Bab 11Bergegas aku dan Alisa menyusuri jalan, ia mengatakan akan menemui para bapak-bapak yang sedang berkumpul main kartu di pos ronda, aku mengekor dibelakangnya.Sampai di tempat tujuan, nampak ada 5 orang lelaki dewasa sedang minum kopi dan main kartu, Alisa menyapa dan mulai berbicara mengenai apa yang kami maksud."Lihat, Pak. Ini buktinya poto pernikahan teman saya, dan suaminya sekarang sedang dirumah itu berduaan dengan perempuan lain," ucap Alisa seraya menyodorkan ponselku yang menampilkan poto pernikahan kami."Ya udah, tapi jangan rame-rame dulu kami berlima juga cukup untuk menjadi saksi," ujar bapak yang mengenakan baju hijauAku dan Alisa menyanggupi, lagian jika mereka terbukti maka semua warga akan berhamburan keluar rumah.Berjalan bersama langkah kami sedikit dipercepat.Tiba di rumah yang dihuni oleh dua manusia tak tahu diri itu, para bapak-bapak menggedor pintu dengan keras, ada pula yang berteriak. Dalam keadaan cemas aku mempersiapkan diri untuk sekuat mungk
Bab 12.APagi berkunjung, aku tengah bersiap menuju kampung halamanku, Carla aku titipkan bersama Kak Shanaz dan Mbok Minah.Tak banyak yang kubawa hanya satu set perhiasan emas yang sudah aku beli jauh hari dan memang diniatkan untuk ibuku, satu stel baju untuk Bapak dan mainan untuk 2 keponakanku anaknya Kak Satya.Memacu kendaraan dengan kecepatan sedang, sebisa mungkin menetralisir rasa yang tengah terombang ambing.Tiba di tempat tujuan, ibu menyambutku dengan senyum mengembang, wanita paruh baya itu sangat senang jika aku mengunjunginya karena kedatanganku selalu membawa buah tangan yang ia sukai"Ya ampun bagus banget perhiasannya, Sarah, kamu emang anak kebanggaan ibu paling tau kesukaan ibu, kamu memang yang terbaik." Ibu terpana melihat satu set perhiasan emas dalam kotak merah. Dia selalu menyanjungku bahkan dihadapan saudara-saudaraku, dari sifat ibu yang berlebihan inilah timbul iri dan dengki dalam relung hati Sonia. Gadis itu tak seperti saudaraku yang lain, ia memang
Entah mengapa terbesit dorongan untuk membuka lemari lama milik Sonia, dengan menutup hidung kubuka lemari yang berdebu itu, menjamah setiap benda yang tersimpan.Ditumpukkan paling bawah aku menemukan sebuah buku harian, ini milik Sonia. Cepat aku membuka buku harian yang sedikit usang itu lembar demi lembar aku susuri, dilembar terakhir ia menuliskan sesuatu yang membuatku berfikir ringan.'Minggu 17 Maret, aku kehilanganmu dan cintamu, semoga kita bisa dipertemukan di kehidupan yang lain'Tanggal ini adalah tanggal pernikahanku, pantas saja ia tak nampak ketika acara akad nikahku waktu itu, rupanya ia tengah patah hati.Tokk! Tokk! Tokk!"Sarah cepat keluar kita ke Jakarta sekarang untuk menemui Sonia," ucap bapak dibalik pintu.Aku bangkit melangkah keluar nampak Ibu dan Bapak beserta Kak Satya sudah bersiap.Suasana jalanan ibu kota nampak padat, kami sampai menunaikan shalat dzuhur di masjid pinggir jalan. Setelah selesai melaksanakan kewajiban dzuhur kami bergegas menuju rumah
Bab 13 A"Wooyy ada yang berbuat tidak senonoh disini," teriak seorang lelaki setengah baya, sontak beberapa orang pemuda dan bapak-bapak yang lainnya berduyun-duyun memasuki rumah.Suasana nampak riuh didalam rumah ini. Sedangkan Kak Haris dan ibuku tetap tak menghiraukan, dengan berang mereka menyerang anak dan adiknya masing-masing."Sudah, sudah ... bawa aja ke Pak RT," suara seseorang yang entah siapa memberi usul."Iya, ayok seret aja!""Arak saja mereka keliling kampung!"Mereka menyeret Paksa Bang Surya dan Sonia tanpa memberi celah untuk mereka mengenakan pakaiannya, nampak ibu mertuaku semakin terpukul memikirkan nasib anaknya. Ada rasa bersalah yang terbesit dalam hati.Apakah aku memang wanita kejam?Dengan langkah paksa kami mengikuti kedua pasangan yang sedang diarak warga, mereka berjalan kaki tanpa mengenakan sandal atau pun pakaian.Dari kerumunan warga ada seorang ibu-ibu melemparkan kain jarik lusuh, sontak Sonia meraih lalu membalutkan ke tubuhnya. Warga semakin ba
