Kuceritakan masalah Ririn si pembohong itu pada Mas Lutfi, tapi anehnya pria itu terlihat biasa saja, tak cemas atau pun kesal sepertiku."Ada-ada saja adikmu itu." Mas Lutfi malah bicara begitu, kukira ia akan marah lalu kami pulang kampung untuk menghajarnya."Kok Mas ga marah?" tanyaku dengan pandangan aneh, awas saja kalau dia suka Ririn!"Mau gimana lagi." Mas Lutfi mengembuskan napasnya."Mas suka 'kan sama adik tiriku? makanya ga marah dengan kelakuan liciknya itu," selidikku."Astaghfirullah, engga gitu, Yang." Mas Lutfi melirikku."Lah terus?""Gini, Yang, anggap aja itu sebagai pembersihan dosa kita, lagian cuma dua juta ikhlaskan aja ya, kamu mau ga dosa-dosanya dihapus sama Allah.""Kita sekarang lagi dizalimi sama si Ririn, doa kita bakal terkabul langsung menembus langit, dari pada marah-marah, mending kita berdoa supaya duit kita tambah banyak dan berkah."Mas Lutfi ceramah lagi, suruh sabar katanya. Tapi aku takkan diam saja, akan kuberi pelajaran si Ririn itu.Gegas a
"Jangan, Mak. Aku bilang sudah ga usah diganti, uangku ini masih banyak!" ucapku sedikit tegas.Kalau ga digituin Emak pasti ngeyel mau ganti uang Ririn kemarin."Tapi, Ris ....""Udah, Mak, jangan. Kalau Emak nekat transfer uang yang kukasih ya sudah aku bakal marah sama Emak."Di seberang sana terdengar hening beberapa saat."Kalau gitu, maafin Ririn ya, Nak. Emak sudah tegur dan marahi dia, insya Allah kejadian kaya gini ga akan terjadi lagi."Telpon dimatikan."Apa kata Emak?" tanya Mas Lutfi.Kuceritakan saja semua yang dikatakan emak padanya barusan."Sudah ya mulai sekarang belajar sabar, pasti ada hikmah dibalik musibah ini," ujar Mas Lutfi lalu tak berkata lagi.Satu Minggu setelah kejadian itu, tiba-tiba ada seseorang yang menelpon Mas Lutfi, dia adalah lelaki yang sempat meminjam uang kami satu tahun lalu.Mas Lutfi bicara dengan orang itu, sedangkan aku duduk menyimak di dekatnya."Kabar baik, Yang," ujar Mas Lutfi saat sudah mengakhiri telponnya."Apaan, Mas?" tanyaku pen
"Berapa, Mas?" Aku menatap tak percaya."Dua puluh juta," jawabnya dengan mata membulat.Padahal, seingatku dahulu Mas Lutfi hanya memberikan sepuluh juta kenapa sekarang bertambah?"Emang ga jadi riba, Mas?"Setahuku, kalau meminjamkan uang sepuluh juta dan mengembalikannya sebesar dua puluh juta maka, yang bunganya itu dinamakan riba, dan riba itu haram dalam Islam "Riba apanya sih? Mas 'kan ga pernah minjamkan uang, dan ibu juga ini ngasih buat anak kita, bukan mengembalikan pinjaman," katanya seraya menatap layar ponsel.Aku lega, syukurlah kalau memang akadnya begitu, dulu kami memang memberikan modal sepuluh juta secara cuma-cuma untuk ibu dan bapak, tak niat meminjamkan sama sekali."Mas bilang juga apa, sabar." Mas Lutfi mengelus dada sambil menyeringai.Aku memalingkan wajah menyembunyikan senyum, iya dah kali ini aku yang kalah dia yang menang."Mau pakai apa duit pemberian ini?" tanyaku, ternyata punya uang banyak bingung juga, apalagi tak punya.Mas Lutfi mikir sebentar.
