"Apa kau gila?" Vio terkejut karena mendengar keputusan Alice.
"Aku merasa ini adalah tugasku, Vio. Lihatlah bagaimana Erick meninggalkan banyak sekali uang untukku, itu berarti aku harus bekerja keras untuk membalas dengan pekerjaan yang setimpal. Aku akan kembali bekerja di perusahaan itu lagi meskipun hanya sebagai tukang sapu, aku akan mencari tahu apakah ada petunjuk bahwa saudara tirinya itu terlibat dalam pembunuhan itu atau tidak," ujarnya.
"Oh God, Erick tak mungkin setuju kalau dia masih hidup. Mana mungkin ia akan membiarkanmu terlibat dengan pembunuh. Ayolah Al, jangan bercanda. Nikmati saja hidupmu, itulah yang dimaukan Erick, hmm?"
Alice tak bergeming, menatap jauh keluar jendela yang menghadap ke hutan kecil.
Ia tahu pria sebaik Erick tak akan membiarkan dirinya dalam bahaya. Akan tetapi ini berbeda, Alice seperti berhutang budi kepada pria itu. "Kenapa orang baik selalu mendahului kita, Vio. Aku akan selalu mengingat bagaimana ia bersamaku dan memperlakukan aku sangat baik," kenangnya sambil menitikkan air matanya.Violet menghela napasnya, melihat sahabatnya yang masih selalu terhanyut dalam kesedihan. Vio tahu bagaimana Alice dan Erick saling mencintai. Bahkan mereka berencana menikah kalau Fien Clark cepat menikah. Nyatanya Erick lebih dulu berpulang.
"Alice, apakah kau mengenal Fien Clark?" tanya Vio tiba-tiba.
"Tidak, aku hanya tahu Fien Clark bekerja pada divisi pemasaran, sedangkan aku hanyalah asisten serabutan di perusahaan itu. Tugasku hanyalah membeli kopi untuk karyawan kesana-kemari. Itulah sebabnya Erick ingin aku bekerja di kafe sehingga lebih terhormat," kenangnya. "Dan juga menghindari skandal orang sekelas Erick yang bisa menghancurkan attitude Tuan Fernandez, ayah Erick," katanya lagi.
"Hmm, jadi tak ada yang tahu kalian berpacaran?"
"Setidaknya seperti itu di perusahaan. Hubungan kami masih rahasia. Hanya beberapa teman dekat yang tahu soal kami."
"Kalau begitu, kau akan bekerja di perusahaan tersebut tanpa ada kecurigaan. Baiklah, aku mendukungmu, tapi berhati-hatilah, aku merasa Fien Clark bukan orang sembarangan."
"Ya, aku tahu. Aku juga tak yakin bahwa dia adalah orang baik," katanya sambil menggigit bibirnya cemas.
*
Seorang HRD membawa Alice dan dua orang lainnya ke ruangan Fien Clark. Fien akan memilih sendiri asisten pribadinya khusus untuk menyiapkan kopi dan makan siang. Fien tak terbiasa dengan masakan kantin atau makanan pesan antar yang sering berubah rasa kalau sudah sampai di tempat. Ia memilih membuat dapur khusus di perusahaan dan berencana mencari koki yang bisa memasak sesuai keinginannya.
Selera Fien Clark bukanlah masakan yang aneh-aneh. Bahkan ia sangat menyukai panekuk kentang atau sejenisnya, begitu juga omelette dengan daun bawang. Tidak butuh juru masak handal karena sebenarnya Fien biasa menyiapkan makanan untuk dirinya sendiri tanpa bantuan orang lain dengan jenis masakan yang sangatlah mudah tersebut.
Seorang wanita bertubuh gemuk mendapatkan giliran wawancara terlebih dahulu. Alice bisa melihat bagaimana Fien Clark menatap tajam pada gadis itu dari ujung kepala hingga ujung rambut.
"Bagaimana caramu mencicipi masakan?"
"Maaf?"
"Bagaimana caramu tahu kalau masakanmu sudah memiliki rasa yang sesuai?" tanya Fien Clark pada gadis itu.
"Ehm, aku mencicipi sedikit saja berupa kuah atau makanannya sehingga aku tahu bagaimana rasanya."
"Hmm, kau ditolak," kata Fien segera.
Wanita itu tertunduk dan keluar ruangan dengan kecewa. Melihat bagaimana gadis itu ditolak hanya karena pertanyaan sederhana itu, Alice sedikit berdebar.'Tidak bisa, kau harus menerimaku Fien Clark,' katanya dalam hati. Ia terus menatap Fien Clark dari kejauhan.
