"Mas, itu kenapa pada ramai-ramai di depan rumah?" bisikku pada Mas Agung yang memperlambat jalan motornya. Entah berapa orang yang bersorak di depan rumahku. Sekilas Bianca melihat pintu terbuka lebar, tapi dirinya tak melihat Emak di antara kerumunan itu.
"Nggak tahu, Sayang.""Pinggirin dulu motornya, Mas."Setelah Agung memarkir motor sembarang tempat, mereka berjalan mendekat ke kerumunan warga. Belum sempat Bianca bertanya ada persoalan apa sampai ramai begini di depan rumahnya, seorang lelaki bertubuh kekar lagi tinggi langsung mengerang."Hei ... Bianca, enyaplah kamu dari kampung ini. Kami tidak sudi punya warga perebut suami orang tinggal di sini!" cecarnya."Jaga dikit omongan, Anda. Bianca tidak merebut saya dari siapapun. Kalian, kalau tidak tahu akar permasalahannya jangan asal nyablak aja," sahut Agung tak terima. Rahangnya mengeras menahan emosi ketika Bianca dijuluki perebut suami orang.Bianca malah ketakutan. Bagaimana kalau warga menyeret kami berdua keliling kampung, lalu diviralkan, dan semua rekan kerja Bianca tahu."Halah ... Agung ... Agung ... ini bukannya permainan lama kau. Seluruh orang di desa ini sudah tahu siapa kau, Gung.""Jangan kasih ampun, seret mereka ...""Usir!""Memalukan ...""Pelako® ..."Mereka menyerang secara bergantian, Agung sudah mulai pasang badan berdiri di hadapan Bianca dengan membentangkan kedua tangannya."Kalian jangan anarkis, saya bisa laporkan kalau cara kalian seperti ini," teriak Agung."Mas, aku takut. Bagaimana ini, Mas?" ucap Bianca gugup sembari memegang erat baju kaos oblong yang dikenakan Mas Agung."Tenang, Sayang. Mas akan lindungi kamu," balasnya."Hei ... sepasang makhluk tidak tahu diri!" bentak lelaki tadi."Anda yang sopan dikit kalau ngomong!" sahut Agung tak terima."Huuuuuuu ...." Semua orang semakin bersorak. Sekilas Bianca pandangi sorot matanya mereka. Begitu nanar, amarah tertahan sepertinya. Apa yang musti mereka marah kan? Pernikahan ini terjadi atas dasar suka sama suka."Aku bukan perebut suami orang. Justru aku bertemu dengan Mas Agung dikondisi yang tepat saat itu. Di saat perkawinan dia dengan istri pertama di ambang perpisahan," ucap Bianca membatin."Sopan? Sama orang kalian musti sopan?" sahut perempuan dari belakang sana, Bianca tidak tahu siapa itu."Sudahlah, nggak usah basa-basi kitanya sama orang kayak mereka!" usul seseorang, bersuara lantang, lelaki, tapi tetap saja Bianca tidak mengenalinya."Seret ... seret ... seret ...""Bapak-bapak, ibu-ibu, saya mohon, jangan seret anak saya, saya mohon, Pak, Bu."Seketika Bianca melihat Emak keluar dari kerumunan warga lalu membentang tangannya, sehingga warga yang tadi ingin menyerbuku terhentikan langkahnya,"Semuanya, Saya mohon, jangan usir Bianca. Tolong, biarkan semalam ini dia di rumah. Saya mohon, saya pastikan besok Bianca tidak ada lagi di kampung ini, Pak, Bu," ujar Emak, lalu wanita yang melahirkan Bianca itu lalu bersujud di depan orang banyak. Bianca pandangi mereka satu per satu, raut sangar berubah iba."Mak Itun berdirilah, Mak. Harusnya Mak tidak perlu membela anak seperti Bianca," seorang ibu paruh baya, diterka umurnya tak jauh dari Agung meraih Emak, dia menuntun Emak agar bangun dari sujud."Saya tidak akan bangun, sampai kalian semua