Share

Pangeran Kecil

Penulis: Kifa Ansu
last update Terakhir Diperbarui: 2021-05-16 18:23:08

Sampai di rumah kami kelelahan. Sultan langsung tidur. Perutku berteriak parau. Si jabang bayi bergerak-gerak lincah. Jika ibu lapar, maka janinlah yang meronta-meronta. Saat hendak mengambil makanan, aku melihat ponsel Sultan tergeletak di meja.

 

Kebetulan benda elektronik keramat itu hidup, biasanya selalu dalam keadaan kosong baterai kalau di rumah. 

Tidak dikunci. Aku membuka akun F******k miliknya. Ah, ini memang memang akun asli. Lega rasanya. Rupanya, itu hanya sementara. Saat membuka mesin pencari dan melihat jejak riwayat, ada F******k lagi dengan akun bernama Dorres.

 

“Kay....kamu di mana?”

 

Jantungku renyut kencang. Tidak terduga Sultan akan terbangun. Dia melihatku sedang menyentuh ponselnya. Wajahnya berubah putih. Segera ia rebut gawai itu.

 

“Liat apa kamu?”

 

“Tadinya mau liat jam. Terus itu kok ada f******k aneh. Ngapain buka f******k di browser? Kan sudah ada aplikasi.”

 

“Oh...Ini tadi dipinjam sama teman kantor.”

 

Katanya sembari mengeluarkan akun itu. Tapi aku ingat namanya. Akan kucari nanti. 

 

Aku melangkah ke dapur. Tidak ada makanan, hanya ada biskuit. Satu-satunya pilihan menghangatkan susu yang baru kami beli dari alun-alun tadi. Rasanya menyegarkan, lelah langsung hilang. 

 

Sultan masih sibuk mengutak-atik ponselnya. Dahiku berkerut, jari-jari pria berkulit kuning langsat itu begitu cekatan berpindah-pindah. Meski terlihat sekali tangannya bergetar. Mata lentiknya bergerak-gerak cepat dengan wajah tegang. Persis seperti koruptor yang tertangkap basah.

 

Malam semakin larut, tapi aku tidak bisa tidur. Akun f******k itu menakutkan. Kubuka ponsel. Saatnya menelusuri nama Dorres dari mesin pencari yang ada di f******k.

 

Ketemu! 

 

Dorres seorang tentara. Tampak pria bertubuh kekar dengan wajah yang maskulin. Aku melihat berandanya. Tertangkap hal mengerikan. Dari status yang diunggah akun itu, orang ini berbahaya. Saat aku hendak membangunkan Sultan, perutku mendadak sakit. 

 

Aku menjerit sembari berpegangan pada ujung meja. Astaghfirullah… Sultan datang lalu menggendongku menuju rumah sakit terdekat. Beruntung rumah sakit tidak terlalu jauh. Meski ditempuh dengan motor juga hanya memakan waktu kurang dari lima belas menit.

Saat melahirkan telah tiba. Sultan menghubungi ibunya. Aku dibawa ke ruang gawat darurat. Seorang perawat memasang infus. Kontraksi palsu terus menyerang, perutku seperti sedang dipilin. Meski tidak beraturan, tapi cukup menguras tenaga. Laa hawla walaa quwwata illaa billah. Aku tidak langsung dibawa ke ruang bersalin. Selama kontraksi palsu setiap pasien masih ditempatkan di ruang rawat inap biasa.

 

Dokter menyuntikkan obat induksi, sebab jalan lahir masih belum juga terbuka meski sudah beberapa jam berlalu. Rasa mulas berangsur-angsur bertambah. Mulai teratur dan semakin sering. Duh, sekujur tubuh bergetar hebat diringi denganperut serasa diremas-remas. Mungkin inilah kenapa Allah hadiahkan pahala berlipat kepada wanita. 

 

Tiba-tiba ada yang meletus dari dalam perut. Perawat segera membawaku ke ruang bersalin. Tapi, dokternya belum datang. Hanya ada bidan dan perawat yang terus membantu. Jalan lahir mulai bertambah banyak. Aku merasakan ada dorongan dari dalam. Bayinya ingin keluar, dia mendorong kuat. Proses melahirkan ini benar-benar menyita seluruh tenagaku. 

