Share

8. Runalla: Sesak

a/n: runa's pov.

***

26 April 2019

Aku selalu menginginkan calon suami yang mirip dengan sosok Papa. Tinggi, berwibawa, lembut, menyayangi pasangan, suka anak kecil, dan murah hati. Papa memang bukan sosok yang romantis, tapi sisi jenakanya itu selalu berhasil menghibur keluarga.

"Iya kali nyamuk ga terbang. Kalo ga terbang, bisa-bisa populasinya musnah gegara gampang ditepokin."

Aku juga masih ingat saat dulu berada di semester akhir. Aku menangis tersedu-sedu karena revisi skripsi yang tak kunjung selesai padahal sudah mendekati waktu sidang. Tapi, herannya Papa malah berceletuk dengan begitu santai saat melihatku menangis.

"Kamu tuh kalau kerja skripsi dibawa santai aja. Ngapain rajin-rajin sampai nangis darah kalau ujungnya telat lulus?"

Anak sendiri bukannya diberi semangat, tapi malah dipacu untuk menjadi semakin malas. Papaku—Baskara, memang merupakan pria nyeleweng, yang entah bagaimana bisa menikah dengan Mama yang tak kalah gilanya.

"Papa!"

"Bercanda atuh neng," balas Papa sok genit sembari mengusap ingusku menggunakan tisu. Papa itu masih menganggapku sebagai anak kecil kesayangannya tapi tak pernah memperlakukanku semena-mena.

"Udah, istirahat dulu. Tarik napas, buang ... buang skripsinya."

"Papa ih!" waktu itu, tangisku kian kencang kala Papa malah asik tertawa. "Aku mau lulus tepat waktu. Pengen kerja, pengen punya uang sendiri, dan terbebas dari skripsi.."

"Kan, ada duitnya Papa. Papa juga masih kerja dan nggak ada tanda-tanda bakal mati dalam waktu dekat."

Kalau bicara dengan Papa pasti bawaannya ingin marah. Serius. Papa sering kali bercanda di waktu yang tidak tepat sampai Mama sempat mendepak kepala Papa saking kesalnya. Mama dan Papa adalah dua orang kesayanganku, ditambah dengan Kak Tias.

Mereka adalah keluarga yang selalu siap mendukungku apapun yang terjadi. Saat pertama kali membuka channel mytubes dan berdandan seadanya, mereka sangat suportif bahkan sampai channelku menjadi besar.

"Run." Papa memanggil malu-malu saat menghampiriku. "Ajakin Papa nge-vlog dong. Mau tau rasanya ngomong sendiri sama kamera.."

Mama langsung menyahut. "Nggak usah aneh-aneh. Jangan, Runa, nanti Papa kamu beralih profesi." Kemudian, Kak Tias ikut menimpali, "Papa orang kuno, nggak bakal ada yang suka."

"Padahal Papa jago loh kalau ngomong sendiri kayak orang sableng."

Keluarga selalu berhasil membuatku tertawa. Aku selalu merindukan rumah, makannya tidak mau menikah cepat-cepat karena enggan meninggalkan kebahagiaanku. Kak Tias sudah menikah duluan, hanya datang sebulan dua kali.

Kemudian, saat bulan Februari, Papa tiba-tiba menggangguku yang sedang melakukan review brand make up di depan kamera. Aku mendongak, menemukan Papa yang tampak begitu terharu sekaligus sedih. Jelas saja aku kebingungan.

"Papa kenapa? Diomelin Mama lagi gara-gara lupa tekan flush toilet?"

"Tidak," Papa menggelengkan kepalanya sambil menyerahkan selembar foto lelaki tampan padaku. Aku menganga saat melihat sosok lelaki itu. "Itu anak teman baiknya Papa, tadi pagi barusan aja ketemu dan dikasih foto anaknya. Belum nikah. Kalau kamu mau, ketemu sama dia minggu ini. Ya Tuhan, anak Papa sudah gede ... sudah pada mau pergi ninggalin rumah semua."

"Papa, aku belum mau nikah, tapi Masnya ganteng sih.."

"Nikah, Runa, udah mau umur tiga puluh loh," ucapnya sambil menyedot ingus. "Temannya Papa ini masa lalunya kurang baik tapi bukan berarti dia jahat. Tadi Papa sempat ketemu sama Biru."

"Namanya Biru?" unik banget.

"Iya, namanya Biru. Mereka mirip sekali dan Papa nggak maksa kamu nikah sama anaknya teman Papa ini. Tapi, kalau kamu merasa cocok, silahkan. Papa dukung."

