Hari pertama, Gaby bertugas memeriksa Tn. Hendrawan yang di diagnosis penyumbatan jantung dan harus segera dioperasi bypass. Sebagai asisten dr. Bram, Gaby berusaha memahami setiap langkah dan prosedur dokter pembimbingnya.
"Ya, kedengarannya bagus," Gaby memberitahukan hasil pemeriksaan sambil memasukan stethoscope ke saku jas dokternya.
Ny Hendrawan, menggenggam tangan suaminya lantas mengelusnya seraya bertanya pada Gaby, "Apa dia akan baik-baik saja?"
Gaby terenyuh melihat kemesraan di depannya, segera dia meyakinkan Ny. Hendrawan, "Dia akan baik-baik saja," jawab Gaby.
Wajah Tn. Hendrawan merengut seperti anak kecil yang akan diambil mainannya. "Sayang sekali aku harus berhenti makan bacon." Dia masih bisa bercanda, padahal esok akan menjalani prosedur besar yang akan menempatkan dirinya antara hidup dan mati.
"Jadi operasi *Bypass besok dengan dr. Bram," ujar Gaby sambil membereskan semua dokumen tindakan yang baru saja ditandatangani Ny Hendrawan.
"Aku dengar dia bagus," sahut Tn. Hendrawan
"Dan, setelah itu, kau bisa mendapat semua bacon dari kedelai yang bisa kau makan," gurau Gaby.
"Mmm … bunuh aku sekarang.” Tn. Hendrawan tertawa lepas.
"Aku harap aku bisa, tapi tugasku menyembuhkan." Sambil membetulkan selimut Tn. Hendrawan, Gaby tersenyum.
Bram muncul, menyuruh Gaby untuk mengambil sampel darah Tn. Hendrawan. Karena terlalu gugup Gaby kesulitan mendapatkan aorta yang tepat di tangan Tn. Hendrawan. Tampaknya dr. Bram sedikit jengkel melihat kemampuan Gaby.
"Tidak … minggir … minggir." dr. Bram merebut suntikan dari tangan Gaby.
"Pasti kau juga tidak bisa saat percobaan pertamamu." Celetukan Gaby membuat dr. Bram langsung meliriknya dengan tatapan kesal.
"Kau dan aku pasti akan bersenang senang," ujar dr. Bram setengah mengancam. Gaby langsung tertunduk mendengar ajakan perang yang baru saja keluar dari mulut dokter konsulennya secara tidak langsung.
☆☆☆
Pintu lift terbuka, Gina yang diharuskan mengantar pasien Kalina ke ruang Ct Scan sedikit kebingungan karena baru kali ini dia menjelajah lantai tiga RS mewah itu.
"Kau tersesat," celetuk Kalina.
"Tidak, bagaimana keadaanmu?" Gina menghindari pertanyaan Kalina.
"Menurutmu bagaimana perasaanku? aku melewatkan kontes.”
"Kau melewatkan kontesmu?" tanya Gina sambil terus mendorong ranjang Kalina mencari ruang Ct Scan.
"Kontes Remaja trendy se Jakarta. Aku masuk Top 10 setelah dua babak pertama. Ini tahunku. Harusnya aku bisa menang." Sementara Kalina ngoceh, Gina terus bolak balik di lorong lantai tiga. “Dimana ruangannya?” batin Gina.
"Halo … kau benar-benar tersesat. Apa kau, baru?" Kalina makin kepo. Gina tidak menjawabnya. "Aku melakukan senam ritmik yang benar-benar keren, tidak ada orang lain yang melakukannya lalu aku tersandung pitaku dan sekarang aku terjebak dengan seseorang yang tidak mengerti ruangan rumah sakit.” Kalina makin menggoda Gina. “Pergelangan kakiku terkilir saat penampilan bakat."
Gina menarik nafas dalam-dalam, berusaha menahan kesabarannya menghadapi remaja kepo pasien pertamanya itu.
Di ruangan lain seorang bapak-bapak tampak sedang posisi telungkup dengan selimut yang menutupi punggungnya. Dia adalah pasien ke 15 yang diperiksa rektumnya oleh Izie.
"Baik, jadi aku hanya akan memasukkan jariku ke dalam rektum anda," kata Izie sambil meringis dan menyesali kenapa tugas yang diberikan dr. Han padanya tidak keren. Mau tidak mau dia harus siap atau nilainya akan dikurangi.
