"Perempuan itu namanya Sabrina dan Rafka adalah anaknya, hasil perbuatan zina kami di masa lalu." Mas Lutfi menunduk lalu menatapku.Jelas saja aku terkejut, Mas Lutfi punya anak di luar nikah? tak kusangka pria yang dikira sempurna ternyata punya aib juga.Aku menganga sambil menatapnya kecewa."Semua manusia punya aib dan dosa, Yang, dan itu dosa terbesar yang sudah Mas lakukan di masa muda," ujarnya penuh penyesalan.benar juga apa katanya, lalu bagaimana dengan anak itu? kenapa Mas Lutfi dulu tak menikahinya? apa dia kabur dan tak ingin tanggung jawab?"Terus Mas kenapa ga nikahi dia? Rafka itu 'kan anakmu!" tegasku sambil cemberut."Mas lari dari tanggung jawab ya!" Aku kelepasan tak sengaja membentaknya.Jujur aku kecewa sekali, ternyata anak yang kukandung ini bukanlah anak satu-satunya bagi Mas Lutfi."Orang tua Sabrina ga setuju, Yang, karena dulu Mas miskin, cuma penggembala sapi, keseharian Mas cuma ngurus sapi."Aku menengadah agar tak marah sudah janji soalnya, dia jujur
"Terus Bapak sama Ibu tahu soal ini? dan kenapa mereka juga bungkam soal ini kalau tahu?" tanyaku lagi."Emm kalau soal itu ...." Mas Lutfi terdiam lagi "Kenapa? apa semua keluargamu juga bohongin aku?" tanyaku sambil menelisik wajahnya.Mas Lutfi menghirup napas pelan dan mengembuskan perlahan."Mereka ga tahu, Ris. Ayahnya Sabrina yang nyuruh Mas ga ngasih tahu siapa pun soal kehamilannya itu, ia ga mau putrinya dipandang rendah oleh masyarakat.""Ayahnya Sabrina sempet ngancem kalau sampai ada orang yang tahu soal kehamilan anaknya, walaupun itu orang tuaku sendiri, maka dia ga akan segan-segan nyakitin ibu dan bapak.""Waktu itu Mas nurut aja karena memang bapak lagi sakit, takut kondisinya makin parah kalau dikasih tahu.""Lalu entah gimana ceritanya, tiba-tiba Sabrina dilamar lelaki pilihan ayahnya itu dan mereka nikah ga lama kemudian lahirlah Rafka.""Mungkin semua orang menyangka kalau Rafka adalah anak suami Sabrina, padahal sebenarnya bukan."Mas Lutfi menunduk dan terdiam
"Iya, aku takut Mas masih mencintai perempuan itu, kalau sekarang dia jadi janda gimana? apa Mas masih tetep mau sama dia?" tanyaku sambil menatapnya.Mas Lutfi malah terbahak, padahal tak ada yang lucu."Ya enggalah, ogah amat harus balikan sama dia, dulu kemana aja pas Mas mohon-mohon, mentang-mentang Mas miskin ga punya kerjaan dia maen terima aja lamaran orang lain, padahal 'kan di perutnya ada anakku." Mas Lutfi bergidik.Kutelisik, memang wajahnya itu tak menampakkan raut kebohongan, malah terlihat seperti jijik saat menyebut nama Sabrina."Ya iya jangan, awas aja kalau Mas tergoda lagi sama dia, aku akan bawa pergi anak ini dan Mas ga akan pernah lagi ketemu sama dia." Aku mengancam."Jangan dong, iya Mas ga akan tergoda sama dia, ngapain tergoda sama istri orang, istri sendiri saja sudah cantik seperti bidadari." Mas Lutfi mencolek daguku.Aku pura-pura mual, hanya dia yang memujiku seperti itu, baiklah mulai besok aku akan pakai skincare dan perawatan di salon, demi dirinya a
(POV Lutfi)Flashback enam tahun yang lalu."Fi, aku hamil," bisik Sabrina waktu kami janjian di warung kopi, untung saja di sini tak ada siapa-siapa, pemiliknya pun sedang di dalam tak mungkin bisa mendengarkan.Jelas saja aku menganga, masa baru satu kali melakukan langsung jadi? fikirku."Gimana ini, Fi? kalau ayahku tahu habislah aku." Sabrina nampak sedih.Awalnya aku dan Sabrina berpacaran secara sehat. Namun, karena ia sering nyamperin ke rumah dengan pakaian agak terbuka, sejak itulah aku tergoda.Ayahku bekerja di sebuah pabrik penggilingan batu, sedangkan ibu sehari-hari ngurus sawah, pulang jam satu siang.Laila kuliah, dan adikku yang tengah sudah menikah. Kalau kata orang Sunda aku itu dirunghal, alias dilangkahi karena adikku Lusi nikah duluan.Karena di rumah tak ada siapa-siapa dan Sabrina sering datang ke rumah, jadilah kami tergoda rayuan setan, hingga melakukan itu sampai kebablasan.Waktu itu aku minta maaf pada Sabrina, tapi ia bilang tak apa-apa, karena kami sama