 

“Allaahu Akbarrrr!”

 

Perawat membimbingku agar terus menyebut nama Allah. Sultan menemani bersama dengan ibu mertua. Bapak dan ibuku juga sudah datang. Ibu tidak berani melihat, hanya sesekalimengintip dari pintu. Bapak terus membaca do’a. Ibu mertua dan Rara, yang terus ada di sisiku. Sultan pergi ke masjid, Mbak Widya yang menyarankannya salat sunah. 

 

Tak lama dari dokter datang dengan membawa gunting. Ia lantas menggunting jalan lahir, tapi aku tidak merasakan sakitnya sama sekali. Tekanan dari si bayi kecil makin menguat. Aku mengejan sekuat tenaga bersamaan dengan dorongan yang dilakukan si bayi. 

 

Lalu, malaikat kecil itu lahir. Bayi laki-laki dengan rambut hitam pekat seperti Sultan. Hidungnya mancung, bibirnya tipis dengan kulit merah. Ibu mertuaku bilang wajahnya sama seperti Sultan saat bayi. Alhamdulillah.

 

Sultan datang dengan wajah bersemu kemerahan. Meski matanya juga berwarna merah, pria itu tersenyum sedikit tertahan. Setelah disuntik dan dimandikan, Sultan mengazani bayi kecil itu di telinga kanannya.

 

 “Siapa ya namanya si ganteng ini? Dia mirip aku ya? Bagaimana kalau namanya Adnan, nanti kita pikirkan lagi nama panjangnya.”

 

Aku tersenyum lemah. Mataku masih berkunang-kunang. Dari kejauhan tampak bayiku dibawa menggunakan kereta ke ruang bayi. Dokter baru selesai menjahit jalan lahir yang tadi telah digunting. Beruntung obat bius itu tidak membuatku merasakan sakitnya jarum yang menusuk kulitku berkali-kali. Aku diantar kembali ke ruangan VVIP. Sultan yang minta agar kamarku dipindahkan ke sana. 

 

Wajah bahagia terpancar dari seluruh anggota keluarga. Terlebih Bapak, ia baru punya cucu. Hanya akulah anaknya, jadi ia hanya akan menimang cucu dariku. Apalagi ini, bayinya laki-laki. Ibu menangis haru sambil mengelus-ngelus kepalaku.

 

Aku mengerutkan alis, bukannya tidak bahagia. Tapi, kepalaku masih memikirkan akun Dorres yang ada di ponsel Sultan. Jika memang benar itu akun milik teman Sultan, maka aku harus melarangnya agar jangan berteman dengan orang itu. Tapi, segala logika justru memaksaku curiga kalau akun itu milik Sultan. Dan jika perkiraanku benar, artinya pernikahan ini sedang berada dalam dunia yang paling mengerikan. Dorres bukan pria baik-baik, dia orang yang berbahaya bagi siapapun yang mengenalnya. 

***

 

“Ibunya Adnan, Ayah pergi dulu ya? Ada janji mau ketemuan sama teman lama?”

 

“Siapa? Ketemu di mana? Laki-laki atau perempuan?” Tanyaku menyelidik.

 

“Laki-laki Kay, di tempat karoke. Hehe. Udah lama nih gak karokean. Sebentar aja kok, cuma satu jam.”

 

Aku hanya mengangguk dengan tangan bergetar. Ketakutan menyerang bertubi-tubi, menghadirkan prasangka buruk yang terus bermunculan. Hati nuraniku melarang Sultan pergi, tapi tak ada alasan untuk itu. Di sini masih ada orang tuaku yang menemani setelah melahirkan. Mereka akan tinggal selama kurang lebih dua minggu. Sembari menunggu acara akikahan dan pemberian nama. 

 

Langit cerah bersinar, tapi hatiku mendung. Para tetangga bergantian menjengukku dan si kecil. Meski di sini warganya sedikit, sebab baru beberapa rumah yang sudah ditinggali, tapi semuanya saling peduli. Kebanyakan dari mereka bekerja, hanya ada di komplek perumahan saat malam hari atau hari libur. Tinggallah pekerja pensiunan yang memang lebih banyak berada di rumah. 

