Share

Hippocratic Oath
Hippocratic Oath
Penulis: Lovembers

1. Work Hard, Play Hard

Tahun 2005 adalah tahun terbaik untuk Anggina Rachman. Berbekal nilai cumlaude dari FKUI, juga nama besar ibunya yang tiada lain seorang Dokter spesialis bedah paling terkenal di Jakarta bernama dr. Elya Rachman, bukanlah hal yang sulit bagi Gina mendapatkan pekerjaan di RS bertaraf internasional di daerah Banten, Mandaya Royal Hospital Puri.

Ini adalah hari pertama Gina bekerja sebagai dokter magang di RS tersebut, sebuah langkah awal jenjang karir dia sebagai dokter. Pagi itu Gina bangun tepat pukul enam, di sampingnya seorang pria asing tampan dengan rambut ikal dan tebal yang baru saja dikenalnya tadi malam di sebuah bar tampak masih terlelap tidur tanpa memakai baju, perlahan lahan dia membangunkan pria yang bahkan namanya pun tak diketahuinya.

"Ini, umh … sangat memalukan," dalam keadaan masih mengantuk, Gina mengambil bajunya yang tergeletak di lantai lantas menutup tubuhnya yang telanjang. "Kau harus pergi." Gina mengusir pria manis yang sama sama masih terlihat mengantuk duduk di sofa rumahnya.

"Kenapa kau tidak kemari dan kita melanjutkan apa yang semalam kita lakukan?" tanya pria tampan itu sambil menggosok matanya lalu melemparkan senyuman yang sangat menggoda pada Gina.

"Tidak, kau harus pergi, aku sudah terlambat, kau pasti tidak mau terlambat di hari pertama bekerja kan? jadi...." Gina tidak meneruskan ucapannya, hanya melirik ke arah pintu keluar, berharap si pria asing memahami keinginannya.

Bukannya peka dengan kode yang diberikan Gina, pria itu malah makin kepo sambil mencari cari kemejanya dia bertanya, "Jadi … uh, kau tinggal disini?" Si pria tampan sepertinya enggan pergi.

"Tidak...." jawab Gina singkat.

"Oh...." Pria tampan itu seolah kehilangan kata-kata.

"Ya, begitulah...." Gina pun mulai sedikit canggung.

"Oh...." Lagi-lagi hanya kalimat itu yang keluar dari mulut si pria tampan. "Tempat ini bagus, sedikit berdebu, aneh, tapi bagus. Bagaimana kau bisa tinggal disini?" akhirnya dia menemukan bahan pembicaraan agar bisa lebih lama tinggal.

"Aku pindah dari Bandung dua minggu lalu. Ini rumah ibuku sebelumnya, aku mau menjualnya," jawab Gina.

"Oh, maaf...." ucap pria tampan.

"Untuk apa?" Gina mengernyitkan dahinya.

"Kau bilang … sebelumnya?"

"Oh, ibuku belum meninggal, dia…" terdiam sejenak. "Kau tahu … kita tidak perlu melakukannya," berusaha menghindari obrolan yang semakin dalam.

"Kita bisa melakukan apapun yang kau mau." Si pria tampan terus saja menggoda Gina.

"Bukan, maksudku kita tak perlu membahas kehidupan masing-masing, berpura-pura peduli … aku mau mandi, dan ketika aku kembali, kau harus sudah pulang, jadi um … sampai jumpa."

"Daniel...." cetus pria tampan memperkenalkan dirinya.

"Daniel, oh iya aku Gina." 

"Gina ... Yeah, Mm-hmm. Senang bertemu denganmu."

"Dadah, Daniel..." Gina mengusir Daniel terang terangan.

☆☆☆

Jam tujuh tepat Gina sudah sampai di Mandaya Royal. Dia dan beberapa dokter magang baru mendapatkan briefing singkat sambil diajak berkeliling Rumah Sakit oleh direktur RS, dr. Richard Wibowo.

