Home / Romansa / Hostage Rasa Honeymoon / Bab 1 : Gadis Menyebalkan

Share

Hostage Rasa Honeymoon
Hostage Rasa Honeymoon
Author: vebigusriyeni

Bab 1 : Gadis Menyebalkan

Author: vebigusriyeni
last update Huling Na-update: 2025-04-15 06:39:12

Tetesan darah yang mengalir di tubuhnya terus menetes ke tanah, pria 28 tahun itu terus berjalan tertatih mencari tempat yang aman untuk dia bersembunyi dari kejaran rombongan di belakangnya.

Karena luka di bagian perut dan kepalanya cukup parah, pandangannya jadi sedikit buram hingga tubuhnya terjatuh ke tanah.

Matanya masih bisa melihat area sekitar, pepohonan yang tinggi, udara yang dingin serta kicauan burung yang terus memekakkan telinga. Pria itu perlahan memejamkan matanya, tanah di dekat hidungnya terus beterbangan sesuai dengan deru napas si pria.

“Sudahlah, jika memang ini akhir, aku terima.”

Cukup lama dia tertidur, pria itu bangun di sebuah kamar yang begitu mewah dan sangat rapi, jelas pemilik kamar itu orang yang sangat kaya raya.

“Kau sudah bangun? Ada baiknya kau istirahat dulu,” sapa seorang gadis yang kini duduk di tepi ranjang.

“Di mana ini?”

“Rumahku, tadi aku sedang berburu dengan ayahku dan melihat kau terkapar di tengah hutan, kau masih hidup dan aku bawa ke sini,” jelas gadis itu.

“Terima kasih.”

“Siapa namamu?”

“Luca, Luca Vaughan.”

“Aku Alexa Thorry, hm jika kau butuh sesuatu, panggil saja aku dan lukamu sudah diobati oleh ayahku.”

“Ayahmu dokter?” Alexa mengangguk.

“Oke, aku harus pergi.”

“Kau belum sembuh.”

“Aku sudah lebih baik.”

Luca berjalan keluar kamar diikuti oleh Alexa, di ruang tamu, dia bertemu dengan ayah Alexa dan mengucapkan terima kasih.

“Aku bisa meminta sopir mengantarkanmu, kau ingin ke mana?” tanya ayah Alexa.

“Aku akan ke Chicago,” jawabnya singkat dan dingin.

“Apa yang kau lakukan di Belanda? Kau seperti habis dianiaya seseorang.”

“Aku sedang menjalankan tugas dari tuanku, kalau begitu aku permisi dan tidak perlu diantar.” Luca meninggalkan rumah Alexa dan menaiki taksi, dia akan menuju ke bandara karena tugasnya sudah selesai.

Rumah Alexa cukup jauh dari perkotaan, Luca memegangi kepalanya yang masih terasa sakit. Dia memilih untuk memejamkan mata dan menikmati perjalanan yang akan menghabiskan waktu selama empat jam menuju bandara.

Jalanan kiri kanan hanya dihiasi pepohonan besar dan tinggi, tiba-tiba sopir itu melakukan rem mendadak yang membuat tubuh Luca terdorong ke depan dan kepalanya terbentur ke bangku depan.

“Ada apa?”

“Maaf, gadis di depan menghalangi jalan kita.” Luca melihat ke depan dan gadis itu sudah berada di sampingnya.

“Mau apa kau hah?” bentak Luca pada gadis yang sudah duduk di sampingnya.

“Sudahlah diam, aku sedang dalam misi penyelamatan diri, ayo cepat jalan, mereka sedang mengejarku.” Sopir itu menatap Luca dan dibalas anggukan oleh Luca.

“Siapa yang mengejarmu?”

“Ayahku,” bisik gadis itu di telinga Luca.

“Kenapa dia mengejarmu?”

“Dia selalu memaksa aku untuk belajar, belajar dan belajar. Otakku ini butuh istirahat juga dan dengan belajar terus membuat aku ini gila.” Luca menautkan alisnya dan menjauh sedikit dari gadis itu.

