like dan coment ya para pembaca
Kabut pagi masih menggantung di ladang ketika sebuah kabar besar menyebar dari balai utama hingga ke sudut-sudut warung dan rumah: Desa Kali Bening kini resmi diakui sebagai desa mandiri. Tak lagi sekadar wilayah kecil di ujung timur Surya Manggala, kini Kali Bening berdiri sebagai entitas utuh, memiliki hak mengatur urusan dalam negerinya sendiri.Tentu, berita itu disambut gegap gempita oleh warga. Tapi di dalam Istana Surya Manggala, keheningan justru menyelimuti ruang pertemuan.“Raka... menolak jabatan komandan?” tanya Patih Jandra dengan suara tak percaya.“Benar, Patih,” jawab utusan kerajaan yang baru kembali dari Kali Bening. “Titah sudah dibacakan, penghargaan sudah disampaikan. Tapi ia tetap menolak jabatan itu.”“Padahal jika ia setuju, ia akan menjadi komandan semua desa bawahan Surya Manggala…” gumam salah satu bangsawan, “Apa yang sebenarnya dia inginkan?”“Semu aini benar seperti yang di sampaikan mahapatih maheswara, raka akan teguh pendiriannya tetap memilik mengabdi
Udara dingin semakin menggigit. Salju tak lagi sekadar hiasan di atap rumah-rumah, melainkan telah menumpuk setinggi lutut di jalan-jalan desa. Di dalam istana Kerajaan Surya Manggala, para petinggi duduk melingkar di ruang pertemuan, wajah mereka mengeras menahan rasa kecewa.“Ia menolak lagi?” suara Patih Jandra terdengar tak percaya, kedua alisnya menyatu. “Sudah tiga utusan kita kirim, bahkan yang terakhir membawa titah langsung dari Raja Mahesa.”“Raka terlalu sibuk dengan desanya,” sahut seorang penasihat tua sambil menyesap air jahe. “Kali Bening seolah dunia kecil yang dia rawat seperti milik sendiri.”“Itulah yang membuatku resah,” ucap Patih Jandra lebih pelan. “Tak ada orang menolak tawaran kerajaan—kecuali dia menyimpan sesuatu.”Suasana mendadak hening. Kata “menyimpan sesuatu” menggantung di udara seperti kabut di pagi hari.“Kita harus mulai mengawasinya lebih dekat,” ujar seorang bangsawan muda. “Bukan menuduh, hanya… berjaga.”Tak satu pun yang menyanggah. Maka disepa
Salju turun nyaris tanpa jeda sejak dua bulan lalu, dan angin dari utara membawa hawa yang menusuk hingga tulang. Di balik kondisi ekstrem itu, roda usaha di Desa Kali Bening justru terus bergerak, dipacu oleh kecerdikan sang kepala desa, Raka.Kini, lebih dari seratus dua puluh pekerja terlibat dalam berbagai lini usaha dari pabrik arang, penangkaran rusa, hingga pengerjaan mantel kulit dan pengelolaan gudang bahan pangan.Pelabuhan baru di Teluk Penyu yang megah, berdiri anggun dengan dermaga kayu besi dan menara pengawas tinggi, belum bisa digunakan. Laut di ujung selatan itu telah membeku separuh lebih. Es setebal tiga jengkal menutupi permukaan, menjebak perahu-perahu nelayan seperti mainan anak kecil.Suatu siang, di balai desa, Raka berdiri di beranda atas sambil menatap arah selatan. Ia mengenakan mantel wol cokelat tua dan penutup kepala dari kulit rusa. Di bawah, sekelompok pemuda berlatih dengan tombak kayu dan pedang tumpul. Di tengah mereka, seorang pelatih tua bernama Ga
Istana Surya Manggala, suasana tengah memanas. Di ruang utama tempat para pejabat berkumpul, Mahapatih Maheswara berdiri tegak di hadapan Raja Mahesa Warman. Sebuah gulungan surat tergeletak di atas meja berlapis emas—surat dari Raka, Kepala Desa Kali Bening.“Jadi... ia benar-benar menolak,” gumam Raja sambil menatap langit-langit ruangan.Mahapatih mengangguk perlahan. “Seperti yang hamba duga. Jawaban Raka sangat rapi, terukur, dan sulit dibantah.”Raja menatap Mahapatih, agak kecewa. “Padahal aku harap dia bisa menjadi bagian dari inti kekuatan kita.”Mahapatih mengangkat alisnya, lalu berkata tenang, “Paduka, bukankah paduka sendiri yang menyetujui hukum bahwa para lulusan terbaik bebas memilih jalannya sendiri setelah menyelesaikan ujian kerajaan? Raka hanya menjalankan hak yang paduka berikan.”“Benar,” Raja menghela napas. “Namun tetap saja, sedikit kecewa.”Mahapatih tersenyum bijak. “Kadang, orang seperti Raka dibutuhkan untuk menjaga agar negeri ini tetap waras. Dia lebih b