 

Sultan pulang setelah Isya, ia membawa beberapa makanan untuk kami. Selalu begitu, tak pernah lupa membawakan oleh-oleh untuk keluarganya ketika pulang dari bepergian. Ia membeli camilan kesukaanku atau yang belum pernah aku makan. 

 

“Ini. Ada dimsum buat kamu.” Katanya sembari menyerahkan sekotak makanan dari negeri gingseng.

 

Ada yang aneh dengannya. Wajah kuning langsatnya terlihat berbeda. Gelap. Seperti mayat yang sebenarnya tak ingin mati. Ia berusaha tetap tersenyum, tapi aku tidak membalasnya. Hanya diam dan mengerutkan kening hingga kedua alisku nyaris menyatu. Makanan itu sepertinya lezat, masih terbungkus rapi di meja.

 

“Kamu tuh gimana sih. Aku udah beliin dimsum buat kamu. Ngantri lama. Malah gak dimakan juga.”

 

Sultan mengambil makanan itu lalu membuangnya ke tempat sampah.

 

“Eh jangan! Aku baru mau makan…”

 

Tidak gunanya. Makanan itu sudah bercampur dengan bau busuk.

Seharian ini perutku mual. Mungkin karena kelelahan. Makanan yang masuk meronta ingin keluar secara paksa. 

Wajah Sultan tampak merah padam. Ia pergi ke kamar lain, menutup pintu kuat-kuat hingga terdengar suara dentuman. Selanjutnya, ia tidur di sana dengan pintu terkunci. Aku sungguh tidak mengerti. Kenapa laki-laki bisa seperti ini. Apa setiap lelaki mudah marah begini? Atau hanya dia saja? Kenapa pernikahan ini? Sultan tak pernah mau diajak berdiskusi. Ketika marah, ia akan tidur.

 

Sejak itu Sultan seperti berada dalam gua yang pekat. Kupandangi parasnya lekat-lekat saat ia tidur. Kepalaku menerka-nerka. Tampak gurat-gurat kelelahan. Tidurnya tidak tenang. Hampir disetiap malam  ia mengingau atau tiba-tiba terbangun. Lelaki berhidung mancung itu tak pernah menyentuh Al qur’an. Ketika aku mengajaknya mengaji, ia selalu mangkir dengan berbagai alasan. Lambat hari, aku merasa ia semakin menjauh. Kami mulai sering bertengkar. Ia mudah sekali marah dan tersinggung. 

Setiap hari pria itu tidur larut malam. Menonton TV sembari terus menatap layar ponselnya. Orang tuaku sudah pulang. Masa nifas pun sudah lewat. Aku juga sudah bisa memandikan bayi kecilku sendiri. 

 

Kali ini aku menguatkan diri supaya tidak tidur. Seperti yang sudah-sudah, tengah malam baru Sultan beranjak tidur tanpa melaksanakan kewajiban terlebih dahulu. Kebiasaannya buruk, ia tak menganggap shalat hal utama. Kadang ia sengaja mengundur-undur ritual ibadah wajib itu. Alasannya karena sibuk melakukan hal-hal tak penting seperti main game atau membaca berita gosip artis. Astaghfirullah. Sebenarnya hidup dengan manusia macam apa aku ini?

Kengerian makin menjalar. Sesungguhnya bahaya mengancam orang yang tidak ingat shalat. Aku membangunkannya pukul 4 pagi. 

 

“Apa sih. Aku baru tidur tahu.”

 

“Kamu itu belum shalat Isya, Mas. Bangun…”

 

Dengan terpakasa dia bangun dan berwudu. Sultan shalat dengan wajah merah serupa kepiting terjepit.

 

Shalatnya pun tak ubahnya burung yang mematuk makanan. Persis shalatnya orang-orang munafik. Secepat kilat. Setelahnya langsung tidur lagi tanpa beristighfar atau berdoa kepada-Nya.

Kusadari gelap pekat menyelimuti hubungan ini. Aku memang ada di sisinya, tapi ia begitu jauh. Ada dinding yang menghalangi kami. 