“Siapa namamu?”

“Brielle.”

“Rumit sekali namamu.”

“Panggil saja aku Byby atau Bubu atau apapun yang terdengar lebih sweet.” Luca memalingkan wajahnya dari Brielle dan kembali memejamkan mata.

“Aku mau turun di mall ya.” Brielle berkata pada sopir dan hanya dibalas anggukan.

Mereka di dalam mobil hanya diam, tak ada yang memulai pembicaraan satu sama lain. Luca juga sudah tertidur karena lelah dan tubuhnya sakit.

***

Mereka sampai di kota, Brielle diturunkan tepat di depan Magna Plaza, pusat perbelanjaan ikonik di Amsterdam dengan arsitektur Neo-Gotik karya Cornelis Hendrik Peters, yang memadukan elemen Gotik dan romantis, mirip gedung Parlemen di London. Bangunan ini dulunya kantor pos utama sebelum bertransformasi menjadi pusat perbelanjaan bergengsi.

“Temani aku belanja ya,” pinta Brielle dengan tatapan berbinar pada Luca, pria itu menaikkan sudut bibirnya dan menautkan alis.

“Aku?” ulang Luca menunjuk dirinya sendiri.

“Yaaa, memang pandangan mataku ini ke mana? Sopir taksi ini?”

“Dengar ya, aku bukan bodyguard pribadimu.” Brielle menautkan kedua telapak tangannya memohon pada Luca.

“Pleaseee, aku butuh teman dan sekarang aku sedang stres tingkat dewa.” Luca menggeleng mantap dan sedikit mendorong tubuh Brielle keluar dari mobil.

“Kau ini tega sekali, pasti kau tidak punya saudara perempuan ya, makanya kau ini sangat kasar. Kalau nanti di dalam sana aku dijahati dan dianiaya orang lain, terus kau melihat berita kematianku di televisi, apa kau tidak akan menyesal?” Luca menganga, dia tidak menyangka akan bertemu gadis seperti Brielle.

“Kenapa dia jadi dramatis begini?” pikir Luca sendiri, ia menautkan alis bingung.

“Turunlah sebelum aku menembak kepalamu.”

“Ya sudah, kau tembak saja kepalaku, aku memang sudah bosan hidup.” Luca menghela napasnya.

“Baiklah, jangan lama-lama karena aku harus pergi.” Brielle tersenyum bahagia lalu memegang tangan Luca memasuki pusat perbelanjaan itu.

“Kenapa kau harus memegang tanganku begini?”

“Memangnya kau mau dikira bodyguard? Secara tampangmu itu hmmm...” Brielle menatap Luca dari atas sampai bawah.

“Kenapa?” Luca membelalakkan matanya.

“Ah tidak ada, kau tampan, ayo jalan.” Luca menghela napas dan berjalan memasuki gedung besar itu.

Brielle dan Luca melangkah masuk ke dalam Magna Plaza, bangunan bersejarah yang kini dipenuhi butik-butik mewah dan toko-toko desain.

Suara langkah sepatu terdengar di lantai marmer yang mengkilap, menciptakan gema lembut di ruang luas yang seolah memantulkan keanggunan setiap sudutnya. Cahaya alami masuk dari jendela-jendela besar yang terletak di langit-langit gedung, memberikan kesan terang yang hangat meskipun cuaca luar mulai dingin.

Di depan, lobi yang luas memancarkan kemewahan dengan dinding tinggi yang dihiasi ornamen klasik dan langit-langit bergaya Neo-Renaisans. Brielle berhenti sejenak, mengagumi arsitektur bangunan yang memadukan gaya lama dengan modernitas yang begitu sempurna.

Beberapa pengunjung lain berjalan cepat melewatinya, membawa tas-tas belanja dari brand ternama, sementara aroma parfum mewah tercium dari toko kosmetik di sudut.