Lalu, aku menyempatkan diri untuk menemui Mas Biru beberapa kali. Orangnya dingin, 'kayak cowok-cowok cool khas whatpedia yang hidup di dunia fiksi gitu.' Meskipun dingin, aku bisa merasakan kalau dia itu orang yang baik, begitu juga Mama.

Kata Mama begini, "Orangnya ganteng, ya? Sopan juga walaupun kaku. Dia bolak-balik antar kamu pulang, selalu kasih salam dan nyempatin turun. Nggak kayak mantan kamu si Tata-Tata itu."

"Septa, Mama. Udah ah ga usah di bahas. Males."

Dan tiba saat di mana giliranku yang menemui orang tua Mas Biru. Aku diundang makan malam. Bundanya Mas Biru pintar memasak walau masakan Mama jauh lebih enak. Tapi selama acara itu, aku bisa menemukan sesuatu yang janggal.

Tidak ada kehangatan dalam keluarga Mas Biru, berbeda sekali dengan keluargaku. Kaku, canggung, tidak leluasa, dan minim akan percakapan sampai aku terkesan sangat cerewet. Ada pula satu hal yang aku sadari, yang mungkin, tak disadari siapapun.

Mungkin ini hanya asumsiku semata.

Sepertinya Bunda Mas Biru melakukan suatu kesalahan besar terhadap suaminya sehingga hubungannya jadi seperti ini.

"Tante, Om, aku pamit pulang. Terima kasih sudah undang aku hari ini."

Aku diantar pulang oleh Mas Biru. Aku tidak mengatakan apapun sepanjang perjalanan pulang, sibuk memikirkan interaksi antara Ayah dan Bunda Mas Biru selama makan malam tadi. Sesampainya di depan rumah, aku berniat berpamitan lalu langsung turun.

Namun, Mas Biru malah menahan tanganku.

"Runa."

"Iya, Mas? Ada apa?"

"Aku boleh jadi suami kamu?"

***

20 September 2019

12.15

Sejak mengenal Kak Khansa, aku mendengar cerita langsung darinya kalau dia memiliki polycystic ovarian syndrome atau lebih dikenal sebagai PCOS. Aku kurang mengetahui mengenai gangguan itu, namun Kak Khansa mengatakan kalau dirinya sering telat menstruasi—hanya menstruasi 4-5 bulan sekali. Darahnya menggumpal dan berwarna gelap. Sebelum menikah dengan Kak Tias pun, dirinya sudah diprediksi sangat sulit untuk memiliki keturunan.

Bukan berarti Kak Khansa mandul, ya, enak aja! Buktinya, sekarang Kak Khansa hamil anak pertama dan usia kandungannya sudah hampir dua bulan. Aku turut senang, karena baik Kak Khansa maupun Kak Tias sangat menantikan anak mereka.

Selain itu, orang tuaku memang mengharapkan cucu tapi tidak pernah menekan Kak Khansa dan Kak Tias, karena mereka juga mengerti keadaannya. Hanya saja, keluarga besarku yang terlalu banyak bicara—mengomentari ini itu tanpa tahu perasaan mereka.

"Mas, ayo berangkat. Aku nggak sabar ketemu Kak Khansa sama keluarga yang lain."

"Kamu yakin mau datang?"

Satu jam sebelum berangkat ke rumah orang tuaku, Mas Biru menanyakan pertanyaan itu berulang kali sampai rasanya tak bisa lagi dihitung menggunakan jari. Aku melirik sebal ke arah suamiku yang tampak begitu tampan dengan kemeja batiknya. Bahu Mas Biru kelihatan lebih lebar.

'Duh, pengen ndusel.'

"Iya, yakin. Aku sudah nunggu dari kemarin. Mau ucapin 'selamat' langsung ke Kak Khansa sama Kak Tias juga!"

Mas Biru menggaruk tengkuk penuh keraguan—ingin menentang tapi tidak diutarakan padaku. Aku mengerucutkan bibir, memeluk lengan berototnya sambil mengatakan sesuatu yang sukses membuatnya bergidik geli.

"Kan, dari kemarin udah latihan manggil 'sayang'. Masa nggak dipamerin, sih, Mas?"

"Dih," dia menarik diri dan mengalihkan pandang. "Nggak ada yang pernah latihan kayak gitu. Yaudah, ayo pamit dulu ke Kak Mutia sama Issy."