"Kalian semua datang kesini hari ini, untuk ikut berpartisipasi. Sebulan lalu, kalian di kampus diajar oleh dokter. Hari ini … kalianlah dokternya. Tujuh tahun yang akan kalian jalani disini sebagai residen bedah akan menjadi pengalaman yang terbaik sekaligus yang terburuk dalam hidupmu. Kalian akan dibuat putus asa. Lihat sekeliling kalian. Sapa para pesaingmu. Delapan orang dari kalian akan berpindah ke spesialisasi dengan lebih mudah. Lima orang akan berhenti karena tidak mampu menghadapi tekanan. Dua orang akan diberhentikan. Inilah awal karir kalian. Ini tempat kalian. Seberapa baik kalian bekerja, tergantung pada kalian."

Setelah puas berkeliling Gina dan teman teman dokter magang lainnya masuk ke loker ruang ganti untuk memakai baju kerja mereka. Masing masing sudah punya loker sendiri. Selain berganti baju. Kesempatan itu mereka gunakan untuk saling mengenal.

Dokter pembimbing sedang membagi dokter magang menjadi lima kelompok yang masing masing kelompok berjumlah 4 orang dibawahi seorang dokter residen. "Ok, Martin, Roby, Budi, Hary..." dr. Sandi mulai absen.

"Hanya enam wanita dari 20 orang?" tanya Gina pada dokter magang di sebelahnya.

"Ya, kudengar salah satunya seorang model. Yang benar saja, apa dia akan lebih dihargai?" jawab gadis sipit yang baru saja berkenalan dengan Gina.

"Kau Cristina, kan?" ujar Gina. "Siapa residen yang kau dapat? aku dapat dr. Han," sahut Gina.

"Si Hitler? aku juga," cetus Cristina.

"Kau dapat si Hitler? aku juga." Dokter magang berpenampilan cupu menutup lokernya lalu menghampiri Gina dan Cristina. "Setidaknya kita akan disiksa bersama, kan? aku Gaby." Gaby menyalami Cristina dan Gina. "Uh, kita bertemu di … acara perkenalan. Kau memakai dress hitam dengan celah di samping, sandal bertali dan ..." ucap Gaby. Gina diam saja menatap Gaby yang berceloteh. "Sekarang pasti kau pikir aku gay bukan? aku bukan gay. Itu ... itu hanya, uh, kau … kau sangat tidak terlupakan," kata Gaby malu malu. Gina meninggalkan Gaby berjalan dengan Cristina tanpa berkomentar. "Dan aku benar-benar terlupakan," gumam Gaby.

"Izie, Gina, Cristina, Gaby ..." dr. Sandi memanggil mereka. Setelah berkelompok mereka berjalan menelusuri koridor RS mencari dr. Han.

"dr. Han?" tanya Cristina pada salah satu perawat di koridor.

"Di ujung ruangan." Perawat muda itu menunjuk ujung koridor."

Itu si Hitler? kupikir si Hitler seorang pria," bisik Cristina sambil berjalan berdampingan dengan Gina ke ujung koridor.

"Kupikir si Hitler mirip Hitler..." ucap Gina. Tiba tiba Izie berjalan dengan percaya diri menyusul mereka berdua.

"Mungkin itu kecemburuan profesional, mungkin dia luar biasa dan mereka memanggilnya Hitler karena mereka iri, mungkin dia baik," ungkap Izie.

"Biar ku tebak, kau sang model?" celetuk Cristina.

"Hai, Aku Iztria Darmawan, semua orang memanggilku lzie." Izie, Gina, Gaby dan Cristina langsung menghampiri dan melapor kepada residen mereka yang sangat terkenal galak.

[1 jam pertama]

Sebagai pembimbing, dr. Han langsung mengajak ke empat anak didiknya berkeliling RS sambil terus menerangkan tentang apa yang boleh dan tidak mereka lakukan. "Aku punya lima aturan, ingat baik-baik!" Dokter Han bicara sangat ketus. "Aturan pertama: Tidak usah repot-repot menjilat padaku, aku sudah benci kalian dari awal dan Itu tidak akan berubah. Protocol trauma, daftar nomor telepon, dan alarm panggilan, perawat akan memanggil kalian. Kalian akan menjawab setiap panggilan pada gadget kalian dengan bergegas. Bergegas! Itu aturan kedua." dr. Han membentak sambil menatap mereka dengan sinis. "Shift pertama kalian dimulai sekarang dan berakhir dalam 48 jam. Kalian koass, bukan siapa-siapa, paling bawah dalam rantai makanan bedah. Kalian mengantarkan pemeriksaan lab, menjalankan perintah, bekerja setiap malam sampai kalian pingsan, dan jangan komplain." Dokter Han membawa mereka ke sebuah ruangan di pojok RS. "Ini adalah Kamar jaga. Konsulen menguasainya. Tidur kapanpun dan dimanapun kalian bisa tidur, yang berlanjut ke aturan ketiga. Jika aku tidur, jangan bangunkan aku kecuali pasienmu benar-benar sekarat." Izie, Gina dan Cristina menelan ludah. "Aturan keempat, pasien sekarat sebaiknya tidak meninggal ketika aku tiba. Bukan hanya kalian sudah membunuh seseorang, tapi kalian juga membangunkanku tanpa alasan. Jelas?"

