“Aku ingin tidur dipeluk olehmu.” Rigel meminta dengan berani. Tidak peduli akan rasa malu yang mungkin hadir setelah dia mengucapkannya.
Sia mengusap perlahan kening Rigel, mengangguk mengiyakan. “Tanganmu bagaimana?” Dia menarik selimut, lebih dulu menutupi tubuh Rigel daripada dirinya.
“Masih sedikit nyeri, tapi tidak apa-apa.” Rigel benar-benar melakukannya, dia merapatkan tubuhnya pada Sia yang siap memeluknya. “Saat mandi tadi, rasanya aku ingin sekali menelanmu.”
“Menelan?” Sia terkejut, melihat sedikit ke wajah Rigel yang disembunyikan pria itu di dadanya.
“Maksudku ... aku ingin bercinta denganmu.”
“Kau masih terluka. Akan sulit untukmu, bukan untukku.”
Rigel bergumam tidak jelas. Yang pasti, itu hanya berisi tentang keluhan. Dia mengeluh kenapa tangannya terluka, sementara hasratnya sudah melompat-lompat dengan liar.
“Rigel Auberon, kau
“Itu salahmu!” Disi berseru dengan kesal, melempar sarung tangan memasaknya ke atas meja. “Kenapa kau tiba-tiba ada di sana? Tanpa gerakan, tanpa suara!” “Itu hanya alasanmu untuk membalasku.” “Oh, ya ampun! Dasar pria gila!” Sekarang Disi mengumpat dengan terang-terangan disamping microwave. Lalu dia menghampiri pria itu untuk mengambil wortel yang tadi sempat terlempar ke arahnya. Bukan disengaja, itu hanya gerak refleks Disi ketika melihat penampakan pria itu di ambang pintu, dan membuatnya sangat terkejut. “Vanth. Namaku Vanth. Bukan pria gila, Nona.” Dia hanya menatap Disi tanpa ekspresi apapun di wajahnya. “Ah, bagus. Akhirnya kau memiliki nama.” Disi mengangguk. “Namaku Disi.” Dia lalu membungkuk untuk memungut wortel didekat kaki Vanth. “Ya, namamu Disi Melani Truder.” Vanth bergumam lirih. Sejak awal dia memilih untuk tidak memperlihatkan bahwa dia mengenal semua manusia bumi. Tentu saja, termasuk Disi Melani Truder. “Apa kata
Stevan muncul di rumah Rigel ketika keduanya masih tidur dengan tubuh berselimut dan Sia mendekap erat Rigel.Sia hampir menjerit ketakutan, sementara Rigel benar-benar berkata kasar pada Stevan ketika mereka terbangun dan sadar. “Hei berengsek, bagaimana kau bisa masuk?”Stevan menggaruk kepalanya dengan bingung. Rasanya baru lima menit lalu dia ada di kamarnya, masih meregangkan tubuh di atas ranjang, dan tidak tahu menahu ada kekuatan yang merasukinya lalu membawanya ke sini.“Maaf, Rigel. Aku sungguh tidak tahu bagaimana bisa aku berada di rumahmu, masuk ke sini. Lalu aku—”“Keluar sekarang, Stev.” Rigel mengusir tanpa berniat untuk menunggu penjelasan lain dari sahabatnya itu.“Baik, baik. Aku keluar sekarang.” Stevan mundur, meringis dengan wajah penuh rasa bersalah.“Tunggu dulu.” Sia menyibak selimut, menurunkan kedua kakinya dari ranjang dan berdiri di sisi tempat tid
Vanth mengikuti Disi sampai ke depan rumah. Dia melihat bagaimana terburu-burunya wanita itu. “Kau mau ke mana?”“Temanku membutuhkan bantuan.”“Bantuan seperti apa?”Disi berhenti memeriksa isi tasnya untuk mencari ponsel dan kunci mobil, tapi kedua matanya penuh teralih menatap wajah tampan sempurna itu. “Memangnya kau berniat ikut membantu?”“Tidak juga.” Vanth mengangkat kedua bahunya. “Aku hanya bertanya.”Disi berdecak. “Sebaiknya kau tidak bertanya, Tuan Vanth. Kau menghabiskan waktuku.” Disi berjalan cepat menuju pagar, tapi Vanth sudah berdiri di sisinya tanpa sempat dia menyadarinya. “Auuh! Tuan Vanth yang terhormat, berhentilah membuatku terkejut!” Disi hampir berteriak.“Kau kehabisan waktu, bukan? Aku akan membantumu.”“Kita akan terbang?” Disi menyusul Vanth dengan penuh rasa ingin tahu. Melupakan bagai
Air mata mengalir deras di wajah pucat Natalie. Menggeleng pelan, dan dia maju perlahan-lahan ke arah Vanth.Ketiga temannya sudah harap-harap cemas. Masih menunggu waktu yang tepat agar bisa menarik tubuh Natalie dari bahaya. Wanita itu belum terlalu jauh pergi dari tepi yang mengerikan, membuat bulu kuduk meremang.Vanth mundur perlahan tanpa mengatakan apapun, sehingga Natalie bisa melangkah lebih jauh lagi. Ketika sudah merasa aman, Disi maju dan menarik lengan Natalie, memeluknya dengan erat hingga hampir membuat mereka berdua terhuyung.Vanth berbalik, berjalan menuruni tangga, dan bertujuan menunggu Disi di mobil. Dia tidak memiliki niat melihat dan mendengarkan drama empat orang wanita di tempat ini.Disi melepas pelukan, menampar Natalie dengan tidak begitu keras. “Kau gila?”Natalie diam, menunduk. Masih menangis tanpa bisa berhenti. Dia ingat ucapan Vanth. Bahwa dunia akan baik-baik saja tanpa dirinya. Tidak akan ada yang men