Giliran Alice berhadapan dengan Fien. Alice sungguh berharap ia tak akan gagal dalam wawancara ini.
"Apa makanan favoritmu?"
"Omelette dengan saus."
"Kopi apa yang paling sesuai untuk pekerja sepertiku?"
"Americano," jawab Alice mantap.
"Bagaimana kau mencicipi makanan?"
"Aromanya, dan juga warna masakannya."
Tiga pertanyaan, Alice masih bertahan, karena sebenarnya itu adalah bocoran dari Erick secara tak sengaja dulu karena Erick terkadang bercerita tentang saudara tirinya itu. Hingga tibalah pertanyaan terakhir.
"Apa tujuanmu bekerja di tempat ini? Bukankah kau sudah pernah bekerja di sini dan berhenti?"
'Astaga, kenapa aku tak memikirkannya kemarin? Seharusnya aku menyiapkan jawaban yang tepat untuk pertanyaan ini bukan?' otak Alice berputar mencari alasan yang tepat.
"Emm, itu..., itu karena... Tuan Erick...," Alice terbata. Sebenarnya ia mau berkata jujur bahwa itu adalah saran Erick meskipun ia menyukai bekerja di perusahaan. Namun ia segera ingat kalau antara Fien dan Erick tidak akur.
"Ha ha ha, jujur saja... kau pasti tak menyukai Erick bukan?"
Alice mengangguk ragu. 'Ah, maafkan aku Erick, aku melakukannya karenamu,' sesal Alice.
"Bagus, bagus, aku akan menerimamu kalau begitu," ujar Fien Clark memberikan isyarat HRD yang ada di tempat itu.
Alice tercengang, ia sungguh melewati wawancara lucu dan menyebalkan. Tapi baiklah, Alice memang dalam posisi menyamarkan dirinya saat ini. Fien tak boleh tahu bahwa Erick adalah kekasihnya.
Setelah wawancara tersebut usai, kini Alice duduk di hadapan Fien yang sedang membolak-balik balik halaman resume miliknya.
"Sayang sekali, kau hanya setahun berada di universitas jurusan manajemen perusahaan. Seharusnya kau hampir lulus bukan?" ujar Fien mengomentari.
"Benar, Tuan."
Selagi menjawab Alice melihat raut wajah Fien Clark. Raut wajah Fien Clark memang tak selembut Erick Davis. Akan tetapi aura tegas dan garang tidak menghalangi ketampanannya. Fien Clark memiliki sorot mata tajam dan sedingin es.
'Pantas saja mereka tak pernah akur. Sifatnya seperti kutub Utara melawan Savana,' batinnya.
"Apa kau punya kebiasaan memperhatikan wajah lelaki seperti itu?" Suara bariton Fien Clark membuatnya terkejut karena tiba-tiba saja mereka beradu pandangan.
"Ah, a-apa? maaf," Alice menunduk dengan wajah bersemu merah.
"Tak diijinkan karyawan melihat atasannya dengan tatapan seperti itu, kau mengerti?!" hardik Fien Clark.
"Baik," lirihnya meskipun dalam hati dia mengumpat tak habis-habisnya.
"Hm, kau bisa datang lusa. Kau akan berada di lantai teratas gedung ini. Kau mengerti?"
"Baik," angguknya.
"Oke. Keluarlah dari ruangan ku," titahnya.
Alice menggeser kursi dan beranjak dari hadapan Fien Clark untuk melangkah pergi.
"Hei," panggil Fien, dan Alice menoleh.
"Jangan memakai baju seperti itu ketika datang ke kantorku besok. Meskipun kau koki, aku tak menerima kelas rendahan bekerja di kantorku. Belilah pakaian yang bagus. Oke?!"
Alice kesal dibuatnya. Memangnya pakaian apa yang pantas untuk seorang koki dan pembuat kopi? "Nggak lucu," gerutunya sangat pelan lalu beranjak keluar dari ruangan Fien Clark.
Segera saja Alice mengeluarkan kipas kecil dari dalam tasnya saat menuruni tangga dari lantai dua dimana Fien Clark berada.
"Atmosfer perusahaan ini sangat panas," gerutunya sehingga seorang pengawal mendengarnya.Pengawal tersebut segera menghubungi divisi pemeliharaan AC.