Dengan langkah mantap, Brielle mulai menjelajahi setiap lantai, menyusuri deretan butik-butik desainer yang menampilkan pakaian-pakaian cantik yang seolah memanggil.

Di salah satu toko, gaun-gaun malam berkilau memancarkan cahaya lembut, sementara di sisi lain, koleksi sepatu kulit mewah tersusun rapi dalam display yang menawan. Brielle menyentuh beberapa kain sutra, merasakan kelembutannya yang hampir memanjakan kulit. Dia membayangkan dirinya mengenakan gaun-gaun itu, berpadu dengan suasana yang begitu elegan dan mewah.

Luca mengikuti di belakang, menjaga jarak, seolah menunggu Brielle memilih barang-barang yang dia suka. Setiap kali Brielle berhenti di depan sebuah rak, dia bisa melihat betapa mata Brielle berbinar, menikmati setiap momen kecil itu.

Brielle terhenti di depan sebuah gaun merah muda, potongannya sederhana namun memancarkan kesan feminin yang anggun. Dia mengambilnya, memeriksa label harga yang tertera.

“Ini... ini yang aku mau,” ucap Brielle dengan suara pelan, seolah terpesona oleh gaun itu. “Sesuatu yang baru, yang belum pernah aku coba.”

Luca mengangguk tanpa berkata apa-apa, hanya tersenyum kecil melihat Brielle yang tampak begitu terhubung dengan momen itu. Tanpa disadari, mereka berdua sudah berlama-lama mengitari lantai dua Magna Plaza, menikmati suasana yang sama sekali berbeda dari kehidupan mereka yang lebih terburu-buru sebelumnya.

Akhirnya, Brielle menuju kasir dengan gaun merah muda di tangan, hati yang terasa lebih ringan. Terkadang, belanja bukan sekadar membeli barang. Terkadang, itu adalah cara untuk menemukan diri sendiri, dalam bentuk yang tak terduga.

Brielle juga memilih beberapa barang yang dia inginkan, saat akan membayar, dia menarik Luca.

“Ayo bayar.”

“Aku?” Luca membelalakkan matanya karena kaget.

“Iya, siapa lagi? Kan yang pergi denganku, kamu.”

Dengan kesal Luca membayar semua belanjaan Brielle.

“Kita ke sana ya, aku mau beli jam tangan.” Brielle kembali belanja dan dibayar oleh Luca tanpa membantah.

“Waaah terima kasih ya, kau baik sekali, namamu siapa?” tanya Brielle dengan ceria pada Luca sambil menenteng belanjaannya.

“Dari tadi kau jalan dan menguras isi dompetku, baru sekarang kau menanyakan namaku hah?” nada kesal Luca tidak bisa lagi dia sembunyikan.

“Ya sudah kalau tidak mau memberitahu aku, sini belanjaanku, aku mau pulang.” Luca melongo ketika Brielle mengambil belanjaan itu dari tangannya.

“Aku benar-benar sudah seperti pesuruhmu ya, aku yang bayar, dan aku juga yang bawa semua belanjaanmu itu.”

“Sekali-sekali, sudahlah, aku pergi dulu, terima kasih sudah membayar semuanya.”

“Kau mau ke mana?”

“Pulang.”

“Tapi kau lari dari ayahmu?”

“Iya, kan sudah lari, dan sekarang aku harus pulang. Sebenarnya saat aku lari tadi, aku tidak bawa uang dan nanti setelah sampai di rumah, aku akan transfer uangmu, mana nomor rekeningmu?” Luca menatap malas Brielle.

“Lebih baik kau pulang, aku juga harus pergi.” Luca kembali menaiki taksinya tadi menuju bandara.

“Ini gila, aku seperti sedang dikerjai oleh seorang gadis kecil. Sialan,” kesal Luca.

Penerbangan kali ini cukup melelahkan bagi Luca, dia sampai di mansion milik majikannya yaitu Nico Grimald. Dia langsung tidur di dalam kamarnya sendiri, tubuhnya butuh istirahat karena misi kali ini cukup berbahaya dan menguras tenaganya.