Dari kemarin, Mbak Mutia menginap di sini dan tidur sekamar dengan Issy. Aku tidak keberatan sama sekali, malah senang karena memiliki teman mengobrol selain Mbok Ida. Mbak Mutia itu baik sekali, memperlakukanku seperti adik kandungnya.

Perlu kalian garis bawahi, aku sama sekali tidak cemburu pada Mbak Mutia walau ada kejadian tidak mengenakkan beberapa hari lalu. Aku bisa memahami kenapa Mas Biru lebih mementingkan Kakaknya. Hanya saja, mungkin waktu itu aku sedang begitu lelah dan terkejut makannya menangis tersedu-sedu di mobil.

"Kak, aku berangkat. Jaga diri. Kunci rumah aku bawa, jadi nggak bakal ada yang bisa masuk sembarangan."

"Iya, hati-hati, ya."

Setelah berpamitan pada Mbak Mutia dan Issy, kami berangkat pergi ke rumah orang tuaku. Sesampainya di sana, aku langsung berlari menghampiri Mama yang terlihat begitu senang saat melihatku.

"Mama, aku kangen!" aku mendekap Mama seerat mungkin untuk melampiaskan rindu. Mama menepuk-nepuk punggungku lembut. "Iya, Mama juga kangen. Anak Mama tambah cantik aja."

"Hehe, kan nurun dari Mama."

Mama meregangkan pelukannya kemudian memeluk Mas Biru sebentar. Mas Biru mengulas senyum tipis. 'Senyumin istrinya nggak pernah tapi senyumin mertuanya terus. Aku diam-diam cemberut.'

"Apa kabar, Biru? Sehat?"

"Iya, sehat, Ma," jawabnya sambil menganggukkan kepala pelan. "Papa mana?"

"Masih di toilet. Cie, nggak sabar ketemu Papa Baskara, ya?"

Biru kembali menganggukkan kepala kikuk sambil mengudarakan tawa kecil. Jujur saja, Mas Biru kadang lebih excited daripada aku ketika bertemu keluargaku sendiri. Dia banyak bicara dan tertawa, sama sekali tidak kaku seperti saat bersamaku.

Aku juga heran kenapa.

Kalau berasumsi, mungkin karena Mas Biru merindukan sosok keluarga? Ini hanya dugaanku, tapi sepertinya benar begitu. Mas Biru senang sekali saat menjumpai Papa-Mama apalagi Kak Tias. Mereka dekat. Tapi, kalau denganku, kenapa tidak kunjung dekat, ya?

Satu per satu orang datang hingga rumah mulai dipenuhi para manusia yang ku kenal. Ada Tante Widia—sosok paling cerewet, paling suka bergosip, paling menghasut, dan suka mengomentari hidup orang lain tanpa memedulikan perasaan mereka. Dan sayangnya, sifat-sifat menyebalkan Tante Widia itu menurun pada anaknya, Natasya.

Kak Khansa banyak sakit hati karena Tante Widia.

Tante Widia itu adik dari Papa.

Papaku sebaik itu tapi kenapa punya saudari yang sangat menyebalkan? Ampun.

"Runalla!"

Tiba saat di mana Kak Khansa dan Kak Tias datang. Mas Biru asik mengobrol dengan Papa, meninggalkanku sendirian yang menikmati cupcake buatan Mama di dekat meja makan. Aku meletakkan kue, berjalan mendekati Kak Khansa, dan memeluk Kakak Iparku itu.

"Kak, selamat yaa!" aku mengusap punggungnya penuh sayang. Senang, karena Kak Khansa tak perlu lagi menerima pertanyaan bertubi-tubi dari anggota keluargaku yang lain. Aku juga sudah muak mendengarnya.

"Akhirnya bakal ada dedek bayi abis gini!"

"Iya, makasih banyak, Runa." balasnya sembari menepuk-nepuk punggungku. Kak Tias melirik kemudian mengatakan, "Nggak nyelamatin gue juga? Gue yang nge-sponsorin kehamilannya Khansa, tahu!"

Nada Kak Tias sungguh tengil. Persis seperti Papa dan Mama.

Aku mendelik, mengakhiri pelukan dari Kak Khansa sebelum akhirnya melayangkan pukulan pada lengan Kakak kandungku. "Dih, jadi males ngasih selamat guenya!"

"Idih, idih," Kak Tias mengejek dan sengaja membuat ekspresi yang menyebalkan. "Paling nanti juga diselamatin sendiri. Mana suami lo? Sendirian aja."