Mulut wanita itu memang minta dilakban, emangnya dia ngasih sepuluh juta saja pamernya minta ampun.Mas Lutfi pun menyerahkan amplop coklat besar berisi uang dua puluh lima juta itu. Kirana mematikan kameranya dan masih setia duduk di tempat."Ini, Pak, sedekah dari saya dan istri. Semoga bermanfaat untuk anak-anak yatim di sini," ujar suamiku.Mas Hanif dan Kirana menganga melihat amplop kami lebih besar dan tebal dari pemberiannya."Maa Syaa Allah. Terima kasih, Pak, banyak sekali ini. Kira-kira berapa ya nominalnya?" tanya Pak Ustaz."Dua puluh lima juta, Pak Ustaz," jawab Mas LutfiKulihat Kirana dan Mas Hanif saling lirik."Maa Syaa Allah banyak sekali. Saya terima amanah dari bapak dan ibu dan insya Allah akan saya gunakan untuk keperluan panti dan diberikan pada anak-anak." Pak Ustaz tersenyum gembira."Terima kasih ya Pak Lutfi, Pak Hanif. Semoga sedekah kalian dan istri dibalas pahala oleh Allah, dan rezekinya tambah berkah.""Aamiin." Serentak kami mengucapkan.Setelah seles
Aku memandang wajah Mas Lutfi yang berubah pucat, ia seperti kebingungan antara harus tersenyum atau apa."Ini pasti Teh Risti ya?" Wanita itu tersenyum ke arahku."Iya, siapa ya?" Aku balik bertanya.Perempuan itu mengulurkan tangan padaku."Aku Sabrina, Teh, Mamanya Rafka."Tanganku langsung dingin setelah bersalaman dengannya begitu tahu dia Sabrina, wanita yang berperawakan sedang tapi bodynya aduhai itu tersenyum menatapku.Tingginya memang tak melampauiku. Namun, body Sabrina jauh lebih mont*k dan sexy dariku, kulitnya kuning Langsat, hidungnya tegak tapi tak terlalu mancung dan mata agak sipit."Oh, iya iya." Aku pun berusaha tersenyum walau males."Ini rumah kalian?" tanyanya sambil menunjuk rumah kami."Iya.""Wah kebetulan ya kita tetanggaan berarti."Aku melirik Mas Lutfi, wajah suamiku itu semakin pucat, dia kenapa? apa jangan-jangan baper ketemu mantan?"Kok bisa kamu punya rumah di sini? sengaja mau tetanggaan sama kami?" tanyaku agak sinis.Awas saja kalau ia ternyata s
"Kami tetanggaan, sudah ya kita mau belanja. Yuk, Sayang." Aku merangkul tangan Mas Lutfi sambil tersenyum."Ayok, Sab kita duluan ya mau beli baju buat anakku." Mas Lutfi mengelus perutku."Iya iya."Ah puas sekali rasanya bisa romantisan di hadapan mantan kecentilan, kulihat wajah Sabrina berubah murung entah kenapa, apa mungkin menyimpan cemburu? wah ini bahaya.Kami masuk ke toko pakaian khusus bayi dan anak, bajunya bagus-bagus dan sangat berkualitas, aku jadi semangat memilih-milihnya.Saat sedang memilih perlengkapan bayi, aku melihat Mas Lutfi sedang memilih pakaian anak laki-laki. Dia pasti teringat Rafka, secara dari lahir dia tak pernah bertemu langsung dengannya, hanya dari Poto saja.Kasihan juga sebenarnya, aku tahu ia ingin bertemu tapi tak enak padaku yang sering cemburu."Beli aja, Mas, buat Rafka," ucapku.Ia terkejut langsung balik badan."Ah engga, Yang, takut salah ukuran," jawabannya canggung."Kira-kira aja, Mas, kita beli untuk anak ukuran lima tahun, terus kit
(POV KIRANA)"Kirana, kamu ga usah merisaukan suamiku, yang perlu dirisaukan itu suami kamu, coba sekali-kali kamu ikuti Mas Hanif saat pulang kerja, kenapa ia suka pulang malem, kamu pasti tahu jawabannya."Perkataan Mbak Risti barusan terang saja membuat mata ini membulat, kok ia bisa tahu Mas Hanif suka pulang malam? apa jangan-jangan?Selama arisan kutahan gondok di dada ini dengan diam, kalau aku bicara bisa-bisa Mbak Risti membeberkan kelakuan suamiku di depan ibu-ibu.Saat pulang nanti barulah aku bertanya apa maksud ucapannya barusan. Akan tetapi, sial sekali karena suami Mbak Risti menjemputnya memakai mobil, sepertinya mereka hendak pergi."Suami aku udah jemput, duluan ya ibu-ibu," ucap Mbak Risti."Mbak mau ke mana?" tanya Bu Sisca mewakili tanyaku dalam hati."Mau makan bakso, Bu, dari pagi aku pengen banget makan itu, makanya tadi ga makan apa-apa," jawabnya, kukira Mbak Risti tak makan karena tak suka arisan di rumahku."Udah ya, assalamualaikum." Wanita yang sedang h
Tanganku melayang menyentuh pipi Mas Hanif dan Mbak Seli hingga kemerahan."Meeting katamu? meeting apa pacaran?!" tanyaku berteriak.Kulihat orang-orang memperhatikan kami dari kejauhan, tapi aku tak masalah biarlah kedua manusia itu merasa malu."Kamu juga, Seli, punya hati ga hah! Lihat ini aku lagi mengandung anak Mas Hanif, tega kamu masih deketin dia, kamu bilang takkan mendekati suamiku lagi, apa buktinya?! Dasar pelakor!" teriakku menghardik.Mbak Seli ketakutan, beberapa kali mulutnya menganga hendak memberi penjelasan. Namun, suaraku selalu lantang memotong ucapannya."Hei kalian semua! Lihatlah perempuan ini, dia kurang ajar berani-beraninya selingkuh dengan suami orang, lihatlah perutku ini, aku sedang mengandung anak dia, tapi mereka malah enak-enakan pacaran di belakang!" teriakku kalap.Aku maju satu langkah lalu menjambak rambut Mbak Seli yang panjangnya hanya sebahu, perempuan itu meringis kesakitan sambil menangis."Sudah, Kirana, ayo kita pulang," sergah Mas Hanif s