Share

BAB 4

Aku tertidur cukup lama. Samar kudengar suara orang mengobrol. Itu suara Mas Fai dan Ibu mertuaku.

“Mana anakmu, Fai? Dari tadi ibu belum melihatnya,” ucap Ibu.

“Di ruang bayi, Bu.”

“Gimana anakmu? Pasti cacat, kan?!”

“Alhamdulillah, sehat dan sempurna, Bu.”

“Badannya sempurna, belum tentu otaknya,” ucap Ibu sinis.

“Ya ampun, Bu. Kok, Ibu terus-terusan bicara buruk untuk anakku? Tolonglah, Bu. Jangan begitu! Dia cucu Ibu, lho.”

“Iya. Ibu tahu, dia cucu ibu. Kalau keturunan kita sudah pasti bagus, kuat dan cerdas. Tapi kamu bisa lihat sendiri bagaimana istrimu itu. Jadi nanti kalau anakmu idiot, sudah pasti keturunan dari istrimu.”

“Bu. Tidak baik bicara begitu. Semua itu ….”

“Ah … sudahlah! Ibu mau pulang saja. Nanti saja lihat bayimu, kalau dia sudah pulang ke rumah. Lagipula si Mia tidur terus dari tadi. Malas ibu lihatnya. Awas saja kalau di rumah kelakuan dia seperti ini, gak ada ampun lagi!” ketus Ibu.

“Bu. Sstt!”

“Ah … sudah. Ibu pulang, kasihan bapak nunggu lama di parkiran.”

“Iya, Bu.”

*

Setelah Ibu pulang, baru aku buka mata dan mencoba untuk duduk.

“Mi, kamu sudah bangun? Mau makan?” tanya Mas Fai yang baru saja kembali dari mengantar ibu.

“Iya, Mas. Aku lapar,” jawabku.

“Ini ada makanan dari rumah sakit, tapi sudah dingin. Kamu mau makan ini atau aku belikan saja di luar?”

“Makan yang ini saja, Mas. Aku sudah lapar banget. Tadi aku tidur lama, ya Mas? Sekarang jam berapa?”

“Sekarang sudah jam delapan malam, Mi. Kamu pulas banget tidurnya. Mas gak tega mau bangunin.”

“Ini … aaa,” Mas Fai bermaksud menyuapiku makan.

“Tidak usah, Mas. Aku makan sendiri saja,” tolakku.

“Ya sudah. Ini sendoknya.”

“Bayi kita bagaimana keadaannya, Mas?”

“Tadi mas lihat lagi bobo. Kayak mamanya, hehehe.”

“Suster tadi bilang, kalau kamu sudah bangun, nanti bayinya suruh disusuin,” tambah Mas Fai.

“Oh, ya sudah. Tolong bilang suster, aku sudah bangun, Mas.”

“Nanti saja. Sekarang kamu makan dulu, supaya kuat dan asinya banyak.”

“Nanti anak kita boleh tidur di kamar ini, kan Mas?”

“Boleh. Itu sudah disiapkan tempat tidurnya.”

Aku lihat ada tempat tidur bayi di samping ranjang. Aku sudah merasa kangen dengan bayiku. Ternyata begini rasanya menjadi seorang ibu. Bahagia tak terkira.

“Oh iya. Mama mana, Mas?”

“Tadi mama dan papa pulang. Besok pagi-pagi akan datang ke sini lagi.”

Aku hanya mengangguk paham dan berusaha cepat selesai makan, supaya bisa segera bertemu dengan bayi cantikku.

“Mas, aku sudah selesai. Cepat beritahu suster!”

“Ya ampun. Kamu udah gak sabar, ya? Hehehe. Sebentar, ya. Mas pencet tombol untuk memanggil suster.”

*

Tanpa terasa bayi cantikku kini sudah berusia enam bulan. Wajahnya yang mungil, pipi yang kemerahan, kulit putih bersih. Kami beri nama Adzkiya Khumairah. 

“Mas, hari minggu jadi acara keluarga di rumah tante Mar?” tanyaku.