Embun pagi masih menggantung di pucuk-pucuk daun pinus, menyatu dengan lapisan es tipis yang menyelimuti bahu jalan-jalan batu Desa Kali Bening. Balai desa tampak tenang, namun pagi itu berbeda dari biasanya. Di bawah langit yang kelabu, sebuah kereta ringan berhias lambang Kerajaan Surya Manggala memasuki pelataran utama desa.Tiga penunggang kuda berlapis mantel tebal turun terlebih dahulu, diikuti oleh seorang utusan berpakaian rapi, membawa gulungan surat bersegel emas. Di sisi dalam balai desa, Kades Raka sudah menunggu. Ia duduk tenang, didampingi Sakri dan dua tetua desa.Utusan itu melangkah mantap, membungkuk hormat, lalu membuka suara.“Salam dari Istana Surya Manggala. Saya, Kertanegara, ditugaskan oleh Mahapatih Maheswara membawa titah dari Raja Mahesa Warman.”Raka mengangguk ringan. “Silakan duduk, Utusan. Desa kami sederhana, tapi kami tahu tata cara menyambut tamu agung.”Kertanegara duduk, lalu membuka gulungan surat dan membacanya perlahan namun tegas.“Atas nama Raj
Musim dingin tahun ini memang lain. Salju turun lebih tebal, dan hawa membeku lebih lama dari tahun-tahun sebelumnya. Namun anehnya, Desa Kali Bening seperti tidak tersentuh rasa gentar.Segalanya berjalan seolah telah dirancang jauh-jauh hari. Dari penangkaran rusa hingga pabrik arang, semua berfungsi dengan nyaris tanpa hambatan. Jalan-jalan desa memang lengang, hanya sesekali terlihat orang-orang terpilih—mereka yang dipilih langsung oleh Kades Raka—menjalankan tugas harian.Orang-orang itu tak hanya kuat secara tubuh, tapi juga tahan hati dan pikiran menghadapi musim yang menyusup ke dalam tulang.Sore itu, suara deru dari tungku besar terdengar dari arah pabrik arang yang berdiri di ujung timur desa. Asapnya naik perlahan, berwarna putih keabu-abuan, menyatu dengan kabut. Di dalam bangunan beratap rendah itu, suara pukulan kayu, bara, dan percikan api saling menyahut.Amar, kepala pabrik arang, sedang berdiri mengawasi setumpuk kayu malam yang baru datang dari Desa Anggur. Ia men
Musim dingin belum menunjukkan tanda-tanda akan pergi. Kabut tipis menyelimuti lembah Kali Bening setiap pagi, menyusup perlahan ke sela-sela rumah penduduk. Pepohonan membeku, ladang-ladang tertutup es, dan suara burung pun seolah enggan berkicau.Di antara semua itu, Kades Raka tak berdiam diri. Ia memperhatikan dengan cermat kebiasaan rusa-rusa liar yang mulai berkeliaran dekat ladang-ladang penduduk, mencari sisa-sisa makanan di balik salju tipis. Sesekali, kawanan rusa bahkan masuk ke pemukiman, melintasi jalan setapak, tanpa takut manusia.Raka berdiri di depan rumah panggungnya yang menghadap ke arah barat, ditemani Sakri, salah satu orang kepercayaannya.“Apa kau lihat itu, Sakri?” tanya Raka sambil menunjuk seekor rusa jantan muda yang melompat ringan di sela pagar kebun tua. “Mereka datang sendiri ke desa.”Sakri mengangguk, wajahnya sedikit heran. “Iya, Kades. Tak biasanya mereka sedekat ini. Mungkin karena hutan di utara membeku. Mereka lapar.”Raka menatap rusa itu dengan
Salju masih menutupi ladang-ladang, dan embun beku menggigit tiap helai daun di pinggir hutan. Namun di balik itu, kesempatan lain justru mulai terlihat.Sejak beberapa pekan terakhir, kawanan rusa mulai bermunculan di dekat pemukiman. Mereka berkeliaran, lapar, mencari dedaunan yang sulit mereka temukan di hutan beku. Beberapa warga bahkan melihat rusa-rusa muda bersembunyi di balik lumbung padi yang kosong.Kabar itu sampai ke telinga Raka saat ia baru pulang dari memeriksa gudang arang.“Rusa, ya?” gumamnya sambil memandang ke arah pegunungan. “Kalau mereka sudah masuk desa, artinya mereka kehabisan makan. Ini bisa jadi peluang…”Hari itu juga, ia memanggil beberapa pemuda yang biasa berjaga di pos timur desa.“Aku ingin kalian siapkan kandang dari kayu besi di dekat ladang lama. Tak perlu besar dulu, cukup untuk sepuluh ekor. Kita mulai dengan penangkaran rusa.”“Menangkar, Kades?” tanya Arman, salah satu pemuda desa, agak heran. “Bukan diburu saja sekalian?”Raka tersenyum tipis.
Di Balai Desa Kali Bening yang berdinding bata merah dan beratap genting merah dengan pilar-pilar tinggi, suara semangat terdengar dari balik meja panjang yang dipenuhi tumpukan kertas daun lontar dan kantong-kantong perak.“Seribu perak... per kilo!” seru Mirna, menoleh ke penjaga gudang dengan mata berbinar. “Harga ini bahkan mengalahkan garam langka dari pesisir selatan!”Ia menulis cepat, jarinya lincah mencatat jumlah perak yang masuk sejak fajar tadi. Satu kereta dari Desa Anggur, dua kereta dari desa sebelah gunung, dan kini... satu utusan dari pejabat kota madya.“Bilang saja ke mereka,” gumam Mirna sembari menggulung catatannya, “arang kita bukan untuk dijual bebas dulu. Rakyat di desa ini butuh lebih dari siapapun.”Di luar, Raka baru kembali dari perjalanan keliling ke rumah-rumah warga. Dengan mantel tebal dan syal wol melilit leher, ia menepuk bahu dua pemuda yang baru saja menurunkan karung arang.“Terus bantu warga. Jika setiap tungku menyala, tidak ada yang jatuh sakit