memenuhi permintaan saya." Terdengar samar apa yang diucapkan emak, karena posisi emak masih bersujud. Bianca menoleh ke belakang, rupanya Agung lebih memilih diam seribu bahasa."Mak, bangun! Jangan bikin malu aku!" bentak Bianca tak terima. Bianca yang tadinya berlindung di belakang Agung berjalan beberapa langkah.Apa-apaan sikap Emak ini. Bianca merasa dirinya tidak sepenuhnya salah. Warga aja yang lebay, emaknya juga, bikin harga Bianca semakin tak berharga di mata mereka."Lihat, Mak. Lihat anak yang kamu bela, dia saja tetap tidak mengakui sikapnya yang tidak bermoral itu," sahut seorang warga. Bianca tidak tahu, karena memang tidak kenal."Tapi saya mohon, Pak. Demi saya, tolong kabulkan permintaan saya tadi," tutur Emak Bianca."Sudahlah, Pak. Kasian Mak Itun. Besok kami akan datang ke sini lagi, kalau kami masih melihat mereka, kami tidak akan toleril lagi, Mak.""Hei, Bu. Anda pikir saya akan bertahan di sini, di kampung ini, nggak sama sekali. Silakan kalian cek besok sendiri, nggak akan kalian temukan aku di kampung ini lagi," serang Bianca tak tahan, mereka semakin membuat amarah Bianca membuncah. Padahal di luar sana banyak kok yang kisahnya sepertinya, tapi aman-aman saja."Kita bubar saja, tidak perlu meladani perempuan yang tidak punya hati seperti ini. Mak Itun bangunlah!" ujar seorang ibu. Tak lama kemudian, halaman rumah Bianca yang tadinya penuh sesak, sekarang bak kuburan, sepi seketika.Sekalipun mereka bersorak yang tidak-tidak pada Bianca, tapi dia tidak peduli masa bodoh dengan penilaian mereka tentang dirinya, karena pada dasarnya mereka tidak tahu cerita sebenarnya. Bianca pun juga enggan menjelaskan pada mereka, tidaklah penting!."Mak, masuk! Aku mau ngomong!" bentak Bianca.Telepon Maisaroh yang tergelatak di atas meja tamu berdering. Wanita berusia 50 tahun ini pun mengangkat panggilan itu, menghentikan aktivitasnya yang sedang memeriksa hasil ujian siswa. Tak perlu terkejut, Maisaroh memang lebih tua 5 tahun dari suaminya, Agung. "Halo, Tri. Assalamu'alaikum, ada apa nelpon?" tanya Maisaroh lalu duduk di kursi tamu yang sofanya sudah banyak robek."Wa'alaikumsalam. Uni, lagi apa? Sutri ada informasi baru soal Bang Agung.""Lagi periksa ujian siswa, kenapa, Tri?" tanya Maisaroh heran. "Informasi apa lagi?""Iya, Uni. Tau tidak, rupanya Umi sama Abah belum kasih restu ke Bang Agung sama istri barunya itu. Dan, parahnya lagi, tadi sore rumah madu Uni itu di datangi para warga. Mereka mau usir dan nyeret keliling kampung, tapi urung soalnya mak-nya tu perempuan memohon dan sujud depan para warga, minta anaknya jangan digituin.""Terus?" tanya Maisaroh dengan rasa penasaran maksimal."Ya itu, terbebaslah mereka, Uni. Katanya besok bakalan pergi ke Batam. B
"Mak, masuk!" hardik Bianca dengan mata yang begitu tajam.Emosinya benar-benar tidak bisa ditahan lagi. Apalagi melihat Emak bersujud seperti itu. Bukankah itu artinya dia yang merendahkan anaknya secara tidak langsung di depan warga. Bianca tidak terima."Dan, kamu, Mas, pindahin motornya ke teras rumah!" Mas Agung manut saja, dia lebih memilih menyalakan kriket lalu membakar rokoknya ketimbang menentang ucapan Bianca.Sungguh terlihat bukan, Mas Agung sangat mencintai Bianca, sikap dia yang tidak