“Jadi, Mi. Tante Mar sekeluarga mau tinggal di Malaysia, karena om Tris dikirim dinas ke sana. Jadi tante Mar bilang, keluarga besar diusahakan kumpul di rumahnya.”

“Oh. Kalau gitu, besok kita cari oleh-oleh untuk tante Mar, ya Mas.”

“Memangnya kamu mau kasih apa?”

“Kira-kira apa, ya Mas. Ada ide?”

“Iih, kamu ini. Ditanya malah balik tanya,” Mas Fai mencubit hidungku gemas.

“Idih, Mas. Malu nih, dilihat Kiya.”

“Gak apa-apa, ya Kiya. Kan papa sayang sama Mama.”

*

Pagi ini kami pergi ke pusat perbelanjaan. Rencananya aku akan menghadiahi tante Mar satu set gamis dan juga beberapa makanan oleh-oleh khas Indonesia.

Setelah berkeliling dan membeli semua yang direncanakan. Tiba-tiba Mas Fai menarik tanganku dan mengajak ke salon langgananku saat masih gadis dulu.

“Mi. Mumpung Kiya bobo, kamu perawatan rambut dan wajah dulu sana!” titah Mas Fai.

“Tapi, Mas. Takutnya Kiya bangun.”

“Sudah, tidak apa-apa. Kamu, kan sudah lama tidak ke salon. Pasti kamu kangen nyalon, kan. Hehehe,” Mas Fai mencubit hidungku.

“Hehehe, iya juga, Mas. Makasih, ya Mas. Nanti kalau Kiya bangun, telepon aku, ya!”

“Iya, sayaaang.”

*

Tanpa terasa sudah satu setengah jam aku di salon. Sebenarnya aku sudah minta semua hal dipercepat dari biasanya. Semoga saja Kiya tidak rewel bersama papanya.

Aku telepon mas Fai. Ternyata mereka sedang di restoran depan salon. Aku segera membayar biaya perawatan yang tadi dilakukan. Buru-buru aku pergi ke restoran. Oh, rupanya Mas Fai sedang mengobrol dengan Mbak Desi dan suaminya.

“Oh, ada Mbak Desi dan Mas Agung. Apa kabar, Mbak, Mas?” sapaku.

“Alhamdulillah, baik. Kamu apa kabar, Mia?” tanya Mbak Desi.

“Alhamdulillah, baik juga, Mbak.”

“Habis dari salon, kelihatan segar. Aku juga sudah lama nih gak ke salon,” ucap Mbak Desi.

“Ya gak perlulah. Kamu itu udah cantik, ngapain ke salon segala!” celetuk Mas Agung.

Mbak Desi langsung diam dan menunduk mendengar ucapan Mas Agung. Aku melihat ke arah Mas Fai, yang justru sedang menggeleng-gelengkan kepala.

“Uuh … sayangnya mama udah bangun, ya. Sini mama gendong,” Aku ambil Kiya dari gendongan Mas Fai.

“Kiya nangis, gak Mas?”

“Ya nangislah. Masa ditinggal mamanya ke salon, anaknya gak nangis!” sambar Mas Agung.

“Ah, nangis biasa, Mi. Tadi aku kasih susu, langsung tenang,” Mas Fai melihat ke arah Mas Agung dengan tatapan tak suka.

“Anak itu jangan dikasih susu botol. Gak baik, boros juga!” ketus Mas Agung.

“Mas. Ini bukan susu formula. Ini asinya Mia yang dimasukkan ke botol.” jelas Mas Fai.

“Ya tetap saja, bukan langsung dari mamanya. Soalnya mamanya sibuk nyalon,” sinis Mas Agung.

“Mas. Tolong jangan bicara yang bukan ranahnya, Mas Agung. Saya yang suruh Mia ke salon, karena memang sudah lama Mia tidak ke salon. Saya beri Mia waktu untuk refrehing, karena dia sudah lelah mengurus anak, saya dan rumah. Jadi menurut saya, Mia berhak untuk ke salon. Bukan masalah cantik atau tidak cantik,” tegas Mas Fai.

