Intan melangkah perlahan, jantungnya berdetak sangat kencang. Otak sudah bisa menebak siapa yang datang kerumahnya, mesikpun hanya melihat pundak dan warna rambutnya.
Lima langkah dari pintu rumah, Intan berhenti menarik nafas panjang tiga kali, agar dirinya lebih tenang.
Oke, Intan kamu bisa menghadapinya!
Berkali-kali Intan meyakinkan dirinya sendiri.
Dua wajah bertemu, Melisa tersenyum melecehankan, di tarik satu ujung bibirnya melihat Intan diambang pintu. Intan datar, tidak tersenyum tapi tidak menampakan ketakutan.
"Intan sudah pulang, baru saja Mbak Melisa datang?" kata Mama Eva dengan wajah begitu cemas.
Intan tidak menjawab yang dikatakan Mama Eva, pandanganya hanya tertuju pada Melisa, menatap nanar penuh amarah ke Melisa, rasanya ingin melemparkan satu pukulan wajahnya! Untung saja ada Mama Eva, bagamana pun Intan tetap menjaga sikapnya.
"Intan, kamu sudah pulang? kamu ngak kerja?" Tanya Melisa dengan nada mengejek dan senyum sinisnya.
"Mbak Melisa, saya tidak ada hubungan apa pun dengan suami Mbak, jadi tolong jangan semena-mena terhadap saya?" Jawab Intan dengan suara yang cukup keras, tanpa basa basi, dengan tanggan mengepal kuat.
"Semena-mena! bukannya kamu yang semena-mena terhadap saya? Melisa berkata dengan ketusnya.
"Suami Mbak Melisa tidak pernah bilang jika sudah menikah!" Jawab Intan dengan tegas.
"Iya Mbak Melisa, memang benar begitu adanya Mas Bara ndak pernah ngomong kalo sudah menikah." Mama Eva berkata membenarkan apa yang Intan katakan.
"Ya seharusnya Intanya bertanya dong, bukan malah minta-minta barang mahal ke suami orang." Jawab Melisa dengan wajah culas, senyumnya sangat menyakitkan.
"Jaga omongan anda! Lebih baik pulang saja!" Intan berkata dengan wajah merah padam, tangan mengepal.
"Kamu tidak terima, lalu ini apa?" Melisa berkata sambil melempar kertas kecil lusuh ke arah Intan jatuh pas di kakinya.
"Ini baru babak pertama, tunggu kejutan berikutnya." Melisa berkata pas ditelinga Intan, hingga bau nafasnya wangi melewati hidung Intan.
Melisa melangkah keluar, meninggalkan rumah Intan.
Intan masih berdiri mematung, tiba-tiba air matanya berjatuhan, dirasakanya badannya lemas, kepalanya berat, apa yang di lihat seperti kunang-kunang lalu padangan matanya berubah menjadi hitam pekat.
"Brrrruuuk."
Intan terkulai lemas dilantai saat itu juga. Mama Eva yang duduk di kursi langsung terduduk di sebelah Intan. Menjerit histeris. " Stif tolong kakamu!"
Stif datang langsung mengendong Intan kekamar. Minyak angin sudah di balurkan keseluruh tubuh Intan. Lima menit tak sadarkan diri, mata Intan terbuka perlahan, badannya nyeri semua dari ujung kepala hingga ujung kaki, isi perut seperti ingin di keluarkan semua.
"Ayo Tan, ke rumah sakit saja?" Kata Mama Eva panik sambil memijit talapak tangan Intan
"Ngak Ma." jawab Intan dengan lirih sambil meremas kepala.
Bayangan Ayah waktu kecil berserta wanita-wanita itu, senyuman Bara, tamparanan Melisa. Memory itu muncul seperti dvd player yang diputar kembali di otak Intan.
Sesak luar biasa dada Intan, kepalanya semakin berat, jantungnya terus berdeta kencang, diikuti air mataku menetes mengalir ke pipi membasahi bantal.
"Sini sayang, peluk Mama, menangislah!" kata Mama Eva mengetahui putrinya menangis.
Intan memeluk tubuh dan menangis di pangkuan Mama Eva.
Kali ini Mama Eva berbeda, dari biasanya bersikap tegas, jika putrinya menangis. Mencari sebab menangis dengan cepat selesaikan.
Saat ini Mama Eva seperti tau jika situasinya rumit. Tau putrinya butuh dukungan bukan sekelumit pertanyaan.
