LOGIN“Kanda, bagaimana buruan nya hari ini.”
“Tidak terlalu buruk di ujung des aini ada sebuah safana dengan pohon-pohon kecil beserta rumput yang bagus untuk bersembunyi dan memiliki banyak hewan liar disana serta aku dapat membidik dengan baik satu ekor kijang Jantan ini.”
Aina begitu terkejut Ketika Raka menunjukkan arah busurnya ke samping pagar rumah mereka yang reot.
“Wah kijang ini cukup untuk kita berempat sampai dua hari kedepan.”
Kemudian bagaimana dengan beras kita apakah masih ada?” Ujar Raka
Andini…kemari kakak mau menanyakan sesuatu padamu.”
“Iya kak sebentar aku kedepan.” Andini tergopoh-gopoh hingga kakinya tersandung dan langsung di sambut dengan sigap oleh Raka.
Mata mereka saling memanah dan raka merasakan empuk di tangannya sesuatu yang tidak ingin ia lepaskan. Namun suara Aina membuat mereka berdua tersada.
Momen yang membagongkan dan membuat libido siapapun segera membuncah dan ingin segera rasanya melanjutkannya di ranjang panas.
Aihhh pikiran ini selalu….
Kemudian Aina memarahi adiknya yang selalu gopoh dan tidak berhati-hati.
“Sudah sudah itu hal wajar lagian kamu Aina jangan membuat adikmu ini panik.”
Sambil memeluk dan mengecup pipi istri ketiganya membuta Andini semakin berdekup kencang jantungnya.
Dan sambil melepas pelukan yang sebenarnya ia juga tidak mau namun keadaan harus melepas sekenario ini. Entah kapan aka nada adegan romantic seperti ini.
“Iya kak Aina ada apa?”
“Apakah beras kita masih ada.”
“Masih Kak terakhir kita dapatkan dari Mandor tiga hari yang lalu sebelum peristiwa memilukan ini terjadi.”
“Kira-kira cukup untuk berapa hari?” Ujar Raka
‘’Emmmm..kira-kira bisa lima hari kanda.” Suara Aina begitu menggoda
Sehingga Raka Kembali jatuh dalam hayalan fantasinya yang membara…sekali lagi isssssttttttt pikiran ini.
Betapa tidak di kehidupan sebelumnya Raka sibuk dengan kegiatan kantor dan buku-buku yang membosankan. Sedangkan disini dia mendapati tiga istri cantik yang begitu menggiurkan dan sangat seksi dengan bentuk….sempurna dan indah.
Sehingga setiap kali dia mendapati istrinya ada disampingnya segera ingin ia Bersama bertiga untuk memadu kasih. Namun hal itu urung dilakukan mengingat rumah mereka yang reot dan musim dingin juga akan menghantui mereka di zaman kuno ini.
Namun kesenangan dan hayayalan Raka di hentikan oleh isak tangis dari dalam rumah reot yang siap menunggu runtuh diterpa ranting jatuh.
“Ada apa dengan Aini kepada ia menangis.” Sela Raka
Kami takut dengan kejadian satu bulan lalu Kanda. Bahwa kita terlilit hutang hingga limaratus keping emas dan seratus keping perak hal ini terjadi karena kanda di buang di desa Kemusuk ini.
*****
Lima orang berbadan tegap dengan senjata lengkap berdiri dihalaman rumah mereka yang reot. Masing-masing mereka memiliki perawakan tinggi dan sangar serta memasang wajah galak seolah-olah sedang menatap ikan panggang di atas meja.
Mengapa mereka ada di halaman kita?
Raka menoleh kearah tiga bersaudari ini namun wajah mereka pucat pasi dan Aina pun langsung pingsan ditempat. Kemudian mereka berdua seraya memohon dan seperti meminta perlindungan dari Raka. Melihat hal ini jiwa kepahlawanan Raka muncul dan ia pun maju dengan wajah tenang dan santai.
Kisanak apa tujuan anda berlima kerumah kami yang buruk ini?
Hai bajingan jangan berlagag lupa kamu ya?
“Jangan pura-pura menghilangkan permasalahan kita ini, Mandor sudah memberikan tiga jalang itu untuk kami nikmati secara free karena kami berhasil mendapatkan titah raja untuk menemukan cendikiawan hebat didesa ini.”
Mendengar hal ini membuat Raka merah padam sehingga darahnya begitu deras seperti air terjun Niagara yang menggebu-gebu.
“Dasar manusia laknat berani-beraninya kau berbicara sekotor itu didepan istriku!”
“Oh ternyata dia sudah punya nyali sekarang.” Ujar salah seorang dari mereka yang buru-buru menghampiri dua gadis yang masih berdiri ketakutan dibelakang Raka.
