Wah kalian sangat bekerja keras hari ini, baiklah ini ada oleh-oleh dari pasar yang Kanda beli.” Sebelum Raka selesai menjelaskan barang bawaan dari pasar. Aina menimpali
“Kanda dapat uang dari mana sedangkan mandor beberpa hari yang lalu kan tidak memberi upah kepada kita.”
“Benar Kanda uang dari mana..jangan..jangan ..sttttt sambil menyentuh bibir mungil Aini.”
“Kalian berdua jangan khawatir ini adalah uang konpensasi atas penyerangan tiga bersaudara kemarin pagi.” Ujar Raka menjelaskan Panjang lebar.
Ya sebelum Raka kepasar ia sempat kebalai kota untuk mengadukan semua yang dilakukan oleh tiga orang kemarin dan Raka mendapatkan konpensasi dari kelurahan sebanyak 100 sen perak. Karena ulah lurah Wiroguno.
“Wah ternyata dengan Nasib yang hampir menjadikan kami janda Kanda masih bisa menghasilkan uang.” Jahat sambil terisak dua gadis itu lalu dipeluk Raka yang tinggi dan gagah
Sudah-sudah kalian berdua ini terlalu melankolis sehingga mudah menangis.” Kuatkan hati kalian biar kanda semakin semangat untuk merubah Nasib kita.
“Bagaimana kalau kita pergi menangkap ikan. Adakah kalian mendapati tempat yang banyak ikan Guraminya.”
“Ada Kanda….Andini langsung berlari memeluk kakak-kakaknya dan Raka.” Di hulu Sungai ini ada sebuah danau yang luas dan memiliki banyak ikan disana.
Kita bisa memancingnya besok hari. Ujar Andini.
“Jangan besok sore ini setelah kita makan siang kita akan ke hulu Sungai dan kita bawa alat mancingnya.”
“Baik kanda kita makan dulu ya. Sebelum dingin Aini menimpali.
“Ayo segera..Aihhh kalian ini bagaimana mau berjalan sedangkan kalian seperti cicak menempel di tubuhku.” Ucap Raka.
“Iya-iya maaf Kanda…habis kanda sekarang semakin kami sayangi.” Jangan menggoda ku lagi nanti kalian aku goda..ahhh iya iya kanda.
Wah hidangan ini sangat nikmat ya.” Andini kamu sangat ahli memasak.”
Besok kita awal awal sekali berangkat ke pasar. Siapkan tong yang ada di dapur kita. Baik Kanda.
****
“Hemmm potensinya luar biasa hulu Sungai ini sangat banyak ikannya sehingga kita tidak akan kekurangan makanan.”
“Hah makanan bagaimana ikan ini bisa di makan Kanda.” Oh itu gampang nanti aku ajari resepnya. Agar kalian bisa membuat hidangan yang lezat.
“sekarang kita mancing dulu.” Perhatikan tekniknya setelah beberapa saat kemudian mereka dapat ikan. Raka menimpali jadi ikan yang harus kita kumpulkan ukuranya sekitar lima jari.
Dan kita harus mengumpulkan ikan ini sebanyak lima puluh ekor.
“siap kanda.’’
Hari sudah mendekati malam mereka segera bergegas pulang. Sesampainya dirumah Raka segera menyiapkan semua yang sudah di tulisnya. Dan Raka menyisakkan beberpa ekor di dalam tong kayu.
Kemudian membuat hidangan Gurami panggang yang aromanya menusuk hidung. Malam ini kita makan dengan ikan saja karena beras sudah habis dan minyak zaitun kita juga tinggal sedikit. Garam dan bumbu lainya sudah menipis.
“Apakah tidak lebih baik di kukus saja kanda.” Ujar Andini dan Aina
Sudah serahkan pada kandamu saja kalian bertiga saksikan ini keajaiban didunia koki.
“hahhhh Koki..apa itu kanda..” Oh koki itu tukang masak yang handal memiliki kemampuan dewa. Raka sambil terkekeh
Aroma ikan panggang menyebar sampai kerumah Anom. Aroma apakah ini, begitu nikmat rasanya. Hingga perut ku keroncongan. Ujar Anom
“Sepertinya dari rumah miskin itu yah.” Iza menunjuk rumah Raka yang terlihat dari bawah.