"Intan, mau curhat sama Mama biar enak hatinya!" kata Mama Eva sambil membelai rambut putrinya.
Intan semakin keras menangis tanpa mampuh mengeluarkan kata-kata.
Intan terbiasa menelan sendiri apa pun yang dia rasakan atau dia akan mencurahkan ke dalam buku kesayanganya.
Dadanya sakit di ujung dalam rasanya nyeri sekali. Baru kali ini merasakan sakit hati hingga tulang dada ikut nyeri.
Ditambah bayang-bayang menyakitkan terus bergantian, wajah-wajah perempuan teman kencan Ayah masih jelas di ingatan Intan. Intan merasa semakin kacau.
"Intan, ayo makan dulu! Kamu dari pagi belum makan! " Kata Mama Eva membujuk putrinya agar berhenti menangis
Intan mendongak ke atas melihat Mama Eva, matanya sembab karena ikut menangis. Intan menyadari ini pertama kalinya membuat Mama Eva bersedih, karena Intan terbiasa menelan segala perasanya sendiri.
"Temenin makan ya Ma!" Jawab Intan sambil tersenyum tipis, merajuk sambil mengusap air mata dipipinya.
Sebenarnya Intan sedang tidak bernafsu makan tapi melihat kecemasan diwajah Mama Eva ia tidak mau semakin membuat sedih.
Mama Eva menahan diri untuk tidak bertanya apa pun ,padahal banyak hal yang ingin ditanyakan. Mama Eva meraba kertas nota di kantong saku.
Sebaiknya tunggu Intan selasai makan baru aku tanyakan. Bisik dalam hati Mama Eva.
Intan makan dengan lahap, sayur asem, pepes ikan, dan sambal perpaduan dari bumbu pepes, rasa asam segar dan pedas bersatu di mulut, sekejap dia lupa akan masalahnya.
"Ma, Intan di PHK." Intan berkata sambil mengentikan kunyahanya.
Beberapa detik hening Mama Eva terkejut tapi tetap mejaga raut wajah agar tetap tenang. Itulah Mama Eva segenting apa pun masalahnya masih ada sisa-sisa keyakinan.
Tetap nampa tenang, berusaha menampilkan expresi terbaik di depan anak-anaknya.
"Kamu ada masalah di kantor?" Tanya Mama Eva sambil meletakan sendok di tangannya.
Intan terdiam, mengatur kata yang keluar dari dalam mulutnya yang masih menguyah pelan.
"Habiskan dulu makannya nanti dilanjutkan." Mama Eva berkata sambil tersenyum, walaupun rasa penasaranya tak terbendung, dia mampuh membaca wajah Intan penuh kebinggungan.
Mama Eva cuci piring dan Intan masih di posisi yang sama. Perlaham, penuh kehati-hatian Intan mulai menceritakan apa yang telah terjadi.
Satu hal yang Intan tidak katakan yaitu soal perselingkuhan Ayah dan dia telah jatuh cinta pada Bara.
Untuk apa bicara soal cinta,jika ada sepenggal dusta, tai. Kata Intan sengit dalam hati.
"Karirku juga hancur Ma, berita bohong tentangku sudah meluas, pasti orang-orang tidak mau kerjasama sama aku." kata Intan jujur. Intan sudah tidak mampuh menyembunyikan apapun dari Mama Eva.
Sudah terlanjur basah, lebih baik mengatakan sejujurnya sekarang dari pada Mama Eva tau dari mulut orang lain. Mama Eva meletakan piring di tanggannya dan membalikan badan melihat Intan. Menghampiri Intan, lalu duduk di depan Intan.
"Mama mau tanya dulu, apa benar kamu minta barang Bara?" tanya Mama sambil mengeluarkan nota pembelian cincin.
"Tidak Ma, Bara yang selalu kasih sesuatu ke aku, sudahku tolak tapi dia memaksa." Jawab Intan tertunduk, meskipun sebenarnya dia begitu bahagia setiap kali Bara membawa sesuatu untuknya.
Terjadi pebincangan panjang antara ibu dan anak, yang sebelumnya belum pernah terjadi. Kedekatan Intan dengan Mama Eva hanya biasa saja, tidak terlalu dekat, tapi tidak untuk kali ini, berbeda. Mama Eva hadir memberi secerca harapan yang baru.
"Apa yang harus aku lakukan Ma?" keluh Intan.
