Hitamnya Hati Mertua

Hitamnya Hati Mertua

By:  Linsara  Ongoing
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel12goodnovel
Not enough ratings
6Chapters
457views
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
Leave your review on App

Mia ragu untuk menikah dengan Fai, setelah melihat sikap calon ibu mertua. Tapi akhirnya Mia mau juga menikah dengan Fai, karena Fai berhasil meyakinkannya bahwa ia akan selalu melindungi dan mencintainya. Namun perjalanan rumah tangga Mia dan Fai selalu dalam prahara yang disebabkan oleh ibu mertua Mia. Mampukah Mia mempertahankan rumah tangganya? Ataukah Mia akan menyerah dan menemukan kebahagiaannya sendiri? Bagaimana dengan Fai yang berjanji akan selalu melindungi dan mencintai Mia, mampukah Fai memenuhi janjinya itu? Atau bahkan Fai menjadi orang yang paling menyakiti Mia?

View More
Hitamnya Hati Mertua Novels Online Free PDF Download

Latest chapter

Interesting books of the same period

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Comments
No Comments
6 Chapters
BAB 1
“Kamu memangnya udah gak sabar banget mau kawin?” tanya Bu Emi, ibunya Mas Fai.Bibirnya miring, mencebik ke arahku.“Bu!” Mas Fai menegur ibunya.Aku yang ditanya hanya diam, kaget bercampur bingung harus menjawab apa.“Apa?” Bu Emi melotot ke arah Mas Fai.“Kamu itu harusnya mikir! Mbakmu itu belum nikah, masa kamu mau nikah duluan! Kamu dipaksa-paksa sama dia, kan?!” Bu Emi menunjukku dengan dagunya.“Gak, Bu. Mia gak pernah paksa aku. Aku yang ingin segera berumah tangga dengannya,” jawab Mas Fai.“Alaaaah, mana mungkin kamu berani melangkahi mbakmu kalau bukan karena dipaksa.”“Benar, Bu. Aku gak bohong. Aku mencintai Mia. Lagipula kami sudah lama pacaran, sudah lebih dari lima tahun. Umurku dan Mia juga sudah cukup untuk menikah.”“Kamu dengar, ya Fai! Selama mbakmu belum menikah, jangan harap kamu bisa menikah duluan. Ibu tidak akan pernah merestui!”“Tapi, Bu. Mbak Desi sampai sekarang belum ada tanda-tanda punya pacar.”“Ya kamu carikan, dong! Masa kamu gak kasihan sama mbakm
Read more
BAB 2
Sumpah yang diucapkan ibu mertua masih saja terngiang di telingaku, hingga kini usia kehamilanku empat bulan. Kuusap lembut perut yang mulai terlihat membulat dan terasa ada pergerakan. Kulantunkan sholawat nabi untuk bayiku di dalam sana. Semoga Allah beri kesehatan dan keselamatan.Hamil anak pertama begitu berat kurasa, karena beberapa kali aku mengeluarkan flek, hingga dokter menyarankan untuk istirahat total. Aku mengalami mual yang parah, susah sekali untuk makan. Kalaupun bisa makan, tak menunggu waktu lama akan kembali keluar karena mual dan muntah. Berat badanku malah berkurang dibandingkan sebelum hamil.Tadi pagi sebelum berangkat kerja, mas Fai bilang kalau orang tuanya besok akan berkunjung. Kunjungan pertama mereka selama kehamilanku.Sebenarnya aku sedikit takut membayangkan bertemu ibu mertua. Bagaimana sikapnya nanti padaku? Kenyataan bahwa aku bukanlah menantu yang dianggap pantas bersanding dengan mas Fai, menjadi alasannya selama ini tidak menyukaiku.Walaupun begi
Read more
BAB 3
