Share

Pangeran Kecil

Sampai di rumah kami kelelahan. Sultan langsung tidur. Perutku berteriak parau. Si jabang bayi bergerak-gerak lincah. Jika ibu lapar, maka janinlah yang meronta-meronta. Saat hendak mengambil makanan, aku melihat ponsel Sultan tergeletak di meja.

 

Kebetulan benda elektronik keramat itu hidup, biasanya selalu dalam keadaan kosong baterai kalau di rumah. 

Tidak dikunci. Aku membuka akun F******k miliknya. Ah, ini memang memang akun asli. Lega rasanya. Rupanya, itu hanya sementara. Saat membuka mesin pencari dan melihat jejak riwayat, ada F******k lagi dengan akun bernama Dorres.

 

“Kay....kamu di mana?”

 

Jantungku renyut kencang. Tidak terduga Sultan akan terbangun. Dia melihatku sedang menyentuh ponselnya. Wajahnya berubah putih. Segera ia rebut gawai itu.

 

“Liat apa kamu?”

 

“Tadinya mau liat jam. Terus itu kok ada f******k aneh. Ngapain buka f******k di browser? Kan sudah ada aplikasi.”

 

“Oh...Ini tadi dipinjam sama teman kantor.”

 

Katanya sembari mengeluarkan akun itu. Tapi aku ingat namanya. Akan kucari nanti. 

 

Aku melangkah ke dapur. Tidak ada makanan, hanya ada biskuit. Satu-satunya pilihan menghangatkan susu yang baru kami beli dari alun-alun tadi. Rasanya menyegarkan, lelah langsung hilang. 

 

Sultan masih sibuk mengutak-atik ponselnya. Dahiku berkerut, jari-jari pria berkulit kuning langsat itu begitu cekatan berpindah-pindah. Meski terlihat sekali tangannya bergetar. Mata lentiknya bergerak-gerak cepat dengan wajah tegang. Persis seperti koruptor yang tertangkap basah.

 

Malam semakin larut, tapi aku tidak bisa tidur. Akun f******k itu menakutkan. Kubuka ponsel. Saatnya menelusuri nama Dorres dari mesin pencari yang ada di f******k.

 

Ketemu! 

 

Dorres seorang tentara. Tampak pria bertubuh kekar dengan wajah yang maskulin. Aku melihat berandanya. Tertangkap hal mengerikan. Dari status yang diunggah akun itu, orang ini berbahaya. Saat aku hendak membangunkan Sultan, perutku mendadak sakit. 

 

Aku menjerit sembari berpegangan pada ujung meja. Astaghfirullah… Sultan datang lalu menggendongku menuju rumah sakit terdekat. Beruntung rumah sakit tidak terlalu jauh. Meski ditempuh dengan motor juga hanya memakan waktu kurang dari lima belas menit.

Saat melahirkan telah tiba. Sultan menghubungi ibunya. Aku dibawa ke ruang gawat darurat. Seorang perawat memasang infus. Kontraksi palsu terus menyerang, perutku seperti sedang dipilin. Meski tidak beraturan, tapi cukup menguras tenaga. Laa hawla walaa quwwata illaa billah. Aku tidak langsung dibawa ke ruang bersalin. Selama kontraksi palsu setiap pasien masih ditempatkan di ruang rawat inap biasa.

 

Dokter menyuntikkan obat induksi, sebab jalan lahir masih belum juga terbuka meski sudah beberapa jam berlalu. Rasa mulas berangsur-angsur bertambah. Mulai teratur dan semakin sering. Duh, sekujur tubuh bergetar hebat diringi denganperut serasa diremas-remas. Mungkin inilah kenapa Allah hadiahkan pahala berlipat kepada wanita. 

 

Tiba-tiba ada yang meletus dari dalam perut. Perawat segera membawaku ke ruang bersalin. Tapi, dokternya belum datang. Hanya ada bidan dan perawat yang terus membantu. Jalan lahir mulai bertambah banyak. Aku merasakan ada dorongan dari dalam. Bayinya ingin keluar, dia mendorong kuat. Proses melahirkan ini benar-benar menyita seluruh tenagaku. 

 

“Allaahu Akbarrrr!”

 

Perawat membimbingku agar terus menyebut nama Allah. Sultan menemani bersama dengan ibu mertua. Bapak dan ibuku juga sudah datang. Ibu tidak berani melihat, hanya sesekalimengintip dari pintu. Bapak terus membaca do’a. Ibu mertua dan Rara, yang terus ada di sisiku. Sultan pergi ke masjid, Mbak Widya yang menyarankannya salat sunah. 