“Brielle, kenapa aku harus bertemu gadis tidak sopan itu?” lirih Luca lalu memejamkan matanya.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Hostage Rasa Honeymoon   Bab 8 : Senyum Semanis Cokelat

    Dua hari setelahnya, motor yang Luca inginkan datang dan mereka siap untuk berangkat hari ini. Memulai perjalanan dari Amsterdam menuju Chicago dengan sepeda motor kesayangan Luca Vaughan. Brielle tampil dengan pakaian terbaiknya, dibalut dengan jaket kulit yang membuat penampilannya sangat sempurna, begitu pula dengan Luca yang terlihat begitu tampan. Brielle terkagum ketika melihat motor milik Luca. “Ini motormu atau motor Nico?” tanya Brielle dengan riang. “Motorku, duduk baik-baik dan jangan sampai motor ini lecet olehmu. Mengerti.” Brielle memberikan hormat pada Luca. “Siap komandan.” Motor itu berdiri angkuh. Ducati Diavel V4, hitam pekat seperti malam yang menyimpan rahasia. Bukan motor biasa. Bentuknya gabungan antara keindahan pahatan dan kekejaman mesin. Rangka aluminiumnya ramping namun kokoh, dengan lekukan aerodinamis yang mengalir mulus dari tangki ke ekor. Knalpot ganda di sisi kanan memancarkan aura predator yang siap menyergap kapan saja. Mesinnya—V4

  • Hostage Rasa Honeymoon   Bab 7 : Hidangan Malam

    Kaki itu terus mengayuh sepeda, melewati jalan yang tadi mereka tempuh untuk kembali ke hotel. Luca memberikan kembali sepeda yang mereka sewa lalu berjalan menuju hotel. “Aku bahagia sekali, akhirnya bisa jalan-jalan menikmati hidup sendiri,” ujar Brielle dengan tawa lepasnya. “Baguslah.” Brielle membawa pandangannya pada Luca. Pria dingin, kaku, pemarah dan misterius. “Kau ini sebenarnya punya gairah hidup atau tidak? Kau seperti orang yang tidak memiliki ekspresi lain, kau terlalu kaku, Luca.” Brielle mengungkapkannya dengan lantang. “Lalu aku ini harus apa? Teriak-teriak tidak jelas? Tertawa terbahak-bahak, atau menangis sejadi-jadinya?” balas Luca ketika mendapat pertanyaan dari Brielle tadi. “Ya bukan begitu juga. Maksudku, kau ceria sedikit lah, jangan terlalu kaku.” “Aku ceria.” “Jadi begini tampang ceria versi dirimu?” “Yap. Kenapa?” “Tidak. Aku akan ubah tampang ini dengan versiku sendiri.” “Oh ya, apa kau bisa?” “Of course, kita lihat saja nanti.”

  • Hostage Rasa Honeymoon   Bab 6 : Anne Frank House

    “Terbayang ya,” gumam Brielle pelan, “dulu Anne Frank cuma bisa mengintip dunia dari jendela kecil. Sekarang kita ada di sini, bebas melihat semuanya.” Sekarang mereka masih berada di luaran saja, belum masuk ke dalam. “Kita kadang lupa ya, seberapa mewahnya kebebasan,” lanjutnya pelan. Mereka tepat di depan Anne Frank House. Gedung tua itu tampak sederhana, tapi memancarkan rasa sunyi yang khidmat. “Aku baca bukunya pas umur lima belas tahun,” kata Brielle lagi, suaranya nyaris berbisik. “Aku pikir aku mengerti tapi ternyata tidak. Baru sekarang aku merasakan bagaimana rasanya kehilangan, terkurung tapi juga punya harapan.” Luca memegang erat tangan Brielle lalu menepuknya pelan. “Kita tidak kehilangan harapan kan sekarang?” tanyanya menatap ke dalam mata Brielle. “Harapan apa?” “Harapan kalau aku harus menyelesaikan tugasku ini dengan baik,” balas Luca yang membuat tawa riang di wajah Brielle. “Kau tenang saja, aku sudah janji untuk tidak akan kabur.” “Ok

