Raka membuka matanya yang mendapati tiga istrinya sudah tidak di ranjang mereka. Dari luar terdengar percakapan mereka bertiga dengan intens. Suasana desa sudah menghadapi musim dingin untuk beberapa bulan kedepan.
Ketika Raka akan menyusul mereka. Dari kejauahan datang para pembuat onar yang pada beberapa hari yang lalu ingin menggoda gasi Raka.
“Kalian bertiga….cepat..ber..lindung di dalam rumah.” Teriak Raka keras yang membuat tiga bersaudari ini segera masuk dengan tergopoh.” Siuuut..aaaaa..”
Raka memegangi bahu sebelah kirinya. Dan warna merah mengucur dari punggungnya.
“Kanda kamu…”
Cepat berlindung gunakan apa saja yang bisa mengamankan diri kalian. Aku akan menghaadapi mereka.’’ Pagi yang tadinya indah berubah menjadi mencekam.
Raka segera mencabut anak panah yang bersarang di bahu kirinya, kemudian menghunus panah tersebut ke arah para pembuat onar yang menghampiri rumah mereka.
“Aiihhh!” Belong menahan langkahnya setelah tadi melepaskan anak panah. Kemudian dia memuntahkan darah. Karena anak panah nya sendiri, yang dikembalikan oleh Raka.
“Bam!”
“Bajingan masih berani kalian kesini?”
“Brakkkk..Tendangan dari Bagong yang mengenai Raka yang terlempar ke pagar rumah mereka hingga rusak.
“Dasar pria lemah. Kamu sudah meluai rekan ku rasakan ini…ayunan pedang yang akan menebas raka segera di tangkis menggunkan busur.”
“Rupanya kamu memiliki beladiri yang tangguh, tidak aku sangka di Desa Petir ini ada seorang jag….belum selesai Baurekso ngoceh tendangan keras mengenai rusuknya..Aaaaaarkkkkk…
Dengan beberapa gerakan Raka dapat melumpuhkan tiga perusuh tadi dengan menciderai mereka semua.” Hei kalian jangan lagi menginjakkan kaki di rumahku lagi. Dalam lima bulan kedepan aku akan membayar semua hutangku pada lurah kalian.”
“Sekarang enyahlah dari wajahku.”mereka sempoyongan meninggalkan rumah Raka yang beberapa bagian pagar rumah hancur.
“Aiiiiiiihhhhhh….” Ternyata panah ini beracun…ujar raka meringkuk kesakitan setelah menghampiri pintu reot rumah mereka.
“Bruk!” raka terjatuh tidak sadarkan diri.
“Kanda …Kanda…Kanda …bangun jangan tinggalkan kami lagi…
Tiga bersaudari ini segera menghampiri Raka yang terbaring pucat dan banyak darah yang keluar dari bahu kirinya.
“Aina segera berlari keluar menuju kerumah paman Zeno yang masih bisa dipercaya di desa Petir.”
“Paman..Paman…Paman..sambil menanagis terisak..” setelah berlari beberapa puluh meter dari rumah mereka.
“Ada apa Aina..kenapa kamu ujar Bi Arum.” Bi Raka pingsan setelah mendapat serangan dari para preman Be bersaudara.”
“Apa….Zeno segera kita kesana…kamu pasti tau jika preman itu bertindak bakalan ada korban..aku sudah menaruh curiga sedari kemarin.” Jangan-jangan Raka terkena panah beracun.
“Iya Bibi benar..Raka keracunan panah yang menembus bahunya.”
“Baik lah ayo segera jangan membuang waktu…ujar Zeno.” Sambil berlari menuju rumah Raka dan Istrinya.
Sesampainya mereka bertiga sudah mendapati Raka semakin melemah karena racun di aliran darahnya. “ Segera ambil daun sambiloto di pekarangan rumah segera Andini lakukan.”
“Dan kamu Aini rebuh temulawak dan madu kemudian tuang ke dalam mangkuk itu. Iya paman.”
Suasana menjadi panik Ketika Raka mengeluarkan darah hitam dari mulutnya. Walaupun di dunia modern ia adalah mantan anggota pasukan khusus namun di dunia kuno tidak ada IGD yang bisa cepat menangani hal seperti ini.
“Kanda…Kanda, bertahanlah..setelah di lumuri daun sambiloto Raka terus mengeluarkan darah hitam dari mulutnya.” Aina sangat terpukul baru saja suaminya menjadi kuat kini sudah terpuruk lagi..Aina meratapi keadaan di pojok rumah reot itu.