 

Sultan kerap menyinggung tentang perselingkuhan. Bercerita tentang bosnya yang selingkuh, temannya yang bercerai karena perselingkuhan, atau temannya yang selingkuh sekian tahun tanpa ketahuan oleh keluarganya. 

 

“Kalau suatu hari nanti aku selingkuh, gimana Kay?” tanyanya sambil tetap menatap layar gawai.

 

“Aku pecat jadi suami!” kataku dengan tatapan tajam. Serius.

 

Sultan hanya tertawa. Dia serius, aku tahu itu. Pria muda ini sedang berselingkuh, itulah maksud dari pertanyaannya. Meski belum ada bukti, secepatnya akan kucari tahu. Wajah Sultan memang memanipulasi seakan ia bercanda, tapi sesungguhnya lelaki itu sedang menungkapkan kenyataan. Dengan siapa pria ini berhubungan gelap?

****

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • His Dark Secrets   Hujan

    Mentari pagi bersinar cerah, musim semi memberi kehangatan di pagi hari menyapa hati yang dingin karena rindu. Udara segar berhembus mengisi paru-paru dengan energi baru. Sejak hari masih gelap, orang-orang sudah berlalu lalang dengan kesibukannya masing-masing. Munchen memang kota yang sibuk, penduduknya berjalan lebih cepat dua kali lipat dari pada orang-orang di kota Batu.Esok pernikahan Alvin dan Nirmala akan dilangsungkan. Ayana sedang menemani calon pengantin putri itu ke salon hari ini. Aku yang memaksa Nirmala. Dia harus melakukan perawatan terbaik agar besok terlihat cerah. Meski cantik Mala sama sekali tak paham tentang perawatan. Aku masih lebih baik darinya.Alvin berdiri menatap keramaian kota melalui balkon. Hanya dalam hitungan jam dia akan punya istri lagi. Dari sini kita bisa melihat halaman rumah Alvin yang amat luas. Konsep pernikahan ini nantinya pesta kebun. Panitia pesta sedang menghias berbagai sudut halaman dengan ornamen-ornamen ala aristokrat

  • His Dark Secrets   Sirotol Mustaqim

    Harusnya, hidup memberikan kebahagiaan setelah kita terkubur dalam luka. Nyatanya, takdir terlalu rumit untuk ditebak. Aku baru tahu, apa yang dialami Sultan setelah kembali dari menemui pembunuh Adnan. Sebuah cerita yang mengikis sanubari. Mataku tak sanggup menekan air yang tumpah sendiri mendengar kisah darinya.***“Rasakan pembalasanku Sultan. Anakmu mati sama seperti anak-anakku. Aku puas. Maaf, kau pasti kecewa.”Dodi tertawa di hadapan Sultan. Mereka hanya terpisah dengan meja kayu yang berwana cokelat tua. Mata Sultan menatap Dodi dengan kebencian. Giginya berbunyi gemerutuk menahan amarah. Setan apa yang ada di hadapannya ini?“Kau marah? Aku sudah minta tolong padamu. Tapi apa yang kau katakan. Atasi masalahku sendiri, begitu kan?”Tak tahan lagi. Tangan Sultan meninju wajah Dodi tepat mengenai pipi. Tak puas ia menambah pukulan pada dagu pria bertubuh tegap itu. Dodi terjengkang dari kursi. Petugas kepolisi

  • His Dark Secrets   Masih Mencari

    “Ya Allah Mbak Kay, cepetan dikit dong!” Seru Ayana.Dia mulai kesal sejak tadi aku tidak juga selesai mengepak barang-barang yang akan kubawa ke Jerman. Gadis ini sewot sekali, padahal penerbangan masih dua jam lagi. Nampaknya ia terlalu antusias. Aku maklum, ini pertama kalinya kami terbang keluar negeri. Gratis pula. Semua akomodasi sudah dibayar oleh Alvin.“Masih lama kan berangkatnya. Santai aja kali.”“Ih, Mbak Kay kita kan mau belanja oleh-oleh untuk Nirmala. Dia udah enam bulan sekolah di negeri yang gak ada Susu KUD atau Ketan Legendaris.”Ya tentu saja. Jangankan Jerman, rumah ibu di Klaten juga tidak menjual pemanja lidah itu. Ayana bersungut-sungut karena aku nampak tak bersemangat. Akhirnya dia sendiri yang pergi ke alun-alun kota membeli segala oleh-oleh. Aku duduk diam menunggu kendaraan online. Harusnya ini menyenangkan, ini perjalanan yang diimpikan banyak orang. Dulu semangatku menggebu, ketika kabar

