Kalian bertiga kemasi rumah ini dan segera bersihkan serta periksa bagian-bagian mana yang masih bisa di perbaiki segera perbaiki. Agar kita berempat bisa melewati mala mini dengan tenang. Setelah mendengarkan ucapan tegas Raka, tiga bersaudari terdiam dan meneteskan airmata Bahagia karena baru pertama kali peria yang menjadi suaminya ini bisa bergerak begitu aktif dan cekatan. Sebelum-sebelumnya betapa lemah suami mereka hinga sering di tindas oleh mandor yang mempekerjakan mereka bertiga. “Baiklah kanda.” Mereka dengan kompaknya. Kemudian Raka menatap semua yang ada di sekitar dan mendapati lima buah anak panah dan busur panah tua yang sudah tidak digunakan lagi. “Kanda apa yang akan kanda lakukan dengan busur panah itu.” Ujar Aina “Aku akan menggunakannya untuk menangkap kijang dihutan mudah-mudahan ada hasil yang bagus untuk kita mala mini.” “Kalian bertiga jaga rumah ini dengan baik gunakan apa saja untuk melindungi kalian jika ada Binatang buas yang menghampiri rumah ini.” Ya karena di zaman ini keadaan penduduk begitu berjauhan karena kondisi tanah di bawah lereng gunung sehingga membuat mereka harus membuat ruamah dilereng-lereng gunung namun dengan suasana yang begitu ramai. Tak lama kemudian Raka berlalu dan di benaknya dia tidak pasti akan menemukan rusa atau kijang di sekitar hutan di belakang rumah mereka karena kondisi lingkungan yang sudah banyak rumah juga. Raka hanya dapat menyusuri jalan setapak di pinggiran desa dan setelah beberpa lama berjalan dia tidak menemukan satu hal apapun melainkan tatapan-tatapan ketakutan dari penduduk desa. Ia tidak perduli akan hal itu yang ada di pikirannya adalah makan dan ketiga istrinya.Di tengah gemuruh pembangunan dan geliat kehidupan yang baru di Giri Amerta, Raka tidak hanya sibuk dengan pertahanan fisik. Ia juga membenahi struktur pemerintahan demi efisiensi dan kekuatan yang lebih besar.Sebuah perubahan besar terjadi Kota Giri Amerta yang luas kini resmi dibagi menjadi tiga distrik baru yang strategis."Para penasihat, para jenderal, dan kalian semua, dengarkanlah!" seru Raka di balairung istana yang dipenuhi para petinggi.”"Untuk meningkatkan kesejahteraan dan pertahanan kita, Giri Amerta akan dibagi menjadi tiga distrik besar. Distrik Anggur, Distrik Kali Bening, dan Distrik Petir."Suara bisik-bisik riuh terdengar. Ini adalah perubahan besar yang akan mengubah wajah kerajaan. Dan yang lebih penting, para pemimpinnya kini sudah berganti, orang-orang kepercayaan Raka ditempatkan di posisi kunci."Setiap distrik akan memiliki otonomi dan tanggung jawabnya sendiri, di bawah pengawasan langsung dari pusat," tambah Raka, mengangguk pada Rama dan Tama yang berdiri
Di balik gerbang megah dan jembatan kokoh yang baru dibangun, Desa Petir kini menjelma menjadi permata di perbatasan Giri Amerta. Sebuah benteng kokoh kini mengelilingi seluruh Desa Petir, bagaikan pelukan baja yang melindungi setiap jengkal tanahnya.Tembok-tembok tinggi menjulang, menara-menara pengawas berdiri tegak, dan parit dalam mengelilingi perimeter, menjadikannya sebuah pos pertahanan yang nyaris tak tertembus.Penduduk desa, yang berjumlah lebih dari 200 kepala keluarga, kini menatap benteng itu dengan penuh kebanggaan. Mereka telah menjadi bagian dari pembangunan ini, keringat mereka tumpah demi masa depan yang lebih baik."Ki Wulan, lihatlah! Benteng kita ini lebih kokoh dari benteng di ibu kota Kemusuk!" seru seorang pemuda, Ki Jaka, kepada tetangganya.Nyi Sari, seorang ibu muda, mengangguk setuju sambil memeluk anaknya. "Siapa sangka, desa kita yang dulu hancur, kini sekuat ini. Kita aman di sini."Kebanggaan itu terpancar dari setiap wajah, sebuah bukti nyata dari visi