"Lagi ngobrol sama Papa."

Acara keluarga itu diisi dengan makan serta mengobrol bersama. Mas Biru duduk di sampingku. Aku duduk berhadapan dengan Kak Tias dan Kak Khansa. Tante Widia dan anaknya duduk jauh dari kami. Untunglah. Dia asik mengobrol bersama Papa dan Mama yang sedari tadi hanya meng-iyakan saja.

Setelah makan bersama, kami mengobrol sendiri-sendiri. Mama-Papa sibuk berbincang dengan golongan tua, sedangkan aku lebih mengobrol dengan Kak Tias dan Kak Khansa. Mas Biru? Bergabung dengan golongan tua.

Aku tidak tahu mereka membicarakan apa sampai sukses membuat Mas Biru tertawa. Kelihatannya, Mas Biru itu lebih cocok kalau bergaul dengan para orang tua, ya?

Dasar bapak-bapak.

Untung sayang.

Tiga jam berlalu begitu saja. Aku senang menghabiskan waktuku bersama keluarga hari ini. Saat bersiap pulang, aku dan Kak Khansa berdiri di dekat pintu keluar, menunggu suami masing-masing selesai mengobrol dengan Papa.

Dan entah sial atau apa, Tante Widia dan Natasya berjalan menghampiri kami. Ikut nimbrung tanpa diijinkan. Ayolah, aku tidak jahat. Aku hanya kurang suka dengan kehadiran mereka yang selalu memberikan luka pada orang lain.

"Khansa, selamat ya akhirnya hamil juga," Tante Widia tersenyum. "Kamu kapan mau nyusulin, Runa?"

Sejujurnya, aku tidak menduga kalau akan ditanya mengenai hal itu. Baru tiga bulan menikah, masa sudah ditagih untuk hamil? Aku hanya bisa tertawa kecil untuk menutupi fakta bahwa aku sedikit tersinggung.

"Bisa lah Khansa bagi tipsnya biar Runalla cepat hamil. Udah mau umur tiga puluh masa nggak kunjung hamil?"

Detik itu juga, aku juga tidak menduga kalau Kak Khansa akan menimpali ucapan Tante Widia. "Bisa, nanti aku kasih tips. Bisa, lah, bulan depan hamil," tak sampai di sana, Kak Khansa melanjutkan, "Aku sudah hamil, kamu nyusulin juga dong."

"Iya.."

"Kamu aktif ngasih suami jatah, nggak? Tugas perempuan untuk memberi itu selagi suami ingin. Biar cepat hamil," Tante Widia bersuara lagi sambil merangkul Natasya yang tatapannya sulit kuartikan ketika menatapku. "Dulu sebulan setelah nikah, Tante langsung dikaruniai Natasya. Kalau Tante bisa, kamu harusnya juga bisa dong. Iya, nggak, Khansa?"

"Iya, setuju."

Aku mencoba berpikir positif. Mungkin, Kak Khansa seperti ini karena suasana hatinya sedang baik dan memang ingin memperbaiki hubungan dengan Tante Widia. Aku meremas tanganku karena merasa tersudutkan.

Baru seperti ini tapi sudah kesal. Bagaimana perasaan Kak Khansa yang sudah menerima cibiran itu selama lima tahun, ya? Aku tidak bisa membayangkan.

"Runa, ayo pulang. Pamit dulu ke Papa-Mama."

Mas Biru mendadak muncul dengan wajah super cerah. Sepertinya, Mas Biru tidak menyadari kalau aku tidak baik-baik saja. Aku diam saja, tidak ada mood untuk menyahut.

"Lagi bicarain apa?" tanyanya, sengaja nimbrung. Natasya langsung menjawab, "Ini, bicarain istrinya Om yang belum hamil. Lagi ngasih tips."

"Oh, gitu ya."

'Serius responnya cuma kayak gitu?!' Aku menjerit dalam hati ketika melihat Mas Biru tertawa kecil seolah ikut mengejekku. 'Mas, please lah..'

"Istri kamu kenapa belum hamil? Nanti coba telepon Khansa sama Tias, biar dikasih tips."

"Iya, Tante."

Kak Khansa menepuk-nepuk bahuku. "Semangat, Runa, pasti bisa kok."

Aku tidak bisa mempertahankan senyum di wajahku lagi. Maka dari itu, aku memilih untuk berpamitan pada Papa-Mama sebelum mengajak Mas Biru untuk pulang. Dalam perjalanan pulang, Kak Khansa mengirimkan pesan.