☆☆☆
[Jam ke tujuh]
Waktunya istirahat makan siang, Cristina, Gaby dan Izie duduk bersama di sebuah meja di sudut Cafetaria RS. Cafetaria itu cukup besar dan mewah untuk ukuran sebuah Rumah Sakit, paling tidak anak-anak magang ini tidak perlu khawatir akan kekurangan asupan gizi selama mereka bekerja disini.
Cristina memesan burger dan segelas lemon tea untuk makan siangnya, sedangkan Gaby lebih memilih nasi goreng dengan segelas es teh. Hanya Izzie yang sedari tadi tidak memesan makanan apapun, memancing Gaby untuk mengingatkannya. "Jadwal ini marathon, bukan sprint, makanlah!" sahut Gaby pada Izie yang terlihat diam saja seperti kehilangan selera makan.
"Tidak bisa." Izie menjawab sambil menggelengkan kepalanya.
Gaby terus saja memaksa Izie. "Kau harus makan sesuatu."
"Apa kau mau makan setelah melakukan 17 pemeriksaan rektum? Si Nazi benar benar membenciku, aku yakin itu." umpat Izie.
"Si Nazi hanya seorang residen. Aku dibenci seorang konsulen," lapor Gaby tak mau kalah sambil membayangkan wajah dr. Bram yang jarang senyum, hampir saja dia tersedak kunyahan nasi gorengnya.
"Kau tahu Gina Inbred*?" celetuk Cristina.
"Wow itu luar biasa punya orang tua seorang dokter ..." Izie membelalakkan matanya yang bulat dan indah.
"Ibunya adalah Elya Rachman," lanjut Cristina.
"Elya Rachman? yang benar?" Izie makin terkejut dengar berita yang baru saja diucapkan Cristina.
"Siapa Elya Rachman?" tanya Gaby polos sambil bergantian menatap Cristina dan Izie.
"Metode ER. Dimana kampusmu sih, Zimbabwe?" cetus Christina. "Dia salah satu ahli bedah terkenal. Dia legenda hidup … dia memenangkan beberapa penghargaan Internasional."
"Jadi aku tidak tahu apapun?" Gaby merengut kesal.
"Aku akan membunuh agar bisa mendapat Elya Rachman sebagai ibuku," tutur Cristina sambil memasukan potongan terakhir burger ke mulutnya.
"Aku akan membunuh demi menjadi Elya Rachman." Izie menambahkan sambil tersenyum memperlihatkan lesung di pipi kanannya.
"Yang kubutuhkan hanya satu kasus bagus dan..." Cristina tiba-tiba diam lalu memberi kode pada Izie dan Gaby saat Gina terlihat menghampiri meja mereka dengan wajah yang sangat kusam. Dia langsung duduk mengambil kursi dan mengeluh.
"Pasien Kalina benar-benar kurang ajar." Gina menarik nafas panjang. "Jika aku belum mengambil Hippocratic Oath*, aku akan membunuhnya dengan tanganku sendiri,” umpat Gina.
"Apa?" Cristina, Gaby dan Izie berbarengan. Dalam hati, mereka menertawakan diri sendiri karena baru saja mereka ngobrol tentang bunuh-bunuhan demi seorang Elya Rachman.
Di tengah pembicaraan mereka tentang pasien-pasien yang mereka tangani di hari pertama, tiba tiba dr. Bram muncul di cafetaria mendekati meja dan menyapa. "Selamat sore, koass. Pengumumannya sudah ditempel ya, tapi kurasa aku akan memberikan berita menggembirakan ini secara personal. Seperti yang kalian tahu, kehormatan untuk melakukan operasi pertama diberikan bagi koass yang paling menjanjikan." dr. Bram memandang satu persatu anak didiknya. "Dan karena aku yang bertanggung jawab atas OK*, artinya aku yang akan memilih."
Seketika semuanya terdiam menantikan sebuah nama tercetus dari mulut dr. Bram, terlebih Cristina yang ambisius dan sangat berharap dirinya yang dipilih.
"Gaby Adrian..." dr. Bram mengumumkan siapa yang akan jadi asistennya.
"A … Aku?" Gaby gelagapan, benar-benar tidak menyangka dirinya yang akan dipilih oleh dr. Bram.