"Periksa seluruh AC ruangan, apa semua dalam keadaan normal!" perintahnya.Alice menyiapkan dirinya, menyisir surai hitamnya lalu mengikat dengan satu ikatan di belakang. Ia sudah mengenakan tunic berwarna putih tulang dengan potongan punggung sedikit rendah. Celana jeans dan sepatu kets berwarna putih. Ia mematut dirinya di cermin."Perduli apa dengan pakaian mahal, aku tak akan berada di garda terdepan, aku juga tidak sedang menarik perhatian pria. Dasar! Kenapa tak sekalian memakai seragam tukang bersih-bersih toilet saja?" gerutunya."Sayangnya aku tak bisa melamar jadi sekretaris perusahaan yang bisa banyak tahu urusan pribadimu," gumamnya lagi. "Oh Erick, aku pasti akan menemukan siapa yang telah membuat kita terpisah seperti ini, aku akan membalas mereka Erick."Sementara itu Fien Clark telah mengubah kantor pribadi Erick menjadi dapur spesial untuknya. Ia juga membuat sebuah kamar tidur seperti suite room sebuah hotel. Ia melakukan perombakan total agar tidak terlalu meninggalkan jejak Erick Davis di dalam hidupnya.
Setelah memberikan perintah, Fien Clark mengurung dirinya di kamar. Alice mulai mengenakan apron berwarna hijau dengan motif floral di tubuhnya. Alice tak bisa berhenti mengagumi tatanan ruangan milik Fien Clark yang terkesan bebas dan bergaya anak muda, sedikit urakan tapi tetap rapi dan elegan.Lalu ia melangkah menuju meja dimana beberapa makanan tersedia. "Dibuang? Apa dia sudah gila?" Alice menggerutu melihat makanan lezat yang harus dibuangnya. Dengan segera Alice mengambil makanan tersebut dan memasukkannya ke dalam kulkas.Tidaklah sulit menyiapkan makanan untuk Fien, akan tetapi ia tak yakin apakah masakannya cocok untuk pria tersebut.Bertepatan dengan masakannya yang selesai, Fien keluar dari kamar dengan setelah jas berwarna merah maroon dengan dasi bercorak linier besar. Alice hampir saja tertawa melihatnya, tapi ia segera sadar kalau ia tak boleh membuat kekacauan dengan pria ini."Aku tau kau mencibir ke arahku," Fien duduk dan
Alice tersengal mengatakannya. Ia berpikir Fien marah karena rahasia penting perusahaan, nyatanya Fien hanya marah karena americano yang menjadi dingin. Alice segera mengambil kopi itu kembali dan menuju keluar pintu."Ah ya, jangan sampai kau mengatakan apapun tentang pembicaraan kami atau aku akan menggigit bibirmu sampai hilang," ujar Fien santai dan membuat Alice menoleh garang."Brengsek," lirih Alice pelan. Sayangnya gerakan bibir Alice bisa tertangkap jelas oleh Fien sehingga Fien tahu apa yang diucapkan Alice.Alice menghilang dari balik pintu, tapi Fien terkekeh karenanya. Ia berhasil membuat gadis comel itu mengumpat dirinya."Kau tahu kalau aku sangat brengsek bukan? Jadi jangan coba-coba bermain-main denganku Alice. Kurasa Erick juga tak menyukai gadis comel sepertimu sehingga kau harus pergi dari perusahaan ini. Tapi baiklah, setidaknya kau bukan penggemar Erick sehingga aku harus memberikan penghargaan kepadamu," ujarnya kemudian.*
Eddie masih tak bergeming saat Fien Clark memberinya perintah menyematkan nama Alice Greyson di daftar kepemilikan saham, seolah ini hal yang tak seharusnya."Apa kau merasa aku terlalu sedikit memberimu komisi ini Eddie? Kau merasa Alice Greyson tak layak menerimanya bukan?"Eddie menghela napas. Sesuatu yang memberatkan kepalanya adalah kenyataan bahwa Alice adalah kekasih Erick dan Fien Clark tak mengetahui. Padahal bagi Fien, segala sesuatu yang berkaitan dengan Erick harus dihancurkan. Bagaimana kalau Fien menghancurkan gadis itu?Disisi lain mengapa Fien menyerahkan sepuluh persen saham secara cuma-cuma, mungkinkah kematian Erick adalah kerjasama antara Fien dan gadis itu? Itukah sebabnya Eddie tak perlu bertanya kenapa Fien memberikannya."Masalah itu, aku hanya merasa Anda menyukainya, Tuan Fien?" suara Eddie membuat Fien terkesima."Tutup mulutmu! Apa kau gila aku menyukai gadis kurus kurang gizi itu? Ada hal yang mendorongku untuk melakuk