Setelah menikmati beberapa jenis makanan manis, Rigel mengajak Sia berbelanja pakaian. Rigel sengaja membeli pakaiannya terlebih dulu sebelum akhirnya membelikan untuk Sia.Bahkan Rigel ikut masuk saat ke kamar ganti dengan berpura-pura bahwa ini hanyalah ketidaksengajaan.“Rigel, keluar.” Sia memukul pundak Rigel. Wajahnya dengan sangat cepat menjadi memerah karena malu.“Ah, pintunya tidak bisa dibuka.” Rigel berpura-pura. Lalu berbalik menghadap ke arah Sia. “Ayo, kemarikan pakaiannya, Nona. Biar aku bantu kau mengenakannya.”“Rigel!” Sia berseru marah, kedua matanya membulat. “Ini di tempat umum. Kau tidak boleh seperti itu.”“Jadi aku harus bagaimana?” Rigel mendekatkan wajahnya pada Sia dan mendapatkan satu ciumannya di sana. Bukan sebuah ciuman biasa, tapi begitu dalam.“Aku serius, Rigel.” Sia terengah, meletakkan kedua tangannya di dada Rigel dan men
“Siapa yang akan pergi?” Vanth mengulang pertanyaannya. Bergeming di tempat, tidak menepis pelukan Disi sama sekali, juga tidak menoleh.“Itu ... kau—”“Aku akan pulang ke rumah lebih dulu. Kau urus sendiri semua yang ada di sini.”“Ah, itu maksudmu?” Dengan malu yang tidak bisa disembunyikan lagi, Disi melepas kedua tangannya yang melingkar di perut Vanth. Canggung, dia mundur beberapa langkah.“Lalu kau pikir?” Vanth menoleh, memandang Disi yang tidak ingin menatapnya sama sekali. “Aku akan pergi meninggalkanmu. Dan kembali ke tempat asalku, benar begitu?”Disi tidak akan berniat menambah rasa malunya semakin membesar, cepat-cepat dia mengibaskan tangannya. “Y-ya sudah kalau begitu. Pulanglah duluan, a-aku akan mengurus semua ini.”Vanth tahu, paham seperti apa sifat manusia, tidak terkecuali Disi. Dia hanya menahan diri untuk tidak menggoda, atau men
Rigel dan Sia bisa merasakan suhu tubuh satu sama lain yang kian memanas saat mereka menempel begitu lekat.Berulang kali jantung berdebarnya begitu terpacu untuk mendapatkan kepuasan dari Sia. Bahkan karena ulahnya, Sia berulang kali menyebut nama lengkapnya dengan baik. Terdengar sendu, lembut, dan luar biasa.Hal yang sama, di ranjang yang mungkin akan terus berguncang, menjadi tempat yang tidak ingin ditinggali Rigel untuk waktu yang lama.“Aku masih ingin bersamamu,” keluh Rigel. Pundak Sia yang tanpa penutup apapun, dikecupnya begitu lama.“Bukannya kau ada janji dengan temanmu itu?”“Oh, jangan ingatkan aku tentang dia, Sayang. Aku hanya ingin kau dalam hidupku, apa kau mengerti?”“Aku mengerti. Tapi dia benar temanmu, bukan? Aku khawatir jika kau tidak mengingat hal itu dan dia—”“Sudah kuingatkan jangan bicara tentang dia. Sekarang kau kuhukum ...” Rigel mengun
“Sudah kubilang, ini bukan urusanmu.” Rigel membalas Ares di dalam pikirannya, karena pria itu tetap di sana mencoba masuk dan berucap kacau dipikirannya.Sekarang Rigel mengacuhkan suara di kepalanya, dan fokus pada Natalie yang kini memberinya tatapan serius. Menahan wanita ini sebentar lagi saja, lalu dia bisa segera kembali.“Aku seperti mengenalmu, Tuan.” Ucapan Natalie yang diiringi senyum, tidak membuat Rigel merasa curiga. Bisa saja remaja ini pernah melihatnya berkeliling di tempat lain di masa ini. Tapi harusnya mereka baru bertemu untuk pertama kalinya delapan tahun ke depan dari masa ini. Tepatnya, saat Natalie berusia dua puluh empat tahun.“Kembaran manusia memang tersebar di bumi.” Rigel membalas senyum. Melihat ke arah Ares yang setia menunggunya, dan Disi yang benar-benar sudah menghilang dari pandangan. Baiklah, semua selesai sampai di sini.Rigel bangun dari posisi berjongkoknya, mengusap kedua telapa