[16.21

Kak Khansa

Runa, semangat ya!

Jangan sedih, ucapannya tante widia jangan dipikirin

:) ]

Aku tertohok.

Kalimat itu persis seperti kalimat yang selalu kugunakan untuk menghibur Kak Khansa setiap pertemuan keluarga diadakan. Aku sedang disindir ya? Atau bagaimana? Aku masih berusaha berpikir positif namun susah sekali.

"Mas." aku memanggil suamiku itu pelan. Dia menoleh, memperlihatkan ekspresinya yang tampak cerah. "Apa?"

"Kok tadi kamu ngerespon gitu?"

Mas Biru memperlambat laju mobil. "'Gitu' gimana maksud kamu?"

"Ya kamu harusnya belain aku atau apa kek. Bukannya malah bilang 'oh, gitu ya' sama 'iya Tante'," balasku dongkol dengan nada tinggi. Terdengar seperti membentak Mas Biru. "Kamu sengaja ya biar aku patah semangat buat punya anak? Jadi aku nggak perlu nagih-nagih untuk senggama?"

"Kok ngomong gitu?" bukannya minta maaf atau memberi alasan agar aku tidak marah, Mas Biru malah balik mengatakan sesuatu yang menyakitkan. "Kan, aku sudah bilang, Khansa nggak sebaik itu. Makannya aku nawarin berulang kali buat nggak berangkat, Runa. Aku dari awal ketemu Khansa sudah ngerasa dia nggak suka sama kamu. Sekarang Khansa sudah hamil, pasti mau balas kamu, menjadikan kamu sebagai pengalihan. Kamu sesekali dengerin aku dong."

Mendadak aku tambah kesal kalau mengingat kejadian tadi.

"Ya terus?"

"Hah?"

"Coba Mas mau sentuh aku sekali aja, pasti sekarang sudah hamil. Aku nggak hamil kan karena Mas!"

Ekspresi cerah Mas Biru langsung menghilang setelah mendengar kalimat yang kulontarkan. Mas Biru menatapku dengan sorot tidak percaya, marah, dan juga kebingungan.

"Kok kamu ngomong gitu? Runa--"

"Ya, kan memang faktanya gitu. Aku nggak bisa membuahi sel telurku sendiri. Istri itu butuh suami, tapi suamiku nggak pernah ada," aku memotong. Napasku tersenggal saat emosiku meluap begitu saja. "Mas yang sesekali harus dengerin aku. Aku tahu aku harus nurut sama Suami. Tapi, gimana aku nurut kalau suamiku sendiri nggak pernah ngasih kasih sayang ke aku? Nggak pernah baik ke aku disaat kamu baik ke orang lain?"

"Aku pernah ada salah apa, sih, ke kamu? Aku nggak masalah kalau nggak hamil selama nggak ada tuntutan dari keluarga besar. Kamu jahat, egois, nggak pernah sayang ke aku, tadi aja kamu ninggalin aku sendirian karena asik ngobrol sama orang lain. Kamu buat apa nikahin aku kalau ujung-ujungnya sikap kamu nggak pernah berubah? Aku dari awal sudah sangat sabar, Mas."

Mas Biru tidak bersuara sama sekali. Sekarang, dia bahkan tidak menatapku. Aku melihat rasa sakit melalui sorot matanya. Hening menemani kala mobil terus melaju. Sampai akhirnya kami sampai di depan rumah. Perasaanku campur aduk, suasana sama sekali tidak enak—baru pertama kali aku melihat Mas Biru sediam ini.

"Mas."

"Apa?" Mas Biru langsung menyahut, menatapku lekat, dan nadanya tak stabil. "Aku nggak mau melanjutkan pembicaraan tadi. Cukup, aku nggak mau bertengkar sama kamu, Runa. Stop."

Karena masih terbawa emosi, aku mengambil ponsel Mas Biru yang sejak tadi menganggur di dashboard mobil. Mas Biru sempat mencegah tanganku. Ada keputusasaan pada sorot suamiku saat aku membuka ponselnya dan mencari namaku pada kontaknya.

Kembali seperti semula.

Welcomesel.

Kenapa, sih? Memang sesulit itu ya untuk membuka diri padaku? Aku sangat marah, kecewa, dan air mataku berjatuhan turun begitu saja. Aku turun dari mobil, masuk ke rumah, meninggalkan Mas Biru yang bahkan tak berusaha mengejarku untuk memberi penjelasan.

'Seenggaknya pakai namaku, Runalla.'

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status