Mobil berhenti setelah dua puluh menit melaju kencang. Kini aku berdiri di sisi jembatan. Di bawahnya ada sungai yang mengalir. Kupandangi langit yang mulai menampakkan bintang-bintang. Udara dingin berhembus sejak tadi. Meski aku mengenakan pakaian dan jilbab panjang yang menutup tubuh dengan sempurna, tetap saja hawa dingin itu terasa. Terbayang kisah masa lalu.
“Terimakasih sudah menerima pinanganku. Sekarang kamu adalah bidadari yang akan menjadi teman hidupku. Batinku merasa damai.”
Kalimat pertama yang diucapkan Sultan sesaaat setelah lamaran usai. Jantungku melompat kegirangan. Sekuat tenaga menahan rasa malu saat itu. Keindahan yang kini hanya menjadi ilusi. Bayangan manis dan pahit pun silih berganti. Akukah bidadarimu? Keraguan menggelayut. Bukan, akulah tameng yang sengaja diambil untuk menutupi kebusukan.
Jam 10 malam. Jembatan Kali Lanang sudah sepi. Tiada orang atau kendaraan
Adnan sekolah diantar Bude Larsih. Aku tidak berminat keluar rumah.Segala urusan butik di-handleAyana dan Nirmala. Rasapenasaran terhadap apa yang Sultan sembunyikan membuatku gamang. Dia belum bangun, baru tidur selepas subuh. Mencari ponsel Sultan yang disembunyikan, menjadi misi kali ini. Dengan kaki melangkah perlahan, mirip seperti pencuri, aku mengendap-endapmasuk ke kamar.Dimulai darilaci meja dan lemari,tapi tak menemukan apapun. Kantong celana yang kemarin dia pakaipun kosong. Tak lupakolong bawah tempat tidur, hasilnyajuganihil.MobilSultan! Mungkin ada di sana. Aku hafal dimana ia meletakkan kunci mobil.Berbagai sisi mobil sudah tersentuh tangan, tapi tak menunjukkan tanda-tanda keberadaan gawai sialan itu. Lalu, tampak ujung sebuah benda yangtertutup dengan boneka kura-kura. Ini dia ponselnya. Setelah dapat,aku justru terkejut.Ini ponsel siapa?
Rumah ibu adalah tempat paling nyaman yang pernah kutemui. Lebih nyaman dari huniankusendiri. Meski tidak luas, sederhana, bahkan beberapa bagian dinding rumah ini masih terbuat dari kayu. Tapi kedamaian begitu terasa.Bapak duduk di kursi ruang keluarga sambil menyeruput kopi kental kesukaannya,ditemani dengan pisang goreng hangat buatan Ibu. Ditangannya ada sebatang rokok yang sudah hampir habis. Aku mendekati Bapak, Adnan baru saja tidur. Ibu sedang di dapur menyelesaikan pekerjaannya menggoreng pisang.“Wes tilemAdnan?”“Sampun, Pak.”Hening suasana malam. Angin semilir terasa makin dingin. Daun-daun pohon belimbing yang kekuningan didepan rumah mulai berjatuhan. Suara jangkrik bersahut-sahutan. Sesekali kucing mengeong melihat burung gagak berterbangan didekat rumah. Ibu datang dengan pisang goreng yang masih hangat. Kemudian,beliau duduk disebela
“Kay... aku ingin bercerita sesuatu. Untuk pertama kalinya kisah rahasia ini sampai ke telinga orang lain. Jangan tanya alasan kenapa aku memilih cerita denganmu.”“Apa... ada hubungannya sama aku?”Alvin menghela napsa. Dia memejamkan mata seolah sedang menggali ingatan yang jauh. Perlahan bibirnya mulai mengucapkan kata-kata. Sebuah cerita yang kamu juga harus tahu. Bahwa tidak ada orang yang sempurna, termasuk Sultan, aku, juga Alvin.***“Sayang, kamu pulang jam berapa?” tanya seorang perempuan cantik melalui sebuah sambungan telepon. Suara di seberang sana menjawab dengan santai.Padahal perempuan bergaun biru muda itu tengah menunggu dengan cemas. Ia berkali-kali menggigit kukunya yang runcing lalu menutup ponsel dan membuang dengan kasar ke atas tempat tidur.Mata bulatnya menatap sendu jalanan ibu kota. Jendela apartemen tempat tinggalnya sangat jernih. Ia bisa melihat seekor kucing yang tengah
“Dinda.Bapak sepertinya tambah parah. Kita bawa ke rumah sakit saja ya?”Wajah ibu panik. Aku mengiyakan. Setelah membawa perlengkapan secukupnya kami berangkat mengantar Bapakke rumah sakit. Bapak tidak sadarkan diri. Tubuhnya dingin. Aku masih bisa merasakan pria berusia 69 tahun itubernapas,meski sangat lemah. Ibu menggenggam tanganku erat-erat. Terlihatkecemasan diwajahnya, meski ia tetap berusaha untuk tampak tenang.Para perawat membawa Bapakke UGD sebelum akhirnya ditempatkan di sebuah ruangan kelas satu. Bapak nampak tertidur, dokter baru saja memeriksa keadaannya.Ponselku berdering.“Iya Alvin, maaf aku gak bisa nerima telpon dulu.”“Kenapa Kay? Kamu kok kayanya panik.”“Bapak masuk rumah sakit, kata dokter tekanan darah tingginya naik.”“Oh gitu ya udah gak apa-apa. Pulang kantor nanti aku akan jenguk Bapak. Assalamu&