“Kak Aina kita berdo’a saja semoga Kanda baik-baik saja.”
“Air…air…tenggorokan ku kering setelah beberapa saat hening..” mereka kompak melihat kearah Raka
“Kanda sudah sadar..”
“Raka segera minum air ini mudah-mudahan kamu bisa segera pulih.” Ujar Zeno
“Iya paman terimakasih, sudah menolongku aku berutang budi pada paman.” Aku berjanji pada kalian akan kurubah Nasib kita agar tidak tertindas lagi.”
Setelah Raka membaik mereka bertika di sertai Zeno dan Arum yang terkaget karena begitu cepat pemulihan racun pada Raka.
“Anak ini memiliki kekuatan tubuh yang luar biasa.” Gumam Zeno
Mungkinkah anak ini yang diramalkan Begawan itu. Jika desa petir akan melahirkan seorang yang kuat dan memiliki pengetahuan yang luas.
Raka kemudian duduk dengan kaki bersilang dan tangan bersedekap di dada kemudian mengarahkan tubuhnya ke tungku perapian. Sebelum hal itu terjadi Raka berpesan kepada ketiga istrinya dan Zeno serta Arum
“Aku akan bersemedi beberapa saat untuk memulihkan keadaan ini.” Kalian berjaga saja di depan dan jangan pergi terlalu jauh.
“Kalau begitu paman dan bibimu pamit dulu Raka.” Iya paman terimakasih atas bantuannya.
Setelah Zeno dan Arum berlalu. Raka kemudian melanjutkan semedinya hingga menjelang sore hari.
“Aini ..kemarilah aku sudah selsai mengembalikan energiku.” Kalian bertiga masuklah hari sudah mulai sore. Apa kalian tidak lapar.”
Iya kanda mereka kompak lalu masuk kerumah. Dan memasak daging rusa yang masih tergantung rapi karena sudah di keringkan.
Aroma harum segera menjalar di rumah reot itu. Dengan Cahaya lampu minyak yang remang-remang namun masih jelas untuk beraktifitas dimalam hari.
Aini kemarilah ambilkan bekas pen aitu dan sepertinya ada kertas di sampingnya.” Tutur Raka
Iya kanda ini. Apa yang kanda akan lakukan.”
“Akuhanya ingin menulis sesuatu metode yang bisa membuat kita memiliki penghasilan dan merubah Nasib kita.”
Cahaya pagi menembus sela-sela jendela bengkel kecil di belakang pabrik Bukit Batu. Di atas meja dari kayu jati tua, Raka tengah mencampur cairan kental berwarna abu-abu kehijauan ke dalam mangkuk tanah liat. Di sekelilingnya ada abu dari kayu lempung, bubuk batu kapur, dan cairan getah pohon yang disuling semalaman.Ia mengaduk pelan, mengamati perubahan warna dan kekentalannya.“Ini yang keempat belas kalinya, Tuan Raka…” ujar Lao sambil duduk di ambang pintu. “Kau yakin bahan ini bukan racikan untuk menambal perahu?”Raka tersenyum tipis. “Bukan. Ini… bisa jadi temuan terpenting setelah semen. Kau lihat dinding belakang gudang yang sempat retak itu?”Lao mengangguk.“Aku tambal pakai campuran ini semalam. Dan pagi ini, batu bata yang baru ditempel tidak bisa lagi dipisahkan. Bahkan saat kuhantam dengan palu.”Lao berdiri. “Kau serius Tuan?”“Lihat sendiri.”Mereka berdua berjalan ke dinding belakang. Di sana, garis bekas retakan tampak samar, hampir menyatu dengan permukaan asli. L
Asap tipis mengepul dari cerobong pabrik kecil yang baru selesai dibangun di lereng Bukit Batu. Gema palu, denting logam, dan suara roda pemutar terdengar dari pagi hingga petang. Desa Kali Bening, yang dulunya hanya dikenal karena hasil hutan dan aliran sungainya yang jernih, kini mulai dikenal karena satu hal baru semen.Di dalam bangunan beratap jerami tebal, para pekerja sibuk menggiling batu kelabu menjadi bubuk halus. Mereka mencampurnya dengan air dan bahan tambahan yang ditemukan dari sekitar hutan dan lereng bukit. Di dekat tungku pembakaran, Nara memberi aba-aba.“Jaga panasnya! Jangan terlalu tinggi. Kalau adonan gosong, dia retak saat mengeras!”Sementara itu, Lao sibuk mengawasi karung-karung hasil produksi yang mulai menggunung. “Ini sudah bisa digunakan untuk pondasi rumah-rumah baru,” gumamnya. “Kita bisa bangun dapur umum, lumbung cadangan, bahkan jembatan kecil…”Di antara semua kesibukan itu, Raka hampir tak terlihat di balai desa. Ia lebih sering berada di lokasi p