“Benar sepertinya dari sana aroma ini sangat asing. Apa yang dilakukan anak tidak berguna itu.” Mawar kesal karena aroma itu menyakiti hidungnya
Brengsek bagaimana bisa dia mendapatkan makanan enak seperti ini sedangkan dia tidak bekerja dan sudah aku ambil upahnya dari mandor.
Sudah-sudah kalian istirahat besok kita akan berjualan kepasar mudah-mudahan hari baik kita akan seperti hari-hari biasanya.
****
Bahhhh enak sekali kanda masakannya ini. Ilmu hitam apa yang kanda terapkkan ini hihihi mereke cekikikan
Raka mengetuk kepala Aini dengan pelan. “Dasar kalian ini, ini ilmu mahal dan sangat mahal jika ada yang bisa mengalahkan ku aku bayar dia.” Hihihi bercanda kanda iya ini pasti keahlian kanda.
Besok di pasar Aini bertugas membuat promosi..apa itu promosi kanda Aini memotong..emmm menawarkan kepada orang yang lewat. “Oh ok kanda siap.”
Aina kamu manajemen uang..hah manajemen uang..iya kamu kumpulin uangnya.” Siap Kanda.
Raka langsung menyantap lagi dan di sisi lain wajah Andini murung..lalu aku bagaimana Kanda masa Kakak ku berdua dapat tugas sedangkan aku tidak.
“Aihhh gadisku ini..kamu akan menemani kanda memanggang ikan.”
Ya di zaman kuno ini mereka memang belum mengerti Bahasa-bahasa asing yang membuat tiga gadis bersaudari terkadang bingung dan terkagum-kagum kepada suaminya. Karena suaminya menjadi kuat dan pandai dalam segala hal.
Kota Giri Amerta. Kabut tipis masih menggantung di antara pepohonan ketika Raka berdiri di tepi pelabuhan yang sedang dibangun. Di hadapannya, ratusan pekerja sudah mulai mengangkat balok kayu, menyusun batu, dan menarik tali tambang untuk mengangkat barang. Namun dari semua itu, satu hal yang kini menjadi beban pikirannya: campuran pengikat bangunan.“Telur sudah menipis, Tuan Raka,” ujar Gana, salah satu pengawas bangunan, sambil menyerahkan catatan persediaan.Raka menerima kertas itu, menelusuri angka-angka yang tercatat dengan kening mengerut. “Kita butuh seribu lebih untuk minggu depan saja,” gumamnya. “Padahal ayam-ayam peternakan baru bisa bertelur dua hari sekali.”“Warga juga mulai mengeluh. Telur-telur habis diborong untuk bahan bangunan. Dapur rumah tangga jadi kosong.”Raka memejamkan mata sejenak, menarik napas dalam. “Kalau begini terus, kita bisa menyelesaikan satu pelabuhan… tapi membuat rakyat kelaparan.”Ia menoleh ke arah Gana. “Kumpulkan para pengrajin, ilmuwan, d
Angin laut dari Teluk Penyu berhembus lembut di pagi hari. Cahaya matahari menyelinap di antara tiang-tiang layar yang berdiri gagah di pelabuhan. Dermaga batu telah rampung seluruhnya, dan hari itu menjadi hari yang istimewa bagi rakyat Kali Bening.Lima kapal besar bersandar bersamaan di pelabuhan yang megah itu. Bendera dagang dari negeri jauh berkibar berdampingan dengan bendera merah-putih milik Desa Kali Bening dan Desa Anggur. Para buruh sibuk menurunkan karung-karung rempah, tong minyak ikan, dan peti kayu berisi barang logam dari negeri selatan.Di atas menara suar, Kapten Wira memandang ke arah laut dengan bangga.“Kalau dulu kita hanya bisa lihat perahu kecil hilir-mudik,” katanya sambil tersenyum pada anak buahnya, “kini kita jadi tempat bersandarnya kapal-kapal dari empat penjuru angin.”Sementara itu di Balai Utama Desa, suasana sangat berbeda—hangat dan penuh kegembiraan. Rakyat dari berbagai dusun berkumpul. Anak-anak berlari di halaman, para ibu tersenyum dan membawa