"Siap-siap untuk appendectomy* sore ini. Selamat!" dr. Bram menyalami Gaby lalu meninggalkan kumpulan koass-koass muda yang sedang iri pada Gaby.
"Di … Dia bilang aku?" gumam Gaby masih tidak percaya dengan keputusan dr. Bram.
☆☆☆
Setelah menentukan siapa yang akan mendampinginya saat operasi, dr. Bram langsung menemui dr. Han untuk konsultasi karena mereka semua dibawah tanggung jawabnya.
"Ya, aku sudah melihat datanya. Gaby Adrian hampir dikeluarkan dari FK. Dia bukan orang favoritmu," kata dr. Han. Bram tersenyum. "Dia orang favoritku, tentu saja."
"Setiap tahun, kau memilih orangmu, dan orangmu menderita lebih dari koass lain ..."
"Teror salah satu dari mereka, dan yang lain tidak akan berani macam-macam." dr. Bram beranjak pergi meninggalkan dr. Han.
dr. Han tetap tidak setuju, dia berlari mengejar dr. Bram, "Aku mengerti, aku menghargainya, tapi Gaby Adrian kurang tepat."
☆☆☆
Gina baru saja selesai memeriksa keadaan Kalina saat kedua orang tuanya datang untuk menjenguk putri satu satunya kesayangan mereka.
"Kalina sayang, ayah dan ibu disini," bisik Moli, ibu Kalina.
"Mereka memberinya obat bius untuk CT-Scan, jadi dia tertidur." Gina sedikit menjelaskan keadaan Kalina pada saat itu pada orang tuanya.
"Apa dia akan baik-baik saja? Dokter bilang mungkin dia butuh operasi, benarkah? operasi apa?" ayah Kalina bertanya pada Gina, sontak saja Gina sedikit gugup, dia tak tahu apa apa soal Kalina.
"Dia, um ... sebenarnya aku bukan dokternya ... Um, aku dokter, tapi bukan dokter Kalina," jawab Gina “Jadi aku akan mencari dokternya untukmu." Gina langsung mencari dr. Han di ruangan nya.
"Ada apa?" tanya dr. Han.
"Orang tua Kalina punya pertanyaan. Kau yang bicara, atau aku tanya dr. Bram?" kata Gina.
"Tidak, dr. Bram sudah berhenti dari kasus ini. Kalina diurus dokter lain sekarang, dr. Santoso … dia disana." dr. Han menunjuk sebuah meja dengan nama dr..Santoso. Tapi betapa terkejutnya Gina saat mengetahui bahwa dr. Santoso yang dimaksudkan dr. Han adalah pria yang diusir dari rumahnya tadi pagi … ya orang itu adalah Daniel, Gina langsung berbalik hendak pergi menghindari Daniel tapi Daniel terlanjur melihat Gina disana lantas mengejarnya.
"Gina, bisa bicara sebentar?" Daniel menarik Gina ke tangga darurat untuk bicara.
"Sebenarnya, aku … dr. Santoso ..." Gina langsung salah tingkah.
"dr.. Santoso? Tadi pagi Daniel … sekarang dr. Santoso," canda Daniel.
"Kita harus bersikap tidak ada apa-apa yang terjadi.”
"Kejadian yang mana? kau tidur denganku, atau kau mengusirku tadi pagi? karena keduanya ingatan yang tidak mau kulupakan.”
"Tidak, tidak akan ada ingatan. Aku bukan wanita yang kau temui di bar lagi, ini tidak boleh terjadi. Kau mengerti kan?" sahut Gina.
"Kau memanfaatkanku," cetus Daniel. "Dan sekarang kau mau melupakannya. Aku mabuk dan kelihatan ganteng. Kau memanfaatkanku." Daniel terus menggoda Gina.
"Ok, aku yang mabuk, dan kau tidak kelihatan ganteng ganteng amat. Mungkin bukan hari ini."
"Tadi malam, aku kelihatan ganteng. Memakai baju merahku. Kau memanfaatkanku." Daniel ngotot.
"Aku tidak memanfaatkanmu," elak Gina.
"Mau memanfaatkan lagi? Jumat malam?" ajak Daniel.
"Tidak … kau konsulen dan aku koassmu. Berhenti menatapku seperti itu." Mata Gina melotot
"Seperti apa?"
"Seperti kau sudah melihatku telanjang dr. Santoso, ini tidak pantas, oke?" Gina meninggalkan Daniel yang tersenyum simpul sendirian. Diam diam Daniel merasakan bahwa dia sudah jatuh hati pada Gina.