Di bawah naungan matahari Giri Amerta, Desa Petir yang dulu porak-poranda kini menggeliat bangkit dari puing-puingnya. Penguasaan penuh Kota Giri Amerta atas Desa Petir semakin solid.Di bawah arahan langsung Raka, yang tak pernah lelah mengawasi, serta bantuan Rama dan Tama, desa ini perlahan tapi pasti berdiri kembali dengan wajah baru, lebih kokoh dan teratur dari sebelumnya.Setiap pagi, asap mengepul dari dapur-dapur rumah yang baru dibangun. Anak-anak berlarian riang di jalanan tanah yang mulai rata, dan suara tawa bercampur dengan dentingan palu serta ayunan kapak. Para pekerja, baik prajurit maupun penduduk sipil, bekerja bahu-membahu."Ki Lurah, pastikan semua bahan bangunan tersedia besok pagi," kata Rama kepada Ki Lurah desa, yang dulu sempat mengungsi namun kini kembali dengan semangat baru. "Pembangunan balai pertemuan harus selesai sebelum musim hujan tiba.""Siap, Gusti Pangeran! Rakyat sangat bersemangat. Mereka melihat sendiri bagaimana Paduka Raka peduli pada kami,"
Di tengah hutan belantara yang lebat, di perbatasan antara Kerajaan Giri Amerta dan Kadipaten Kemusuk, geliat aktivitas tak pernah berhenti. Sejak fajar menyingsing hingga rembulan menggantung tinggi.Ribuan tangan bekerja keras di bawah arahan langsung Raka. Mereka sedang membangun sebuah benteng raksasa di Hutan Walet, sebuah mahakarya pertahanan yang akan menjadi simbol kekuatan dan kewaspadaan Giri Amerta.Batu-batu besar diangkut dari pegunungan, kayu-kayu kokoh ditebang dari hutan, dan tanah digali tanpa henti. Dentingan pahat beradu, pekik pekerja menggema, menciptakan simfoni pembangunan yang penuh semangat."Ki Mandor, pastikan fondasinya kokoh! Ini bukan sekadar tembok, tapi jantung pertahanan kita!" teriak Rama, putranya, yang kini juga ikut mengawasi pembangunan."Siap, Gusti Pangeran! Fondasi ini akan sekuat karang!" jawab Ki Mandor, mengusap peluh di dahinya.Raka memandang hasil kerja keras pasukannya dengan puas. Ia tahu betul, benteng ini bukan hanya untuk melindungi
Ambisi Aryo kini telah mencapai puncaknya, menguasai setiap relung jiwanya. Ia tak hanya menginginkan kemenangan militer, tetapi juga kekuasaan mutlak di Kerajaan Surya Manggala.Untuk mencapai tujuan itu, ia melancarkan intrik politik yang licik, menjadikan Permaisuri sebagai boneka politiknya."Permaisuri, ini adalah titah kerajaan," ujar Aryo dengan suara lembut namun mengandung ancaman terselubung.Saat ia menyerahkan gulungan perintah kepada Permaisuri di ruang pribadi sang ratu. "Paduka harus menandatanganinya. Ini demi kekuatan maksimal Surya Manggala."Permaisuri, dengan wajah pucat dan mata sendu, memandangi gulungan itu. Isinya adalah perintah untuk menempatkan orang-orang kepercayaan Aryo di posisi-posisi kunci dalam pemerintahan, dan mencopot para penasihat lama yang loyal pada mendiang Raja. Ia tahu, menolak berarti mengundang bencana."Tapi, Pangeran... apakah ini tidak terlalu terburu-buru?" tanya Permaisuri, suaranya nyaris berbisik.Aryo tersenyum sinis. "Terburu-buru
Setahun berlalu, dan janji Aryo mulai menunjukkan hasilnya, meski dengan cara yang penuh intrik. Ia tak hanya menunggu bantuan Negeri Angin, tetapi juga mengerahkan segala daya upaya untuk memperkuat pasukannya.Inovasi militer Aryo sungguh mengejutkan banyak pihak. Ia tak segan menggunakan taktik kotor meniru dan bahkan mencuri teknologi senjata dari Giri Amerta.Di ruang rahasia yang gelap, Aryo mengamati para pandai besi Surya Manggala yang bekerja keras meniru cetak biru senjata-senjata Giri Amerta."Cepatlah! Aku ingin setiap prajurit kita dilengkapi dengan senjata terbaik, bahkan lebih baik dari milik Raka!" perintah Aryo, matanya berkilat ambisi.Ki Jaya, seorang ahli persenjataan yang loyal pada Aryo, melaporkan, "Ampun, Pangeran. Setelah berhasil mendapatkan cetak biru dari pengintai kita, kami hampir menyelesaikan pembuatan busur panjang khusus Giri Amerta. Akurasinya sungguh mengagumkan.""Bagus! Dan bagaimana dengan tameng baja mereka? Apakah sudah bisa kita tiru?" tanya A