Fien mengambil sebuah ketapel yang tergantung di dinding peralatan kebun. Ada dua buah ketapel di sana, tentu saja salah satunya adalah milik Erick. Setelah hampir satu bulan lamanya Fien merasa hidupnya sedikit hampa tanpa Erick.Terkadang Erick memintanya untuk datang bersama ke kebun strawberry, tapi ia selalu menolaknya. Ia selalu menghindar jika Erick mengajaknya ke suatu tempat bersama."Kenapa kau selalu berbuat baik kepadaku padahal aku membencimu? Ini terlalu memuakkan!" Fien melempar ketapel satunya ke lantai. Lalu ia segera pergi keluar dimana ada sebuah pintu kebun yang mengarah ke sebuah kebun apel. Biasanya mereka akan mengejar tupai dengan ketapel tersebut."Hai! Aku akan melempar tupai itu!" seru Erick kecil dengan bersemangat. Bocah itu mulai membidik tupai yang berada di batang pohon apel.Fien kecil juga ikut membidik pada tupai itu sehingga mereka secara bersamaan melepaskan peluru ke arah tupai yang sama."Dapat!" Erick b
Alice tak akan muncul lagi di hadapan Fien Clark. Ia sudah bertekad karena ia mengkhawatirkan dirinya sendiri. Bagaimanapun Erick telah tiada, sementara berdekatan dengan Fien semakin menyulut emosinya. Ia berjalan pulang menuju jembatan di dekat sungai Cameron. Baginya tempat itu membuatnya lebih tenang dan bersyukur.Berada diantara orang-orang yang membutuhkan membuatnya merasa berharga, daripada berada di sekeliling orang seperti Fien Clark yang bergelimang harta. Sehingga memandang sesuatu selalu seperti sampah tak berguna.Ia berjalan santai dan menikmati udara malam yang tidak terlalu dingin. Memandang langit yang bertaburan bintang dan cahaya bulan menerangi langit. Suasana seperti ini akan lebih indah dilihat di atas jembatan sungai Cameron.Alice menatap hulu sungai yang bergerak lambat. Kilauan cahaya bulan seperti permata diantara derak riak air yang mengalir. Alice sungguh tersenyum dan terhibur karenanya.Fien Clark yang melihatnya men
"Tuan Fien Clark, kompensasi sebesar itu tidak relevan untuk seorang koki dan babu sepertiku," kata Alice memrotes lembaran kontrak kerja di tangannya. Ia mengibas-ngibaskan lembaran tersebut di depan Fien."Kenapa tidak? Mempekerjakan orang asing masuk ke dalam area pribadiku pastilah penuh resiko. Banyak raja mati diracuni oleh pelayannya. Belum lagi aku menggajimu lebih besar dari yang lain. Apa aku salah?""Tapi...,""Bukannya kau telah membaca surat kontrak tersebut ketika wawancara tempo hari? Lihatlah, ada tanda tanganmu di situ."Alice membola, rasanya meskipun membaca sepintas ia tak melihat kesepakatan tentang uang satu miliar dolar itu. Bahkan ia tak mendapatkan salinan dari surat kontrak tersebut. Apakah poin terakhir tersebut adalah poin yang sengaja disisipkan tanpa sepengetahuannya? Ah, Alice menjadi sangat frustasi."Sial!" katanya dengan melempar berkas itu kasar."Aku jadi merasa, kau bahkan banyak menentang saudaraku Erick
Acara peresmian belum dimulai. Terlihat masih banyak para tamu yang lalu lalang dari area parkir menuju tempat jamuan."Siapa pemilik yayasan ini?" tanya Alice penasaran."Mantan tunanganku. Kau akan melihatnya nanti," ujar Fien santai. "Turunlah, bersikaplah seperti kekasihku," katanya lagi."Apa katamu?"Bukan menjawab, Fien malah keluar dari mobilnya."Apakah ini bagian dari perjanjian?" Alice memrotes karena Fien menarik tangan Alice untuk melingkarkan di lengannya."Dua puluh persen dari satu miliar bahkan kau harus bekerja selama dua puluh tahun. Apa susahnya berpura-pura? Kalau kau gagal, aku hanya bisa memotong sepuluh persen saja.""Apa maksudmu?""Mereka harus percaya bahwa kau adalah kekasihku," bisik Fien di telinga Alice dengan seksi.Alice tak bisa memrotes lagi karena semakin banyak orang menyapa Fien Clark."Hai Fien, sudah lama kau tak terlihat di klub, kau pasti sangat sibuk," kata seorang wa