terlalu banyak tingkah di depan Bianca, membuat Bianca tidak percaya dengan apa yang orang katakan tentang dirinya. Emak tampak berjalan gontai memasuki rumah. Memang akhir-akhir ini jalannya agak berbeda, katanya kaki sebelah kiri sakit. Tapi Bianca tidak peduli, namanya juga sudah sepuh."Duduk, Mak!" titah Bianca dengan suara lantang, ketika melihat Emak sudah berada di ambang pintu. Tadi, Bianca memang duluan masuk rumah. Emak pun sama tidak menjawab tapi mengikuti perintah anaknya. T
"Mas, kamu di mana? Udah jam segini masih belum pulang juga?" Tampak Bianca mulai emosi saat menelpon Agung karena belum juga pulang apalagi sudah menunjukkan pukul 23.00 malam. Perempuan berbadan idealis itu bak setrikaan mondar-mandir di kamar."Masih di pengkolan, Sayang." Terdengar santai Agung menjawab."Pengkolan? Mana ada jam segini di pengkolan, Mas? Jangan ngada-ngada kamu! Besok kita berangkat pagi ke Padangnya."Jarak desa kampung halaman Bianca menuju Padang atau lebih tepatnya bandara harus menempuh perjalanan kurang lebih 4 jam perjalanan, itupun kalau tidak macet. Jadi wajar saja perempuan berambut lurus sepunggung ini emosi dengan suaminya. Takut telat bangun parahnya takut nanti bakalan ketinggalan pesawat."Iya, Sayang. Mas pulang bentar lagi, ini mau nolongin teman yang abis kecelakaan dulu bentar.""Alasan apalagi sih, Mas. Siapa lagi yang kecelakaan?" tanya Bianca dengan nada mulai meninggi."Si Tarno, tadi ke senggol anak muda yang ngebut di jalanan. Nih kakinya
-Menikah dengan jalan baik-baik saja Allah sudah mendatangkan ujian. Apalagi menikahi dengan cara yang tidak baik, sudah pasti Allah memberi mudharat!- DNM***Semua rencana Bianca hari ini berantakan. Mak Itun yang tadinya di dalam kamar, akhirnya keluar menemui sang anak yang masih terduduk lesu di ruang tamu. "Bianca ... minta maaflah sama Allah, supaya jalanmu diridhoi. Ini teguran dari Allah, Nak." Mak Itun pun mengambil posisi duduk di seberang Bianca, ingin rasanya dia mengelus punggung sang anak, tapi rasa takutnya lebih besar. Dia juga tidak ingin membuay Bianca semakin emosi, nanti malah mengundang warga sekitar rumah."Mak! Ini semua salah, Mak. Mak 'kan yang nggak ridho aku nikah sama Mas Agung, makanya sial mulu akunya. Coba Mak ridho, hidup aku pasti nggak seribet ini.""Bagaimana Mak ridho, Nak. Kamu mengambil punya orang lain. Dan, terlebih Agung bukan --,""Bukan apa, Mak? Mak tahu apa tentang saya?" bentak Agung yang tiba-tiba keluar dari dapur, lelaki berambut ikal
Karena takut terlambat Bianca mengambil uang yang ada di dalam tasnya, laku menaruh uang pecahan lima puluh ribu di atas meja kecil yang ada di dalam kamar."Aku pamit, Mas," ucap Bianca pelan, dia langsung keluar dari kamar tanpa menyalami suaminya. Agung pun tidak mempermasalahkan hal itu, dia lebih memilih tidur lagi melanjutkan kantuk yang belum tuntas.***Ponsel Maisaroh bergetar di dalam tas lusuhnya, saat dia baru saja pulang sekolah."Halo, assalamu'alaikum," sahut Maisaroh saat menerima panggilan dari nomor yang tidak ada dalam daftar kontaknya. Bukan nomor handphone melainkan nomor kantor."Betul ini dengan ibu Maisaroh?""Iya, benar. Ada apa, ya, Pak?""Ini, Bu. Kami ingin menagih pembayaran pinjaman yang dilakukan sama Pak Agung.""Pembayaran pinjaman? Maksudnya, Pak?""Ibu istrinya Pak Agung 'kan?" tanya sang collector."Iya, saya istrinya. Tapi saya tidak tahu-menahu soal pembayaran pinjaman yang Bapak maksud.""Begini, Bu. Sekitar seminggu lalu, Bapak Agung menggadaika