Sebelum pria berseragam lengkap ala militer zaman kuno melewati Raka. Pukulan dengan satu tangan melemparkan pria itu hingga beberapa meter dari mereka.
Brakkkkkk….aduhhhh….
Empat tentara kuno itu tertegun sejenak sebelum tersadar bahwa mereka baru kali ini melihat kekuatan yang mengerikan dari seorang pria lemah. Namun Raka kini adalah orang yang memiliki kemampuan modern jauh jutaan kali di atas tentara kuno ini.
Dengan tatapan dingin yang menakutan Raka memalingkan wajah ke arah empat yang tersisa.
“Kalian masih mau lancang dengan mulut bau limbah itu!”
Dasar bodoh bunuh pria ini. Dan kita nikmati gadisnya sampai puas dan kita pesta malam ini. Serang jangan takut kita berempat dia hanya seorang yang lemah. Seru peria hitam gondrong.
Mereka menyerang bersamaan namun tidak disangka pria lemah ini juga dapat meladeni mereka dengan sangat epic pertarungan di halaman rumah Raka membuat dua gadisnya semakin terpana karena melihat kehebatan suaminya mengatasi lima tentara kuno dengan tangan kosong.
Brakkkk----brakkk….. teriakan kompak dari ke tiga pasukan kuno itu mengerang kesakitan setelah mendapatkan tendangan kilat dari Raka.
Kemudian Raka berjalan menghampiri pria krebo dengan mulut bau arak. Raka menatap dengan dingin sedinging puncak gunung everes yang abadi. “Sampaikan kepada penyuruhmu jangan sekali-kali menyentuh tanah dihalaman rumahku ini lagi.” Atau kalian akan berpindah alam. Camkan itu!” sekarang pergi dan enyah lah dari hadapan ku.”
Di tengah kekacauan pelarian, Cakra melihat sosok yang paling ia benci: Patih Aryo, yang sedang menunggang kuda tercepatnya, berusaha kabur. Aryo tidak hanya memimpin penyerangan, ia juga merupakan sumber intrik dan ancaman yang tak berkesudahan bagi Giri Amerta.Cakra, yang jiwanya membara oleh kesetiaan dan kemarahan, segera menaiki kudanya, mengabaikan usianya dan kelelahan pertempuran.Cakra: (Berteriak melengking, suaranya pecah namun penuh amarah) "Bajingan Aryo, Jangan Lari! Kau yang memulai kekacauan ini, kau harus bertanggung jawab! Hadapi aku, pengecut!"Aryo menoleh ke belakang, melihat Cakra yang mengejarnya sendirian. Ia tahu Cakra adalah pahlawan tua Giri Amerta, dan membunuhnya akan menjadi kemenangan simbolis di tengah kekalahan memalukan. Aryo mendorong kudanya lebih cepat, menolak berduel, karena ia tahu tujuannya adalah melarikan diri hidup-hidup.Aryo (Dalam hati): "Aku tidak punya waktu untuk berduel dengan veteran tua ini! Aku harus lolos! Kekalahan ini... ini me
Rentetan meriam dari pasukan Surya Manggala dan Negeri Angin mengawali pertempuran. Bola-bola besi menghantam lapisan terluar Benteng Petir dengan suara yang memekakkan telinga.Patih Aryo (Berteriak penuh kemenangan dari kemahnya): "Serang terus! Tembak hingga tembok itu runtuh! Hancurkan pertahanan mereka!"Lapisan dinding pertama, yang sengaja dibuat lebih tipis sebagai umpan dan penyerap kejut, segera ambruk. Debu beterbangan, dan sorak-sorai kemenangan terdengar dari kubu Aryo.Panglima Wirantaka: (Melirik Raka, wajahnya sedikit pucat) "Lapisan pertama runtuh, Paduka! Musuh mengira kita lemah!"Raka: (Sangat tenang, mengawasi dengan teropong) "Biarkan mereka bergembira sesaat, Wirantaka. Lapisan pertama telah menjalankan tugasnya. Itu hanya kulit luar. Inti kita masih utuh. Beri sinyal kepada operator meriam. Sekarang giliran kita menunjukkan kepada mereka apa arti peperangan yang sesungguhnya!"Di balik lapisan kedua benteng yang kokoh, para prajurit Giri Amerta bersiap. Meskipu