Belum sempat Mama Eva menjawab, terpotong kala terdengar suara motor berhenti di pekarangan rumah, Intan mengintip ternyata Bara datang lagi.
Intan berlari menuju kamar dan Mama Eva paham jika ada tamu datang yang tidak di inginkan.
Mau apa lagi Bara datang ke rumah Intan?
Mama Eva menuju ruang tamu, sudah berdiri Bara di ambang pintu sedang berdiri dengan wajah sangat risau."Bu, beri kesempatan sekali saja untuk saya bertemu dengan Intan. Saya ingin minta maaf soal kemarin." ujar Bara."Sebaiknya Nak Bara pulang, nanti kalo Mbak Melisa tau bisa jadi masalah besar?" Bujuk Mama Eva dengan wajah risau.Berkali-kali Bara memohon untuk bertemu Intan, tapi Mama Eva selalu menyuruh pulang. Bara tetep kekeh, dan Mama Eva mulai kehabisan sabar. Akirnya menceritakan kedatangan Melisa kemarin, yang mengancam Intan.Bara menarik nafas panjang, memijat kening. Benar-benar tidak habis fikir dengan sikap Melisa. Penyesalan tinggal penyesalan itu yang dirasakan Bara untuk saat ini. Intan benar-benar menderita karena ulahnya.Dengan langkah penuh kekecewaan Bara pulang, harapannya bertemu Intan untuk minta maaf sudah pupus.Intan melihat punggung Bara dari bilik cendela
Keesok harinya Mama Eva memandangi putrinya dengan wajah prihatin, tak kusanggup menatap wajah Intan yang amburadul, berkali-kali memaksa Intan untuk kesalon langganya, sekedar merapikan rambutnya agar lebih nyaman dipandang."Ayo sekalian temenin mama mau spa, biar ngak stres!" Ajak Mama Eva yang terus memaksa.“Udahlah Ma, Intan lagi males keluar rumah, Intan ngak punya duit!” elakan Intan sambil menutup kepalanya dengan bantal.“Mama yang bayar!” jawab Mama Eva.Seketika itu Intan duduk, sambil tersenyum, setuju dengan ajakan Mama Eva. Hanya butuh sepuluh menit Intan mandi dan siap-siap pergi ke salon. Walaupun hatinya masih diliputi keresahan tapi semangatnya untuk pergi ke salon begitu besar.Intan disambut ramah seorang pria feminism, yang biasa disapa Inces dengan tubuh padat dan perutnya buncit. Senyumnya begitu melecehkan melihat model rambut Intan.“Non, ini s
Pagi pukul delapan Intan masih tertidur pulas, setelah tiga hari tidak tidur, setelah peristiwa di bukit.Peristiwa tidak akan pernah Intan bisa lupakan! Pembunuhan atau upaya melindungi diri sendiri dari cekaman harimau?Kalo bukan Intan yang mendorong Melisa, mungkin Melisa yang mendorong Intan ke jurang.Untuk apa pertemuan di bukit dekat jurang? Kalo bukan untuk merencenakan sesuatu.Ponsel Intan terus berbunyi, dengan terpaksa mengakat telfon. Mata terbelala ketika nama Bara di ponselnya.“Ha…,hallo?” jawab Intan dengan gugub sambil menelan ludah.“Intan, maafkan saya soal kemarin. Tapi beri saya kesempatan bicara!” tutur Bara dengan nada teramat merendah.Intan semakin gugub, hatinya resah. Bukan karena rasa cintanya terusik, tapi perbuatanya tidak sengaja mendorong istri Bara hingga masuk jurang, membuatnya semakin bimbang. 