Bersambung …
~~~~
*Bypass : Prosedur operasi, biasanya di A. Coronaria jantung. Detailnya silahkan googling.
*Inbred : Mungkin anak dokter.
*Hippocratic Oath : adalah sumpah yang secara dilakukan oleh para dokter tentang etika yang harus mereka lakukan dalam melakukan praktik profesinya.
*OK : Kamar Operasi.
*Appendectomy : operasi yang dilakukan pada penderita usus buntu.
Title: Jatuh Hati (Raisa)
Jam 16.00, waktunya Appendectomy yang akan dilakukan Gaby dengan bimbingan dr.Bram. Tampak Gaby terus bergumam sambil menenangkan dirinya di dalam ruangan OK, pasien sudah dalam keadaan dibius. Dua orang perawat dan satu dokter anestesi juga hadir di sana membantu Gaby, mereka semua menunggu kedatangan dr.Bram. "Buka, identifikasi, ligasi, keluarkan, irigasi, tutup. Buka, identifikasi, ligasi, keluarkan, irigasi, tutup." Gaby berulang ulang melafalkan urutan tindakan saat operasi. Sementara itu teman-teman yang menonton di podium koass yang diberi kaca tepat diatas ruang OK, malah sibuk bertaruh untuk Gaby. "Dia akan pingsan … orang lemah," ejek Alex. "Dia selalu keringat. Dia pasti akan berkeringat dan jadi tidak steril. Taruhan 100rb dia salah menentukan titik McBurney*."
Di ruangan informasi, para dokter magang dan perawat saling berbagi informasi tentang pasien mereka. Alex sedang berhadapan dengan Sofia, seorang perawat senior yang sudah belasan tahun bekerja di Mandaya Royal. Dia melaporkan hasil pemeriksaan pasien 4-B untuk diberikan diagnosis agar bisa ditindaklanjuti dengan segera."Ini. Bawa ke lab." Alex memberikan berkas yang sudah dia tanda tangan. "4-B mengalami pneumonia post-op*. Mulai diberikan antibiotik," perintah Alex."Kau yakin diagnosisnya benar?" Bu Sofia yang sudah berpengalaman menjadi perawat tampak ragu."Aku tidak tahu … aku hanya koass. Bagaimana kalau kau pergi belajar empat tahun di FK lalu beritahu aku ini diagnosis yang benar? dia sesak napas, dia demam, dia post-op. Berikan antibiotik!" ujar Alex sambil berlalu. "Tuhan, aku benci perawat." Alex
dr. Santoso muncul dengan wajahnya yang tegang masuk ke ruang meeting. dr. Han mengikutinya dari belakang. Anak anak koass saling pandang sambil menebak nebak berita apa gerangan yang dibawa dr. Santoso.“Selamat pagi!” sapa dr. Santoso.Serentak anak anak magang menjawab. “Selamat pagi dok.”Tanpa basa basi dr. Santoso langsung bicara. “Aku akan melakukan sesuatu yang sangat jarang bagi dokter bedah. Aku akan meminta tolong kepada dokter magang. Aku punya kasus, Nama pasien Kalina. Sekarang, dia adalah misteri. Dia tidak merespon pengobatan kita. Hasil laboratoriumnya bersih, hasil scan nya bagus, tapi dia mengalami kejang *tonik klonik dengan penyebab yang tak bisa dilihat. Dia adalah jam pasir kita. Dia akan meninggal jika aku tidak menemukan diagnosisnya, makanya aku minta tolong pada kalian. Aku tidak bisa melakukannya sendirian. Aku butuh pemikiran tambahan kalian, pengamatan tamba
Setelah Gina dan Cristina sepakat untuk menegakkan diagnosis mereka, mereka langsung berkeliling RS untuk mencari dr. Santoso dan melaporkan kajiannya. Di lantai tiga terlihat dr. Santoso bergegas memasuki lift. Tanpa membuang waktu Gina dan Cristina mengejarnya.“Oh. Oh, dr.. Santoso, tunggu sebentar.” Dengan sangat percaya diri Cristina bicara. Gina hanya diam saja berdiri di sebelah Cristina. “Kalina berkompetisi di kontes kecantikan.” Pintu lift hampir menutup. Cristina menahan dengan tangannya demi mendengar pendapat dr. Santoso.“Aku tahu itu, tapi kita harus tetap menyelamatkan hidupnya.” dr. Santoso tampak tidak terlalu tertarik dengan diagnosis kedua anak magangnya.“Dia tidak ada riwayat sakit kepala, tidak ada sakit leher, CT scannya nya bersih. Tidak ada bukti ke
