Share

His Obsession
His Obsession
Penulis: Lia Maharani

1. Dia Mark

Ranjang itu bergoyang tanpa decitan. Temaram lampu kamar menambah panasnya suasana, sekalipun pendingin ruangan sudah dinyalakan. Dan diatas ranjang, dua sosok manusia bergerak, berpacu, berlomba menuntaskan hasratnya.

Pakaian yang berserakan begitu saja dilantai menjadi bukti ganasnya pertarungan mereka. Tubuh yang nampak basah akibat keringat, tidak membuat aktifitas itu berhenti.

Malah membuat lelaki yang ada disana mempercepat gerakannya, menghajar lawan mainnya tanpa ampun. Hingga tiba masa pelepasannya.

Lelaki itu tidak bergerak, hanya napas memburulah yang menjadi tanda bahwa ia masih hidup. Matanya terpejam, entah ini wanita keberapa yang ia bawa naik ke atas ranjangnya, ia lupa.

"Kenakan pakaianmu dan lekas pergi dari sini."

Suara tegas dan rendah itu tidak bisa membuat siapapun yang mendengarnya untuk berkata tidak.

***

"Tuan Mark, ini dokumen yang harus anda tanda tangani." Pedro menyerahkan selembar kertas yang ia sebut dokumen.

Mata dengan iris sekelam malam itu menatap sekilas dan membaca abjad disana. Menitik setiap poin penting yang dirasa menguntungkannya, sebelum akhirnya ia membubuhkan tanda tangannya disana.

"Kirimkan salinannya ke surelku," perintah Mark yang diangguki oleh Pedro.

Pedro menerima kertas itu dengan hormat. "Hari ini anda ada janji makan siang dengan Nyonya Thalia, Tuan," ucap Pedro mengingatkan.

"Ck! Kau atur saja waktu dan tempatnya," titah Mark kembali setelah berdecak, pertanda sebenarnya ia tidak ingin melakukan pertemuan itu.

Tapi sebagai anak yang baik, ia tidak boleh membangkang ataupun menolak permintaan ibunya bukan?

Miguel Mark Anthony.

Pengusaha muda yang menjadi hot news topik pembicaraan di kalangan pebisnis kelas atas. Sepak terjangnya di dunia bisnis patut diacungi jempol, ia tidak segan melibas lawan bisnisnya tanpa ampun. Salah langkah menghadapi Mark sama arti mereka siap mati di dunia bisnis.

Perusahaan yang Mark kelola tidak hanya berada di satu sektor saja, melainkan bermacam-macam. Real estate adalah yang pertama, lalu berkembang ke sektor pangan, pariwisata, pertambangan dan yang baru-baru ini adalah sektor kesehatan.

Dibawah kepemimpinan tangan dingin Mark, semua sektor itu berhasil mencapai titik tertinggi dalam sebuah kesuksesan. Banyak perusahaan baik asing maupun lokal yang mendekat sekedar mengajak bekerjasama, namun tidak semuanya diterima begitu saja.

Mark tidak mudah meloloskan setiap proposal kerja sama yang masuk. MMA Corp, sangat selektif dalam memilih partner bekerja. Perusahaan yang sudah punya nama pun belum tentu bisa bekerja sama dengan MMA.Corp jika memang tidak memenuhi kualifikasi yang Mark tentukan.

Kecakapan Mark bukan hanya dalam bidang bisnis saja, namun pesonanya sebagai seorang laki-laki tidak bisa diremehkan.

Walaupun Mark berwajah dingin namun itu tidak membuat setiap wanita berhenti meneriakan namanya.

Postur tegapnya menambah nilai tambah kriteria suami idaman, rahang yang tegas, sepasang netra segelap malam, alis tebal yang bertengger disana dan hidung mancungnya.

Tapi, tidak ada manusia yang sempurna bukan?

Tetap saja Mark mempunyai sebuah kekurangan. Diusianya yang menginjak 28 tahun, Mark belum mempunyai kekasih. Padahal Mark tidak pernah kekurangan wanita, jarinya tinggal mengarah saja ke wanita manapun yang ia mau maka Mark akan mendapatkannya tanpa tapi.

Bahkan beberapa dari partner bisnisnya dengan senang hati menyodorkan putri-putri mereka untuk Mark, apalagi jika bukan demi keuntungan bisnis semata.

Namun Mark tetaplah Mark yang tidak akan mencampurkan kehidupan pribadi dengan pekerjaannya. Ada batasan yang dipasangnya menjadi sekat disana. Tidak ada yang tahu bagaimana kehidupan seorang Mark, yang mereka tahu Mark itu sempurna.

"Mobil sudah siap, Tuan," kata Pedro begitu ia mendapat ijin memasuki ruang kerja Mark.

Mark menatap Foleks berlapis emas yang terlingkar di pergelangan tangannya. Jarum menunjukan angka 11.45, masih 15 menit lagi menjelang waktu makan siang. Tapi Thalia tidak suka keterlambatan, maka Mark mengantisipasinya dengan berangkat lebih cepat.