Kota Giri Amerta. Kabut tipis masih menggantung di antara pepohonan ketika Raka berdiri di tepi pelabuhan yang sedang dibangun. Di hadapannya, ratusan pekerja sudah mulai mengangkat balok kayu, menyusun batu, dan menarik tali tambang untuk mengangkat barang. Namun dari semua itu, satu hal yang kini menjadi beban pikirannya: campuran pengikat bangunan.“Telur sudah menipis, Tuan Raka,” ujar Gana, salah satu pengawas bangunan, sambil menyerahkan catatan persediaan.Raka menerima kertas itu, menelusuri angka-angka yang tercatat dengan kening mengerut. “Kita butuh seribu lebih untuk minggu depan saja,” gumamnya. “Padahal ayam-ayam peternakan baru bisa bertelur dua hari sekali.”“Warga juga mulai mengeluh. Telur-telur habis diborong untuk bahan bangunan. Dapur rumah tangga jadi kosong.”Raka memejamkan mata sejenak, menarik napas dalam. “Kalau begini terus, kita bisa menyelesaikan satu pelabuhan… tapi membuat rakyat kelaparan.”Ia menoleh ke arah Gana. “Kumpulkan para pengrajin, ilmuwan, d
Angin laut dari Teluk Penyu berhembus lembut di pagi hari. Cahaya matahari menyelinap di antara tiang-tiang layar yang berdiri gagah di pelabuhan. Dermaga batu telah rampung seluruhnya, dan hari itu menjadi hari yang istimewa bagi rakyat Kali Bening.Lima kapal besar bersandar bersamaan di pelabuhan yang megah itu. Bendera dagang dari negeri jauh berkibar berdampingan dengan bendera merah-putih milik Desa Kali Bening dan Desa Anggur. Para buruh sibuk menurunkan karung-karung rempah, tong minyak ikan, dan peti kayu berisi barang logam dari negeri selatan.Di atas menara suar, Kapten Wira memandang ke arah laut dengan bangga.“Kalau dulu kita hanya bisa lihat perahu kecil hilir-mudik,” katanya sambil tersenyum pada anak buahnya, “kini kita jadi tempat bersandarnya kapal-kapal dari empat penjuru angin.”Sementara itu di Balai Utama Desa, suasana sangat berbeda—hangat dan penuh kegembiraan. Rakyat dari berbagai dusun berkumpul. Anak-anak berlari di halaman, para ibu tersenyum dan membawa
Syahbandar Goro, pemimpin pelabuhan Teluk Penyu, tiba di istana dengan pakaian basah embun dan langkah cepat.Ia dibawa langsung ke hadapan Raka, yang pagi itu tengah berdiri di beranda atas istana, memandang ke arah selatan sambil menggenggam peta tua peninggalan ayahandanya.“Hamba laporkan, Duli,” Goro menunduk hormat, napasnya terengah. “Pelabuhan Teluk Penyu kini berdiri dengan dua dermaga batu baru, menara suar telah menyala setiap malam, dan... arus kapal dagang semakin padat.”Raka menoleh pelan, lalu menatap mata Goro dengan tajam.“Berapa kapal bersandar kemarin?”“Empat belas, Tuan. Tujuh dari tanah seberang, tiga dari wilayah barat, sisanya dari desa-desa dalam negeri.”Raka terdiam. Jemarinya mengetuk peta di tangannya, tepat di titik kecil bertuliskan Kali Bening.“Bagus kita akan segera mewujudkan sebuah kota baru di, kali bening.”Sementara itu di Balairung Kadipaten Kemusuk, para adipati berkumpul dalam suasana tak nyaman. Peta dan surat kabar dagang berserakan di ata