Syahbandar Goro, pemimpin pelabuhan Teluk Penyu, tiba di istana dengan pakaian basah embun dan langkah cepat.Ia dibawa langsung ke hadapan Raka, yang pagi itu tengah berdiri di beranda atas istana, memandang ke arah selatan sambil menggenggam peta tua peninggalan ayahandanya.“Hamba laporkan, Duli,” Goro menunduk hormat, napasnya terengah. “Pelabuhan Teluk Penyu kini berdiri dengan dua dermaga batu baru, menara suar telah menyala setiap malam, dan... arus kapal dagang semakin padat.”Raka menoleh pelan, lalu menatap mata Goro dengan tajam.“Berapa kapal bersandar kemarin?”“Empat belas, Tuan. Tujuh dari tanah seberang, tiga dari wilayah barat, sisanya dari desa-desa dalam negeri.”Raka terdiam. Jemarinya mengetuk peta di tangannya, tepat di titik kecil bertuliskan Kali Bening.“Bagus kita akan segera mewujudkan sebuah kota baru di, kali bening.”Sementara itu di Balairung Kadipaten Kemusuk, para adipati berkumpul dalam suasana tak nyaman. Peta dan surat kabar dagang berserakan di ata
Desa Anggur telah resmi bergabung dengan Kali Bening.Kabar itu meledak seperti petir siang bolong di ruang pertemuan istana Surya Manggala. Para pejabat saling pandang. Sebagian mengernyit, sebagian lain mengepalkan tangan.Raja Mahesa Warman duduk diam, wajahnya tegang namun tak menunjukkan emosi. Di sekelilingnya, suara sumbang mulai bermunculan.“Raka terlalu jauh melangkah, Baginda,” ujar Adipati Wira, pejabat tua dari Kadipaten Kemusuk. “Kini ia menguasai pantai utara dan selatan. Jika tak segera dibatasi, ia bisa... berdiri di atas kepala kita semua.”Raja menggeleng pelan.“Ia bekerja, sementara kalian sibuk membatasi. Kali Bening dan Anggur hanya menambal celah yang kalian tinggalkan.”Patih Maheswara menimpali, hati-hati, “Namun api iri mulai menyala, Duli. Jika desa lain ikut-ikutan, maka istana bisa kehilangan kendali.”“Tidak mengapa mahapatih, jika semua desa berlaku demikian maka, kemajuan kerajaan surya manggala semakin terkenal di mata para saudagar dan Kerajaan tetan
Teluk Penyu dipenuhi suara peluit dan teriakan mandor. Suasana jalanan yang sudah keras dilapisi dengan semen batu kapur membuat suasana semakin asri di tambah dupa kayu malam yang menyegarkan.Di atas gerobak, batu bata merah, kayu jati, dan genting merah tersusun rapi. Aroma tanah basah dan getah kayu berpadu dengan garam laut dan peluh para pekerja. Namun semua itu hilang karena harum dari dupa kayu malam yang selalu menyala di seluruh wilayah desa kali bening dan desa anggur.Di kejauhan, menara suar pertama telah berdiri kokoh di atas tebing karang. Api di puncaknya belum dinyalakan, namun bentuknya saja sudah cukup menjadi penanda Kali Bening kini bukan lagi desa biasa.Di bawah menara, Raka berdiri bersama Kepala Tukang Andra dan Kepala penjaga Vano.“Benteng akan kita bangun memanjang ke arah timur, mengikuti garis pantai,” ujar Raka sambil menunjuk pada denah di atas papan kayu besar.Andra mengangguk mantap. “Genteng merah sudah datang dua gerobak pagi tadi, dan logam untuk
Di kejauhan, burung camar berputar-putar di langit, seolah menyambut para pelaut dan pedagang yang mulai berdatangan.Kini, Pelabuhan Teluk Penyu berdiri megah—dermaga dari batu pualam dan kayu jati yang ditambat kuat dengan rantai besi. Bendera Kali Bening berkibar di atas menara mercu suar. Panji dengan lambang singa kini bukan hanya simbol desa, tapi tanda pengaruh yang menjalar di jalur laut selatan.Di bibir pelabuhan, Raka berdiri bersama Nakhoda Rosi dan Kapten Darma, memandangi satu per satu kapal dagang yang mulai bersandar. Suara roda peti kemas berderak di antara para kuli yang sibuk bongkar muat.“Tiga kapal dari Luar Aruna, dua dari Pelabuhan Rembang, dan satu dari kerajaan Lamusi,” lapor Darma dengan tenang, tangannya memegang daftar manifest.Raka mengangguk pelan, suaranya lirih namun penuh kepastian.“Blokade dari Kadipaten Kemusuk hanya mempercepat keputusan yang sebenarnya sudah harus kita ambil sejak lama.”Nakhoda Rosi menimpali dengan senyum puas.“Dulu mereka pi
