LOGINLima pasukan kuno segera mengemasi temanya seperti sedang membungkus ikan asin di pasar, mereka segera meninggalkan neraka di sore itu dengan wajah yang babak belur dan penuh dengan ketakutan.
“Kanda darimana kanda mempelajari Gerakan itu, dan bagaimana kanda begitu lentur menggunakan daun busur ini hingga membuat pasukan yang mengerikan itu tidak berarti di hadapan kanda.” “Aini istriku yang cantik setelah aku bangun dari matiku kemarin aku mempelajari banyak hal tentang ini.” Sambil menyentuh da…yang lembut membuat Aini memerah padam “Kanda jangan seperti ini aku malu sama kak Aina.” Aina yang melihat itu juga menelan ludah dan menundukkan kepalanya tidak berani menatap lelaki gagah dan kuat didepannya. “Andai malam itu datang apakah kami bertiga mampu menandingi lelaki ini” Aina termenung didalam tunduknya. Kemudian Raka memeluk Aina dengan penuh gairah dan menyentuh buah da…yang membuat ia sedikit terbang seakan lepas nyawanya. Kanda jangan begitu malu dilihat orang.” Raka selalu agresif setelah siuman dari mati surinya seolah-olah dia tidak pernah melihat hal ini di dunia modern. Namun ada benarnya dia di dunia modern hanya melihat Wanita begitu saja tidak menarik minatnya karena Wanita dizaman modern susah diprediksi dan bahkan bisa membahayakan karirnya jika salah memilih pasangan. Namun di zaman kuno ini, para wanitanya sebegitu lugu dan bahkan sangat terbuka bagian-bagian tertentu sehingga membuat libido Raka siap meledak kapan saja dan dimana saja. Aiiihhhhh sudah lah sekarang aku harus focus membangun rumah ini dan memperbaiki keadaan sebelum para bajingan itu datang lagi. “Ahhh sudah lah sini biar aku yang mengangkat Andini, segera buka pintu nya dan segera rebus air hangat untuk kita makan dan siapkan segera hidangan dari daging kijang ini.” Baik kanda. Raka membopong Andini yang belum sadarkan diri dan menidurkannya di ranjang dekat perapian ranjang itu terbuat dari susunan kayu yang sudah lama. Ya karena rumah itu pemberian Lurah Wiroguno subuah rumah dengan halaman luas dan terdiri dari tiga kamar. Namun rumah ini sudah sangat lama tidak digunakan baru satu bulan lebih mereka berempat merawatnya namun pemilik asli tubuh Raka malah mati di pukuli mandor dan warga sekitar karena kedapatan mencuri ayam. “Kanda …Andini memeluk perut Raka yang berotot kemudian meringkung di sampingnya.” Andini baru tersadar dari pingsannya Bagaimana dengan lima orang tadi kanda. Sambil memejamkan mata.” Sudah tenang saja mereka sudah pulang dan kita aman untuk saat ini.” Tapi kanda berarti mereka masih akan ke sini lagi.” Ya..sambil mengelus punggung istri ketiganya ini dengan penuh kasih sayang.” Setelah beberapa saat Aina dan Aini segera menghidangkan makanan di depan perapian dari abut merah dengan lampu minyak yang remang-remang. “Kanda makanan sudah siap mari kita makan,” Raka menatap mereka berdua dengan tatapan kasih dan sayang melihat istrinya makin malam makin cantik. “Kalian berdua suguh cantik dan merupakan anugrah untuk ku.” Aku akan menjaga kalian bertiga sampai kapan pun. Tiga bersaudari ini pun memeluk Raka dengan erat buah da…mereka saling menghimpit Raka hingga raka terbatuk karena sesak disebabkan dekapan mereka berdua yang tiba-tiba berhamburan memeluk Raka. Sudah-sudah hentikan kita makan dulu sebelum daging kijang ini menjadi dingin.” “Iya kanda wajah Aina dan Aini memerah” Namun diselimuti kepuasan tersendiri. “Hei Bungsu apakah kamu tidak lapar. Memeluk ku sedari tadi ayo kita makan.” Baik kanda ujar Andini. Mereka pun makan dengan lahap dan tanpa sadar mereka menghabiskan satu bakul nasi dan beberpa potong daging kijang. “Luar biasa semua ini enak sekali, Raka menyela