Share

Diusir Warga

"Mas, itu kenapa pada ramai-ramai di depan rumah?" bisikku pada Mas Agung yang memperlambat jalan motornya. Entah berapa orang yang bersorak di depan rumahku. Sekilas Bianca melihat pintu terbuka lebar, tapi dirinya tak melihat Emak di antara kerumunan itu.

"Nggak tahu, Sayang."

"Pinggirin dulu motornya, Mas."

Setelah Agung memarkir motor sembarang tempat, mereka berjalan mendekat ke kerumunan warga. Belum sempat Bianca bertanya ada persoalan apa sampai ramai begini di depan rumahnya, seorang lelaki bertubuh kekar lagi tinggi langsung mengerang.

"Hei ... Bianca, enyaplah kamu dari kampung ini. Kami tidak sudi punya warga perebut suami orang tinggal di sini!" cecarnya.

"Jaga dikit omongan, Anda. Bianca tidak merebut saya dari siapapun. Kalian, kalau tidak tahu akar permasalahannya jangan asal nyablak aja," sahut Agung tak terima. Rahangnya mengeras menahan emosi ketika Bianca dijuluki perebut suami orang.

Bianca malah ketakutan. Bagaimana kalau warga menyeret kami berdua keliling kampung, lalu diviralkan, dan semua rekan kerja Bianca tahu.

"Halah ... Agung ... Agung ... ini bukannya permainan lama kau. Seluruh orang di desa ini sudah tahu siapa kau, Gung."

"Jangan kasih ampun, seret mereka ..."

"Usir!"

"Memalukan ..."

"Pelako® ..."

Mereka menyerang secara bergantian, Agung sudah mulai pasang badan berdiri di hadapan Bianca dengan membentangkan kedua tangannya.

"Kalian jangan anarkis, saya bisa laporkan kalau cara kalian seperti ini," teriak Agung.

"Mas, aku takut. Bagaimana ini, Mas?" ucap Bianca gugup sembari memegang erat baju kaos oblong yang dikenakan Mas Agung.

"Tenang, Sayang. Mas akan lindungi kamu," balasnya.

"Hei ... sepasang makhluk tidak tahu diri!" bentak lelaki tadi.

"Anda yang sopan dikit kalau ngomong!" sahut Agung tak terima.

"Huuuuuuu ...." Semua orang semakin bersorak. Sekilas Bianca pandangi sorot matanya mereka. Begitu nanar, amarah tertahan sepertinya. Apa yang musti mereka marah kan? Pernikahan ini terjadi atas dasar suka sama suka.

"Aku bukan perebut suami orang. Justru aku bertemu dengan Mas Agung dikondisi yang tepat saat itu. Di saat perkawinan dia dengan istri pertama di ambang perpisahan," ucap Bianca membatin.

"Sopan? Sama orang kalian musti sopan?" sahut perempuan dari belakang sana, Bianca tidak tahu siapa itu.

"Sudahlah, nggak usah basa-basi kitanya sama orang kayak mereka!" usul seseorang, bersuara lantang, lelaki, tapi tetap saja Bianca tidak mengenalinya.

"Seret ... seret ... seret ..."

"Bapak-bapak, ibu-ibu, saya mohon, jangan seret anak saya, saya mohon, Pak, Bu."

Seketika Bianca melihat Emak keluar dari kerumunan warga lalu membentang tangannya, sehingga warga yang tadi ingin menyerbuku terhentikan langkahnya,

"Semuanya, Saya mohon, jangan usir Bianca. Tolong, biarkan semalam ini dia di rumah. Saya mohon, saya pastikan besok Bianca tidak ada lagi di kampung ini, Pak, Bu," ujar Emak, lalu wanita yang melahirkan Bianca itu lalu bersujud di depan orang banyak. Bianca pandangi mereka satu per satu, raut sangar berubah iba.

"Mak Itun berdirilah, Mak. Harusnya Mak tidak perlu membela anak seperti Bianca," seorang ibu paruh baya, diterka umurnya tak jauh dari Agung meraih Emak, dia menuntun Emak agar bangun dari sujud.

"Saya tidak akan bangun, sampai kalian semua memenuhi permintaan saya." Terdengar samar apa yang diucapkan emak, karena posisi emak masih bersujud. Bianca menoleh ke belakang, rupanya Agung lebih memilih diam seribu bahasa.

"Mak, bangun! Jangan bikin malu aku!" bentak Bianca tak terima. Bianca yang tadinya berlindung di belakang Agung berjalan beberapa langkah.

Apa-apaan sikap Emak ini. Bianca merasa dirinya tidak sepenuhnya salah. Warga aja yang lebay, emaknya juga, bikin harga Bianca semakin tak berharga di mata mereka.

"Lihat, Mak. Lihat anak yang kamu bela, dia saja tetap tidak mengakui sikapnya yang tidak bermoral itu," sahut seorang warga. Bianca tidak tahu, karena memang tidak kenal.

"Tapi saya mohon, Pak. Demi saya, tolong kabulkan permintaan saya tadi," tutur Emak Bianca.

"Sudahlah, Pak. Kasian Mak Itun. Besok kami akan datang ke sini lagi, kalau kami masih melihat mereka, kami tidak akan toleril lagi, Mak."

"Hei, Bu. Anda pikir saya akan bertahan di sini, di kampung ini, nggak sama sekali. Silakan kalian cek besok sendiri, nggak akan kalian temukan aku di kampung ini lagi," serang Bianca tak tahan, mereka semakin membuat amarah Bianca membuncah. Padahal di luar sana banyak kok yang kisahnya sepertinya, tapi aman-aman saja.

"Kita bubar saja, tidak perlu meladani perempuan yang tidak punya hati seperti ini. Mak Itun bangunlah!" ujar seorang ibu. Tak lama kemudian, halaman rumah Bianca yang tadinya penuh sesak, sekarang bak kuburan, sepi seketika.

Sekalipun mereka bersorak yang tidak-tidak pada Bianca, tapi dia tidak peduli masa bodoh dengan penilaian mereka tentang dirinya, karena pada dasarnya mereka tidak tahu cerita sebenarnya. Bianca pun juga enggan menjelaskan pada mereka, tidaklah penting!.

"Mak, masuk! Aku mau ngomong!" bentak Bianca.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status