Tangan kekarnya bergerak cepat menutup aplikasi pada laptop didepannya, memastikan semua file tersimpan dengan rapi dan aman di foldernya masing-masing. Lalu, ia menutup benda itu, menyimpannya dilaci meja dan menguncinya.

***

"Hampir telambat dua menit, Anakku."

Kalimat penyapa itu terlontar dari seorang perempuan dengan gincu semerah mawar yang sudah duduk didepan Mark.

"Maaf, Ma. Macet," jawab Mark.

Pedro sudah menyetir semaksimal mungkin agar tidak terlambat, tapi apa mau dikata jika ramainya jalanan tidak bersahabat.

Thalia mendengus. "Alasan klasik. Apa helikoptermu tidak berfungsi dengan baik sampai macet menjadi alasan?" sindir Thalia.

Mark menggaruk pipinya. "Bangunkan dulu helipad di resto ini, Ma," jawab Mark telak.

Napas Thalia terhembus kasar. "Sudahlah. Berdebat denganmu hanya membuat kepalaku semakin pusing." Tangan Thalia terangkat memberi isyarat pada dua orang pelayan yang sudah bersiap disana. "Keluarkan hidangannya," perintah Thalia.

Dengan cepat dan cekatan kedua pelayan itu mengeluarkan Gueridon* yang memang sudah dipersiapkan.

Suara sendok garpu beradu dengan piring menjadi satu-satunya irama yang terdengar disana. Restoran itu sepi, apalagi jika bukan karena Thalia yang mereservasi semuanya. Padahal, di restoran itu terdapat ruang VVIP yang bisa Thalia sewa untuk private lunch.

"Ada apa Mama mengajakku makan siang?"

Mark memasukan sepotong daging kedalam mulutnya setelah berkata seperti itu. Thalia menghentikan kegiatan memotongnya, ia tersenyum tipis. Anaknya cukup pandai dalam membaca situasi ternyata.

"Angela pulang."

Tidak ada reaksi berlebih yang ditampilkan oleh Mark, lelaki itu masih tenang dan tatapannya masih sama. Datar tanpa ekspresi.

"Dia sudah menyelesaikan studynya," lanjut Thalia.

"Good."

Mark mengelap sudut bibirnya lalu meletakan garpu sejajar dengan pisau secara vertikal. Tanda bahwa ia sudah selesai makan.

"Kapan mau menemui dia?"

"Maaf, Ma. Tapi aku rasa pembicaraan ini tidak penting. Aku sudah memberitahu Mama berkali-kali," balas Mark. Itu wujud jawaban penolakan halus yang Mark berikan dari pertanyaan mamanya.

"Berarti rumor itu benar?"

Mark mengangkat alisnya, "rumor?"

Thalia meminum orange juice miliknya terlebih dahulu sebelum menjawab, "impoten?"

"WHAT THE—." Mark langsung berdehem untuk menetralkan emosinya. "Ehm, maaf, Ma. Siapa yang menyebar rumor aneh seperti itu?" tanyanya.

"Tidak ada. Hanya saja asumsi dari orang-orang tentangmu yang masih jomblo padahal usiamu hampir kepala 3."

"Dua puluh delapan tahun, Ma. Itu masih jauh dari kepala 3," jawab Mark mengoreksi ucapan mamanya.

"Terserah. Yang jelas kau sudah tua," sindir Thalia yang membuat Mark mati kutu.

"Baiklah. Aku akan menemui Angela. Tapi jika hubungan kami tidak berjalan baik, berhentilah mencarikan calon untukku seolah aku tidak laku," pinta Mark.

Kali ini Mark harus tegas membuat kesepakatan dengan mamanya, karena jika tidak akan mamanya akan mendatangkan Angela-Angela lain dalam hidup Mark.

"Coba saja dulu. Siapa tahu cocok. Kalau tidak cocok, masih Angela lain yang sudah menunggu."

"Tidak ada Angela lain. Ini yang terakhir. Aku pastikan itu, Ma," pungkas Mark mengakhiri acara makan siangnya.

***

"Pedro?" panggil Mark saat didalam mobil. Ajudan Mark itu melihat tuannya melalui kaca tengah mobil.

"Apa aku terlihat tua?"

Pedro heran dengan pertanyaan yang diajukan oleh Mark, tumben sekali. Biasanya pertanyaan yang keluar dari mulut Mark hanya seputaran bisnis.

"Tentu tidak. Tuan Mark bahkan terlihat lebih muda daripada usia yang sebenarnya."

"Benarkah?"

"Tentu saja. Saya tidak berani berbohong, Tuan."

Pedro adalah karyawan terjujur yang Mark punya, jadi apapun jawaban Pedro maka akan diterima oleh Mark.

Tapi mengapa pertanyaan Thalia mengusik pikiran Mark? Apa ia sudah setua itu seperti yang Thalia katakan?

***

Bersambung...

*Gueridon adalah trolley atau meja samping yang digunakan untuk pelayanan atau mempersiapkan makanan di meja makan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status