di Tengah-tengah kesibukan makan mereka. “Heem terdengar suara menggemaskan seperti desa…” Membuat Raka terseyum dan terkekeh melihat Tripel A makan begitu lahap dan sepertinya mereka tidak pernah makan daging kijang dan Raka juga merasakan hal yang sama namun Raka masih dapat mengenadalikan diri. “wah wah wah ternyata ketiga istriku sudah siap untuk memberikan keturunan kepada ku” Uhuk…Ketika bersaudari itu terbatuk dan Raka segera memeberikan minum kepada mereka. Mereka kemudian memerah wajahnya dan berujar.” Kanda jangan begitu nanti kami mati jantungan loh.” Ahhhh tidak iya iya lain kali tidak lagi maafkan kanda. Mendengar ucapan gontai Raka mereka malah terkekeh melihat suaminya takut kehilangan intan di hadapannya. “Ahhhh perut ku…tiga bersaudari kekenyangan.” Sedangkan Raka sudah selsai sedari tadi dan melihat wajah ketiga istrinya yang kelelahan karena kenyang. Kemudian tiga bersaudari itu menghampiri ranjang dan langsung menarik selimut lalu tidur. Raka melihat kejadian ini hanya tersenyum tipis sambil marapikan semua yang ada di depan tungku perapian dan membawanya kedapur dan Raka menyaksikan betapa bersih dapur mereka walaupun rumah mereka reot. “Wajar saja mereka terlihat bersih dan cantik dapur ini saja begitu rapi dan bersih.” Sungguh keberuntungan tidak akan datang dua kali gumam Raka.Di tengah kekacauan pelarian, Cakra melihat sosok yang paling ia benci: Patih Aryo, yang sedang menunggang kuda tercepatnya, berusaha kabur. Aryo tidak hanya memimpin penyerangan, ia juga merupakan sumber intrik dan ancaman yang tak berkesudahan bagi Giri Amerta.Cakra, yang jiwanya membara oleh kesetiaan dan kemarahan, segera menaiki kudanya, mengabaikan usianya dan kelelahan pertempuran.Cakra: (Berteriak melengking, suaranya pecah namun penuh amarah) "Bajingan Aryo, Jangan Lari! Kau yang memulai kekacauan ini, kau harus bertanggung jawab! Hadapi aku, pengecut!"Aryo menoleh ke belakang, melihat Cakra yang mengejarnya sendirian. Ia tahu Cakra adalah pahlawan tua Giri Amerta, dan membunuhnya akan menjadi kemenangan simbolis di tengah kekalahan memalukan. Aryo mendorong kudanya lebih cepat, menolak berduel, karena ia tahu tujuannya adalah melarikan diri hidup-hidup.Aryo (Dalam hati): "Aku tidak punya waktu untuk berduel dengan veteran tua ini! Aku harus lolos! Kekalahan ini... ini me
Rentetan meriam dari pasukan Surya Manggala dan Negeri Angin mengawali pertempuran. Bola-bola besi menghantam lapisan terluar Benteng Petir dengan suara yang memekakkan telinga.Patih Aryo (Berteriak penuh kemenangan dari kemahnya): "Serang terus! Tembak hingga tembok itu runtuh! Hancurkan pertahanan mereka!"Lapisan dinding pertama, yang sengaja dibuat lebih tipis sebagai umpan dan penyerap kejut, segera ambruk. Debu beterbangan, dan sorak-sorai kemenangan terdengar dari kubu Aryo.Panglima Wirantaka: (Melirik Raka, wajahnya sedikit pucat) "Lapisan pertama runtuh, Paduka! Musuh mengira kita lemah!"Raka: (Sangat tenang, mengawasi dengan teropong) "Biarkan mereka bergembira sesaat, Wirantaka. Lapisan pertama telah menjalankan tugasnya. Itu hanya kulit luar. Inti kita masih utuh. Beri sinyal kepada operator meriam. Sekarang giliran kita menunjukkan kepada mereka apa arti peperangan yang sesungguhnya!"Di balik lapisan kedua benteng yang kokoh, para prajurit Giri Amerta bersiap. Meskipu