“Ya sudah. Terserah kamu saja! Ayo, Des, kita pulang!” Mas Agung berdiri dan langsung pergi begitu saja.

“Maafin suami mbak, ya Fai, Mia,” ucap Mbak Desi.

“Tidak apa-apa, Mbak. Maaf, tadi Fai bicara begitu ke mas Agung,” ucap Mas Fai.

“Iya, gak apa-apa, Fai. Kalau gitu, mbak pamit, ya. Assalamu’alaikum.”

“Wa’alaikumussalam.”

Kulihat Mbak Desi berlari kecil menyusul suaminya. Melihat adegan itu, aku bersyukur memiliki suami seperti Mas Fai. Tidak pernah Mas Fai meninggalkanku seperti itu.

“Hh …,” Mas Fai menghela napas.

“Kenapa, Mas?”

“Ternyata seperti itu suami pilihan bapak untuk mbak Desi.”

Ada guratan sedih di wajah Mas Fai dan juga terdengar nada kecewa pada suaranya.

“Kita doakan saja, mas Agung bisa menjadi lebih baik pada mbak Desi. Melihat kejadian tadi, aku bersyukur memiliki Mas sebagai suamiku. Terima kasih, ya Mas, sudah mengerti aku, menjadi suami dan papa yang baik.” Kugenggam erat tangan Mas Fai.

“Aku juga bersyukur memiliki kamu sebagai istri dan juga mama untuk Kiya. Terima kasih, ya Mi.”

*

Pertemuan keluarga di rumah tante Mar dimulai jam sembilan pagi. Kami tiba jam sepuluh, tadi harus ke bengkel dulu karena ban mobil bocor.

Kulihat sudah banyak yang datang. Kedua mertuaku juga ternyata sudah datang, begitu juga mbak Desi dan suaminya.

“Assalamu’alaikum!” ucapku dan Mas Fai berbarengan.

“Wa’alaikumussalam!” jawab mereka berbarengan.

“Eh, Mia. Duuh, tante tungguin, baru datang. Tante mau lihat Kiya, sini … sini!” ucap Tante Mar.

“Maaf, ya Tan. Tadi ban mobil bocor jadi ke bengkel dulu,” ucapku.

“Sudah, tidak apa-apa. Duuh, Kiya makin cantik aja. Gemeeess deh sama pipinya,” Tante Mar menggendong Kiya.

Mas Fai memberikan semua oleh-oleh pada Tante Mar. Karena banyak yang kami bawa, anak-anak Tante Mar membantu membawa masuk ke rumah.

“Duh Mia ini, selalu baik sama tante. Terima kasih, ya. Banyak banget nih oleh-olehnya,” ucap Tante Mar.

“Gak banyak, kok Tan. Ini Tan, spesial buat Tante,” Kuberikan tas kertas berisi satu set gamis.

“Lho, apalagi ini?” tanya Tante Mar.

“Nanti Tante lihat sediri, ya. Hehehe.”

“Ih, kamu memang paling bisa, deh. Makasih, ya Mia.”

“Sama-sama, Tan.”

Aku dan Mas Fai menghampiri ibu dan bapak yang duduk bersama mbak Desi dan mas Agung. Kami mencium kedua tangan Ibu dan Bapak, dan menyalami Mbak Desi serta Mas Agung. Lalu kami bergabung duduk bersama.

“Banyak sekali oleh-oleh yang kamu bawa buat tantemu, Fai,” ucap Ibu.

“Iya, Bu. Tidak apa-apa, kan jarang-jarang. Lagipula tante Mar akan lama tinggal di Malaysia,” kata Mas Fai.

“Pasti kamu, kan yang punya ide kasih oleh-oleh banyak begitu?!” Ibu bicara padaku.

“Eng … ehm … itu, Bu ….” Lidahku terasa kelu, bingung harus menjawab apa.

“Itu ide kami berdua, Bu. Sudahlah, hal begitu tidak usah dibahas, Bu,” potong Mas Fai.

“Dasar istri boros!” celetuk Ibu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status