Gina mengangkat tangannya.

"Ya?"

"Kau bilang lima aturan. Itu hanya empat," tanya Gina.

Bip bip bip … alarm panggilan dr. Han berbunyi, dia berlari, diikuti keempat anak didiknya. "Aturan kelima, ketika aku bergerak, kalian bergerak. Minggir!" Mereka berlima langsung lari ke atas gedung dimana terdapat helipad karena seorang pasien gawat dibawa dari sana.

"Kenapa dia?" tanya dr. Han pada perawat yang membawanya.

"Kalina, 15 tahun, kejang-kejang, hilang timbul seminggu terakhir. IV hilang dalam perjalanan, mulai kejang saat kami turunkan," lapor perawat yang membawanya. dr. Han langsung mengkoordinasikan anak didiknya. "Baiklah, putar badannya. Izie, 10 mg Diazepam IM*." Bukan, bukan. White lead* di sebelah kanan. Kanan, putih. IV* ukuran besar. Jangan sampai darahnya rusak. Ayo!" Dokter Han memerintahkan anak-anak magangnya menangani Kalina di IGD."

"Apa yang kita dapat?" Seorang Dokter Spesialis bernama dr. Bram masuk ruangan IGD.

"Kejang kejang dokter!" lapor dr. Han.

"dr. Han, ayo shotgun dia," perintah dr. Bram

"Shotgun artinya semua pemeriksaan dalam buku kalian: CT-Scan, CBC, chem-7, tox screen. CBC : Complete Blood Count Chem-7 : Pemeriksaan fungsi ginjal Tox screen : Skrining racun." Dokter Han menjelaskan detail Shotgun. "Cristina kau kerjakan labnya, Gaby tes medis lengkap, Gina, antar Kalina untuk CT-Scan. Dia tanggung jawabmu sekarang."

"Tunggu, bagaimana denganku?" tanya Izie.

"Sayang, kau lakukan pemeriksaan rectum*."

☆☆☆

Menjelang siang, dr. Han sedang mendampingi dokter bedah melakukan operasi, Cristina yang diberi tugas melakukan pemeriksaan lab sudah memegang hasilnya dan hendak memberikan berkasnya pada dr. Han. Sambil menunggu dr. Han keluar dari ruangan, diam diam Cristina mengintipnya dari kaca jendela pintu ruang operasi.

"Apa yang kau lakukan disini?" tanya dr. Han dengan ketus sambil membuka pintu setelah selesai memberikan tindakan pada pasiennya.

"Hasil lab Kalina sudah keluar, semua normal, tidak ada kelainan yang menyebabkan kejangnya."

"OK..." cetus Hitler singkat.

Dengan hati-hati kemudian Cristina mulai ungkapkan keinginannya. "Uh, kudengar setiap tahun konsulen yang jaga memilih koass terbaik dan memberi mereka kesempatan melakukan suatu prosedur saat shift pertama." Hitler menatap Cristina dengan tatapan yang menyebalkan. "Aku hanya bilang, itu yang kudengar," lanjut Cristina yang langsung tak bernyali melihat tatapan dr. Han.

"Pergi sana ... sekarang!" sang Hitler mengusir Cristina tanpa ragu.

Bersambung…

~~~~

*IM : IntraMuskular/suntikan ke otot.

*IV : Intravena/suntikan ke urat nadi.

*White lead : Senyawa karbonat.

*Pemeriksaan Rectum: Pemeriksaan lewat lubang anus.

Title: Work Hard, Play Hard (David Guetta)

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status