 

Tak lama dari dokter datang dengan membawa gunting. Ia lantas menggunting jalan lahir, tapi aku tidak merasakan sakitnya sama sekali. Tekanan dari si bayi kecil makin menguat. Aku mengejan sekuat tenaga bersamaan dengan dorongan yang dilakukan si bayi. 

 

Lalu, malaikat kecil itu lahir. Bayi laki-laki dengan rambut hitam pekat seperti Sultan. Hidungnya mancung, bibirnya tipis dengan kulit merah. Ibu mertuaku bilang wajahnya sama seperti Sultan saat bayi. Alhamdulillah.

 

Sultan datang dengan wajah bersemu kemerahan. Meski matanya juga berwarna merah, pria itu tersenyum sedikit tertahan. Setelah disuntik dan dimandikan, Sultan mengazani bayi kecil itu di telinga kanannya.

 

 “Siapa ya namanya si ganteng ini? Dia mirip aku ya? Bagaimana kalau namanya Adnan, nanti kita pikirkan lagi nama panjangnya.”

 

Aku tersenyum lemah. Mataku masih berkunang-kunang. Dari kejauhan tampak bayiku dibawa menggunakan kereta ke ruang bayi. Dokter baru selesai menjahit jalan lahir yang tadi telah digunting. Beruntung obat bius itu tidak membuatku merasakan sakitnya jarum yang menusuk kulitku berkali-kali. Aku diantar kembali ke ruangan VVIP. Sultan yang minta agar kamarku dipindahkan ke sana. 

 

Wajah bahagia terpancar dari seluruh anggota keluarga. Terlebih Bapak, ia baru punya cucu. Hanya akulah anaknya, jadi ia hanya akan menimang cucu dariku. Apalagi ini, bayinya laki-laki. Ibu menangis haru sambil mengelus-ngelus kepalaku.

 

Aku mengerutkan alis, bukannya tidak bahagia. Tapi, kepalaku masih memikirkan akun Dorres yang ada di ponsel Sultan. Jika memang benar itu akun milik teman Sultan, maka aku harus melarangnya agar jangan berteman dengan orang itu. Tapi, segala logika justru memaksaku curiga kalau akun itu milik Sultan. Dan jika perkiraanku benar, artinya pernikahan ini sedang berada dalam dunia yang paling mengerikan. Dorres bukan pria baik-baik, dia orang yang berbahaya bagi siapapun yang mengenalnya. 

***

 

“Ibunya Adnan, Ayah pergi dulu ya? Ada janji mau ketemuan sama teman lama?”

 

“Siapa? Ketemu di mana? Laki-laki atau perempuan?” Tanyaku menyelidik.

 

“Laki-laki Kay, di tempat karoke. Hehe. Udah lama nih gak karokean. Sebentar aja kok, cuma satu jam.”

 

Aku hanya mengangguk dengan tangan bergetar. Ketakutan menyerang bertubi-tubi, menghadirkan prasangka buruk yang terus bermunculan. Hati nuraniku melarang Sultan pergi, tapi tak ada alasan untuk itu. Di sini masih ada orang tuaku yang menemani setelah melahirkan. Mereka akan tinggal selama kurang lebih dua minggu. Sembari menunggu acara akikahan dan pemberian nama. 

 

Langit cerah bersinar, tapi hatiku mendung. Para tetangga bergantian menjengukku dan si kecil. Meski di sini warganya sedikit, sebab baru beberapa rumah yang sudah ditinggali, tapi semuanya saling peduli. Kebanyakan dari mereka bekerja, hanya ada di komplek perumahan saat malam hari atau hari libur. Tinggallah pekerja pensiunan yang memang lebih banyak berada di rumah. 

 

Sultan pulang setelah Isya, ia membawa beberapa makanan untuk kami. Selalu begitu, tak pernah lupa membawakan oleh-oleh untuk keluarganya ketika pulang dari bepergian. Ia membeli camilan kesukaanku atau yang belum pernah aku makan. 

 

“Ini. Ada dimsum buat kamu.” Katanya sembari menyerahkan sekotak makanan dari negeri gingseng.