"Sudah kubilang anak itu akan lahir sebagai anak Juna, bukan anakmu! Kamu mana sanggup membiayai hidupnya!" Untuk kesekian kalinya harga diriku sebagai lelaki seperti diinjak-injak. Biarpun miskin tapi aku bertekad takkan menyusahkan istri dan anak."Kalau Juna tahu aku hamil dia pasti marah, dan Ayah juga akan dibuat malu, sudahlah mending aku nikah sama Lutfi saja." Sabrina merengek lagi."Ya makanya kamu harus main cantik jangan sampai Juna tahu kamu sudah hamil. Ayah ga mau tahu pokoknya kamu harus terima lamaran Juna sebelum dia ngelamar gadis lain!" tegas Ayah Sabrina.Kami sama-sama menangis dan memohon, tapi Ayah Sabrina tak menggubrisnya, ia malah mengancam dan mengusirku dari rumahnya."Lutfi, sekarang kamu pergi dari rumah saya, awas kalau kamu berani membuat berantakan rencana saya, akan kupastikan bapakmu celaka saat bekerja, dan ibumu akan kupastikan kehilangan sawahnya yang tak seberapa itu."Aku merinding mendengar ancaman ayah Sabrina, pasalnya dia adalah pemilik pab
Aku bisa bernapas lega saat ibu dan bapak nampak pulang dengan Mas Lutfi."Haduhh, capeknya." Mertuaku berkeluh kesah."Ibu sama bapak tadi ke mana? nyasar?" tanyaku sambil duduk bersama mereka."Iya bisa dikatakan nyasar, tapi Alhamdulillah cepet ketemu sama Lutfi, kalau engga tulang lutut kita udah patah kali ya, Bu." Kedua orang tua itu tertawa."Aku 'kan udah bilang jangan jauh-jauh," sahut Mas Lutfi."Ya maaf, abis kita keenakan lihat rumah-rumah bagus," ujar bapak sambil meneguk air minum.Keesokan harinya, ibu dan bapak pergi lagi hendak menginap di rumah Laila, kali ini oleh-oleh yang dibawa mereka tak banyak.Usai Mas Lutfi ke pabrik, aku pergi ke rumah salah satu tetangga, dia mengundang kami makan-makan di rumahnya, katanya suaminya baru naik jabatan, selain syukuran sekaligus ajang silaturahmi ibu-ibu komplek sini.Tentu saja Kirana juga ada di sana, dan aku pun berpapasan dengannya."Gimana sekarang keadaannya Mbak Kirana?" tanya Bu Rahma alias yang punya rumah."Sekaran
"Aku emang ga punya bukti, tapi aku punya saksi." Untung otakku pintar, tak mau kalah perdebatan."Woww, gila ya kamu Kirana, ternyata pelakor!" sahut Bu silmi memaki."Aku juga punya saksi kalau aku ini bukan pelakor." Kirana tak mau kalah, licik juga dia ternyata."Ah sudah ya, ibu-ibu kita ke sini 'kan mau silaturahmi juga makan-makan. Sudah ya mending kita berdamai, ya Mbak Kirana? Mbak Risti?" sahut Bu Rahma yang punya rumah.Aku mencebik saja, ngapain berdamai dengan orang begitu, besok-besok pasti bakal nyinyir lagi, percuma."Iya bener, kamu juga Kirana jangan bilang Mbak Risti itu mandul, sebagai perempuan pasti sakit rasanya." Bu Anita memberi nasihat."Orang itu kenyataan kok, dokter yang ngomong bukan aku." Kirana bicara lagi.Lama-lama jengah juga dengan mulut ember Kirana, gegas aku merogoh sesuatu di tas, kebetulan poto hasil USG kemarin masih tersimpan di dalam tas."Aku ga mandul ya ibu-ibu. Nih buktinya." Aku memperlihatkan cetakan hasil USG di depan ibu-ibu.Bu Sis
"Ah jangan becanda, Mas. Dipikir hotel di Singapura itu murah, belum tiket pesawat. Sudahlah kita liburan ke pantai Sawarna saja," usulku.Pantai Sawarna adalah pantai yang terletak di desa Sawarna, kecamatan Bayah, kabupaten Lebak, provinsi Banten.Pantai itu kini sedang naik daun di kalangan wisatawan domestik dan mancanegara, Sawarna memiliki daya tarik karena banyak aneka ragam wisata."Ah Mas udah pernah ke sana, Yang," jawab Mas Lutfi sambil rebahan di sofa.Iya juga sih, karena aku pun pernah ke sana dulu saat awal nikah bersama Mas Hanif."Kalau ke pantai Geopark Ciletuh gimana, Mas?" tanyaku lagi.Bukan tak mau liburan ke luar negri, tapi aku kasian dengan suami, karena sekarang pasti dia lagi butuh uang banyak untung mengembangkan cabang pabrik barunya.Soal ejekan Kirana aku tak masalah, panas sih iya tapi kalau iri tidak, jalan-jalan juga percuma kalau pas pulang duit kita habis karenanya."Apalagi pantai Geopark, Mas juga udah pernah, Yang," jawab Mas Lutfi lagi."Ya suda