"Udah, ya, Fe. Aku lagi buru-buru, sorry!"Bianca meninggalkan Fera yang berdiri mematung, berjalan cepat keluar dari area pabrik, lalu menunggu angkot untuk pulang. Andai saja dia bisa mengendarai motor pastilah dengan motor dirinya pergi kerjanya.Setelah menempuh perjalanan pulang selama tiga puluh menit akhirnya Bianca sampai di kontrakan. Dia mengontrak di rumah petak yang terdiri dari beberapa unit di jejer berbentuk huruf U.Saat memasuki pekarangan rumah, Bianca melihat Mas Agung berada di teras rumah Anggia, gadis yang nge-kost persis di depan rumahnya."Mas!" panggil Bianca tak suka."Ngapain juga dia malam-malam begini nongkrong di rumah si Anggia," umpat Bianca membatin.Mas Agung tampak salah tingkah, lalu bangkit dari duduknya, mematikan rokok dan berjalan mendekati Bianca"Eh, kamu udah, pulang, kok nggak ngabarin, Mas?" tanyanya lalu merangkul tubuh Bianca, tapi Bianca mengelak."Kenapa? Biar aku nggak mergoki kamu main ke rumah tuh perempuan. Kamu nggak bisa liat yang
"Dari dia datang dulu untuk melamar kamu saja Uda sudah feeling gimana nasib rumah tangga kamu. Tapi kamu tetap kekeuh sama dia.ihat sekarang, kamu guru, tapi gaji yang kamu terima lebih buruk dari orang yang kerjanya serabutan."Maisaroh tetap diam seribu bahasa, dia kehabisan kata-kata untuk membela diri, karena memang benar apa yang dikatakan Uda Lukman tentang Agung.'Pernikahan itu kerjasama, biarlah biasa saja tapi jika sama-sama mau bertanggung jawab atas rumah tangga yang dibina, in syaa Allah, Allah akan memperkuat semuanya terlepas dari title yang ada.'***"Jangan dekat-dekat. Kamu jangan mencoba untuk merayu ku kali ini, Mas!"Bianca beranjak dari duduknya, memilih berdiri tak jauh dari dipan. Agung masih tertegun. Tampak berpikir keras untuk mencari jawaban."Kenapa diam? Jawab jujur, Mas?" teriak Bianca kehilangan kendali."Itu Rossa, mantan istriku, dan Faisal itu, anakku dengannya," jelas Agung dengan suara pelan.Plak!"Keterlaluan kamu, Mas!"Bianca berjalan cepat la
"Ya, aku kasian sama itu perempuan Mai, dia seorang janda ditinggal meninggal sama suaminya, ada anak pula.""Tidak, Mas. Pokoknya aku tidak setuju!"Siapa wanita yang mau di madu, meskipun membiarkan suami untuk berpoligami jaminan surga untuk sudah dijanjikan Allah. Tapi, jikalau laki-lakinya seorang Agung, tidak mungkin alasannya hanya sebatas kasihan.Meskipun Maisaroh tidak memberi restu, Agung tetap kekeuh menikahi Rossa hingga ada buah cinta dalam pernikahan siri antara Agung dan Rossa, anak laki-laki bernama Faisal. Namun, pernikahan siri itu tidak berlangsung lama hanya bertahan satu tahun saja. Maisaroh tetap mau menerima Agung, memaafkan laki-laki yang sudah memadunya. Tapi sikap setiap Agung pada Maisaroh tidaklah bertahan lama, cuma bisa setia selama satu saja.Dan, kini, nyatanya, Agung bertingkah lagi dengan hal yang sama. Mengkhianati Maisaroh untuk kesekian kalinya, mungkin tidak terhitung berapa kalinya Agung berkhianat. Tapi sebanyak itu Agung berkhianat sebanyak it