[Jam ke-40]Dalam keadaan terbius total. dr. Santoso mencukur rambut Kalina sebelum melakukan prosedur operasi. Gina berjalan perlahan mendekat dan berdiri tepat di sebelah Kalina. “Aku janji aku akan membuatnya keren,” kelakar dr. Santoso sambil terus mencukur rambut Kalina. “Jadi ratu kecantikan yang botak adalah hal terburuk tapi itu terjadi di dunia nyata.”Gina tak mau lagi menahan unek-unek perihal alasan Daniel memilihnya, bukan memilih Cristina. “Apakah kau pilih aku untuk ikut operasi karena aku tidur denganmu?” tanya Gina.“Ya….” jawab Daniel sambil tertawa. “Aku bercanda….” Mata Daniel melirik Gina yang terlihat mulai kesal.Terus terang dia langsung menolaknya. “Aku tidak akan iku
[Diary Gina]Ini semua tentang garis. Garis akhir di ujung rumah sakit. Mengantri untuk dapat kesempatan bisa berada di meja operasi. Dan lalu ada garis yang paling penting, garis yang memisahkanmu dari dengan siapa kau bekerja. Hal itu tidak akan membuat begitu akrab untuk berteman. Kau butuh batasan antara dirimu dan dunia ini. Orang lain terlalu berantakan. Ini semua tentang garis. Menggambar garis di tanah dan berdoa sangat keras supaya orang lain tidak melewatinya.Sif kedua Gina sangat bersemangat sekali. Pagi-pagi dia sudah berganti pakaian di loker. Tak lupa flat shoes motif macan pemberian ibunya dia simpan dengan sangat baik, keputusan Gina untuk mempertahankan rumahnya mengharuskan Gina mencari teman untuk tinggal supaya dia tidak keteteran. Beberapa pengumuman sudah dia tempel di tempat-tempat yang sangat strategis seperti loker, cafetaria juga ruang informasi.
Ruang ICU sibuk dengan kedatangan pasien baru. Para dokter dan perawat menanganinya dengan segera. “Wanita 25 tahun ditemukan pingsan di taman. Status: Post-trauma. Saat dia datang, tingkat kesadarannya di level enam. Tekanan darah: 80 per 60. Hasil pemeriksaan menandakan positif trauma benda tumpul di kepala. Suara nafas tidak sama, pupil kanan melebar. Dan dia siap untuk di sinar x. Kau siap?” lapor perawat saat Gina tiba disana.Sepersekian detik Gina terdiam. Ada yang mengganggu pikiran Gina. Sepatu korban sama persis seperti yang dia kenakan. Sepasang flat shoes bermotif macan.“Hey!” Gina dibentak perawat yang memberinya laporan.“Ya. Pastikan pemeriksaan CT Scan kosong. Beritahu mereka aku akan kesana. Nyalakan monitor portablenya. Panggil bagian pernapasan untuk pasang ventilator. Aku aka
Satu-satunya pelanggaran juga hiburan Gaby dan Gina disaat mereka suntuk adalah ruangan bayi. Entah mengapa menatap satu-persatu wajah mereka membuat hari-hari berat menjadi nyaman. Semenjak tiba, Gaby terus menerus berceloteh dengan menggunakan bahasa bayi sambil dadah-dadah dibalik kaca pembatas, membuat Gina geli sendiri. “Kau benar-benar keibuan,” sahut Gina, dijawab dengan bunyi alarm panggilan Gaby. “Ada kode, aku harus pergi.” Gaby meninggalkan Gina sendirian di ruang bayi. “Kalian sangat menggemaskan,” gumam Gina. Tiba-tiba mata Gina tertuju pada seorang bayi yang terlihat bermasalah. Tubuh bayi itu membiru dan si bayi tidak menangis seperti yang lainnya. Mata Gina menyapu seluruh ruangan, mencari dokter atau perawat yang kebetulan sedang berjaga. Tapi dia tak bisa menemukan seorangpun. Untuk memastikan tak ada yang