 

Ada yang aneh dengannya. Wajah kuning langsatnya terlihat berbeda. Gelap. Seperti mayat yang sebenarnya tak ingin mati. Ia berusaha tetap tersenyum, tapi aku tidak membalasnya. Hanya diam dan mengerutkan kening hingga kedua alisku nyaris menyatu. Makanan itu sepertinya lezat, masih terbungkus rapi di meja.

 

“Kamu tuh gimana sih. Aku udah beliin dimsum buat kamu. Ngantri lama. Malah gak dimakan juga.”

 

Sultan mengambil makanan itu lalu membuangnya ke tempat sampah.

 

“Eh jangan! Aku baru mau makan…”

 

Tidak gunanya. Makanan itu sudah bercampur dengan bau busuk.

Seharian ini perutku mual. Mungkin karena kelelahan. Makanan yang masuk meronta ingin keluar secara paksa. 

Wajah Sultan tampak merah padam. Ia pergi ke kamar lain, menutup pintu kuat-kuat hingga terdengar suara dentuman. Selanjutnya, ia tidur di sana dengan pintu terkunci. Aku sungguh tidak mengerti. Kenapa laki-laki bisa seperti ini. Apa setiap lelaki mudah marah begini? Atau hanya dia saja? Kenapa pernikahan ini? Sultan tak pernah mau diajak berdiskusi. Ketika marah, ia akan tidur.

 

Sejak itu Sultan seperti berada dalam gua yang pekat. Kupandangi parasnya lekat-lekat saat ia tidur. Kepalaku menerka-nerka. Tampak gurat-gurat kelelahan. Tidurnya tidak tenang. Hampir disetiap malam  ia mengingau atau tiba-tiba terbangun. Lelaki berhidung mancung itu tak pernah menyentuh Al qur’an. Ketika aku mengajaknya mengaji, ia selalu mangkir dengan berbagai alasan. Lambat hari, aku merasa ia semakin menjauh. Kami mulai sering bertengkar. Ia mudah sekali marah dan tersinggung. 

Setiap hari pria itu tidur larut malam. Menonton TV sembari terus menatap layar ponselnya. Orang tuaku sudah pulang. Masa nifas pun sudah lewat. Aku juga sudah bisa memandikan bayi kecilku sendiri. 

 

Kali ini aku menguatkan diri supaya tidak tidur. Seperti yang sudah-sudah, tengah malam baru Sultan beranjak tidur tanpa melaksanakan kewajiban terlebih dahulu. Kebiasaannya buruk, ia tak menganggap shalat hal utama. Kadang ia sengaja mengundur-undur ritual ibadah wajib itu. Alasannya karena sibuk melakukan hal-hal tak penting seperti main game atau membaca berita gosip artis. Astaghfirullah. Sebenarnya hidup dengan manusia macam apa aku ini?

Kengerian makin menjalar. Sesungguhnya bahaya mengancam orang yang tidak ingat shalat. Aku membangunkannya pukul 4 pagi. 

 

“Apa sih. Aku baru tidur tahu.”

 

“Kamu itu belum shalat Isya, Mas. Bangun…”

 

Dengan terpakasa dia bangun dan berwudu. Sultan shalat dengan wajah merah serupa kepiting terjepit.

 

Shalatnya pun tak ubahnya burung yang mematuk makanan. Persis shalatnya orang-orang munafik. Secepat kilat. Setelahnya langsung tidur lagi tanpa beristighfar atau berdoa kepada-Nya.

Kusadari gelap pekat menyelimuti hubungan ini. Aku memang ada di sisinya, tapi ia begitu jauh. Ada dinding yang menghalangi kami. 

 

Sultan kerap menyinggung tentang perselingkuhan. Bercerita tentang bosnya yang selingkuh, temannya yang bercerai karena perselingkuhan, atau temannya yang selingkuh sekian tahun tanpa ketahuan oleh keluarganya. 

 

“Kalau suatu hari nanti aku selingkuh, gimana Kay?” tanyanya sambil tetap menatap layar gawai.

 

“Aku pecat jadi suami!” kataku dengan tatapan tajam. Serius.

 

Sultan hanya tertawa. Dia serius, aku tahu itu. Pria muda ini sedang berselingkuh, itulah maksud dari pertanyaannya. Meski belum ada bukti, secepatnya akan kucari tahu. Wajah Sultan memang memanipulasi seakan ia bercanda, tapi sesungguhnya lelaki itu sedang menungkapkan kenyataan. Dengan siapa pria ini berhubungan gelap?

****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status