Mentari pagi menyinari Desa Kali Bening yang kini nyaris tak dikenali lagi dari bentuknya yang dulu. Di kejauhan, tembok pertahanan berlapis tiga berdiri angkuh, melingkupi seluruh desa seperti perisai raksasa. Setiap lapisan dibangun dengan batu andesit yang diperkuat bata merah, serta dijaga oleh pasukan bersenjata lengkap.Di puncak-puncak menara penjaga, laras tiga meriam sedang mengintai cakrawala, seperti mata naga yang tak pernah tidur.“Kanda Raka... sejujurnya, kau tak lagi membangun sebuah desa,” ujar Aina sambil menyapu pandangan dari menara utama ke arah horizon. “Yang kau dirikan ini… benteng.”Raka menatap peta di hadapannya, lalu tersenyum tipis. Suaranya tenang namun penuh makna.“Jika damai ingin dipertahankan, maka tembok perdamaian harus lebih kokoh dari niat siapa pun untuk menyerang. Yang kubangun ini, bukan benteng untuk menyerang... tapi pelindung bagi ribuan jiwa.”“Dan jangan kuatir, semua ini akan baik-baik saja aku membangun ini untuk melindungi Kerajaan dar
Di puncak menara pengawas barat, para penjaga berdiri gagah dengan seragam kelabu, menatap cakrawala dengan sorot mata tajam. Hari ini, bukan hanya mata yang berjaga—tetapi juga laras besi panjang dengan moncong menghadap perbatasan.Meriam.Untuk pertama kalinya, sejak berdirinya Kali Bening, Raka memerintahkan pemasangan meriam di tiap menara penjagaan.“Apakah kau sungguh yakin, Kanda?” tanya Andini, yang tengah mengandung tua, sambil memandang ke arah menara dari serambi rumah. “Meriam itu bukan mainan. Itu bukan lagi isyarat damai…”Raka menarik napas panjang, berdiri tegak dengan kedua tangan di belakang punggungnya.“Yang tidak ingin perang, harus siap untuk perang. Aku tak ingin rakyat Kali Bening jadi korban dari ambisi gila orang seperti Anom. Kita tak menyerang, tapi kita tak akan tinggal diam jika diinjak.”“Bukannya des akita tidak memiliki musuh dan pesaing kanda.” Timpal Aini“Iya tidak memiliki musuh namun banyak bandit berkedok pejabat yang ingin mengambil kekayaan ya
Parit itu kini tak lagi sekadar batas. Lebarnya sepuluh langkah orang dewasa, dalamnya melebihi tinggi dada. Parit yang dulu dibangun dengan penuh kecurigaan oleh Kades Anom, kini berubah jadi batas nyata antara dua cara hidup.Dari kejauhan, Desa Kali Bening terlihat seperti pulau mandiri, dikelilingi kemajuan, ketertiban, dan kesejahteraan. Anak-anak tertawa di taman desa, para pekerja sibuk di penggilingan padi dan gandum, pabrik-pabrik mengepul dengan riang dan para ibu menjemur hasil kerajinan dari industri kecil mereka.Sementara itu, di sisi lain parit, Desa Petir terlihat kaku dan kering. Mereka akhirnya membangun jembatan kayu sederhana sebagai satu-satunya jalan penghubung ke Kali Bening.“Aneh, mereka yang membuat parit... kini mereka pula yang bangun jembatan,” gumam Vano sambil berdiri di menara pengawas benteng pembatas desa, memandang jembatan itu dari kejauhan.Raka yang berdiri di sampingnya hanya tersenyum tipis.“Yang membatasi, akan terbatasi. Yang menutup, akan te