“Hh … ya sudah. Fai, Mia, bapak dan Ibu pamit dulu, ya! Jaga kandunganmu baik-baik. Makan yang banyak. Jangan lupa rajin periksa ke dokter!” “Iya, Pak. Terima kasih sudah berkunjung ke sini,” ucapku.“Ayo, Pak!” ajak Ibu.“Hati-hati di jalan, Pak, Bu. Kapan-kapan ke sini lagi, ya!” ucap Mas Fai.“Iya. Insya Allah,” ucap Bapak.“Fai. Ibu ingin bicara di luar!” tegas Ibu.“Bicara apa, Bu?” tanya Mas Fai.“Di luar saja bicaranya!” Ibu membalikkan badan dan berjalan ke arah pintu.Mas Fai memandangku. Kuanggukkan kepala, mempersilahkan Mas Fai berbicara dengan Ibu.Entah apa yang ingin Ibu bicarakan pada Mas Fai, hingga aku tidak boleh mendengar. Apa perlu aku diam-diam mendengarkan pembicaraan mereka?Hati-hati dan tanpa menimbulkan suara, kini aku telah berada di belakang pintu, berusaha mendengarkan apa yang mereka bicarakan. Suara mereka terdengar kecil, aku berusaha menajamkan pendengaran.“Mia itu lemah, kamu tidak bisa berharap banyak padanya. Apa yang bisa kamu harapkan dari seor
Read more
BAB 4
Aku tertidur cukup lama. Samar kudengar suara orang mengobrol. Itu suara Mas Fai dan Ibu mertuaku.“Mana anakmu, Fai? Dari tadi ibu belum melihatnya,” ucap Ibu.“Di ruang bayi, Bu.”“Gimana anakmu? Pasti cacat, kan?!”“Alhamdulillah, sehat dan sempurna, Bu.”“Badannya sempurna, belum tentu otaknya,” ucap Ibu sinis.“Ya ampun, Bu. Kok, Ibu terus-terusan bicara buruk untuk anakku? Tolonglah, Bu. Jangan begitu! Dia cucu Ibu, lho.”“Iya. Ibu tahu, dia cucu ibu. Kalau keturunan kita sudah pasti bagus, kuat dan cerdas. Tapi kamu bisa lihat sendiri bagaimana istrimu itu. Jadi nanti kalau anakmu idiot, sudah pasti keturunan dari istrimu.”“Bu. Tidak baik bicara begitu. Semua itu ….”“Ah … sudahlah! Ibu mau pulang saja. Nanti saja lihat bayimu, kalau dia sudah pulang ke rumah. Lagipula si Mia tidur terus dari tadi. Malas ibu lihatnya. Awas saja kalau di rumah kelakuan dia seperti ini, gak ada ampun lagi!” ketus Ibu.“Bu. Sstt!”“Ah … sudah. Ibu pulang, kasihan bapak nunggu lama di parkiran.”“
Read more
BAB 5
“Dasar istri boros!” celetuk Ibu.“Mi. Ayo kita ambil Kiya dari tante Mar! Takutnya tante sibuk, soalnya banyak yang datang,” ajak Mas Fai.Sepertinya Mas Fai berusaha menghindari pertengkaran dengan Ibu. Entah Mas Fai tadi mendengar apa yang diucapkan Ibu atau tidak. Tapi aku jelas sekali mendengarnya. Kalau Mas Fai saja berusaha tidak peduli, berarti aku juga harus bisa tidak peduli dengan ucapan Ibu.“Ayo, Mas!” Aku berdiri dan berjalan di samping Mas Fai.*Keluarga besar berkumpul jadi satu di rumah tante Mar. Suasana sangat ramai, anak-anak kecil berteriak-teriak. Kiya sudah mulai rewel, mungkin karena tidak terbiasa dengan keramaian seperti ini.Aku meminta izin pada tante Mar untuk memakai kamar tamu, bermaksud menidurkan Kiya. Alhamdulillah tante Mar mengerti dan mengizinkan.Baru saja aku sampai depan pintu kamar tamu. Ibu menegurku.“Mau apa kamu masuk kamar? Mau tidur? Mau santai-santai?” tanya Ibu ketus.“Mau menidurkan Kiya, Bu. Dari tadi rewel, sepertinya ngantuk,” jawa
Read more
BAB 6
“Mas, kalau memang ibu menginginkan semua buah tangan dari tante Mar. Berikan saja pada ibu. Aku tidak apa-apa, kok,” ucapku.“Tidak bisa begitu, Mi. Semua pasti dapat buah tangan dari tante Mar. Ibu juga pasti dapat. Kamu, kan tahu bagaimana baiknya tante Mar. Masa punyamu masih mau diambil juga sama ibu?! Itu namanya serakah, Mi.”“Mas. Jangan bilang begitu! Itu ibumu.”“Iya, Mi. Aku tahu. Tapi apa yang ibu lakukan, tidak wajar. Sudahlah. Ayo kita masuk saja, kasihan Kiya!”“Iya, Mas.”Mas Fai langsung masuk ke ruang kerja. Aku masuk ke kamar untuk memandikan Kiya, karena sudah hampir maghrib, jadi kumandikan cepat saja.Setelah selesai, kuletakkan Kiya di karpet ruang tengah. Sementara aku menyiapkan makan malam. Hanya memanaskan makanan yang diberi oleh tante Mar tadi.Beberapa kali kudengar dering ponsel dari arah ruang kerja. Tapi tidak dijawab oleh mas Fai. Apa mas Fai baik-baik saja? Sebaiknya ku tengok sebentar.Tok!Tok!Tok!“Mas. Aku masuk, ya?” izinku.“Iya, Mi,” jawab Ma
Read more
DMCA.com Protection Status