Desa Anggur telah resmi bergabung dengan Kali Bening.Kabar itu meledak seperti petir siang bolong di ruang pertemuan istana Surya Manggala. Para pejabat saling pandang. Sebagian mengernyit, sebagian lain mengepalkan tangan.Raja Mahesa Warman duduk diam, wajahnya tegang namun tak menunjukkan emosi. Di sekelilingnya, suara sumbang mulai bermunculan.“Raka terlalu jauh melangkah, Baginda,” ujar Adipati Wira, pejabat tua dari Kadipaten Kemusuk. “Kini ia menguasai pantai utara dan selatan. Jika tak segera dibatasi, ia bisa... berdiri di atas kepala kita semua.”Raja menggeleng pelan.“Ia bekerja, sementara kalian sibuk membatasi. Kali Bening dan Anggur hanya menambal celah yang kalian tinggalkan.”Patih Maheswara menimpali, hati-hati, “Namun api iri mulai menyala, Duli. Jika desa lain ikut-ikutan, maka istana bisa kehilangan kendali.”“Tidak mengapa mahapatih, jika semua desa berlaku demikian maka, kemajuan kerajaan surya manggala semakin terkenal di mata para saudagar dan Kerajaan tetan
Teluk Penyu dipenuhi suara peluit dan teriakan mandor. Suasana jalanan yang sudah keras dilapisi dengan semen batu kapur membuat suasana semakin asri di tambah dupa kayu malam yang menyegarkan.Di atas gerobak, batu bata merah, kayu jati, dan genting merah tersusun rapi. Aroma tanah basah dan getah kayu berpadu dengan garam laut dan peluh para pekerja. Namun semua itu hilang karena harum dari dupa kayu malam yang selalu menyala di seluruh wilayah desa kali bening dan desa anggur.Di kejauhan, menara suar pertama telah berdiri kokoh di atas tebing karang. Api di puncaknya belum dinyalakan, namun bentuknya saja sudah cukup menjadi penanda Kali Bening kini bukan lagi desa biasa.Di bawah menara, Raka berdiri bersama Kepala Tukang Andra dan Kepala penjaga Vano.“Benteng akan kita bangun memanjang ke arah timur, mengikuti garis pantai,” ujar Raka sambil menunjuk pada denah di atas papan kayu besar.Andra mengangguk mantap. “Genteng merah sudah datang dua gerobak pagi tadi, dan logam untuk
Di kejauhan, burung camar berputar-putar di langit, seolah menyambut para pelaut dan pedagang yang mulai berdatangan.Kini, Pelabuhan Teluk Penyu berdiri megah—dermaga dari batu pualam dan kayu jati yang ditambat kuat dengan rantai besi. Bendera Kali Bening berkibar di atas menara mercu suar. Panji dengan lambang singa kini bukan hanya simbol desa, tapi tanda pengaruh yang menjalar di jalur laut selatan.Di bibir pelabuhan, Raka berdiri bersama Nakhoda Rosi dan Kapten Darma, memandangi satu per satu kapal dagang yang mulai bersandar. Suara roda peti kemas berderak di antara para kuli yang sibuk bongkar muat.“Tiga kapal dari Luar Aruna, dua dari Pelabuhan Rembang, dan satu dari kerajaan Lamusi,” lapor Darma dengan tenang, tangannya memegang daftar manifest.Raka mengangguk pelan, suaranya lirih namun penuh kepastian.“Blokade dari Kadipaten Kemusuk hanya mempercepat keputusan yang sebenarnya sudah harus kita ambil sejak lama.”Nakhoda Rosi menimpali dengan senyum puas.“Dulu mereka pi
Mentari pagi menyinari Desa Kali Bening yang kini nyaris tak dikenali lagi dari bentuknya yang dulu. Di kejauhan, tembok pertahanan berlapis tiga berdiri angkuh, melingkupi seluruh desa seperti perisai raksasa. Setiap lapisan dibangun dengan batu andesit yang diperkuat bata merah, serta dijaga oleh pasukan bersenjata lengkap.Di puncak-puncak menara penjaga, laras tiga meriam sedang mengintai cakrawala, seperti mata naga yang tak pernah tidur.“Kanda Raka... sejujurnya, kau tak lagi membangun sebuah desa,” ujar Aina sambil menyapu pandangan dari menara utama ke arah horizon. “Yang kau dirikan ini… benteng.”Raka menatap peta di hadapannya, lalu tersenyum tipis. Suaranya tenang namun penuh makna.“Jika damai ingin dipertahankan, maka tembok perdamaian harus lebih kokoh dari niat siapa pun untuk menyerang. Yang kubangun ini, bukan benteng untuk menyerang... tapi pelindung bagi ribuan jiwa.”“Dan jangan kuatir, semua ini akan baik-baik saja aku membangun ini untuk melindungi Kerajaan dar