  • Hostage Rasa Honeymoon   Bab 5 : Mulai Dari Negara Sendiri

    Luca duduk di kamar sambil memainkan ponsel ditemani secangkir kopi panas, asapnya masih mengepul dan aromanya begitu kuat hingga Brielle terbangun. Mereka tidak tidur satu kasur, Luca membebaskan gadis itu dengan dirinya sendiri, dari semalam Brielle terus dihubungi oleh ayah dan ibunya namun Nico sudah memberitahu kalau gadis itu dia yang culik dan suruh Luca untuk membawa. Luca meminta anak buahnya untuk mengirimkan motornya ke Belanda, ia hanya mau memakai motornya sendiri jika akan melakukan perjalanan jauh begini—BMW R Nine T Motorcycle. Dia juga menyiapkan beberapa berkas yang akan dia dan Brielle perlukan jika memasuki berbagai negara yang akan mereka lalui nantinya. “Aroma kopimu mengganggu tidurku, minta ya,” ujar Brielle lalu menyeruput kopi panas milik Luca. Brrusshh! Luca langsung berdiri ketika Brielle menyemburkan kopi itu ke tubuhnya. “Kau gila ya, jelas kopi itu masih panas,” bentak Luca sambil mengusap tubuhnya. “Ya mana aku tahu, lidahku terba

  • Hostage Rasa Honeymoon   Bab 4 : Permintaan Gila

    Selama empat jam perjalanan, akhirnya mereka sampai di apotik pusat kota yaitu Apotheek Van De Lan yang terletak dekat dengan tempat wisata. Luca keluar dari mobilnya sambil membawa resep obat milik Brielle, dia sama sekali tidak mengerti dengan obat apa yang dikonsumsi oleh Brielle saat ini. "Obat ini jangan dikonsumsi terus ya, minum saja ketika sakit dan lebih baik diperiksa lagi ke dokter. Karena obat ini bukan untuk menyembuhkan penyakit yang diderita oleh pasien, melainkan hanya untuk menghilangkan rasa sakit saja." Luca mengangguk lalu membayar dan mengambil obat tersebut. Dia kembali ke mobil dan memberikan obat itu pada Brielle. "Dia bilang, obat ini tidak untuk dikonsumsi terus menerus, minum setiap kali merasa sakit saja," terang Luca. "Iya, aku tahu." Brielle meminum obat itu lalu memejamkan matanya, sisa air mata itu kembali meluncur dan cepat dia hapus. "Kita cari tempat makan dulu, aku lapar." Brielle menatap Luca lalu tersenyum. "Oke, aku tahu tempa

  • Hostage Rasa Honeymoon   Bab 3 : Penculikan Termudah

    Brielle berhasil turun dari kamarnya, dia berpikir sejenak bagaimana cara kabur dari penjaga di mansion itu. Brielle bersembunyi di balik tiang dan tersenyum karena menemukan sebuah ide cemerlang. Brielle berlari ke arah halaman depan dan berteriak histeris. “Tolong, Nico diserang musuhnya di dalam kamar, mereka sangat ramai dan masuk melalui rooftop, cepat kalian semua tolong dia.” Para penjaga langsung bergegas dengan senjata masing-masing ke lantai atas untuk menyelamatkan Nico, dengan cepat Brielle kabur dari sana. Dia berjalan pelan, ketika sampai di sebuah taman yang cukup jauh dari mansion Nico, kakinya terasa sakit karena berlari tadi. “Perutku lapar, haus juga dan aku tidak bawa uang.” Brielle menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan lalu mengusap kasar wajah itu. Pandangannya tertuju pada Luca yang duduk tak jauh dari tempatnya sekarang. “Dia lagi, apa dia itu sosok seorang dewa yang dikirim untuk menyelamatkan aku?” Brielle dengan langkah ceria men

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status