Benteng Petir kini bukan hanya diisi oleh prajurit Giri Amerta, tetapi juga oleh kontingen sekutu yang datang dari kejauhan. Pasukan Negeri Pasir, yang terkenal dengan ketahanan dan keahlian bertarung di medan kering, telah tiba untuk membantu.Di lapangan benteng, Raka berbicara kepada pasukan gabungan tersebut.Raka: "Dengarkan aku, para pejuang Giri Amerta dan saudara-saudara kami dari Negeri Pasir! Musuh kita, Patih Aryo, mengira kita lemah karena duka yang baru melanda. Dia mengira dengan membawa bala bantuan, dia bisa menghancurkan kita!"Kepala Suku Pasir, Malik: (Berdiri di samping Raka) "Dia salah, Rajasa! Rakyat Negeri Pasir menghargai sekutu sejati. Kami mendengar kabar kemakmuran Giri Amerta dan keadilan Rajasa. Kami datang bukan karena paksaan, melainkan karena kami percaya pada kebenaran perjuangan kalian! Kami akan berdiri di samping kalian, di antara Kemusuk dan Petir, hingga tetes darah terakhir!"Seruan persatuan menggema. Rakyat desa sekitar juga ikut membantu, memb
Meskipun para penasihat memohon Raka untuk tetap berada di ibu kota demi keselamatan dan moral, Sang Rajasa menolak. Ia tahu, di saat duka dan ancaman ganda, kehadirannya di garis depan adalah simbol tak tergantikan.Di hadapan ribuan prajurit dan sukarelawan rakyat yang siap berangkat, Raka berpidato dengan suara lantang.Raka: "Warga Giri Amerta, kita baru saja kehilangan Ratu Andini, dan kini musuh mengira duka kita adalah kelemahan kita! Mereka datang dari Kemusuk, dipimpin oleh Patih Aryo yang tamak, ingin merampas kemakmuran yang telah kita bangun!"Raka: "Mereka berpikir, kami para pemimpin akan bersembunyi di balik tembok istana! Mereka salah besar! Benteng Petir adalah benteng pertama kita, dan aku, Raka, Rajasa kalian, akan berdiri di sana! Aku tidak akan menyuruh kalian bertempur; aku akan bertempur bersama kalian!"Sorakan prajurit dan rakyat memecahkan keheningan pagi. Raka, dengan baju besi khasnya, memimpin barisan terdepan, didampingi oleh Panglima Wirantaka. Rakyat ya
Meskipun Raka menolak pengkultusan, wafatnya Andini tetap membawa duka yang mendalam bagi seluruh rakyat Giri Amerta. Mereka melihat Raka, Sang Rajasa, yang biasanya kokoh, kini menanggung beban yang tak terlihat.Di sudut pasar, dua ibu rumah tangga berbincang lirih sambil membawa keranjang belanja.Ibu Sari: "Kasihan sekali Paduka Rajasa. Baru saja membangun negeri dengan susah payah, kini harus kehilangan Ratu Andini. Dia adalah wanita yang sangat santun, selalu tersenyum saat melewati pasar. Rasanya, duka beliau adalah duka kita semua."Ibu Murni: "Benar, Sari. Dan aku dengar, Paduka Rajasa kini jarang terlihat di Balairung. Katanya, beliau menghabiskan waktu di samping Pangeran Tama. Dia adalah ayah sekaligus pemimpin yang tengah dilanda kesedihan. Semoga Sang Hyang Widhi memberi beliau ketabahan."Ibu Sari: "Kita harus mendoakan pemimpin kita. Di saat beliau sedang rapuh, kita sebagai rakyat harus menunjukkan dukungan. Sebab, takdir Giri Amerta kini bergantung penuh pada ketanggu
Angin malam berbisik pilu di balik tirai sutra kamar permaisuri. Di sana, Andini, istri ketiga Raka, berjuang melawan penyakit yang diam-diam menggerogoti tubuhnya sejak ia masih gadis belia. Meskipun dirawat oleh tabib terbaik Giri Amerta, takdir berkata lain.Tabib Candra: (Berlutut di hadapan Raka, suaranya tercekat) "Hamba mohon ampun, Paduka Rajasa. Kami telah berusaha sekuat tenaga. Namun, penyakit ini... ia seperti benang sutra yang mengikat jantung sejak lahir. Tubuh mulia Ratu Andini telah terlalu lelah berjuang. Ia... telah pergi menuju keabadian."Suara tangisan tertahan dari para dayang dan pengawal memenuhi ruangan. Andini, yang dikenal sebagai sosok paling lembut dan penuh tawa di Istana, kini terbaring damai, senyum tipis seolah masih terukir di bibirnya. Sebuah lilin di samping ranjang tampak bergetar, seolah turut merasakan getaran duka yang mendalam.**Raka, Sang Rajasa yang tak pernah gentar menghadapi seribu meriam perang, kini berdiri kaku, seolah jiwanya tercabu