  • His Dark Secrets   Keputusan

    Sultan meraih tanganku, aku masih enggan menatapnya. Sejak masalah ini terungkap, aku sudah terlanjur memasang tameng untuk mengacuhkannya. Tapi kini, rasa itu berbalik. Aku merasa tak ingin kehilangan dirinya.“Lihat aku, sebelum kujatuhkan talak. Bolehkah aku memelukmu untuk terakhir kalinya?”Kepala ini terasa berat hanya sekadar untuk melihat wajahnya. Sungguh, aku tak tahu bagaimana ekspresinya saat ini. Tanpa mendengar persetujuan dariku ia tetap memelukku erat, sambil terguncang. Wajahnya ia tenggelamkan di bahuku yang membuatnya harus terbungkuk.Aku balas memeluknya, dengan air mata yang sama derasnya. Lama sekali kami saling melepaskan kerinduan. Terkadang rindu bukan hanya karena kita berjauhan, tapi saat kita selalu dekat namun jiwa kita yang saling menjauh.Dia menatapku lekat-lekat. Aku bisa melihat ada harapan, tapi tertahan karena keputusasaan yang lebih menyeruak. Tangannya menyentuh wajahku. Aku tak kuat mengeluarkan sepatah

  • His Dark Secrets   Pembalasan

    Selama ini, tidak ada orang yang bermasalah dengan orang lain. Setahuku, dia bersikap baik kepada siapa saja. Terlepas tentang pengkhianatannya terhadapku. Ungkapan tentang siapa Dodi, membuat jantungku tertusuk. Lukanya masih belum sembuh. Cerita ini memperparah sakitnya. Luka jiwa yang akan selalu melekat dalam ingatan.***“Tan, bisa gak lo ke sini? Gue butuh bantuan lo. Istri gue tahu tentang dunia itu. Dia marah banget Tan?”Sebuah suara menghubungi Sultan yang tengah sibuk mempersiapkan makanan bagi pengunjung restonya. Siang ini ramai benar. Semua kursi penuh, bahkan beberapa orang harus menunggu di luar pintu untuk bisa menempati kursi mana yang baru ditinggalkan pengunjung. Pembicaraan ini sepertinya serius, Sultan beringsut mundur ke dalam ruangan pribadinya.“Terus gue harus apa? Nemuin istri lo berlutut minta maaf. Buat apa?”“Setidaknya lo ke sini, istri gue kabur entah ke mana Tan. Gue bingung,” jaw

  • His Dark Secrets   Pertengkaran

    Malam kian larut. Tidak ada satu orang pun yang beranjak tidur. Wajah-wajah tegang berkumpul di ruang keluarga. Televisi menyala terang menampilkan acara penuh gurau. Tidak ada muatan pendidikan atau nasihat sama sekali. Hanya canda tawa yang tidak lucu.Duduk di sana ibu, ibu mertua, Bapak dan Bapak mertua. Mbak Widya masih di sini bersama suaminya berbincang entah apa. Rara tenggelam dengan musik jaz yang ia dengarkan sendiri. Aku duduk membaca novel karangan ibu. Tak lama terdengar suara pintu diketuk dan seseorang mengucapkan salam. Jam 11 malam, mungkin itu Sultan.Benar. Sultan masuk dengan lunglai. Matanya menatap lantai berwarna merah bata yang licin mengkilap. Semua orang mengamatinya dengan arti yang berbeda. Bapak mertuaku berdiri mendekatinya. Tangannya langsung menghantam pipi kanan Sultan. Bunyinya bak petir. Tak cukup sekali, ada empat kali tamparan bahkan akan terus berlanjut jika saja Mas Salman tidak segera melerai. Ibu dan ibu mertua masing-mas

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status