“Ada apa sih Mbak?Ya udah iya iya aku pulang sekarang.”Wajah Sultan berubah kemerahan. Terlihat matanya menatap lesu ke layar ponsel. Lalu, terdengar bunyi ponsel. Alis Sultan berkerutsekilas setelah membaca pesan itu. Ia memejamkan mata. Tangannya memegangi pelipis sambil sedikit memijat. Pria itu seperti sedang dalam tekanan.Dia terperanjat menyadari kau berdiri di dekatnya.“Kay, aku harus kembali ke Batu. Mbak Widya ngirimpesannyuruh aku pulang dulu.”Aku menatapnya datar, tapipenasaranjuga. Kenapa Mbak Widya menelponnya? Ada masalah baru lagikah? Mungkin masalah mertuaku yang terlilit hutang rentenir atau mereka bertengkar hebat lagi. Sultan pamit pada Bapakyang menatap kepergian menantunya dengan mata basah. Ibu seperti biasa,tersenyum lembut.Adnan merengek ingin ikut pulang dengan ayahnya. Anak itu memang selalu ingin ikut kenmanapun Sultan pergi. Sult
“Aku mohon ampuni aku Katrina, jangan minta cerai!”“Masih punya muka Mas jenengan bilang begitu. Kamu pikir aku tempat sampah huh? Seenaknya kau mesum dengan pria berotot itu. Lalu pulang memasang wajah seolah tak bersalah begitu.”Mata ibu berapi-api sesuai dengan besarnya amarah yang ia luapkan. Tangannya menunjuk-nunjuk wajah Bapakyangmemelas. Pria itukuyu,persis seperti ayam kurang makan. Tampak awut-awutan.Benar-benar mencerminkan suasana pikirannya yang carut-marut.“Jangan tampakkan wajahmu di hadapanku pezina. Kamu manusia tidak tahu malu. Apa kau pikir Allah tidak melihatmu?”Percuma, kata-kata itu tidak menembus hati Bapak ternyata. Ia minta maaf karena ketahuan saja, bukan karena merasa bersalah. Jika ia merasa dilihat Allah maka,takkan ia lakukan perbuatan keji itu. Ibu bisa membaca situasi, ia sudah tahu akan percuma bicara dengan lelaki setengah wanita ini. Ing
“Kenapa hidupku begini Ummi? Bapakku sama aja sama Mas Sultan. Apa aku lahir hanya untuk menjalani kehidupan gak jelas begini? Katanya karma gak ada. Kok aku seperti kena karma sih?” Aku meletakkan kepala di meja kamar dengan ponsel menempel di telinga. Setetes embun jatuh mengenai kayu berwarna cokelat tua itu.“Di dalam dirimu itu ada pola yang menjadi daya tarik bagi penyuka sesama jenis. Itu terjadi karena kamu sejak kecil melihat seorang laki-laki, yaitu Bapakmu. Sehingga standar laki-laki dalam hidupmu ya seperti Bapakmu. Secara tidak sadar, kamu membangun daya tarik bagi orang-orang yang penyuka sesama jenis, karena Bapakmu begitu.”“Hah?” Kepalaku kembali tegak sempurna. Apa tidak salah dengar? Aku yang menyebabkan pria semacam itu mendekat.“Seperti halnya anak perempuan punya ayah yang kasar. Maka orang-orang dengan tabiat kasar yang tertarik padanya. Karena dia telah membuat standar pemakluman bahwa laki
“Aku mendengarnya Kay. Semua itu. Tentang hubungan masa lalu mereka sampai terakhir di Palembang.” Mbak Widya meneteskan air matanya. Bening, sebening kasih sayangnya untuk Sultan. Adiknya yang malang dan menderita.“Gimana kalau kita tuntut aja orang itu. Si Martin itu...”Aku menggeleng.“Mbak... Seperti halnya Sultan. Mr. Lucas juga punya luka. Dulu dia pernah cerita kisah hidupnya padaku. Aku kenal orang itu waktu kuliah. Cukup dekat. Walaupun aku gak tahu bahwa dia seorang penyuka sesama jenis.”Dulu... Mr. Lucas melarikan diri dari dunia nyata dan terjebak dalam pergaulan sesama jenis. Itu benar. Saat ia sedang menjadi dosen, aku adalah mahasiswanya. Katanya dia nyaman bercerita kepadaku. Panggilan yang paling kuingat darinya adalah “si gadis manis yang lembut”. Aku selalu berusaha mengajarkan nilai Islam secara sederhana tanpa menghakimi. Orang sepertinya, dengan luka yang tak akan sembuh