Benteng Petir kini bukan hanya diisi oleh prajurit Giri Amerta, tetapi juga oleh kontingen sekutu yang datang dari kejauhan. Pasukan Negeri Pasir, yang terkenal dengan ketahanan dan keahlian bertarung di medan kering, telah tiba untuk membantu.Di lapangan benteng, Raka berbicara kepada pasukan gabungan tersebut.Raka: "Dengarkan aku, para pejuang Giri Amerta dan saudara-saudara kami dari Negeri Pasir! Musuh kita, Patih Aryo, mengira kita lemah karena duka yang baru melanda. Dia mengira dengan membawa bala bantuan, dia bisa menghancurkan kita!"Kepala Suku Pasir, Malik: (Berdiri di samping Raka) "Dia salah, Rajasa! Rakyat Negeri Pasir menghargai sekutu sejati. Kami mendengar kabar kemakmuran Giri Amerta dan keadilan Rajasa. Kami datang bukan karena paksaan, melainkan karena kami percaya pada kebenaran perjuangan kalian! Kami akan berdiri di samping kalian, di antara Kemusuk dan Petir, hingga tetes darah terakhir!"Seruan persatuan menggema. Rakyat desa sekitar juga ikut membantu, memb
Meskipun para penasihat memohon Raka untuk tetap berada di ibu kota demi keselamatan dan moral, Sang Rajasa menolak. Ia tahu, di saat duka dan ancaman ganda, kehadirannya di garis depan adalah simbol tak tergantikan.Di hadapan ribuan prajurit dan sukarelawan rakyat yang siap berangkat, Raka berpidato dengan suara lantang.Raka: "Warga Giri Amerta, kita baru saja kehilangan Ratu Andini, dan kini musuh mengira duka kita adalah kelemahan kita! Mereka datang dari Kemusuk, dipimpin oleh Patih Aryo yang tamak, ingin merampas kemakmuran yang telah kita bangun!"Raka: "Mereka berpikir, kami para pemimpin akan bersembunyi di balik tembok istana! Mereka salah besar! Benteng Petir adalah benteng pertama kita, dan aku, Raka, Rajasa kalian, akan berdiri di sana! Aku tidak akan menyuruh kalian bertempur; aku akan bertempur bersama kalian!"Sorakan prajurit dan rakyat memecahkan keheningan pagi. Raka, dengan baju besi khasnya, memimpin barisan terdepan, didampingi oleh Panglima Wirantaka. Rakyat ya
Meskipun Raka menolak pengkultusan, wafatnya Andini tetap membawa duka yang mendalam bagi seluruh rakyat Giri Amerta. Mereka melihat Raka, Sang Rajasa, yang biasanya kokoh, kini menanggung beban yang tak terlihat.Di sudut pasar, dua ibu rumah tangga berbincang lirih sambil membawa keranjang belanja.Ibu Sari: "Kasihan sekali Paduka Rajasa. Baru saja membangun negeri dengan susah payah, kini harus kehilangan Ratu Andini. Dia adalah wanita yang sangat santun, selalu tersenyum saat melewati pasar. Rasanya, duka beliau adalah duka kita semua."Ibu Murni: "Benar, Sari. Dan aku dengar, Paduka Rajasa kini jarang terlihat di Balairung. Katanya, beliau menghabiskan waktu di samping Pangeran Tama. Dia adalah ayah sekaligus pemimpin yang tengah dilanda kesedihan. Semoga Sang Hyang Widhi memberi beliau ketabahan."Ibu Sari: "Kita harus mendoakan pemimpin kita. Di saat beliau sedang rapuh, kita sebagai rakyat harus menunjukkan dukungan. Sebab, takdir Giri Amerta kini bergantung penuh pada ketanggu
Angin malam berbisik pilu di balik tirai sutra kamar permaisuri. Di sana, Andini, istri ketiga Raka, berjuang melawan penyakit yang diam-diam menggerogoti tubuhnya sejak ia masih gadis belia. Meskipun dirawat oleh tabib terbaik Giri Amerta, takdir berkata lain.Tabib Candra: (Berlutut di hadapan Raka, suaranya tercekat) "Hamba mohon ampun, Paduka Rajasa. Kami telah berusaha sekuat tenaga. Namun, penyakit ini... ia seperti benang sutra yang mengikat jantung sejak lahir. Tubuh mulia Ratu Andini telah terlalu lelah berjuang. Ia... telah pergi menuju keabadian."Suara tangisan tertahan dari para dayang dan pengawal memenuhi ruangan. Andini, yang dikenal sebagai sosok paling lembut dan penuh tawa di Istana, kini terbaring damai, senyum tipis seolah masih terukir di bibirnya. Sebuah lilin di samping ranjang tampak bergetar, seolah turut merasakan getaran duka yang mendalam.**Raka, Sang Rajasa yang tak pernah gentar menghadapi seribu meriam perang, kini berdiri kaku, seolah jiwanya tercabu