Bab 13.B"Iya nih keenakan mereka kalau gitu,""Harusnya dirajam sampai mati!""Betull! ... betuuul!""Huuuuu ... Huuuuu." Sorakan demi sorakan terasa memekikkan telinga."Sudah Bapak-bapak, ibu-ibu mohon tenang, saya sudah putuskan untuk menyerahkan mereka pada pihak keluarganya ... dan untuk bapak Haris saya terima permintaan maaf anda, silahkan bawa secepatnya mereka dari sini," ujar Pak RTDengan rasa malu yang menghujam kami melangkah masuk menuju mobil, karena merasa jijik, aku tak izinkan Bang Surya dan Sonia untuk menaiki mobilku mereka memutuskan untuk naik taxi ditemani oleh Kak Haris.Kami putuskan akan berembuk di rumah ibu mertuaku, selama perjalanan tak henti ibuku dan ibu mertuaku menitikkan air matanya, sedangkan air mataku rasanya sudah mengering.*1 jam berlalu mobilku tiba dihalaman rumah ibu, nampak Kak Haris sudah tiba di rumah terlebih dulu. Aku digandeng oleh ibunya Bang Surya untuk masuk ke dalam rumah, bagaiman pun juga harus ada solusi atas masalah ini, da
Bab 14.A"Tanyakan saja sama ibu kamu," pungkas Bapak seraya melirik ibu.Kini wajah ibu yang berubah pucat.*"Ibu?" Pandangan Sonia teralihkan pada ibu.Ia masih diam, ada raut ketegangan dari wajahnya, seperti sedang merasa takut.=================(Pov Ibunya Sarah)Namaku Hartati, biasa dipanggil Tati oleh tetangga dan kerabatku. Suamiku kang Dadang, dalam status pernikahan dia memang suamiku tapi sudah lama kami tak berintetaksi bagaikan pasangan suami istri pada umumnya, tidur tidak lagi bersama dalam satu ranjang.Semua itu berawal dari hadirnya Sonia di rahimku, kenapa begitu?Aku yang melakukan kesalahan, kukira kang Dadang lelaki yang polos tak akan pernah mengetahui kebusukkanku.Semenjak Sarah berusia 4 tahun Kang Dadang menderita penyakit prostat, berobat kesana kemari tak kunjung sembuh, dokter berkata bahwa harus dilakukan tindakan operasi, tapi waktu itu keluarga kami masih terpuruk keadaan ekonominya, belum lagi kedua anakku Satya dan Shanaz masih membutuhkan biaya u
Bab 14.BInilah yang tak aku sukai dari kang Dadang perangainya kasar, jarang sekali ia berlemah lembut atau bersikap romantis seperti pasangan pada umumnya, sangat jauh berbeda dengan Suryadi yang begitu lembut dan romantis.Saat ingin menjawab tanyanya tiba-tiba perutku terasa mual karena mencium aroma terasi goreng, mungkin itu Shanaz yang sedang membuat sambal terasi di dapur."Hooeeekk hooeeeek!" Tak kuhiraukan Kang Dadang, segera bergegas berlari ke kamar mandi dan memuntahkan isi dalam peru. Namun, tanpa belas kasihan Kang Dadang terus menyerang dengan pertanyaan-pertanyaan yang menyudutkanku.Tubuhku lemas rasanya, sudah beberapa hari tak makan nasi, hanya bubur ayam yang selalu mengganjal perutku."Jawab pertanyaanku, Tati!" Ia menjerit kembali dengan keras.Namun, tubuhku semakin melemah kepala pusing berkunang-kunang hingga semuanya gelap. Aku tak sadarkan diri.Setelah beberpa jam kembali tersadar, ada tetanggaku yang sedang memijat-mijat kening, dan ada juga Mak Iroh, pa
Bab 15 A HIbu masih diam, wajah bringasnya berubah menjadi pucat."S-sonia ... emm sebaiknya kita bicarakan ini di rumah, ini masalah keluarga," jawab ibu gelagapan.Nampak raut ketegangan yang terpancar dari wajah ibu."Ga mau! Aku maunya disini, aku mau secepatnya dinikahkan dengan Kak Surya, Bu!" pungkas Sonia sambil terisak.Begitu bucinnya dia terhadap Bang Surya, bahkan ia tak menyadari jika lelaki yang saat ini sedang ia dambakan masih milik orang lain. Apakah Sonia tak melihat akan rasa sakit hatiku? ah, bukankah sedari dulu ia memang egois selalu mementingkan dirinya sendiri."Sudahlah kita bicarakan ini di rumahnya Sarah," jawab ibu kekeh."Tidak bisa, Bu!" Tegasku semua netra kini tertuju padaku."Aku ga mau wanita ini menginjakkan kaki di rumahku lagi," seraya menunjuk wajah Sonia.Walau ia adikku tak sudi rasanya jika mengizinkannya kembali untuk menginjakkan kaki di rumahku."Sudahlah, Tati, tak usah berkelit bilang saja Sonia itu sebenarnya anak siapa, akui kesalahanmu