Jiimmy berjalan menuju ruangan Arya, sama sekali tidak memandang Intan dan Alma. Wajahnya teramat risau. Langkahnya cepat seperti orang sedang terburu–buru.“Sial! Untung Mr. Jutek tidak mendengar obrolan kita! Ya udah gue ketoilet dulu ya, mules nih. Nahan grogi.” Gumam Alma sambil pergi meninggalkan Intan.Intan sendiri jantungnya sudah nyaris copot. Meskipun memilih membisu.Dalam hitungan jam, Alma dan Intan sudah akrab, meskipun sifat mereka bertolak belakang.Alma cerewet, bawel, cenderung ceplas ceplos. Intan cenderung pendiam, bicaranya singkat. Tidak suka bosa basi.Tapi, perbedaan itu yang membuat mereka mudah mengenal satu sama lain.Alma yang sudah terlebih dahulu mengaggumi Intan, sebagai selebgram yang dulu terkenal. Menjadi salah satu faktor mereka mudah mengenal satu sama lain.Namun, Intan bukan orang mudah membuka
Alma sampai kantor jam 07.00Lebih awal tujuh menit dari Intan. Kantor dengan tiga lantai itu masih sepi. Yang ada hanya beberapa petugas kebersihan yang datang lebih awal untuk membersihakan ruangan sebelum pegawai datang.Ada rapat pagi, dadakan. Sekertaris wajib berangkat pagi untuk mempersiapkan rapat. Satu jam sebelum rapat dimulai bahan rapat, alat penunjang, ruangan bersih harus dipersiapkan sedetail mungkin!Security tersenyum lebar ketika Intan memarkir mobil. Menyapa dengan sopan.“Pagi Mbak Intan, pagi betul datangnya?” sapa Pak Lilik“Iya Pak, nanti ada rapat.” Intan tersenyum dengan langkah terburu-buru masuk ke kantor.Intan langsung menuju lantai dua tepat di meja kerjanya, terlihat Alma membuka lembaran kertas di sudut ruangan sambil menguyah sepotong roti. Intan meletakan tas di tanggannya, melangkah mendekati Alma.“Pagi Mba
Stif merubah posisi duduknya lebih tegak. Menjatuhkan rokoknya kelantai, diinjak dengan kasar. Hatinya tercabik–cabik melihat Mama Eva hancur.Tiba–tiba Intan berdiri dengan geram merai leher Fani dengan kasar, didorongnya tubuh rampingnya ke tembok. Kejadian itu cukup cepat hanya beberapa detik saja.Tubuh Fany berhimpitan dengan tembok.Cuih!Cuih!Cuih!“Perek serpertimu harus diberi pelajaran!” pekik Intan, sambil meludah di wajah Fani.Sungguh menjijikan!Stif nampak terkejut. Tapi membiarkan kakaknya dengan aksi liarnya. Wajah Stif nampak puas melihat pemandangan itu.Intan terkenal pendiam dan lemah lembut. Melihat sikap brutal Intan Stif hampir tak percaya kakaknya mencekik Fani sebegitu kuatnya. Tak dipungkiri Stif bangga dengan keberanian Intan.Aya
Lima belas menit mobil Intan melaju. Berusaha menghindari Bara. Meskipun kerinduan di hatinya benar-benar masih untuk Bara. Hanya untuk Bara.Tuhan, kenapa dia muncul lagi? Bara tidak akan mungkin bisa menerimaku jika dia tau sebenarnya aku yang membunuh Melisa. Intan ngoceh sendiri di dalam mobil.Air mata Intan mengalir membasahi pipi mulusnya. Intan berusaha mengambil kotak kecil tisu di sebelahnya. Tisu itu jatuh di dekat kakinya. Intan berusaha mengambil tisu itu, membungkukkan badan sambil menyetir.Bruk!!!Intan sedikit kehilangan pandangan arah depan. Intan menabrak sesuatu dengan cukup keras. Kakinya dengan cepat menekan rem. Di tegakkanya tubuhnya, Intan melihat seorang kakek tua tersungkur bersama gerobaknya.Oh Tuhan apa lagi ini?Kakek tua itu berdiri dengan susah payah, wajahnya teramat sedih. Berusaha menegakan gerobaknya yang
Malam ini Intan tidak bisa memejam matanya. Hingga pukul 1 malam jam mata Intan masih terang benderang, sama sekali tidak ada rasa kantuk.Terngiyang-iyang saat pertama kali Bara mencium telapak tanggannya dengan begitu romantis.Samar-samar Intan mendengar suara rintihan tangisan suaranya sangat jelas terdengar dari kamar Mama Eva. Intan melangkah perlahan, dengan kaki berjinjit. Lalu menempelkan daun telingnya ke pintu.Benar Mama Eva menangis, sama seperti sore saat Intan pulang kerja. Intan tak kuasa mendengar mamanya menangis. Hatinya hancur, seoalah-olah merasakan kepiluhan Mama Eva.Perlahan Intan membuka pintu kamar, terlihat jelas Mama Eva meringkuk sedih. Intan menghampiri Mama Eva. Menyentuh pundak Mama Eva perlahan, lalu memeluknya.“Menangislah Ma, menangislah! Tapi jangan sendirian. Izinkan Intan jadi sandaran.”